To Liong To Bab 7: Gadis Jelita yang Aneh

VII GADIS JELITA YANG ANEH 

Kejadian itu begitu mendadak, Wan-im dan Wan-giap terkejut dan gusar, perasaannya bercampur aduk. Begitu juga .dengan Thio-Jui-san, ia tidak menyangka akan terjadi hal itu. Ketika menoleh, tiba-tiba ia melihat semak-semak pohon di belakangnya bergoyang-goyang. "Jangan lari!” bentaknya sambil melompat kesana. Meskipun sangat berbahaya tapi keadaan mendesak. Jui-san ingin menangkap pembunuh yang diam-diam memfitnahnya. Jika tidak, ia sendiri susah menghindar dari dakwaan.
 
Ketika tubuhnya melayang di udara, dari belakang angin keras menyambar. Dua tongkat pendeta itu telah menghantamnya dari kiri dan kanan. Tongkat yang dilontarkan Wan-im dari sebelah kiri jauh lebih cekatan daripada serangan Wan-giap. Dalam waktu bersamaan kedua pendeta itu membentak. "Bangsat, jangan coba-coba lari!"
 
Kaitan dan pensil Thio Jui-san langsung melesat dan menghunjam ke bawah. Dengan tenaga pinjaman itu tubuhnya bisa melesat ke atas tembok. Ia melihat pucuk pohon di sana masih bergoyang-goyang namun orang yang bersembunyi itu sudah lenyap.
 
Sementara itu Wan-giap masih marah-marah. Tongkatnya diputar-putarkan ke atas hendak menerjang ke atas tembok dan beradu dengan Jui-san. Thio Jui-san menjadi sengit lalu membentak, "Pembunuh sesungguhnya harus cepat dikejar, mengapa kalian merintangiku?"
 
"Kau.... kau membunuh orang di depan mataku tapi masih mencoba menyangkal?" sahut Wan-im dengan napas tersengal.
 
Jui-san tetap waspada sehingga Wan-giap tidak mampu naik ke atas tembok. Sedangkan Wan-im masih melanjutkan perkataannya, "Thio-ngohiap, kami tidak menginginkan nyawamu, cukup letakkan saja senjatamu dan ikut kami pergi ke Siau-lim-si."

"Kalian berdua telah menghalangiku hingga pembunuh yang sesungguhnya melarikan diri, sekarang bicara apalagi!" sahut Jui-san agak gusar. " Hm, untuk apa aku ikut kalian ke Siau-lim-si?"
"Untuk mendengar keputusan pendeta ketua kami," kata Wan-im. "Berturut-turut kamu telah membunuh tiga orang perguruan kami, karena ini menyangkut persoalan besar maka aku tidak berani mengambil keputusan sendiri."
 
"Hm, percuma saja kamu jadi salah satu anggota 'Siau-lim-cap-peh-lohan," ejek Juisan, "kamu tidak tahu jika pembunuhnya telah melarikan diri."
 
"Ai, ai, kamu kan yang membunuh orangorang itu, jangan harap bisa lari!" sahut Wanim..
 
Mendengar orang terus-menerus menuduh dirinya sebagai pembunuh, hati Thio Jui-san semakin gusar. Ia menangkis serangan Wangiap yang semakin gencar sambil berdebat. "Hm, jika kedua Taysu mampu, cobalah lawan aku!" ejek Jui-san kemudian. Tiba-tiba Wan-giap menahan tongkatnya tanah dan tubuhnya melompat ke atas. Jui-san pun mengimbanginya dengan menendang, Ginkangnya tentu saja lebih tinggi daripada Wan-giap. Dari atas, secepatnya ia menikam ke bawah. Wan-giap berusaha menangkis dengan memalangkan tongkatnya. Namun kaitan Jui-san sudah memutar dan mengait pundak Wan-giap sehingga darah mengucur. Karena kesakitan, pendeta itu berteriak dan terbanting ke bawah. Serangan Thio Jui-san itu tergolong ringan. Jika tidak, sedikit saja ujung kaitannya menggeser ke samping pasti akan mengait leher Wan-giap. Apabila hal itu yang terjadi, pastilah jiwa Wan-giap bisa melayang seketika.
 
"Lukamu berat atau tidak, Sute?" seru Wanim khawatir.
"Tidak apa-apa!" sahut Wan-giap penasaran. "Hai, mengapa kamu diam saja, tunggu apalagi?”
Sesudah berdehem sekali, barulah Wan-im memutar tongkatnya untuk menyerang. Wangiap bertabiat ceroboh, tanpa membalut luka nya, ia kembali memutar tongkatnya ikut mengeroyok.
 
Tenaga kedua pendeta Hwesio itu sangat besar. Senjata yang dipakainya pun berat. Jika mereka sampai bisa melompat ke atas tembok, dengan satu lawan dua rasanya tidak mudah untuk menghalaunya. Karena itu Thio Jui-san bertahan dari atas menghadapi lawan di bawah. Sampai beberapa waktu kedua pendeta itu tidak mampu naik ke atas. Sedangkan pendeta lainnya dari angkatan bernama "Hui” ilmu silatnya masih rendah. Meskipun kedua Supek mereka tidak bisa merobohkan lawan, tapi mereka tidak berani maju membantu.
 
