[Pahlawan Shenzhou] Bab 9: Dia Yang Menyapu Daun-Daun yang Gugur
16 April
Pantangan: pemakaman, menaikkan balok rumah.
Tujuh Merah.
Boleh: mandi, sembahyang.
Hari empat kehabisan, naas. Bintang Shaoqi masuk ke Zhengbazuo.
Bentrokan dengan shio Kuda dan Kambing, arah Barat.
*catatan: Teks di atas ini adalah bagian dari peramalan tradisional Tiongkok (Tong Shu/Tong Sheng), digunakan untuk memilih tanggal keberuntungan dan memahami pengaruh kosmik harian. Berdasarkan ilmu Bazi.
Saya tidak ngerti ilmu Bazi, jadi tidak paham maksud detailnya apalagi terjemahan yang pas.
--
Pagi hari.
Saat cahaya fajar baru muncul, embun malam mulai turun.
Ketika Xiao Qiushui bangun, ia melihat Xiao Xilou berdiri di dalam kabut pagi, mendongakkan kepala menatap langit, kedua tangan bersedekap di belakang.
Kabut tebal, embun deras, dan di langit justru muncul sebuah pemandangan aneh: bulan dan matahari masing-masing berada di timur dan barat, namun sama-sama tampak dalam satu langit, saling berhadapan. Tak ada dari keduanya yang memancarkan sinar menyilaukan, hanya sebuah keheningan suram.
Xiao Xilou mengangguk sedikit, lalu berbalik pergi. Xiao Qiushui pun mengikutinya.
Sesuai kebiasaan: pagi hari bersembahyang di aula leluhur.
Namun sebelum itu, Xiao Xilou justru melakukan hal yang biasanya tidak ia lakukan: ia lebih dahulu menuju Zhenmei Pavilion untuk memberi salam pada Madam (nyonya tua) Di, dan juga mengundang Tang Fang untuk ikut serta.
Sembahyang leluhur itu pada dasarnya hanya untuk keluarga Xiao, tak ada hubungannya dengan Tang Fang. Bahkan Xiao Qiushui pun tidak mengerti maksudnya.
Tapi nyonya Xiao sangat mengerti.
Awalnya ia pun hendak ikut sembahyang, namun kakinya dan lengannya terluka. Belum lagi ia juga harus menjaga Nyonya Besar Di.
Tang Fang melangkah keluar pintu, seketika juga paham maksudnya.
Di depan pintu terdapat dua peti mati: satu milik Zhang Linyi, satu lagi milik Tang Da.
Meskipun Quanli Bang (Perkumpulan Kekuasaan) sudah tercerai-berai, namun mereka tetap mengepung di luar Jianlu (paviliun pedang), sehingga mustahil membawa jenazah keluar untuk dimakamkan. Tapi juga tidak mungkin meletakkan peti di sembarang tempat, jadi untuk sementara ditempatkan di aula leluhur keluarga Xiao.
Jenazah Zhang Linyi akan dikawal langsung oleh Xiao Xilou, sedangkan Tang Da harus dikawal oleh kerabatnya. Tang Fang, tentu saja, adalah satu-satunya orang yang pantas.
Saat Xiao Xilou keluar ke depan pintu, ia bertepuk tangan. Muncullah empat pria kekar yang segera mengangkat kedua peti mati, berjalan perlahan menuju Jiantian Cave (Gua Jiantian).
Di tengah kabut pagi, Xiao Xilou menoleh, melihat nyonya Xiao berdiri di ambang pintu. Karena kakinya terluka, ia harus bersandar pada pintu. Wajahnya pucat, membuat Xiao Xilou timbul rasa sayang. Ia melambaikan tangan, berkata:
“Jaga dirimu baik-baik.”
nyonya Xiao menatapnya dalam-dalam. Dalam kabut tebal, matanya justru jernih berkilau.
Mata itu penuh makna tak terucap.
- Kau juga harus hati-hati.
- Kau adalah kepala sekte Huanhua, harus menjaga diri lebih baik lagi.
