[Pahlawan Shenzhou] Bab 8 - Suatu Hari Gunung dan Sungai Berubah

 Di depan Huang He Xiao Xuan (Paviliun Sungai Kuning Kecil), berdiri sebuah pondok mungil. Air Sungai Huanhua mengalir tepat di bawahnya.

Ada seseorang yang duduk bersila di atas paviliun itu, menghadap arus sungai, seolah sedang berkonsentrasi mengatur napas dan berlatih.

Namun orang ini takkan pernah bisa berlatih lagi.

Karena tepat di ruas tulang belakang ketujuhnya, telah tertusuk sebuah pedang. Bahkan sebelum pedang itu sepenuhnya tercabut, nyawanya sudah melayang.

Orang itu bukan siapa-siapa selain Tang Da!

Tang Da dari Klan Tang di Shu, Sichuan!

Tang Da telah dibunuh secara diam-diam!

Satu tusukan pedang dari belakang, tepat ke titik vital, merenggut nyawanya.

Lebih mengejutkan lagi, Tang Da mati di Chengdu, Jinjiang, di dalam kediaman Keluarga Xiao di Huanhua, di halaman dalam Jianlu, tepat di depan Huang He Xiao Xuan.

Xiao Qiushui hanya merasa darahnya mendidih. Kata-kata Tang Da seolah masih terngiang di telinganya:

“Pendekar Xiao, sekalipun kau mengusirku, aku tidak akan pergi. Aku dan putramu sudah bersahabat. Demi sahabat, menusuk dada sendiri dengan pisau pun tak akan kuelakkan—itu adalah jalan ksatria sejak zaman dahulu.”

Namun kini Tang Da sudah mati.

Hati Xiao Qiushui serasa terkoyak. Ia meraung marah, menerjang ke depan, merampas pedang dari salah seorang pendekar kelompok Harimau, lalu langsung menerjunkan diri ke dalam pertempuran!

Di dalam halaman, wajah Deng Yuhan pucat laksana kertas, pedangnya berkelebat secepat angin.

Ilmu pedang Laut Selatan (Nanhai*) selalu dikenal tajam dan ganas, sementara murid-murid Nanhai (Laut Selatan) umumnya bertubuh lemah. Deng Yuhan sudah terengah-engah, namun itu bukan karena kelelahan, melainkan karena amarah!

catatan: terjemahan inggris menyebut Donghai yang jika diterjemahkan jadi Laut Timur, padahal Nanhai yang benar jika melihat teks asli mandarin. Terus di bab 1 disebut Deng Yuhan berasal dari sekte Hainan, jadi Nanhai lebih ke nama ilmu pedangnya atau juga merujuk orang-orang suatu wilayah.

Lawan Deng Yuhan adalah seorang berpakaian hitam, wajahnya tertutup kerudung hitam tipis.

Sebebas apa pun pedang Deng Yuhan berkelebat, menusuk ganas, tetap tak mampu melukai orang itu. Sosok berpakaian hitam itu meloncat, menghindar, berputar, bergerak lincah, tubuhnya ringan bak kupu-kupu menari di bawah pedang Deng Yuhan.

Karena itu, dari delapan pendekar penjaga di Huang He Xiao Xuan, satu orang sudah dikirim berlari cepat melaporkan ke Xiao Xilou, sedangkan tujuh lainnya menghunus pedang mengepung sosok misterius itu.

Begitu Xiao Qiushui datang, merampas sebuah pedang, hawa pedangnya langsung membuncah!

Dalam dua jurus, ia melancarkan tusukan lurus ke depan, kekuatannya tak terbendung!

Orang berpakaian hitam itu terkejut, buru-buru menyamping dengan gerakan indah bagaikan tarian. Namun kerudung tipis di wajahnya tersingkap oleh tusukan pedang Xiao Qiushui!

Begitu wajah itu terbuka, Xiao Qiushui dan Deng Yuhan sama-sama tertegun.

Kerudungnya terjatuh, ikatan rambutnya pun terputus, helaian rambut hitam bak air terjun jatuh bergemerlap dalam sinar bintang. Di bawah cahaya bulan, hitam dan putih kontras, menyingkap wajah gadis itu yang sebening air.

Ia marah. Tetapi di balik amarah itu, raut wajah mudanya membawa kilatan niat membunuh yang kejam. Dalam sekilas pandang itu saja, Xiao Qiushui merasakan lengan kirinya panas menyengat, ia telah terkena sebuah senjata rahasia!

Xiao Qiushui mendidih dalam hati, pikirannya terhentak keras. Ia menegur dirinya sendiri:

“Xiao Qiushui, bagaimana mungkin kau bisa terpesona hanya karena melihat wajah cantik seorang perempuan? Jika gunung runtuh di hadapanmu, bagaimana kau bisa tetap tenang? Dengan sikap begini, bagaimana mungkin kau memikul tanggung jawab besar dunia persilatan!”

Saat itu, Deng Yuhan sudah kembali bertarung dengan gadis itu. Di dalam gelap malam, gerakan gadis itu sangat cepat, ilmunya tak kalah dibanding Nyonya Xiao. Namun wajah jelitanya yang sebening bulan sudah sulit terlihat jelas.

Tiba-tiba, pedang Deng Yuhan terlepas dari tangannya dengan suara denting nyaring! Tiga batu fei huang (batu belalang terbang, senjata rahasia khas Tangmen) menghantam pedangnya, membuatnya terpental!

Sekte Pedang Hainan terkenal dengan kecepatan pedang, namun gadis itu mampu mengenai pedang pada saat tusukan tercepatnya dengan senjata rahasia. Ketepatan mata, keahlian tangan, dan kecepatan itu, jelas tak kalah dengan Tang Da sendiri.

Xiao Qiushui langsung menerjang, tanpa ragu, tanpa gentar!

Dengan kemampuan gadis itu, ia sebenarnya memiliki setidaknya tiga kesempatan untuk membunuh Xiao Qiushui dengan senjata rahasianya saat pria itu berlari mendekat.

Namun ketika wajah Xiao Qiushui tersinari cahaya bulan, gadis itu mengenalinya, dialah lelaki yang baru saja menyingkap kerudungnya!

Sejak kecil, ia tumbuh di keluarga besar, namun sudah lama ikut saudara-saudaranya berkelana di dunia persilatan. Dalam masa kanak-kanaknya, ia mendengar banyak cerita, terutama tentang perempuan cantik yang menikah, diiringi lilin merah, di dalam rumah bagian dalam yang sunyi. Suami yang lembut, dengan pengait emas kecil, perlahan menyingkap tirai hias di kepala pengantin wanita, menampakkan wajahnya yang jelita.

Bagaimana kelanjutan kisah itu, ia sudah tak ingat. Namun cerita itu tetap menggetarkan hati. Kini, di bawah sinar bulan, seorang lelaki asing, kasar, dan gagah, dengan sebilah pedang, menyingkap kerudung wajahnya.

Tali perasaannya terguncang. Ia terlambat menyerang.

Keterlambatan itu hanya sekejap, namun cukup membuatnya melewatkan tiga peluang emas. Dalam waktu sesingkat itu, Xiao Qiushui sudah mendekat.

Senjata rahasia hanya efektif dari jauh, bukan dari dekat. Begitu Xiao Qiushui berhasil merapat, senjata rahasia gadis itu menjadi tak berguna.

Xiao Qiushui melancarkan sebuah pukulan keras!

Gadis itu menangkis dengan kedua lengannya!