"Yang paling perlu sekarang adalah harus mencari kejelasan siapa pembunuhnya, untuk apa terlibat perkelahian dengan mereka?" diam-diam Thio Jui-san menimbang-nimbang.
 
Ia segera menangkis serangan senjata lawan. Setelah itu ia berniat melompat dan pergi. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, dan Jui-san merasa tempat dimana ia berdiri tergoncang. Ternyata tembok di bawahnya telah didorong hingga roboh oleh seseorang. Salah seorang Hwesio bertubuh kekar telah datang dan langsung menerjang deretan tembok itu dan hendak merebut senjata Jui-san.
 
Karena gelap, Jui-san tidak dapat melihat muka orang itu. Tapi melihat sepuluh jari yang dijulurkan bagai kaitan, mencakar dan merebut senjata, pasti itu adalah "Hou-jiau-kang” atau ilmu cakar harimau yang sangat terkenal dari Siau-lim-pay.
 
"Sim-Suheng, awas jangan sampai bangsat ini kabur!" seru Wan-giap. Ternyata yang datang itu adalah Wan-sim, juga salah satu di antara ‘Siau-lim-cap-peh-lohan'.
Sejak Thio Jui-san berkelana di Kangouw jarang menemukan lawan tanding. Bulan yang lalu ia baru mempelajari "Ih-thian-to-liongkang", tentu saja ilmu silatnya bertambah tinggi. Ketika pendeta-pendeta Siau-lim itu mengeroyoknya dengan hebat, timbullah rasa jagoannya. Ia ingin mencoba-coba ilmu silat yang baru saja dipelajarinya itu. Ia menyelipkan Hou-thau-kau dan Boan-koan-pit nya ke pinggang lalu berteriak: "Ayolah maju, sekali pun kalian Cap-peh-lohan dari Siau-lim-si maju semua, aku Thio Jui-san tidak takut!"
 
Saat itu tangan Wan-sim sedang mencengkeram, tapi tangan kanan Jui-san mendahului diulurkan ke depan dan menarik kain jubah pendeta itu hingga sobek. Ketika cengkeraman Wan-sim baru menyentuh pundaknya, Jui-san mendahuluinya dengan mengangkat kaki dan menendang lutut Wan-sim.
Ternyata Wan-sim sangat kuat dan terlatih. Meskipun lututnya ditendang Jui-san, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja dan tidak jatuh. Sebaliknya ia menjadi marah sehingga jari kanannya pun ikut mencakar. Bersamaan dengan itu kedua tongkat Wan-im dan Wangiap juga ikut menyerang. Yang satu menyodok pinggang Thio Jui-san, dan yang satunya lagi memukul kepalanya.
 
Melihat ketiga Hwesio itu makin gencar menyerang, diam-diam Jui-san berpikir: "Belakangan ini nama Bu-tong-pay dan Siau-lim-si sama-sama termasyurnya, tapi siapa sebenarnya yang lebih unggul belum pernah dicoba, kebetulan hari ini aku bisa mencoba-coba kepandaian dan ilmu pendeta Siau-lim-si ini." Ia segera menggerakkan kedua tangannya dan berjalan kesana kemari di bawah pukulan dua tongkat dan sepasang 'cakar harimau'. Meskipun satu lawan tiga, ia meladeninya dengan gesit dan cekatan, lambat laun justru Juisan berada di atas angin.
 
Selama ini ilmu silat Siau-lim dan Bu-tongpay dikenal mempunyai keunggulan sendirisendiri. Bu-tong-pay punya seorang tokoh bernama Thio Sam-hong yang sulit dicari bandingannya. Sedangkan Siau-lim-si merupakan ilmu silat yang sudah diturunkan ribuan tahun dan tidak bisa dianggap enteng.
Saat itu di Bu-tong-pay ilmu silat Thio Juisan sudah termasuk kelas tinggi. Sebaliknya, Wan-im, Wan-sim, dan Wan-giap meski masuk "Cap-peh-lohan" tapi kepandaian mereka di Siau-lim-si masih kelas menengah saja. Karena itulah makin lama Thio Jui-san semakin tangkas.
 
Tiba-tiba tangan kanannya dapat menangkap tongkat Wan-giap lalu segera dipukulkan ke samping dan mengenai tongkat Wan-im, pukulan itu menimbulkan suara keras memekakkan telinga. Tenaga Wan-im dan Wangiap sangat kuat, ditambah pula tenaga dorongan Thio Jui-san membuat tangan kedua pendeta itu menjadi pegal dan lecet. Lama kelamaan tongkat merekapun menjadi bengkok.
Melihat hal itu Wan-sim mencoba untuk menolong, tapi dengan gesit Thio Jui-san mengulurkan sebelah kakinya untuk menjegal. Kedua tangannya dipukulkan ke punggung Wan-sim sambil mendorong ke depan, tentu saja Wan-sim terjatuh seketika.
 
