To Liong To Bab 7: Gadis Jelita yang Aneh

VII GADIS JELITA YANG ANEH 

Kejadian itu begitu mendadak, Wan-im dan Wan-giap terkejut dan gusar, perasaannya bercampur aduk. Begitu juga .dengan Thio-Jui-san, ia tidak menyangka akan terjadi hal itu. Ketika menoleh, tiba-tiba ia melihat semak-semak pohon di belakangnya bergoyang-goyang. "Jangan lari!” bentaknya sambil melompat kesana. Meskipun sangat berbahaya tapi keadaan mendesak. Jui-san ingin menangkap pembunuh yang diam-diam memfitnahnya. Jika tidak, ia sendiri susah menghindar dari dakwaan.
Ketika tubuhnya melayang di udara, dari belakang angin keras menyambar. Dua tongkat pendeta itu telah menghantamnya dari kiri dan kanan. Tongkat yang dilontarkan Wan-im dari sebelah kiri jauh lebih cekatan
daripada serangan Wan-giap. Dalam waktu bersamaan kedua pendeta itu membentak. "Bangsat, jangan coba-coba lari!"
Kaitan dan pensil Thio Jui-san langsung melesat dan menghunjam ke bawah. Dengan tenaga pinjaman itu tubuhnya bisa melesat ke atas tembok. Ia melihat pucuk pohon di sana masih bergoyang-goyang namun orang yang bersembunyi itu sudah lenyap.
Sementara itu Wan-giap masih marah-marah. Tongkatnya diputar-putarkan ke atas hendak menerjang ke atas tembok dan beradu dengan Jui-san. Thio Jui-san menjadi sengit lalu membentak, "Pembunuh sesungguhnya harus cepat dikejar, mengapa kalian merintangiku?"
"Kau.... kau membunuh orang di depan mataku tapi masih mencoba menyangkal?" sahut Wan-im dengan napas tersengal.
Jui-san tetap waspada sehingga Wan-giap tidak mampu naik ke atas tembok. Sedangkan Wan-im masih melanjutkan perkataannya, "Thio-ngohiap, kami tidak menginginkan nyawamu, cukup letakkan saja senjatamu dan ikut kami pergi ke Siau-lim-si."

"Kalian berdua telah menghalangiku hingga pembunuh yang sesungguhnya melarikan diri, sekarang bicara apalagi!" sahut Jui-san agak gusar. " Hm, untuk apa aku ikut kalian ke Siau-lim-si?"
"Untuk mendengar keputusan pendeta ketua kami," kata Wan-im. "Berturut-turut kamu telah membunuh tiga orang perguruan kami, karena ini menyangkut persoalan besar maka aku tidak berani mengambil keputusan sendiri."
"Hm, percuma saja kamu jadi salah satu anggota 'Siau-lim-cap-peh-lohan," ejek Juisan, "kamu tidak tahu jika pembunuhnya telah melarikan diri."
"Ai, ai, kamu kan yang membunuh orangorang itu, jangan harap bisa lari!" sahut Wanim..
Mendengar orang terus-menerus menuduh dirinya sebagai pembunuh, hati Thio Jui-san semakin gusar. Ia menangkis serangan Wangiap yang semakin gencar sambil berdebat. "Hm, jika kedua Taysu mampu, cobalah lawan aku!" ejek Jui-san kemudian. Tiba-tiba Wan-giap menahan tongkatnya tanah dan tubuhnya melompat ke atas. Jui-san pun mengimbanginya dengan menendang, Ginkangnya tentu saja lebih tinggi daripada Wan-giap. Dari atas, secepatnya ia menikam ke bawah. Wan-giap berusaha menangkis dengan memalangkan tongkatnya. Namun kaitan Jui-san sudah memutar dan mengait pundak Wan-giap sehingga darah mengucur. Karena kesakitan, pendeta itu berteriak dan terbanting ke bawah. Serangan Thio Jui-san itu tergolong ringan. Jika tidak, sedikit saja ujung kaitannya menggeser ke samping pasti akan mengait leher Wan-giap. Apabila hal itu yang terjadi, pastilah jiwa Wan-giap bisa melayang seketika.
"Lukamu berat atau tidak, Sute?" seru Wanim khawatir.
"Tidak apa-apa!" sahut Wan-giap penasaran. "Hai, mengapa kamu diam saja, tunggu apalagi?”
Sesudah berdehem sekali, barulah Wan-im memutar tongkatnya untuk menyerang. Wangiap bertabiat ceroboh, tanpa membalut luka nya, ia kembali memutar tongkatnya ikut mengeroyok.