Keterampilan bela diri wanita itu jauh lebih rendah daripada keterampilan senjata tersembunyinya. Meskipun tekniknya terampil, ia sedang terburu-buru dan tidak dapat menandingi kekuatan Xiao Qiushui. Seketika, lengan wanita itu mati rasa, dan Xiao Qiushui menggunakan tangannya yang bebas untuk melawan!

Tangan itu adalah tangan yang tadi ditembak dengan senjata rahasia. Xiao Qiushui ingin menggunakan tangan itu untuk membalas dendamnya.

Sekali telapak itu mendorong, gadis itu tak bisa menghindar.

Pukulan itu sarat dengan kemarahan, karena Tang Da bukan hanya seniornya, tetapi juga sahabatnya.

Dan tak seorang pun boleh membunuh sahabat Xiao Qiushui.

Siapa pun yang membunuh sahabat Xiao Qiushui, maka Xiao Qiushui pasti akan bertarung mati-matian dengannya.

Pada hari itu, ketika anak buah “Iblis Berlengan Besi” Fu Tianyi yang bernama “Wuxing” membunuh Tang Rou, Xiao Qiushui pun melawan Fu Tianyi habis-habisan, dibantu oleh Zuo Qiu Chaoran dan Deng Yuhan. Mereka berhasil membunuh Fu Tianyi di bawah derasnya arus “Sembilan Naga Menyusuri Sungai”!

Xiao Qiushui melepaskan satu telapak penuh tenaga, hampir mengenai sasaran, tetapi tiba-tiba otaknya tersadar; ia mencium sebuah aroma samar, seperti bunga osmanthus, yang dalam cahaya bulan terasa samar-samar hadir.

Pada saat itu pula, Xiao Qiushui kembali bertatapan langsung dengan perempuan itu.

Mata perempuan itu hitam putih jelas, seperti gunung hitam dan air putih.
Hidungnya yang putih dan halus terangkat membentuk lengkungan indah.
Bibirnya, yang terkatup rapat, tegas, seperti pucat dan tak berdarah.

Xiao Qiushui tertegun, bukan karena kecantikannya, melainkan karena perempuan itu terasa begitu akrab, seakan sangat dekat, namun sekaligus begitu asing, jauh bagaikan di ujung dunia.

Dia memang seorang perempuan, hal itu sebenarnya tidak terlalu penting, tetapi di lubuk hati Xiao Qiushui, perasaan itu bagaikan suara seruling malam yang datang dari atap di tengah sunyi, penuh kesedihan tak bertepi.

Xiao Qiushui mendesah panjang dan tiba-tiba menarik kembali telapak tangannya.
Mungkin karena lawannya seorang perempuan, ia enggan menghantamkan serangan ke dadanya.

Walau ia ingin perempuan itu mati, ia tetap tidak mau merusak kehormatannya. Ia tidak tahu bahwa karena dirinya, perempuan itu justru sudah tiga kali kehilangan kesempatan untuk membunuhnya.

Xiao Qiushui sama sekali bukan pria sopan penuh tata krama, juga bukan seorang bijak suci yang menjauh dari perempuan. Ia, bersama Zuo Qiu Chaoran, Kang Jiesheng, Tie Xingyue, Qiu Nangu, dan Deng Yuhan, sering membicarakan perempuan, tentang kecantikan mereka, sifat manja mereka, kegemaran bergosip, bahkan keisengan mereka.

Setelah itu, mereka menepuk dada, menenggak arak habis-habisan, lalu tertawa lantang menyebut diri mereka laki-laki sejati!

Meski begitu, tak seorang pun dari mereka pernah benar-benar memiliki seorang perempuan.

Xiao Qiushui tidak menurunkan telapak tangan bukan hanya karena iba, tetapi karena lawannya seorang perempuan, sementara dirinya adalah seorang lelaki sejati!

Namun, saat Xiao Qiushui tak tega menghabisi nyawanya, perempuan itu justru melancarkan serangan mematikan!

Wajahnya pucat tanpa darah, ia sendiri pun tak menyangka bisa membiarkan Xiao Qiushui masuk sedekat ini, bahkan dengan rela melewatkan tiga kali kesempatan membunuhnya.

Justru karena semakin menyadari hal itu, ia kian marah pada dirinya sendiri. Maka saat melihat telapak Xiao Qiushui mengarah padanya, ia langsung melancarkan serangan!

Ia tidak langsung menebas, tetapi kedua tangannya bergerak, melepaskan empat bilah senjata rahasia berbentuk bintang lima ke kiri dan kanan. Namun di tengah jalan, senjata itu berbelok dan langsung mengarah ke punggung Xiao Qiushui!

Senjata itu cepat, kuat, dan tanpa suara angin sedikit pun. Xiao Qiushui sama sekali tidak tahu. Kalaupun tahu, belum tentu ia bisa menghindar.

Tepat saat itu, Xiao Qiushui menarik kembali telapak dan mundur, namun justru mundur tepat ke arah empat senjata rahasia itu!

Perempuan itu sendiri sampai terpekik kaget!

Ia tak menduga Xiao Qiushui akan menarik serangan. Pada detik itu ia merasakan syukur, tetapi tak bisa lagi menarik kembali senjata rahasia yang telah dilepaskannya!

Deng Yuhan pun berteriak kaget. Ia hanya sempat menangkap dua bilah bintang lima itu dengan kedua telapak tangannya, membuat telapak kiri dan kanannya berlumuran darah. Namun dua bilah lainnya masih melesat menuju punggung Xiao Qiushui!

Jika Deng Yuhan menggunakan seluruh kekuatannya saja tak mampu menangkap tanpa terluka telapak tangannya, bagaimana mungkin Xiao Qiushui bisa selamat bila terkena tepat di punggungnya?

Namun tepat pada saat itu, cahaya senjata rahasia tiba-tiba lenyap.

Senjata rahasia itu raib, terhenti di tangan seseorang.

Tangan seorang pria yang keras bagaikan besi.

Dua bilah bintang lima yang sanggup membuat telapak tangan Deng Yuhan berdarah itu, kini di genggamannya seakan lenyap tak berbekas.

Orang itu adalah Zhu Xiawu.

“Iron Hand, Iron Face, Iron Armor, Iron Net” Zhu Xiawu!

“Paman Zhu!” seru Deng Yuhan dengan gembira.

Xiao Qiushui merasa tubuhnya seolah longgar, menoleh dan melihat ada satu orang lagi hadir di arena, ayahnya, Xiao Xilou.

Xiao Qiushui membayangkan betapa murkanya ayah, menyalahkannya karena tergoda kecantikan hingga hampir kehilangan nyawa!

Namun ternyata, meski Xiao Xilou tampak berduka, ia tidak menunjukkan amarah.

Ia hanya bertanya:
“Bagaimana pendekar Tang meninggal?”

Wajah Deng Yuhan pucat pasi. Xiao Xilou pernah memintanya melindungi Tang Daxia, namun kini Tang Daxia tewas. Ia menjawab:
“Dia yang membunuhnya!”

Perempuan itu terkejut. Tatapannya berubah dari marah, menjadi heran, lalu bingung.

Xiao Xilou menatap perempuan itu sejenak, lalu bertanya lagi:
“Bagaimana kejadiannya?”

Deng Yuhan berkata:
“Aku mengawal pendekar Tang ke depan pintu ‘Paviliun Huanghe’ (Paviliun Sungai Kuning Kecil). Saat itu pendekar Tang siuman kembali. Walau racun di tubuhnya parah, kesadarannya masih sangat jernih. Ia berkata kepadaku: di ‘Paviliun Pedang Keluarga Xiao’ sangat aman, cukup di sini saja, ia bisa mengusir racun, dan menyuruhku jangan khawatir.