"Hm, hendak menangkap dan membawaku ke Siau-lim-si, mungkin harus belajar lagi selama sepuluh tahun," ejek Thio Jui-san.
"Keparat, jangan lari!” teriak Wan-sim tibatiba sambil melompat bangun. Wan-im dan Wan-giap pun ikut memburu.
"Ketiga pendeta itu menghalangiku saja, apakah aku harus membinasakan mereka?" demikian pikir Jui-san sambil tersenyum geli meski hatinya dongkol. Ia segera mengeluarkan Ginkangnya dan berlari pergi.
 
Wan-sim dan Wan-giap masih terus memburu meskipun Ginkang mereka tidak bisa memadai Thio Jui-san. Merekapun berteriakteriak: "Pembunuh, pembunuh, tangkap pembunuh! Bangsat, jangan lari!" Begitulah, mereka terus mengejar menyusur tepi telaga.
 
Diam-diam Jui-san merasa geli, apakah kalian mampu menangkapku? Demikian pikirnya. Tiba-tiba ia mendengar jeritan Wan-sim dan Wan-giap bersamaan, sedangkan Wan-im pun mengerang, rupanya mereka kesakitan karena tubuhnya terluka.
 
Jui-san terkejut, cepat-cepat ia menengok ke belakang. Ia melihat ketiga Hwesio itu semua menutup sebelah matanya seperti habis terkena senjata rahasia. Benar juga, ia mendengar Wan-giap sedang mencaci-maki: "Bangsat she Thio, jika kamu berani, ayo butakan sekalian mataku yang kiri ini!"
Jui-san semakin tercengang, ia heran apakah mata kanan pendeta itu telah dibuat buta orang? Siapakah sebenanrnya yang diamdiam membentunya? Tiba-tiba pikirannya tergerak, ia berseru: "Chit-te, Chit-te, dimana kau?"
 
Rupanya, diantara Bu-tong-chit-hiap, Bok seng-kok yang bungsuu' itu terkenal menggunakan am-gi atau senjata gelap, seperti piau, batu,baja, panah kecil, paku, piau mata uang, belalang semua dikuasainya. Itulah sebabnya Thio Jui-san mengira Bok Seng-kok yang datang.
 
Tapi meskipun berulang-ulang manggil, tetap tidak ada jawaban. Cepat-cepat Jui-san menyibak-nyibak pohon Liu di tepi telaga, tapi tetap tidak menemukan apa-apa, bayangan orangpun tidak.
 
Sementara itu Wan-giap yang sebelah matanya buta semakin marah. Tanpa menghiraukan nyawanya, ia sendirian hendak maju bertempur mati-matian melawan Thio Jui-san. Sebaliknya Wan-im cukup bijaksana, meskipun mereka tidak terluka, tapi mereka bertiga bukanlah tandingan Thio Jui-san. Apalagi mata mereka yang terluka itu terasa pegal, mungkin am-gi itu berbisa. Wan-im lalu menarik Wan-giap, katanya: "Sute, jika mau balas dendam mengapa harus terburu-buru? Meskipun kita punya kemauan, tapi apakah Lohongtiang (ketua) dan kedua Supek kita mau menerima?"
 
Melihat ketiga pendeta itu tidak mengejarnya lagi, Thio Jui-san berpikir: "Sepertinya ilmu meringankan tubuhku sudah tinggi, tapi orang yang menyembunyikan diri itu ternyata lebih pandai dariku, lalu siapakah dia?”
 
Jui-san tidak berani berlama-lama di situ, secepatnya ia hendak kembali ke penginapan. Belum sempat ia melangkahkan kaki, tiba-tiba ia melihat rumput di tepi telaga itu bergerakgerak. Waktu itu tidak ada angin, mengapa rumput itu bisa bergoyang, apakah ada orang yang sembunyi di situ.

Perlahan-lahan Jui-san mendekatinya, dan ketika hendak menegur tiba-tiba dari semak rumput itu keluar seseorang sambil melompat. Goloknya diayunkan hendak membacok kepala Thio jui-san sambil menggertak: "Jika bukan kamu yang mati, biar aku yang binasa!"

Thio Jui-san mengelak sambil kaki kanan nya menendang pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya terpental dan tercebur ke dalam telaga. Ketika didekati ternyata orang itu berkepala gundul, berjubah pendeta, rupa-nya seorang Hwesio Siau-lim-si.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" bentak Jui-san. Tapi ia melihat di dalam semak rum- put itu menggeletak tiga orang yang entah ha- nya terluka atau sudah mati.

Karena Jui-san tahu ilmu silat pendeta itu masih rendah maka ia tidak khawatir. Ia ting- galkan pendeta dan maju memeriksa tiga orang yang tergeletak itu. Rupanya mereka adalah Toh Tay-kim dan kedua Piauthau she Su dan Ciok dari Liong-bun Piaukiok.

Thio Jui-san terperanjat dan berseru, "Hai, Toh-congpiauthau, kenapa kau... ka..." - tapi belum habis ucapannya, tiba-tiba Toh Tay-kim melompat bangun dan kedua tangannya me- narik baju Thio Jui-san.

"Keparat, jahanam, aku hanya mengambil 300 keping emas, lalu kamu berbuat begini keji!" teriak Toh Tay-kim sambil mengertak giginya.