Tenaga kedua pendeta Hwesio itu sangat besar. Senjata yang dipakainya pun berat. Jika mereka sampai bisa melompat ke atas tembok, dengan satu lawan dua rasanya tidak mudah untuk menghalaunya. Karena itu Thio Jui-san bertahan dari atas menghadapi lawan di bawah. Sampai beberapa waktu kedua pendeta itu tidak mampu naik ke atas. Sedangkan pendeta lainnya dari angkatan bernama "Hui” ilmu silatnya masih rendah. Meskipun kedua Supek mereka tidak bisa merobohkan lawan, tapi mereka tidak berani maju membantu.
"Yang paling perlu sekarang adalah harus mencari kejelasan siapa pembunuhnya, untuk apa terlibat perkelahian dengan mereka?" diam-diam Thio Jui-san menimbang-nimbang.
Ia segera menangkis serangan senjata lawan. Setelah itu ia berniat melompat dan pergi. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, dan Jui-san merasa tempat dimana ia berdiri tergoncang. Ternyata tembok di bawahnya telah didorong hingga roboh oleh seseorang. Salah seorang Hwesio bertubuh kekar telah datang dan langsung menerjang deretan tembok itu dan hendak merebut senjata Jui-san.
Karena gelap, Jui-san tidak dapat melihat muka orang itu. Tapi melihat sepuluh jari yang dijulurkan bagai kaitan, mencakar dan merebut senjata, pasti itu adalah "Hou-jiau-kang” atau ilmu cakar harimau yang sangat terkenal dari Siau-lim-pay.
"Sim-Suheng, awas jangan sampai bangsat ini kabur!" seru Wan-giap. Ternyata yang datang itu adalah Wan-sim, juga salah satu di antara ‘Siau-lim-cap-peh-lohan'.
Sejak Thio Jui-san berkelana di Kangouw jarang menemukan lawan tanding. Bulan yang lalu ia baru mempelajari "Ih-thian-to-liongkang", tentu saja ilmu silatnya bertambah tinggi. Ketika pendeta-pendeta Siau-lim itu mengeroyoknya dengan hebat, timbullah rasa jagoannya. Ia ingin mencoba-coba ilmu silat yang baru saja dipelajarinya itu. Ia menyelipkan Hou-thau-kau dan Boan-koan-pit nya ke pinggang lalu berteriak: "Ayolah maju, sekali pun kalian Cap-peh-lohan dari Siau-lim-si maju semua, aku Thio Jui-san tidak takut!"
Saat itu tangan Wan-sim sedang mencengkeram, tapi tangan kanan Jui-san mendahului diulurkan ke depan dan menarik kain jubah pendeta itu hingga sobek. Ketika cengkeraman Wan-sim baru menyentuh pundaknya, Jui-san mendahuluinya dengan mengangkat kaki dan menendang lutut Wan-sim.
Ternyata Wan-sim sangat kuat dan terlatih. Meskipun lututnya ditendang Jui-san, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja dan tidak jatuh. Sebaliknya ia menjadi marah sehingga jari kanannya pun ikut mencakar. Bersamaan dengan itu kedua tongkat Wan-im dan Wangiap juga ikut menyerang. Yang satu menyodok pinggang Thio Jui-san, dan yang satunya lagi memukul kepalanya.
Melihat ketiga Hwesio itu makin gencar menyerang, diam-diam Jui-san berpikir: "Belakangan ini nama Bu-tong-pay dan Siau-lim-si sama-sama termasyurnya, tapi siapa sebenarnya yang lebih unggul belum pernah dicoba, kebetulan hari ini aku bisa mencoba-coba kepandaian dan ilmu pendeta Siau-lim-si ini." Ia segera menggerakkan kedua tangannya dan berjalan kesana kemari di bawah pukulan dua tongkat dan sepasang 'cakar harimau'. Meskipun satu lawan tiga, ia meladeninya dengan gesit dan cekatan, lambat laun justru Juisan berada di atas angin.
Selama ini ilmu silat Siau-lim dan Bu-tongpay dikenal mempunyai keunggulan sendirisendiri. Bu-tong-pay punya seorang tokoh bernama Thio Sam-hong yang sulit dicari bandingannya. Sedangkan Siau-lim-si merupakan ilmu silat yang sudah diturunkan ribuan tahun dan tidak bisa dianggap enteng.
Saat itu di Bu-tong-pay ilmu silat Thio Juisan sudah termasuk kelas tinggi. Sebaliknya, Wan-im, Wan-sim, dan Wan-giap meski masuk "Cap-peh-lohan" tapi kepandaian mereka di Siau-lim-si masih kelas menengah saja. Karena itulah makin lama Thio Jui-san semakin tangkas.