Tang Daxia (pendekar Tang) meminum beberapa butir pil, lalu menenangkan diri dan menutup mata mengatur napas. Aku pun berjaga di sampingnya. Dalam hati aku berpikir: di ‘Paviliun Pedang Huanhua’, temboknya sekuat baja, siapa yang bisa menembus masuk? … Tak kusangka, saat itu, tiba-tiba ada seorang berpakaian hitam melintas, langsung menusukkan pedang kepadaku!”

Mendengar ini, hati Xiao Qiushui ikut terguncang. Saat ia melewati “Koridor”, bukankah ia juga diserang dengan cara yang sama, tiba-tiba ditusuk dari depan?!

Dilihat dari waktunya, orang itu menikam Xiao Qiushui lebih dulu, lalu baru menyerang Deng Yuhan.

Deng Yuhan melanjutkan:
“Meski ilmu pedangnya tinggi, tetapi tampak tergesa dan kacau, seakan sedang melarikan diri. Serangannya cepat, tetapi langkahnya tidak teratur. Serangan itu memang tiba-tiba, tapi tidak matang. Karena itu, serangannya masih bisa kutahan.”

“Kami bertarung dua jurus, dia lebih dulu merebut inisiatif sehingga mendapat keunggulan. Namun setelah tiga tebasan pedangnya tak berhasil, ia segera melarikan diri. Aku buru-buru mengejarnya, baru beberapa langkah aku teringat pendekar Tang sedang menetralkan racun, tidak boleh diganggu. Maka aku segera kembali. Tapi siapa sangka, saat aku kembali, orang berbaju hitam ini sudah berdiri di sisi Tang Daxia, dan Tang Daxia sudah tewas! Menurutku… dialah perempuan yang membunuh Tang Daxia!”

Tatapan mata perempuan itu penuh keberanian, dengan dingin menoleh ke Deng Yuhan.

Xiao Xilou berkata:
“Gadis ini bertarung denganmu, apakah dia menggunakan pedang?”

Deng Yuhan tertegun:
“Tidak.”

Xiao Xilou melanjutkan:
“Gadis ini tidak membawa pedang, semua orang bisa lihat. Tapi Tang Daxia mati karena luka pedang.”

Deng Yuhan masih membantah:
“Kalau bukan pelaku utama, bisa saja dia kaki tangan.”

Mendadak sebuah suara dingin bagai besi, satu kata demi satu kata, berkata:
“Tidak mungkin dia kaki tangan.”

Yang bicara adalah Zhu Xiawu, “Iron Armor, Iron Hand, Iron Face, Iron Net.”
Ia tegas menambahkan:
“Karena dia adalah Tang Fang, adik kandung Tang Da, salah satu pendekar muda tercantik dari generasi muda Tangmen!”

Tang Fang. Tang Fang.

Dialah murid Tangmen Sichuan yang paling misterius sekaligus paling cantik di generasinya.

Ternyata Tang Fang seorang perempuan.
Dialah Tang Fang.

Zhu Xiawu perlahan mengangkat tangannya, jari terbuka, dua bilah bintang lima jatuh berdering di tanah. Dalam cahaya bulan berkilau perak, satu bilah terukir huruf kecil “唐” (Tang), satu bilah lainnya terukir huruf kecil “方” (Fang).

Zhu Xiawu berkata:
“Senjata rahasia ‘Zi Mu LiHun Biao’ (Anak Panah Pemutus Jiwa Ibu dan Anak) yang ditembakkan ke depan lalu berbalik mengenai punggung, selain keturunan keluarga Tang, tidak ada yang bisa melakukannya.”

Xiao Qiushui mendadak merasa lega, terbebas, dan gembira.

Sejak awal saat harus berhadapan dengan perempuan ini, hatinya penuh beban, bahkan ia menyerang dengan kalap.

Sekarang setelah tahu ia adalah Tang Fang, jelas Tang Da bukan dibunuh olehnya. Beban besar di hati Xiao Qiushui akhirnya terangkat, ia merasa lega. Di sisi lain, ia bersyukur tidak jadi membunuhnya, dan itu terasa seperti baru saja melewati bahaya besar.

Adapun rasa gembira yang muncul, ia sendiri tak bisa menjelaskannya.

Tubuh dan hatinya dipenuhi sukacita, entah mengapa.

Namun mata hitam putih yang jernih itu kini meneteskan air mata kesedihan. Dalam cahaya bulan, ia menggigit bibir dengan keras, enggan memperlihatkan kelemahan. Ia memberi hormat:
“Paman Zhu.”
Lalu menunduk memberi hormat lagi:
“Paman Xiao.”

Xiao Xilou segera mengangkatnya dan menghela napas:
“Keponakan Tang, kami salah menuduhmu, jangan marah.”

Tang Fang tidak menjawab, hanya menggeleng, air matanya pun berhenti.

Kakak, engkau sudah tiada.
Kini aku benar-benar seperti yang kau harapkan, aku kuat, aku tidak lagi bergantung pada orang lain… tetapi engkau sudah tidak bisa melihatnya!

Xiao Xilou berkata sendu:
“Kami semua tahu, dalam keluarga Tang, Tang Daxia paling menyayangi adiknya, dan sang adik juga paling mengerti kakaknya. Sungguh…”

Deng Yuhan tidak tahan bertanya:
“Ta… Tang Guniang (Nona Tang), bagaimana… bagaimana engkau bisa datang ke sini?”

Di antara generasi muda Tangmen, kemampuan qinggong (kelincahan/ringah tubuh) Tang Fang adalah yang terbaik. Meski keluarga Xiao di Chengdu dijaga ketat, itu tidak mampu menghalangi Tang Fang yang lincah bak burung walet.

Tang Fang menggeleng, air mata berkilau di matanya:
“Aku tahu kakak ada di sini, jadi sengaja datang. Kulihat orang-orang Quanli Bang mengepung Paviliun Pedang, maka aku menyelinap masuk, diam-diam masuk ke halaman dalam. Aku ingin memberi kejutan pada kakak. Tapi saat aku tiba, darah kakak masih mengalir… Saat itu, saudara ini sedang bertarung dengan pria berbaju hitam. Aku baru sempat menenangkan diri, tapi dia langsung menyerangku tanpa berkata apa-apa. Lalu… lalu datang pula orang ini…”

Suara Tang Fang lembut tapi jelas, kalimat itu bagai genderang yang menghentak hati Xiao Qiushui dan Deng Yuhan. Mereka hanya bisa tersenyum pahit.

Deng Yuhan dengan malu berkata:
“Itu salahku… aku yang menyerang lebih dulu.”

Xiao Qiushui juga berkata:
“Aku juga… telah menyinggung nona.”

Zhu Xiawu tiba-tiba berkata:
“Qiushui membuka kerudung penutup wajahnya, Yuhan pun tak mengambil kesempatan dua lawan satu, bagus. Qiushui unggul satu jurus tapi berhenti, lebih bagus lagi. Kalian berdua sangat baik. Di masa depan, nama besar kalian pasti bergema di dunia persilatan.”

Zhu Xiawu jarang bicara, tetapi kata-kata kali ini membuat Deng Yuhan dan Xiao Qiushui merasa sangat berterima kasih.

Xiao Xilou menghela napas panjang:
“Sayang sekali Tang Daxia…”

Tang Fang tidak menjawab. Ia berjalan lurus melewati koridor, menuruni anak tangga batu, melewati jembatan lengkung, naik ke paviliun, lalu berlutut diam di sisi jenazah kakaknya, tanpa sepatah kata pun.

Dalam cahaya bulan, rambutnya terurai lembut seperti air.