"Hai, ada apa?" sahut Jui-san bingung. Tiba- tiba ia melihat ujung mata dan mulut Toh Tay- kim berdarah. Meskipun keadaan gelap na- mun karena jarak mereka tidak sampai selang- kah, maka Jui-san dapat melihat dengan jelas. Jui-san kaget lalu berkata, "He, apakah kamu terluka parah?"

Toh Tay-kim tidak menjawab, sebaliknya ia berseru pada pendeta tadi: "Sute, kenalilah dengan jelas, orang ini bernama Gin-kau-tiat- hoa Thio Jui-san, dialah... dialah pembunuh- nya. Cepat lari, cepat, jangan sampai ter- tangkap olehnya..." - setelah itu tiba-tiba tangannya menarik Thio Jui-san dan ingin membenturkan kepalanya ke kepala Jui-san, mungkin bermaksud mengajak mati bersama dengan kepala pecah.

Thio Jui-san cepat-cepat membalikkan ke dua tangannya ke atas untuk melepaskan tarikan itu, kemudian langsung menyodok ke depan sehingga bajunya sobek sebagian. Sebaliknya, Toh tay-kim bisa terbanting.

Biasanya, Thio Jui-san tidak pernah gentar menghadapi berbagai masalah. Tapi peristiwa aneh yang dilihatnya malam ini dan juga sikap Toh tay-kim yang mengerikan itu membuat hatinya berdebar-debar juga. Ketika ia mendekati Toh Tay-kim ternyata kedua mata Toh Tay-kim sudah melotot dan napasnya putus. Rupanya ia sudah lebih dulu terluka bagian dalam, sebab jika hanya terkena dorongan Jui-san tentu tidak menyebabkan kematian.

Sementara pendeta Siau-lim itu tiba-tiba berteriak: "He, kamu... kamu membunuh Toh suheng juga...." setelah berkata begitu ia lalu berputar dan lari terbirit-birit mungkin karena sangat ketakutan. Baru beberapa langkah larinya, ia pun terjungkal dan jatuh. Jui-san hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saja, di samping geli juga dongkol. la melihat separo badan Piauthau she Su dan Ciok itu terendam dalam air, mungkin sudah mati beberapa waktu. Ketika memandangi tiga mayat itu hati Thio Jui-san menjadi berduka. Meskipun tidak ada persahabatan dengan Toh tay-kim dan sebaliknya Toh Tay-kimlah yang mengakibatkan Ji Tay-giam mengalami musibah, namun melihat kematian tiga orang yang tidak wajar itu hatinya iba.

la termenung di tepi telaga. Tiba-tiba ia ingat perkataan Toh Tay-kim, "Keparat, jaha- nam, aku hanya mengambil 3000 keping emas, lalu kamu bertindak begitu kejam!" - Rupanya ia tidak rela menyerahkan 2000 keping emas seluruhnya dan diam-diam mengambil 300 keping emas. Sekalipun tahu, aku juga tidak mau ribut-ribut lagi dengannya." - Ketika ia mengangkat ransel Toh Tay-kim ternyata me- mang sangat berat. Ia mencoba membukanya lalu jatuhlah beberapa keping emas ke sam- ping muka Toh Tay-kim yang sudah tidak bernyawa itu.

Tiba-tiba timbul perasaan hampa dalam hati Thio Jui-san. Selama hidup Congpiauthau selalu bergulat dengan senjata hanya untuk emas atau uang. Sekarang ini banyak emas berserakan di sampingnya, tapi sudah tak bisa menikmatinya. Sebaliknya, hari ini Jui-san bisa mendapatkan kemenangan besar atas pendeta-pendeta Siau-lim-si, tapi jika sudah tua nanti, apa bedanya dengan Toh Tay-kim? Jui san pun menghela napas panjang.

Jui-san dikejutkan oleh alunan suara khim (harpa) yang berkumandang dari tengah telaga. Ketika menoleh, terlihatlah pemuda sas- trawan yang dilihatnya di tengah telaga depan Ling-bun Piaukiok tadi sedang memetik har- panya di dalam perahu. Setelah mengalunkan beberapa lagu, ia pun bersenandung, suaranya halus seperti suara wanita.

Semula Thio Jui-san terkesima oleh suara nyanyian orang itu. Tapi ketika ia ingat akan tiga mayat yang teronggok di depannya dan dilihat oleh orang dalam perahu itu dan kemudian dilaporkan pada patroli Mongol, tentu akan menimbulkan keributan.

Ia bermaksud segera pergi meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba terdengar pemuda itu menyentil senar harpanya beberapa kali dan menyapa: "Seandainya Hengtay (saudara yang terhormat) berniat pesiar di tengah malam, silakan naik ke perahuku!" - Setelah berkata ia memberi tanda dan satu tukang perahu lantas berdiri dan mendayung. Perahu itu ditepikannya ke tanggul.

Orang ini sejak tadi berada di telaga sini, mungkinkah ia melihat sesuatu, bisakah aku mencari keterangan darinya? pikir Jui-san. Maka ia pun mendekati tanggul dan ketika perahu merapat Jui-san melompat ke atas perahu.