Tiba-tiba tangan kanannya dapat menangkap tongkat Wan-giap lalu segera dipukulkan ke samping dan mengenai tongkat Wan-im, pukulan itu menimbulkan suara keras memekakkan telinga. Tenaga Wan-im dan Wangiap sangat kuat, ditambah pula tenaga dorongan Thio Jui-san membuat tangan kedua pendeta itu menjadi pegal dan lecet. Lama kelamaan tongkat merekapun menjadi bengkok.
Melihat hal itu Wan-sim mencoba untuk menolong, tapi dengan gesit Thio Jui-san mengulurkan sebelah kakinya untuk menjegal. Kedua tangannya dipukulkan ke punggung Wan-sim sambil mendorong ke depan, tentu saja Wan-sim terjatuh seketika.
"Hm, hendak menangkap dan membawaku ke Siau-lim-si, mungkin harus belajar lagi selama sepuluh tahun," ejek Thio Jui-san.
"Keparat, jangan lari!” teriak Wan-sim tibatiba sambil melompat bangun. Wan-im dan Wan-giap pun ikut memburu.
"Ketiga pendeta itu menghalangiku saja, apakah aku harus membinasakan mereka?" demikian pikir Jui-san sambil tersenyum geli meski hatinya dongkol. Ia segera mengeluarkan Ginkangnya dan berlari pergi.
Wan-sim dan Wan-giap masih terus memburu meskipun Ginkang mereka tidak bisa memadai Thio Jui-san. Merekapun berteriakteriak: "Pembunuh, pembunuh, tangkap pembunuh! Bangsat, jangan lari!" Begitulah, mereka terus mengejar menyusur tepi telaga.
Diam-diam Jui-san merasa geli, apakah kalian mampu menangkapku? Demikian pikirnya. Tiba-tiba ia mendengar jeritan Wan-sim dan Wan-giap bersamaan, sedangkan Wan-im pun mengerang, rupanya mereka kesakitan karena tubuhnya terluka.
Jui-san terkejut, cepat-cepat ia menengok ke belakang. Ia melihat ketiga Hwesio itu semua menutup sebelah matanya seperti habis terkena senjata rahasia. Benar juga, ia mendengar Wan-giap sedang mencaci-maki: "Bangsat she Thio, jika kamu berani, ayo butakan sekalian mataku yang kiri ini!"
Jui-san semakin tercengang, ia heran apakah mata kanan pendeta itu telah dibuat buta orang? Siapakah sebenanrnya yang diamdiam membentunya? Tiba-tiba pikirannya tergerak, ia berseru: "Chit-te, Chit-te, dimana kau?"
Rupanya, diantara Bu-tong-chit-hiap, Bok seng-kok yang bungsuu' itu terkenal menggunakan am-gi atau senjata gelap, seperti piau, batu,baja, panah kecil, paku, piau mata uang, belalang semua dikuasainya. Itulah sebabnya Thio Jui-san mengira Bok Seng-kok yang datang.
Tapi meskipun berulang-ulang manggil, tetap tidak ada jawaban. Cepat-cepat Jui-san menyibak-nyibak pohon Liu di tepi telaga, tapi tetap tidak menemukan apa-apa, bayangan orangpun tidak.
Sementara itu Wan-giap yang sebelah matanya buta semakin marah. Tanpa menghiraukan nyawanya, ia sendirian hendak maju bertempur mati-matian melawan Thio Jui-san. Sebaliknya Wan-im cukup bijaksana, meskipun mereka tidak terluka, tapi mereka bertiga bukanlah tandingan Thio Jui-san. Apalagi mata mereka yang terluka itu terasa pegal, mungkin am-gi itu berbisa. Wan-im lalu menarik Wan-giap, katanya: "Sute, jika mau balas dendam mengapa harus terburu-buru? Meskipun kita punya kemauan, tapi apakah Lohongtiang (ketua) dan kedua Supek kita mau menerima?"
Melihat ketiga pendeta itu tidak mengejarnya lagi, Thio Jui-san berpikir: "Sepertinya ilmu meringankan tubuhku sudah tinggi, tapi orang yang menyembunyikan diri itu ternyata lebih pandai dariku, lalu siapakah dia?”
Jui-san tidak berani berlama-lama di situ, secepatnya ia hendak kembali ke penginapan. Belum sempat ia melangkahkan kaki, tiba-tiba ia melihat rumput di tepi telaga itu bergerakgerak. Waktu itu tidak ada angin, mengapa
No Comment
Add Comment
comment url