Aku pasti akan membalas dendam.
Tang Da, Tang Rou.

Semua orang terdiam. Tiba-tiba dari arah “Paviliun Mengamati Ikan” terdengar pekikan marah!

Xiao Xilou berseru cepat:
“Celaka!”

Xiao Qiushui dan Deng Yuhan segera melesat!

Namun sebelum mereka benar-benar bergerak jauh, tubuh besar Zhu Xiawu sudah melompat “whoosh”, melewati kepala mereka, hingga menutupi cahaya bulan.

Ia mengerahkan tenaga dalam, melesat jauh lebih cepat, langsung menuju “Paviliun Mengamati Ikan.”

Tapi mendadak tampak sosok ramping nan indah, lekuk tubuhnya halus dan seimbang, telah lebih dulu mendorong pintu paviliun dan masuk, dialah Tang Fang!

Tang Fang, dengan qinggong tertinggi, meski sedang menggendong jasad Tang Da, tetap melesat begitu cepat. Ia mendorong pintu masuk ke dalam, langsung melihat seorang pemuda yang berdiri dan menghunus pedangnya dengan suara "clang". Begitu melihat orang di pelukan Tang Fang, ia terpekik dan langsung mengayunkan pedang hendak menusuk!

Tepat saat itu Zhu Xiawu sudah tiba, berteriak lantang:
“Jiesheng, hentikan!”

Kang Jiesheng pun berhenti, namun wajah putihnya sudah memerah karena marah.

Xiao Xilou membentak:
“Jiesheng, apa yang terjadi?!”

Hati Zhu Xiawu bergetar. Ketika Kang Jiesheng berteriak marah, Xiao Xilou tidak bergerak, tetapi dirinya sudah mulai berlari. Kini ia tiba dan mendapati Xiao Xilou sudah di sampingnya. Ia tidak menyadarinya dan tak kuasa menahan rasa malu. Kang Jiesheng berkata dengan suara bergetar:

“Ayah dia…”

Xiao Xilou bergegas maju, hanya untuk melihat wajah Kang Chuyu yang hitam membiru. Ia berseru kaget:
“Apa yang terjadi dengan Saudara Kang…”

Kalimatnya pun terputus.

Saat itu Xiao Qiushui dan Deng Yuhan juga melompat masuk, dan mereka pun sama-sama terkejut.

Xiao Xilou menenangkan diri, lalu berkata lagi:
“Dengan ilmu bela diri ayahmu, racun itu seharusnya sudah bisa ditekan, bagaimana bisa…”

Kang Chuyu berteriak serak:
“Itu obat… itu obat!”

Xiao Xilou cepat bertanya:
“Obat apa!”

Xiao Qiushui mengalihkan pandangan, sekilas melihat teko arak di atas meja:
“Obat dari master senior Zhang?!”

Kang Jiesheng marah berteriak:
“Itu dia! … setelah mencampurkan obatnya ke arak, memaksakan ayahku untuk minum, itu justru yang membunuhnya! Itu dia! Itu dialah!”

Xiao Qiushui melihat, hanya tampak wajah Kang Chuyu sudah keunguan, nafas keluar lebih banyak daripada masuk, Xiao Xilou juga sesaat kehilangan akal.

Kang Jiesheng terdiam, dalam amarahnya seketika tidak tahu bagaimana merespon. Xiao Qiushui menggantikan menjawab:
“master senior Zhang berkata racun yang diderita Paman Kang sangat aneh, dia pun tidak bisa memeriksanya; obat ini memang harus dicampur ke arak, lalu dipanaskan, baru bisa diminum.”

Zhu Xiawu berkata:
“Saat obat direndam ke arak, apakah engkau sempat keluar?”

Kang Jiesheng terdiam sejenak, lalu berkata:
“Ada. Aku pergi kencing sebentar.”

Zhu Xiawu berkata:
“Setelah kembali barulah kau berikan kepada ayahmu untuk diminum?”

Kang Jiesheng dengan cemas menjawab:
“Ya.”

Zhu Xiawu tidak berkata apa-apa lagi.

Xiao Xilou tak tahan berkata:
“Saudara Zhu mengira ketika keponakan Kang keluar, orang lain menaruh racun ke dalam arak?”

Zhu Xiawu merenung sejenak, tidak langsung menjawab, sebaliknya bertanya:
“Mengapa senior Zhang ada di kediaman? Apakah bisa dipercaya?”

Xiao Xilou menghela napas, berpikir sejenak, akhirnya berkata:
“Terus terang, Lao Furen (Nyonya Tua) berada di kediaman.”

Zhu Xiawu terkejut:
“Lao Furen?”

Xiao Xilou mengangguk:
“Benar, Lao Furen.”

Wajah Zhu Xiawu tampak ada rasa kagum yang belum pernah muncul sebelumnya, bergumam:
“Ternyata Lao Furen.”

Xiao Xilou menyambung:
“Zhang Qianbei (senior Zhang) sebenarnya adalah pengawal Lao Furen.”

Zhu Xiawu segera berkata:
“Maka Zhang Qianbei pasti tidak ada masalah.”

Xiao Qiushui juga mengernyitkan kening, Tang Fang dan Deng Yuhan makin bingung.

Lao Furen, Lao Furen, Lao Furen, sebenarnya siapakah dia?

Xiao Xilou berkerut kening:
“Kalau begitu, siapa yang meracuni?”

Tepat saat itu, dalam dinginnya malam bersinar bulan, terdengar lagi satu jeritan tragis!

Jeritan datang dari arah Zhenmei Pavilion.

Wajah Xiao Xilou langsung berubah, tubuhnya pun segera lenyap.

Tang Fang hampir pada waktu yang bersamaan juga menghilang.

Zhu Xiawu saat hendak pergi melemparkan satu kalimat pada Kang Jiesheng:
“Kau tetap tinggal di sini berjaga!”

Xiao Qiushui dan Deng Yuhan tiba di tempat kejadian, juga tertegun, sangat terkejut.

Di Zhenmei Pavilion, ada satu orang berdiri di sana, ternyata adalah mayat.

Pedangnya baru setengah tercabut dari lengan bajunya, musuh sudah menembus kerongkongannya dengan satu tusukan pedang. Karena itu meskipun dia sudah mati, semangatnya masih ada, sehingga tubuhnya tidak jatuh.

Orang yang mati ini ternyata adalah orang yang namanya masih berada di atas “Tujuh Pendekar Pedang”, telah berkelana jauh sebelum “Tujuh Pedang Terkenal” , si “Pedang Yin-Yang” Zhang Linyi!

Mata Zhang Linyi terbelalak, penuh dengan rasa heran dan ketidakpercayaan.

Tang Fang tak bisa menahan diri berseru pelan:
“Dia itu senior Zhang?”

Wajah dan ekspresi Zhang Linyi benar-benar sangat mengerikan, sangat menakutkan.

Xiao Xilou berpikir keras:
“Mungkinkah, mungkinkah ada pedang seseorang yang lebih cepat daripada pedang senior Zhang?”

Zhu Xiawu tiba-tiba berkata:
“Bukan.”

Xiao Xilou menoleh:
“Bukan?”

Zhu Xiawu dengan tegas berkata:
“Bukan karena pedang lawan lebih cepat, melainkan Zhang Qianbei sama sekali tidak menduga lawan akan mengeluarkan pedang.”

Xiao Xilou memandang ke arah tubuh Zhang Linyi yang masih berdiri, hanya melihat matanya penuh amarah dan ketidakpercayaan, tanpa sadar ia mengangguk.