Ginkang Thio Jui-san memang sangat bagus. Ketika ia melompat dari tanggul sampai ke atas perahu, sedikitpun perahu tidak bergoyang. Suseng atau pelajar dalam perahu itu bangkit dan menyambutnya sambil tersenyum. Ia memberi hormat dan menyilakan tamunya duduk.

Di bawah sinar lentera, tangan Suseng itu kelihatan putih bagai salju. Ketika Jui-san mengamati, muka orang itu agak kurus, alisnya lentik, hidungnya mancung, dan ketika tersenyum ada lesung pipitnya. Dari jauh tampak seperti pemuda ganteng, setelah berhadapan muka, ternyata ia adalah seorang gadis jelita yang menyamar sebagai laki-laki.

Walaupun Thio Jui-san cukup bebas dalam pergaulan, tapi peraturan perguruannya sangat keras melarang hubungan antara laki-lak dan wanita. Kini ketika ia tahu bahwa yang ada di depannya itu adalah wanita, Jui-san sangat terkejut dan mukanya merah. Cepat-cepat ia bangkit dan melompat kembali ke tanggul, ia membungkuk sambil berkata: "Maaf, Cayhe tidak tahu jika nona menyamar sebagai laki-laki, aku telah mengganggu." 

Suseng itu tidak menjawab, ia kembali memetik harpanya sambil bernyanyi.

Mendengar nyanyian itu yang ternyata mengandung arti mengundang dirinya ke perahunya, diam-diam Jui-san berpikir: "banyak hal-hal aneh yang kujumpai malam ini, jika nona ini mengetahui sesuatu, tentu akan banyak membantuku." Dan ketika hendak melompat ke atas perahu lagi, ia berpikir "Selamanya aku tidak kenal nona yang cantik jelita ini, jika tengah malam ini aku menemuinya di dalam perahu, mungkin akan mencemarkan nama baiknya."

Pada saat ia masih ragu-ragu, tiba-tiba terdengar suara dayung menyentuh air. Per- lahan-lahan perahu itu telah meluncur ke tengah telaga. Kemudian terdengar gadis itu menyanyi lagi diiringi harpanya. Lambat laun perahu itu menjauh dan suara nyanyian pun lenyap. Lentera itu berkedip-kedip, kemudian menghilang dibalik cahaya air telaga.

Setelah menghadapi pertarungan yang cukup melelahkan lalu menemukan peman- dangan yang mempesona itu membuat Thio Jui-san berdiri termenung di tepi telaga. Beberapa saat kemudian barulah ia pulang ke penginapannya.

Esok paginya peristiwa pembunuhan besar-besaran di Liong-bun Piaukiok itu telah menggemparkan seluruh Kota Lim-an. Namun demikian tak ada seorangpun yang mencurigai Thio Jui-san yang berpenampilan sebagai seorang pemuda yang lemah lembut.

Sepanjang hari itu Jui-san berkeliling kota, pergi ke pasar dan bertamasya ke kelenteng yang termasyur. Sampai sejauh itu tetap saja jejak Jisuheng dan Chitsute-nya tak diketemukannya. Malahan kode rahasia yang biasa mereka gunakan pun tidak tampak.

Menjelang sore, tiba-tiba ia teringat suara nyanyian merdu si gadis. Wajahnya yang can tik dan manis itu selalu terbayang olehnya. Jui- san menjadi menyesal mengapa kemarin tidak bertanya tentang banyak hal padanya. Sebab, kecuali gadis itu siapa lagi orang yang bisa dimintai penjelasan tentang peristiwa berdarah semalam?

Sehabis makan malam, tak terasa kakinya berjalan menuju Se-oh lagi. Sampailah Jui-san di bawah pagoda Liok-ho-tha. Waktu itu hari sudah gelap, ia melihat sebuah perahu tertam bat di bawah pohon Liu di sebelah timur pago da. Seketika hati Thio Jui-san berdebar-debar Ia mencoba menenangkan diri dan mendekati nya. Di bawah lentera ia melihat gadis itu sedang duduk sendirian di haluan perahu. Beda nya, kini ia sudah berdandan pakaian wanita.

Semula Thio Jui-san bermaksud menanyakan tentang peristiwa semalam. Tapi karena orang itu berpakaian wanita, ia menjadi ragu. Tiba-tiba ia mendengar gadis itu berpantun sambil menengadah :

Peluk lutut di haluan perahu, hati rindu menunggu tamu, angin silir dibuai rayuan, pikiran kesal bagai kehilangan.

"Maaf, Cayhe bernama Thio Jui-san, ada yang ingin saya sampaikan;" segera Jui-san menegur.

"Marilah, silakan naik perahu," sahut si gadis. Maka dengan ringan Thio Jui-san melompat ke atas perahu gadis itu. Sementara itu si gadis berkata lagi: "Semalam awan mendung meme- nuhi langit, tanpa bulan, malam ini awan ter-serak, langit terang, ternyata jauh lebih bagus daripada kemarin." - Suaranya nyaring merdu namun cara berkatanya mendongak ke atas, tidak memandang sekejappun pada Thio Jui- san.

55

"Jika tidak keberatan, bolehkah Cayhe mengetahui she Nona yang mulia?" kata Jui-san lagi.