- Kabut pagi menusuk, semalam baru saja bertarung hebat, jangan sampai masuk angin.
Semua kata itu tak terucap, tapi Xiao Xilou memahaminya. Demikian pula sebaliknya, apa yang ingin ia katakan, nyonya Xiao juga tahu.
Dua puluh tahun lebih mereka bersama dalam suka duka, dua puluh tahun lebih menghadapi bahaya dunia persilatan. Xiao Xilou dan Sun Huishan saling memahami lebih dari siapa pun. Saat mereka terusir dari sekte, saat berlatih pedang dengan susah payah di gubuk reyot, saat pertarungan berdarah di jalan panjang, semua itu sudah mereka lalui bersama.
Dan mereka benar-benar berhasil melewatinya.
Xiao Xilou melangkah maju, masuk ke dalam kabut. Xiao Qiushui dan Tang Fang mengikuti di belakang.
Nyonya Xiao memandangi suaminya, yang bagi dirinya tak pernah tampak tua, masih tampak begitu gesit seperti macan tutul, begitu lembut seperti seorang sarjana. Setelah ia lenyap ditelan kabut, barulah ia menarik pandangan, menutup pintu, dan mengusap embun di wajahnya.
Tang Fang jelas juga tidak tidur nyenyak, atau bahkan tidak tidur sama sekali.
Matanya bengkak, bukan hanya karena menangis, tapi juga karena tidak bisa tidur.
Namun sorot matanya tetap jernih dan keras kepala. Bibirnya yang tegas menyiratkan sedikit sinis, tapi wajahnya masih menyimpan kepolosan.
Xiao Qiushui biasanya yang paling waspada, namun semalam ia tidur nyenyak, bahkan bermimpi tentang bunga dan kupu-kupu, lalu bermimpi seseorang sedang memanjat gunung tinggi menembus kabut awan, menaiki tangga surga yang curam. Baru setengah jalan, tangga itu tiba-tiba terbalik, seolah ia justru sedang merayap turun menuju jurang dalam… Mengingat hal ini, ia merasa malu sendiri.
Ketika sampai di paviliun Zhenmei, jantung Xiao Qiushui berdebar keras. Tang Fang meskipun masih tampak kehilangan, tetap menyiratkan sebuah ketenangan indah, bening bagai embun pagi.
—Bagaimana mungkin dia (Qiushui), di tengah pertempuran besar, masih memimpikan kicauan burung dan bunga harum?
Di depan, empat orang pengusung membawa peti mati. Xiao Xilou bersama tiga orang berjalan dalam kabut tebal. Udara segar, wangi bunga semerbak, suara burung terdengar riang, namun tak terlihat di cabang pohon mana.
Xiao Xilou menghela napas: “Benar-benar cuaca yang bagus.”
Tang Fang berkata: “Hari ini pasti akan cerah.”
Xiao Qiushui berkata: “Cuaca baik, hati pun jadi baik.”
Tiga orang itu berbicara, berjalan dalam kabut, tapi hati mereka berbeda-beda.
- Xiao Xilou menggenggam gagang pedangnya.
Kabut setebal ini, justru kesempatan terbaik bagi musuh menyerang. Pasti ada musuh bersembunyi di dalam villa ini, hanya saja tidak tahu siapa dan di mana.
— Dua anak muda ini belum paham, jadi ia harus tetap waspada, sekaligus melindungi mereka.
Qiushui memang belum berpengalaman, tapi sangat berbakat. Sekte pedang Huanhua harus mengandalkan dirinya untuk berkembang.
Tang Da gugur demi sekte ini. Keluarga Xiao tidak boleh mengecewakan klan Tang lagi. Jika ada musuh menyerang, ia harus lebih dulu melindungi Tang Fang.
Tang Fang menggenggam tujuh butir biji Teratai Biru di tangan kanan, dan segenggam jarum Peng di tangan kiri.
Klan Tang adalah keluarga besar ahli senjata rahasia. Tentu saja, dalam kabut tebal atau di malam hari, yang paling sulit dihindari adalah senjata rahasia, kau membunuh kakakku, maka aku pun akan membunuhmu.