Zhu Xiawu berkata:
“Hanya saja, pedang lawan memang juga tidak lambat. Kalau tidak, meski menyerang mendadak, tetap tidak bisa membunuh senior Zhang.”

Xiao Xilou mengangguk:
“Asal pedang Zhang Qianbei sempat tercabut, orang ini tidak akan dapat untung.”

Zhu Xiawu dengan tegas berkata:
“Jadi, si pembunuh pasti seseorang yang tak pernah diduga Zhang Qianbei.”

Xiao Xilou mengedarkan pandangan ke sekeliling, berkata:
“Dan, dan juga seseorang yang sangat…” suaranya terhenti sejenak, lalu menyambung:
“… sangat akrab dengan kita.”

Zhu Xiawu mengangguk mantap:
“Orang ini telah membunuh pendekar Tang, lalu meracuni Tuan Kang, kemudian menyerang mendadak Yuhan dan Qiushui, dan kini membunuh senior Zhang , orang ini!”

Mata Zhu Xiawu melotot, wajah tanpa ekspresi tiba-tiba menjadi tajam.

Xiao Qiushui dan yang lain semua merasakan ada aura membunuh yang mendesak, menyesakkan, menindas, menyebar dalam angin malam.

Xiao Qiushui tiba-tiba terkejut, berseru:
“Di dalam Paviliun Zhenmei ?”

Zhang Linyi yang menjaga paviliun Zhenmei sudah terbunuh, mungkinkah di dalam pavilion masih ada yang selamat?

Namun, Lao Furen (Nyonya tua), Xiao Furen (Nyonya Xiao) masih berada di dalam pavilion atau tidak?

Wajah Xiao Xilou berubah, segera melompat hendak menerobos masuk. Tiba-tiba terdengar suara berderit, pintu terbuka, nyonya Xiao dan nyonya tua berdua muncul di depan pintu.

Di belakang nyonya Xiao dan nyonya tua ada cahaya lilin, cahaya itu seperti bunga emas mekar di belakang mereka. Xiao Xilou mundur selangkah, buru-buru memberi hormat. Tak disangka Zhu Xiawu yang berwajah keras bagai besi, ternyata berlutut memberi hormat.

Nyonya Tua itu berkata dengan lembut, "Mengapa formalitas seperti itu, Tuan?"

Zhu Xiawu dengan hormat berkata:
“Hamba Xiawu, dulu pernah di bawah komando Tuan, bertugas sebagai Wakil Kepala Kelompok Vertikal di Pasukan Kavaleri Pengintai.”

Lao Furen tersadar dan berkata:
“Engkau pasti Zhu Tiexin, bukan?”

Zhu Xiawu malah bersukacita:
“Benar saya Tiexin, hamba tidak menyangka Nyonya masih mengingat hamba.”

Lao Furen tersenyum berkata:
“Sekarang ini bukan sedang dalam barisan perang, Qing’er juga tidak ada di sini, Tiexin mengapa harus begitu banyak sopan santun, tidak perlu ada sebutan ‘tuan’ atau ‘hamba’!”

Zhu Xiawu tetap dengan hormat berkata:
“Hamba tidak berani. Hamba memberanikan diri menanyakan kabar Jenderal Di, apakah beliau sehat?”

Di dalam kepala Xiao Qiushui terdengar “berdentum” sekali, telinganya hanya mendengar: “Qing’er”, “Jenderal Di”.
Mungkinkah itu adalah Di Qing yang namanya mengguncang dunia, yang cerdas dan berani!?

Di Qing adalah seorang tokoh luar biasa.

Pada masa dinasti Song, ada preferensi lebih menghormati pejabat sipil dibandingkan jenderal militer. Karena Kaisar Song Taizu dulunya merebut kekuasaan dengan memimpin pasukan, maka terhadap pejabat militer yang memimpin pasukan dan berprestasi selalu ada kewaspadaan dan berbagai pembatasan, sehingga sulit menyalurkan cita-cita.

Namun Di Qing justru mutlak merupakan pengecualian.

Sejak kecil ia senang berlatih bela diri, berkuda dan memanah sangat unggul. Karena mendapat dukungan dari ibu angkatnya, ia bisa pergi ke ibu kota, masuk ketentaraan, dan bergabung dengan pasukan pengawal istana.

Keterampilan bela dirinya luar biasa, keberaniannya besar dan tenaganya kuat, namun wajahnya justru tampan dan halus, membentuk kontras yang tajam. Rekan-rekannya mengejeknya dengan sebutan “perempuan menyamar jadi laki-laki”, “laki-laki berwajah perempuan”. Ia rendah hati dan menahan diri, tidak memperdulikannya.

Saat itu, prajurit biasa disebut “Chi Lao” (tua merah), biasanya diwajibkan untuk ditato di wajah agar tidak melarikan diri. Hari ketika Di Qing tercatat dalam dinas militer, kebetulan pula para sarjana yang baru lulus ujian kekaisaran keluar dari istana dengan penuh kebanggaan, rakyat berkerumun menyaksikan. Rekan-rekan prajurit baru sangat geram:
“Orang lain sudah menjadi Zhuangyuan (juara utama ujian), sedangkan kita ini seperti penjahat yang harus ditato wajahnya. Kaya dan miskin sungguh berbeda nasibnya!”

Namun Di Qing tenang berkata:
“Tidak bisa dikatakan begitu! Kemuliaan dan kekayaan tergantung dari kemampuan masing-masing! Seorang laki-laki sejati seharusnya mencari nama melalui jasa pertempuran, tidak seharusnya iri kepada kemuliaan palsu itu!”

Orang-orang mendengarnya, lalu menertawakan Di Qing karena dianggap tidak tahu diri. Namun Di Qing giat berlatih, berulang kali menorehkan jasa militer, akhirnya mengubah pandangan orang bahwa jadi tentara seumur hidup pasti tidak akan ada masa depan!

Kala itu, negeri Xixia (xia barat) mengingkari perjanjian damai, secara terbuka mengangkat kaisar sendiri, dan menyerang Yanzhou di Shaanxi. Tentara Song semangatnya lemah, takut perang dan menghindar, berulang kali kalah.

Hanya Di Qing yang memimpin pasukan sekitar lima ratus orang, berulang kali menang dan menang ditengah kekalahan, tak terkalahkan di mana pun.

Ia bertahan di Yanzhou selama empat tahun, bertempur dalam dua puluh lima pertempuran besar kecil, delapan kali terluka oleh panah, tetapi tetap bertahan sampai akhir, selalu berada di garis depan, tidak mundur selangkah pun. Karena wajahnya terlalu tampan, kurang wibawa, setiap kali maju berperang ia mengenakan topeng perunggu mengerikan, menjadi orang pertama menembus barisan musuh; sering hanya dengan satu orang satu kuda menerobos masuk, menebas dan membunuh dengan gagah berani, memukul mundur musuh. Pasukan Xixia menyebutnya “Jendral Dewa Langit”, “Iblis Langit”, mendengar namanya saja langsung melarikan diri.

Selama beberapa tahun itu, dengan pasukan yang sedikit, ia berturut-turut menghancurkan kota Jintang, merebut Lüyanzhou, membantai suku Pangyang, SuiXiang, Maonu, Shangluo, Qingqi, Jiakou, dan lain-lain. Membakar puluhan ribu tumpukan logistik musuh, merampas lebih dari dua ribu tenda, menahan lebih dari lima ribu tujuh ratus tawanan. Ia juga membangun jembatan di Gu, mendirikan desa benteng seperti Zhao’an, Fenglin, Xinruo, Dalang, dan lainnya, menahan titik penting jalur militer Xixia.