Tiba-tiba gadis itu berpaling ke arah Thio Jui-san. Sinar matanya yang bening tajam mengerling ke muka Jui-san, tapi tidak men- jawab pertanyaan Jui-san.

Seketika Thio Jui-san merasa rendah diri setelah melihat wajah gadis yang cantik tak tercela itu. Ia tidak berani bicara lagi dan melompat kembali ke tanggul lalu terus berlari ke arah jalan ketika ia datang tadi.

Tapi baru beberapa jengkal, tiba-tiba ia berhenti dan berpikir: Ai, Thio Jui-san, laki-laki macam apa kamu ini. Sudah sepuluh tahun malang melintang di Kangouw dan tidak takut pada siapapun, tapi mengapa hari ini takut ter- hadap seorang nona jelita? - Ketika menoleh ia melihat perahu si gadis sudah berlayar ke hilir Sungai Ci-tong-kang, lenteranya ber kedip-kedip dan semakin jauh.

Karena pikirannya belum tenang, Jui-san berjalan menyusuri tepi telaga. Tiba-tiba ia mendengar si gadis berseru dari kejauhan "Aku she in... sampai bertemu lagi pada kesempatan lain...."

Mendengar kata-kata "aku she In" itu hati Jui-san terkejut. Ia menjadi ingat pada apa per- nah dikatakan Toh Tay-kim bahwa orang yang memberi order padanya untuk mengantar Ji- samko ke Bu-tong-san itu adalah seorang pemuda tampan yang mengaku bernama she In, jangan-jangan inilah orangnya?

Tanpa menghiraukan soal laki-laki atau perempuan, ia segera mengejarnya. Meskipun perahu layar itu melaju dengan cepat tapi de- ngan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, dalam waktu tidak lama ia dapat menyusul- nya. Jui-san segera bertanya: "Nona In, apakah kamu mengenal Ji-samko, Ji Tay-giam?"

Gadis itu tidak menjawab, sayup-sayup Jui- san mendengar seperti ada orang menghela napas hanya jaraknya agak jauh. Segera ia berteriak lagi, "Nona In, banyak pertanyaanku yang perlu penjelasan darimu!"

"Mengapa kamu ingin bertanya?" sahut gadis itu.

"Apakah orang yang memberi order untuk mengantar Ji-samko ke Bu-tong-san adalah Nona In?" seru Jui-san. "Jika benar, dengan cara apa aku harus membalas budi baikmu?"

"Budi-benci, benci-budi, susah juga mengatakannya," sahut si gadis. "Tapi setelah Ji-samko sampai di kaki Gunung Bu-tong, ia dicelakai orang, apakah Nona In tahu hal ini?"

"Ya, aku kesal, sangat kesal!"

Kedua orang itu masih bertanya jawab. Sementara itu angin bertiup kencang, langit yang tadinya terang menjadi gelap, mulai hujan gerimis. Jui-san tidak menghiraukan semua itu. Dengan Lwekangnya yang tinggi ia terus menjajari lajunya perahu yang semakin kencang tertiup angin.

Sebaliknya, di bawah hujan dan tiupan angin, suara si gadis tidak terlalu keras, tapi Jui-san dapat mendengarkan dengan jelas. Hal ini menandakan tenaga dalam yang kuat dari si gadis. Tentu saja ilmu silatnya juga tidak rendah.

Ketika perahu itu meluncur sampai di hilir Sungai Ci-tong-kang, hujan angin itu bertambah keras. Thio Jui-san masih terus bertanya: "Berpuluh jiwa penghuni rumah Liong-bun Piaukiok semalam terbunuh semua, siapakah yang telah bertindak kejam, apakah Nona tahu?"

"Telah kukatakan pada Toh Tay-kim bahwa Ji-samhiap harus diantarnya sampai Bu-tong- san dengan baik, jika terjadi sesuatu di tengah jalan...."

"Kau bilang hendak membunuh habis seisi rumahnya tanpa kecuali anjing dan ayam- nya," tiba-tiba Jui-san memotong pembicaraan itu.

"Benar," kata si gadis. "Ia tidak mampu me- ngantar Ji-samhiap sampai ke tempat tujuan dengan selamat, akibatnya dia sendiri yang harus memikulnya, mengapa harus menyalah- kan orang lain?"

Seketika hati Jui-san' merinding. "Jad... jadi nyawa sebanyak itu ka... kau yang...." "Ya, aku yang membunuhnya semua," tukas si gadis. Telinga Jui-san serasa berdengung mendengar kata-kata itu. Sungguh susah dipercaya bahwa seorang gadis cantik dan ayu begini ternyata seorang pembunuh yang begitu kejam. Selang agak lama, Jui-san bertanya lagi "Dan... dan kedua Hwesio Siau-lim-si itu?"

"Aku juga yang membunuh," sahut si gadis tegas. "Sebenarnya aku tidak ingin bermusuh- an dengan Siau-lim-si, tapi mereka berkata kasar terhadapku, aku tak bisa mengampuni- nya."

"Tapi.... tapi mengapa aku yang dituduh?" tanya Jui-san lagi. "Memang aku yang mengatur!"

"Kau yang mengatur supaya mereka me- nuduhku?" teriak Jui-san marah.

"Ya!"

"Selama ini kita tidak pernah bermusuhan, mengapa kamu berbuat begitu?" damprat Jui san sambil marah.

Tiba-tiba gadis itu mengibaskan lengan bajunya. Tanpa menjawab ia terus berjalan masuk ke dalam perahunya. Tentu saja Jui-san menjadi penasaran. Ia sangat gusar, tiba-tiba ia membalikkan tangannya dan memotong dahan pohon yang tumbuh di pematang itu. Ia mencabut dua batang kayu lalu digunakan sebagai galah untuk melompat ke atas perahu si gadis.

"Ba... bagaimana kamu mengaturnya?" teriak Jui-san begitu ia menginjak perahu.

Gubuk dalam perahu itu terlihat gelap dan senyap. Meskipun sedang marah, Jui-san masih bisa menguasai diri. Rasanya tidak sopan menerobos masuk ke kamar wanita, Jui- san menjadi ragu-ragu. Tiba-tiba ia melihat pancaran sinar api, dalam gubuk perahu telah dinyalakan lilin dan gadis itu berkata: "Mari, silakan masuk!"

Jui-san merapikan bajunya yang basah dan kusut lalu melangkah masuk ke dalam gubuk perahu. Ia sangat tercengang sebab di dalam gubuk duduk seorang Suseng muda berbaju hijau dan ikat kepala membawa kipas lempit, wajahnya ganteng. Ternyata dalam sekejap si gadis sudah menyamar menjadi laki-laki lagi. Bahkan sekilas pandang wajahnya ternyata mirip sekali dengan Thio Jui-san. Sebenarnya tujuan Thio Jui-san adalah hendak menanyakan bagaimana cara gadis itu mengatur tipuannya untuk memfitnah diri. nya. Tapi ketika melihat perubahan pakaian si akan me- gadis, semua pertanyaannya sudah terjawab. Dalam kegelapan tentu semua orang nyangka jika mereka berdua terdiri satu orang. Karuan saja Hui-hong Hwesio dan Toh tay- kim menuduh dia yang berlaku kejam.

"Silakan duduk Thio-ngohiap," kata si gadis sambil menunjuk kursi di depannya dengan kipas. Ia lalu menuangkan secangkir teh dan disajikan sambil berkata: "Tengah malam begi- ni tidak ada arak dalam perahu, anggaplah teh dingin ini sebagai arak, maaf bila mengurangi kenikmatan Thio-ngohiap." 

Karena sikapnya yang santun dalam menyajikan teh itu, redamlah amarah Thio Jui san, terpaksa ia menyahut sambil membungkukkan badan: "Terima kasih!" 

Melihat baju Thio Jui-san basah kuyup, gadis pun berkata: "Di dalam perahu masih tersedia pakaian, bila Thio-ngohiap bersedia silakan ganti pakaian di belakang." "Tak usah," sahut Jui-san sambil menggoyangkan kepala. Setelah itu ia mengeluarkan tenaga dalamnya hingga badannya hangat, air di bajunya itu perlahan-lahan menguap.

"Hm, Lwekang Bu-tong-pay memang me- nguasai Bu-lim, Siaumoay (adik perempuan, sebutan merendahkan diri) sungguh tolol karena meminta Thio-ngohiap berganti pakai- an, betul-betul tolol."

"Dari golongan atau aliran manakah Nona, bersediakah memberitahu?" tanya Jui-san. Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba gadis itu memalingkan muka dan memandang keluar jendela, keningnya terlihat mengkerut, muka-nya muram.

Melihat wajah gadis yang tiba-tiba berubah seperti orang berduka, Thio Jui-san pun tidak terlalu memaksa. Selang beberapa saat ia bertanya lagi: "Sebenarnya siapakah yang menganiaya Ji-samko, dapatkah Nona memberitahu?"

"Bukan hanya Toh Tay-kim saja yang salah lihat, tapi akupun tertipu," sahut si gadis tiba- tiba. "Seharusnya aku bisa berpikir bahwa Bu- tong-chit-hiap yang gagah dan ganteng itu mana mungkin seperti manusia-manusia kasar itu." "

Mendengar gadis itu tidak menjawab per- tanyaannya dan sebaliknya memuji kecakap- annya, tentu saja hati Thio Jui-san berdebar- debar dan mukanya bersemu merah. Tapi ia masih belum paham arti ucapan gadis itu.

Kemudian gadis itu menghela napas, tiba-tiba ia menggulung lengan baju kirinya hingga lengannya yang putih bersih itu kelihatan.

Cepat-cepat Jui-san menunduk dan tak berani memandangnya. "Apakah kamu kenal am-gi ini?" tanya si gadis.

Mendengar si gadis menyebut 'am-gi' atau senjata gelap, barulah Jui-san mendongak. la melihat pada lengan gadis itu menancap tiga buah piau baja berwarna hitam. Sebenarnya kulit badan gadis itu putih bersih, tapi tempat dimana ia terkena piau itu berwarna hitam seperti tertetes tinta bak.