Dalam memimpin pasukan, ia menempatkan posisi jelas, memberi penghargaan dan hukuman dengan tegas, berbagi lapar dan dingin, suka dan duka bersama para prajurit. Bila ada jasa, ia serahkan kepada bawahan; bila ada kesalahan, ia tanggung sendiri; bila ada pertempuran, ia maju di garis depan; bila ada hadiah, ia bagi dengan rekan-rekan. Karena itu, ia sangat dihormati oleh para prajurit, yang rela mengikuti perintahnya.

Suatu kali ia bertempur melawan pasukan Xixia di Anyuan, dia menderita sepuluh luka serius, hampir sekarat. Tetapi mendengar pasukan musuh datang lagi, ia memaksa bangkit, menjadi yang pertama menyerbu musuh, berjuang tanpa menyerah. Para prajuritnya tergerak oleh semangat rela mati itu, sehingga bersama-sama berhasil memukul mundur musuh.

Ia memimpin pasukan maju mundur dengan strategi, sangat teratur, sehingga mendapat perhatian dari Yin Zhu, pejabat militer penanggung jawab strategi, yang kemudian memperkenalkannya kepada Han Qi dan Fan Zhongyan.

Fan Zhongyan adalah tokoh luar biasa. Baik dalam sastra, strategi militer, pengelolaan air, memberi nasihat, reformasi, semuanya punya prestasi. Bahkan di pihak Xixia pun orang-orang berbisik: “Xiao Fan Laozi (Fan Zhongyan) di dadanya menyimpan sepuluh ribu prajurit bersenjata!”

Fan Zhongyan pandai menilai orang. Sekali melihat Di Qing, mendengar tutur katanya, merasa seperti menemukan harta karun, memperlakukannya dengan sangat baik. Ia khusus menghadiahkan sebuah kitab Zuo Shi Chunqiu, menasihatinya:
“Seorang jenderal bila hanya tahu berperang tanpa tahu sejarah kuno dan modern, hanyalah keberanian bodoh belaka.”

*catatan: Zuo Shi Chunqiu, Zuo´s Spring and Autumn Annals, atau Catatan Musim Semi dan Gugur Zuo, juga dikenal sebagai Zuǒ Zhuàn《左傳, adalah salah satu karya klasik sejarah dan sastra terpenting Tiongkok kuno. Zuo Zhuan (左傳) merupakan ulasan tentang Catatan Musim Semi dan Gugur (《春秋》), yang merupakan kronik peristiwa dari tahun 722 hingga 481 SM, selama periode Musim Semi dan Gugur dalam sejarah Tiongkok.

Fan Zhongyan menasihatinya serius belajar, menggabungkan ilmu sastra dan militer, serta menanamkan semangat: ‘Ikut cemas sebelum dunia cemas, ikut bahagia setelah dunia bahagia’.

Di Qing sangat tersentuh, akhirnya menjadi seorang jenderal besar yang bisa menang di medan perang sekaligus mampu mengatur strategi, mahir taktik, memahami benar dan salah, tahu kapan maju dan mundur.

Ikut cemas sebelum dunia cemas.
Ikut bahagia setelah dunia bahagia.

Hati Xiao Qiushui bergelora dengan darah panas, tak kuasa ingin berlutut di depan Ibu dari Jenderal Di.

Tetua itu tiba-tiba berwajah serius berkata:
“Jangan! Dia hanyalah manusia biasa. Dia sama saja seperti kalian, ingin berbuat sesuatu untuk negara dan rakyat. Dia hanyalah seorang putra negeri Song yang lurus dan bermartabat. Ambisi besarnya sama dengan yang terdapat di hati kalian semua, dan masih perlu kalian semua dukung dan bantu. Yang dia butuhkan adalah saudara-saudara sejati yang berani dan setia demi negara dan rakyat, bukan budak hina yang menjilat demi negara yang hampir binasa!”

Tetua ini justru adalah ibu angkat Di Qing.

Sejak kecil orang tua kandung Di Qing sudah tiada, seluruhnya bergantung pada Lao Furen ini yang memperlakukannya seperti anak sendiri, dengan susah payah membesarkan dan mendidiknya, hingga ia bisa tumbuh dewasa. Karena itu, Di Qing memperlakukannya seperti ibu kandung, penuh bakti.

Sebenarnya, Nong Zhigao telah memberontak di Guangnan. Ia hampir saja merebut Ju Zhou, lalu sepanjang sungai Ju terus maju tak terbendung, berturut-turut menaklukkan sembilan prefektur, bahkan mengepung basis militer penting negeri Song di Lingnan: Guangzhou.

Nong Zhigao memimpin pasukan suku barbar, ke mana pun mereka pergi, membakar dan menjarah, memperkosa dan merampas, melakukan semua kejahatan. Seluruh wilayah Guangnan penuh jeritan penderitaan, diinjak-injak oleh tapal besi.

Kaisar Song Renzong berturut-turut mengutus pejabat sipil seperti Yang Bai, Yu Jing, dan Sun He untuk memimpin pasukan besar menumpas pemberontak di Guangnan. Sayangnya, karena pertahanan militer Song telah lama terbengkalai, semuanya kalah telak. Nong Zhigao justru memanfaatkan kemenangan demi kemenangan, makin lama makin sombong dan angkuh.

Dalam keadaan genting itu, Di Qing, yang sebelumnya telah mengusir serangan Xia Barat, mengajukan diri dengan penuh keberanian, meminta izin turun ke medan perang untuk memadamkan pemberontakan. Saat dua pasukan berhadapan, para pahlawan terkenal seperti Sepuluh Harimau Guangnan ikut berperan besar, sehingga mereka dihormati sebagai pahlawan setempat. Namun jasa terbesar tetaplah pada Di Qing, yang menyelamatkan rakyat dari penderitaan, menenangkan negeri, sehingga masyarakat memandangnya laksana orang tua yang melahirkan kembali kehidupan mereka.

Melihat Fan Zhongyan mengawasi militer, pasukan dipimpin Di Qing, semangat pasukan pun berkobar, wilayah yang jatuh satu per satu direbut kembali, rakyat dan tentara bersatu hati. Nong Zhigao sadar tak bisa melawan secara langsung, maka ia mengeluarkan emas dalam jumlah besar dan janji menggiurkan: siapa pun yang bisa membunuh Di Qing, atau menyingkirkan Fan Zhongyan, kelak bila ia benar-benar duduk sebagai raja, akan diangkat menjadi “Prajurit Pelindung Negara” dan dianugerahi jabatan “Panglima Besar Seluruh Pasukan Darat dan Laut”, dan menerima segala kemuliaan dan kekayaan yang mereka inginkan.

Dengan iming-iming itu, pemberontak memancing Geng Kekuasaan (Quanli Bang / Perkumpulan Kekuasaan) dan orang-orang dari kelompok Zhu Datianwang, bahkan mengundang tokoh dunia persilatan darat dan air untuk membantu.

“Perkumpulan Kekuasaan”, yang dipimpin Li Chen Zhou dan Zhao Shi Rong, sebenarnya tidak mau berhadapan langsung dengan tentara Di Qing, tapi mereka diam-diam mengutus ahli-ahli tingkat tinggi untuk menculik ibunda Di Qing. Tujuannya agar Di Qing terpaksa menahan diri, ragu dalam bertindak, terganggu, bahkan kalau bisa terpaksa mundur dari jabatan militer. Nantinya jika yang menggantikannya tersisa hanya pejabat pengecut atau jenderal lemah, tentu tak perlu ditakuti.