Ketiga piau baja itu ekornya berbentuk daun bunga Bwe. Senjata rahasia itu panjangnya tidak lebih dari 4 cm, tapi yang menancap masuk daging lebih dari separo. Tiba-tiba Thio Jui-san berteriak, "He, ini adalah Bwe-hoa- piau milik orang Siau-lim-pay, me... mengapa berwarna hitam?"

"Benar, ini adalah Bwe-hoa-piau orang Siau- lim-pay, piau ini berbisa jahat," kata gadis itu.

"Siau-lim-si adalah aliran suci yang ter- masyur, tidak mungkin amgi yang dipakainya berbisa," ujar Jui-san. "Tapi Bwe-hoa-piau sekecil ini hanya murid Siau-lim-pay yang bisa menggunakannya."

"Ya, aku sendiri heran, sama halnya perkataan gurumu bahwa remuknya tulang sendi Suhengmu itu adalah dengan ilmu 'Kim- kong-ci' dari Siau-lim-si," kata si gadis.

Jui-san menjadi heran, pikirnya dalam hati: "Aneh, ketika Guru berkata demikian tidak ada orang lain di situ kecuali kami saudara seperguruan, mengapa dia bisa mengetahuinya?" maka cepat-cepat Jui-san bertanya, - "Apakah Nona telah bertemu dengan Jisuheng Ji Lian-ciu dan Chitsute Bok Seng-kok?"

"Tidak," sahut si gadis, "kecuali pernah melihat sekali di Bu-tong-san, selanjutnya tidak pernah berjumpa lagi."

Tentu saja Jui-san bertambah heran, tanyanya: "Nona pernah datang ke Bu-tong san? Mengapa aku tak mengetahuinya?... Eh sudah berapa lama Nona terkena piau ini? Racunnya harus dikeluarkan dulu," saat mengucapkan kata-kata terakhir itu, kelihatan sekali sikapnya yang simpatik.

"Sudah lebih dari 20 hari," sahut si gadis, "racunnya telah kutahan dengan obat sehingga belum menjalar, tapi ketiga piau ini tak berani kucabut, khawatir jika racunnya menjalar mengikuti aliran darah." 

Jui-san tahu, untuk bisa menahan menjalarnya racun di dalam tubuh kecuali memakai obat diperlukan juga tenaga dalam yang tinggi. Tampaknya gadis ini masih ber- usia 18-19 tahun, tapi ternyata memiliki kesanggupan itu. Diam-diam Jui-san menjadi kagum lalu berkata: "Sudah lebih 20 hari piau ini tidak dicabut, mungkin... mungkin kalau sudah sembuh, di atas kulit akan... akan ter- dapat codet yang besar... sungguh sayang jika lengan seputih ini ada belangnya...." - sebe- narnya ia hendak bilang jika racun itu tertahan lama di dalam badan, mungkin lengannya itu akan cacat, tapi tak jadi diucapkan.

"Ah... aku sudah berusaha sebisaku," kata si gadis lirih. Air matanya berkilat-kilat hampir menetes. "Semalam, di tubuh pendeta-pendeta Siau-lim-si itu tidak kudapatkan obat pe- nawarnya.... rasanya lenganku ini tak akan berguna lagi." - Setelah berkata, perlahan-lahan ia turunkan lengan bajunya.

Seketika Thio Jui-san tergerak hatinya, katanya cepat: "Nona In, kamu bisa percaya padaku atau tidak? Meskipun Lwekang Cayhe masih dangkal, tapi yakin masih dapat membantu Nona untuk mengeluarkan hawa berbisa dari dalam tubuh Nona."

Gadis itu tersenyum manis hingga lesung pipinya tampak jelas. Hatinya girang, tapi lan- tas berkata: "Thio-ngohiap, hatimu penuh dengan curiga, biarlah aku bicara terus terang padamu, supaya setelah kamu membantuku tidak menyesal."

"Menyembuhkan penyakit dan menolong orang adalah menjadi kewajiban kaum kita, mengapa harus menyesal?" kata Jui-san bersemangat.

"Coba sabar dulu, sudah lebih dari 20 hari kutahan penderitaan, apakah sekejap ini saja tidak tahan," kata si gadis. "Biarlah kujelaskan, sehabis menyerahkan Ji-samhiap kepada Liong-bun Piaukiok, aku sendiri mengikuti di belakang rombongan mereka. Di tengah jalan ternyata beberapa kawanan musuh hendak mencelakai Ji-sam- hiap, tapi diam-diam kubereskan semua, sungguh lucu si Toh Tay-kim itu tidak tahu sama sekali."

"Ah, budi baik Nona tak akan pernah kami lupakan," kata Thio Jui-san sambil membungkuk memberi hormat.

"Tak perlu buru-buru berterima kasih pada- ku, mungkin sebentar lagi kamu akan benci padaku tujuh turunan," sahut si gadis dingin. Jui-san tercengang, ia tidak paham apa arti
kata-kata gadis itu.

Sementara itu si gadis menyambung lagi: "Sepanjang jalan aku terus menyamar, kadang- kadang seperti seorang saudagar, lain waktu menjadi petani, dari jauh aku mengikuti rom- bongan itu. Siapa sangka setelah sampai di kaki Gunung Bu-tong justru terjadi bencana."


No Comment
Add Comment
comment url