Namun rencana mereka gagal, karena para pendekar dari jalur kebenaran lebih dulu melindungi ibunda Di Qing, lalu mengantarnya ke Perguruan Pedang Huanhua, sehingga tipuan musuh tak berhasil.

Inilah sebabnya mengapa ibunda Di Qing untuk sementara tinggal di Perguruan Pedang Huanhua.

Nyonya Di melanjutkan:
“Qing’er (Di Qing) sedang bertempur di Guangnan menumpas pemberontak. Nong Zhigao ingin menangkap aku dan menantuku, agar hati Qing’er terguncang. Aku bersama menantu kemudian berpisah jalan: aku pergi ke Chengdu, ia ke Kaifeng. Aku sudah setua ini, mati pun tak apa, hanya saja aku takut mengganggu semangat bertempur Qing’er. Maka apa pun yang terjadi, aku harus lari dari tangan musuh kejam itu.”

Xiao Xilou menghela napas:
“Jenderal Di berjuang demi negara, hingga menyusahkan Nyonya Besar. Kami walau bukan prajurit, tapi wajib melindungi Nyonya. Namun telah sering membuat Anda terkejut karena serangan musuh, kami sungguh merasa malu.”

Nyonya Di menjawab:
“Pendekar Xiao terlalu sopan. Justru karena aku singgah di sini, Perkumpulan Kekuasaan menyerang habis-habisan, rakyat jadi menderita. Itu semua dosaku.”

Xiao Xilou berkata tegas:
“Jenderal Di gagah berani di medan perang, dibanding beliau, aku tak ada apa-apanya. Menjaga Nyonya adalah kewajiban kami, selama aku masih bernapas, aku pasti melindungi Anda sampai mati. Hanya saja… musuh kali ini bukan orang biasa. Perkumpulan Kekuasaan bukan hanya bersekutu dengan bangsa Xia Barat, tapi juga diam-diam berhubungan dengan menteri jahat Lü Yijian, kekuatannya sangat besar.”

Nyonya besar Di menghela napas:
“Benar. Di sepanjang jalan ini, aku berkali-kali dihadang. Sayang aku tak punya keahlian bela diri, kalau tidak, ingin rasanya aku bunuh beberapa pengkhianat untuk menghormati para pahlawan yang gugur… Sepanjang perjalanan, justru Zhang Ma yang selalu melindungiku dengan erat.”

Xiao Xilou tiba-tiba berkata dengan kaget:
“Lapor pada Nyonya… Zhang… Zhang Ma baru saja dibunuh orang…”

Nyonya tua Di hanya berkata: “Oh.” Lalu Xiao Xilou dan yang lain menyingkir ke samping. Saat itu ia melihat tubuh Zhang Linyi (yang dikenal sebagai Zhang Ma) yang telah mati berdiri tegak.

Nyonya tua Di sempat terhuyung, buru-buru ditopang Nyonya Xiao. Ia berkata:
“Tadi aku di dalam kamar, mendengar suara pertarungan, tapi karena harus menjaga Nyonya Besar, aku tak berani keluar. Tak kusangka…”

Mata nyonya tua Di berkaca-kaca, tapi ia menahan agar air mata tak jatuh. Setelah lama, ia berkata:
“Zhang Ma bukan perempuan, aku tahu. Ia adalah saudara angkat Di Qing, yang sengaja menyamar untuk melindungiku. Ia meminta aku memanggilnya ‘Zhang Ma’.”

“Aku ini sudah tua, hidup mati tak penting. Tapi kalau aku mati, Qing’er pasti merasa telah menyeret aku hingga kehilangan nyawa. Itu bisa mengganggu semangat juangnya.”

“Pernah juga utusan musuh Xia Barat datang, mengabarkan Qing’er sudah mati. Aku dan menantuku tak meneteskan air mata sedikit pun. Bukan karena tak takut, melainkan karena tak percaya. Selama negeri ini belum dipulihkan, Di Qing tak akan mati, dan tak boleh mati!”

“Kalau aku jatuh ke tangan musuh, aku tak akan membiarkan mereka menyeretku hidup-hidup ke medan perang untuk jadi alat memaksa Song menyerah. Aku lebih baik mati, daripada mengacaukan hati Qing’er dan dijadikan sandera!”

Kata-kata nyonya tua Di membuat Xiao Qiushui bergelora darahnya, ia berseru:
“Nyonya Besar, kami takkan pernah membiarkan Anda jatuh ke tangan musuh!”

Nyonya tua Di menatap Xiao Qiushui, matanya tegas sekaligus penuh kasih:
“Anak baik! Saat ini Qing’er mungkin berada di Gerbang Kunlun. Andai tidak, kau seharusnya bisa bertemu dengannya!”

Kata-kata itu bagai petir menyambar dada Xiao Qiushui, bagaikan naga menggelegar di langit!

Bertemu Di Qing!
Itu seketika menjadi cita-cita seumur hidup Xiao Qiushui!

-- “Mendahulukan kekhawatiran negeri sebelum kekhawatiran pribadi.”

catatan: Di Qing (1008–1057) adalah seorang jenderal Dinasti Song, yang dikenal karena keberanian dan prestasinya, terutama pada masa pemerintahan Kaisar Renzong. Ia merupakan tokoh penting di awal periode Song dan bertugas dalam berbagai kampanye militer, tetapi ketenarannya tidak begitu luas seperti Yu Fei.

Pada masa itu, seluruh istana dilanda semacam “fobia tentara”. Penyebabnya: Dinasti Song berdiri lewat kudeta Zhao Kuangyin, dia mengenakan jubah kuning, naik takhta dengan merebut kekuasaan dari permaisuri janda. Maka ia dan para penerusnya selalu takut tentara akan kembali mengulang sejarah, sehingga mereka menyingkirkan militer dari urusan negara. Setiap urusan perbatasan, selalu diserahkan ke pejabat sipil. Akibatnya, militer lemah, kesiapan perang hancur.

Namun begitu perang sungguhan pecah, mana mungkin urusan medan perang bisa ditangani pejabat sipil? Perang di medan laga bukanlah hal yang bisa ditangani dengan pena dan kertas.

Justru saat itulah, Di Qing tampil. Berangkat hanya sebagai serdadu rendahan, ia mengukir prestasi gemilang. Saat bertempur, ia mengenakan topeng tembaga, rambut terurai, menunggang kuda gagah, membawa tombak panjang, selalu di barisan depan. Musuh yang menghadang pasti binasa. Seluruh tubuhnya penuh luka, tapi ia tak pernah menyombongkan diri.

Meski sudah mengukir segudang jasa, ia tetap rendah hati. Di wajahnya masih ada tato hitam (面涅) bekas masa awal jadi serdadu. Kaisar Song pernah memerintahkan ia menghapusnya dengan obat, tapi Di Qing menolak, sambil menunjuk wajahnya:

“Baginda mengangkat hamba karena jasa di medan perang, tanpa peduli asal-usul keluarga. Semua yang hamba capai hari ini, karena tato ini telah menjadi tanda semangat dan tekad bagi diri hamba. Hamba ingin tetap menyimpannya, agar selalu menjadi teladan dan dorongan bagi para prajurit. Hamba tak berani melanggar titah.”

Dengan itu ia menyatakan: dirinya akan selamanya setia di ketentaraan, tanpa niat lain.

Berkat bimbingan Fan Zhongyan, Di Qing mempelajari kitab strategi militer dengan tekun hingga benar-benar menguasai pokok-pokoknya. Saat bertempur melawan pasukan Xixia yang menyerang Weizhou, jumlah pasukan yang dibawa Di Qing jauh lebih sedikit, kekuatan tidak seimbang, berada dalam posisi terdesak. Namun ia tetap memenangkan pertempuran dengan taktik.

Ia tidak gentar meski jumlah musuh jauh lebih banyak. Ia menggunakan strategi tak terduga. Pertama, ia memerintahkan seluruh pasukannya meninggalkan busur panah dan hanya membawa senjata pendek. Ia juga diam-diam mengubah kode sinyal genderang dan gong. Ia perintahkan: begitu mendengar gong ditabuh, pasukan berhenti maju; mendengar lagi, pura-pura mundur. Baru setelah suara gong berhenti, barulah mereka menyerbu maju.

Ketika kedua pasukan berhadapan, tentara Xixia melihat pasukan Song justru berhenti bergerak saat gong berbunyi, bahkan mundur selangkah. Mereka menyangka pasukan Song ketakutan, jadi lengah dan jumawa. Saat itulah, di tengah heningnya gong, pasukan Song tiba-tiba menyerbu dengan teriakan perang, menyerang dengan penuh keberanian. Pasukan Xixia langsung kacau, barisan porak-poranda, saling tabrak dan terinjak, korban tak terhitung.

Dengan pasukan kecil menghadapi pasukan besar, Di Qing berhasil mencetak kemenangan besar lewat taktik. Namun meski berprestasi gemilang, ia tidak sombong, justru mengakui semua jasa adalah milik para perwira dan prajurit bawahannya.

Berbagai jasa besar inilah yang membuat Xiao Qiushui begitu mengagumi Di Qing. Ia bertekad, suatu hari pasti bisa berjumpa dengan sang Jenderal Agung, menunggang bersamanya di tengah medan perang, tertawa lepas di atas pasir darah demi melindungi negeri dan rakyat.

“Bersenang-senang setelah rakyat bersenang-senang.”

Namun, kenapa pihak lawan hanya membunuh Zhang Linyi, tetapi tidak menerobos masuk ke Zhenmei Pavilion untuk menculik Nyonya tua Di?
Apakah karena tidak sempat? Atau ada alasan lain…?

Xiao Xilou juga tak memahaminya. Karena khawatir Nyonya Tua sedih, ia segera meminta Nyonya Xiao mengantar beliau kembali ke pavilion untuk beristirahat.

“Mohon Nyonya tidak khawatir. Urusan pemakaman senior Zhang, kami akan mengurusnya dengan baik.”

Setelah Nyonya Tua masuk bersama Nyonya Xiao, yang lain saling pandang, tak tahu harus berkata apa.

Tiba-tiba Zhu Xiawu berkata: “Sudah larut.”
Xiao Xilou menjawab: “Semuanya tampak tenang.”
Zhu Xiawu berkata: “Dalam pertempuran banjir api, Geng Kekuasaan sudah kehilangan kekuatan utama.”
Xiao Xilou mengangguk: “Tampaknya begitu.”
Zhu Xiawu menambahkan: “Sekarang ada satu hal penting yang harus kita lakukan.”
Xiao Xilou tersenyum: “Tidur?”
Zhu Xiawu pun menegaskan dengan mantap: “Tidur!”

Tidur.
Dalam momen menjelang pertempuran menentukan, seorang ahli sejati bukan hanya tahu kapan harus tegang, tetapi juga tahu kapan harus melepaskan.

Cukup makanan dan tidur bisa menjadi faktor penentu dalam pertarungan hidup mati. Maka tidur pun adalah urusan penting.

Meskipun tubuh dan semangat para pendekar ini sanggup bertahan lima hari lima malam tanpa tidur, mereka tidak akan membuang-buang tenaga sedikit pun sebelum benar-benar dibutuhkan.

Zhu Xiawu berkata: “Antara kita berdua, hanya satu yang boleh tidur.”

Ia dan Xiao Xilou adalah dua pendekar terkuat di kediaman Xiao. Perkumpulan Kekuasaan bisa menyerang kapan saja, di Jianlu (paviliun pedang) juga ada pembunuh misterius bersembunyi. Karena itu, hanya satu dari mereka yang bisa tidur sementara yang lain berjaga.

Xiao Xilou berkata: “Kau tidur dulu, aku nanti.”
Zhu Xiawu menjawab: “Baik. Saat jam ketiga, aku bangun, kau ganti tidur.”
Xiao Xilou mengangguk: “Sepakat. Jam ketiga aku bangunkan kau.”

Lalu ia menatap jenazah Zhang Linyi yang masih berdiri tegak, menghela napas panjang:
“senior Zhang menguasai pedang yin-yang, pedang dan langit jadi satu. Kang Chuyu pedangnya bagaikan mentari terbit. Sekte Pedang Hainan terkenal pedangnya tajam dan aneh, tiada tandingannya. Kong Yangqin pedangnya secepat kilat, bagai salju. Xin Huqiu pedangnya penuh risiko, terkenal karena jalur berbahaya. Sayang sekali, mereka semua ada yang terbunuh lewat pembunuhan licik, ada yang diracuni, ada pula yang berkhianat pada negeri. Kalau saja mereka semua bisa bersatu, alangkah mudahnya merebut kembali tanah air yang hilang!”

Angin malam bertiup lembut, bintang bertaburan. Tiba-tiba Xiao Qiushui hatinya bergetar. Ia sendiri tak tahu mengapa tiba-tiba merasa terguncang. Seolah ada sebuah pikiran, sebuah petunjuk, yang menyentuh nadinya, tapi ketika hendak digenggam, sudah terlupa.

Bintang jatuh bagaikan hujan, malam larut senyap. Saat ia hendak mengingat kembali, sudah terlambat.

Xiao Xilou meminta Tang Fang dan Nyonya Xiao tidur di pavilion Zhenmei demi melindungi Nyonya Tua.

Senjata rahasia Tang Fang bukan hanya bisa membunuh musuh, tetapi juga menakuti musuh. Membunuh memang baik, tapi kalau musuh bahkan tak berani mendekat, itu lebih baik lagi.

Sementara itu, Xiao Qiushui, Deng Yuhan, dan Zuo Qiu Chaoran juga tidur secara bergiliran. Mereka tidur di Menara Tingyu, pusat kediaman Jianlu (paviliun pedang), juga garis pertahanan pertama.

Xiao Xilou selalu percaya: garis depan adalah garis terakhir. Saat menghadapi musuh, setiap jengkal tanah berarti setetes darah. Tidak boleh mundur setengah langkah pun.

Xiao Qiushui mendapat giliran tidur pertama. Tapi ia tidak bisa tidur.

Angin malam menusuk.

Aku harus membalas dendammu, Tang Rou.
Aku harus membalas dendammu, pendekar Tang Da.

Cahaya bulan bening bagai air. Xiao Qiushui gelisah, meski hatinya diliputi kesedihan, namun entah mengapa, dari menara jauh terdengar alunan suling, merdu dan menghibur. Ia jadi teringat pada sebuah lagu rakyat kuno, liriknya begini:

“Si kekasih tinggal di desa sana, si gadis di desa sini; gunung tinggi air dalam, jalan panjang tak bertepi. Bila suatu hari gunung dan sungai berubah, semoga dua desa jadi satu.”

Xiao Qiushui tersenyum getir: yang bernyanyi begitu benar-benar penuh harapan sepihak. Bahkan yang menulis lirik pun sepihak. Ia mengulang lagu itu dalam hati:

“Bila suatu hari gunung dan sungai berubah, semoga dua desa jadi satu.”

Pikirannya terasa hangat, hatinya ikut tersenyum. Dengan perasaan itu, akhirnya ia terlelap.

Malam dingin bagai air.
Semalaman tenang tanpa kejadian.

No Comment
Add Comment
comment url