Kabut tebal memang saat terbaik bagi orang lain untuk melakukan serangan gelap, tapi juga merupakan kesempatan paling baik untuk balas menyerang.
Hanya saja… hanya saja… dalam kabut ini, Paman Xiao berjalan di depan, sedangkan Xiao… dia… dia justru berjalan di sampingku.
Aku bisa tidak berkedip sedikit pun, tetapi ketika menyadari wajah orang itu, dengan alis tajam dan mata bintang, penuh sikap seakan pedangnya menantang dunia, hatiku tiba-tiba merasa tidak tenang.
Aku harus… harus tetap tenang, tidak menunjukkan perasaan apa pun… tetapi, kenapa harus menyembunyikan perasaan?… perasaan apa?… Hmph, dialah orang yang sekali tebas pedang membuka kerudungku itu!
Hari ini cuaca bagus. Walau kabut tebal membuat segalanya tidak terlihat jelas, tetapi Xiao Qiushui justru bersemangat. Justru karena tidak bisa melihat jelas, ia ingin meneguhkan tekad untuk melakukan hal besar.
Karena dalam takdir, di tengah pertempuran ini, ia bertemu dengan sepasang mata indah. Maka sekalipun harus meneteskan lebih banyak darah, lebih banyak keringat, semuanya tetap berharga.
Ia rela demi sepasang mata bintang itu, menerjang, bertarung. Mungkin bukan karena cinta, hanya karena dalam hatinya muncul sebuah kata sederhana - suka.
Karena suka, maka suasana hatinya jadi sangat baik. Baik sampai ingin melakukan hal besar, berperang bersama Fan Zhongyan di medan tempur!
Karena suka, ia bahkan tidak memikirkan perasaan pihak lain. Asal bisa melihatnya saja sudah cukup.
Karena ia adalah Xiao Qiushui, yang demi sebuah puisi “Mendaki Pagoda Yan” karya Cen Shen:
“Menjulang laksana semburan,
Tunggal tinggi menjulang istana langit.
Dari ketinggian menatap dunia,
Jalan berputar di ruang hampa.
Menekan seluruh negeri,
Megah bagaikan karya dewa.
Keempat sudut menyentuh matahari,
Tujuh tingkat menjangkau langit biru.
Dari atas menunjuk burung tinggi,
Mendengar hembusan angin menderu.”
dan demi tulisan Bai Letian pada usia dua puluh tujuh, saat menjadi sarjana termuda yang lulus ujian kekaisaran, yang berkata:
“Di bawah Pagoda Cien menuliskan nama,
Dari tujuh puluh orang, aku yang termuda.”
-rela jauh-jauh pergi ke Chang’an, hanya untuk melihat Pagoda Yan besar dan kecil.
Pagi dengan kabut tebal menandakan cuaca yang baik.
Cuaca baik juga berarti waktu yang tepat untuk menyerang.
Pada saat itu, secercah matahari terbit menembus kabut, memantulkan ribuan cahaya pelangi. Matahari pun muncul, kabut mulai tersibak.
Xiao Xilou menghela napas panjang, menunduk, lalu melangkah masuk ke Jiantian Cave (Gua Melihat Langit).
Di depan gua itu, seorang kakek tuli dan bisu, dengan mata aneh, menoleh sekali pada Xiao Xilou, lalu mendorong pintu membiarkan ia masuk, kemudian kembali memegang sapu, menyapu tanah seperti biasa.
Walau kakek itu tampak lamban dan lemah, namun bagian dalam Jiantian Cave begitu bersih tanpa debu, lampu minyak selalu menyala, dan di dinding ada beberapa ceruk kecil yang di dalamnya diletakkan patung-patung dewa yang tampak hidup.
Di depan patung dewa ada tujuh lampu bintang yang menyala, persembahan tiga hewan kurban dan arak sembahyang. Di altar terdapat sebuah pedang.
Sebuah pedang pusaka keluarga Xiao, yang turun-temurun digunakan para tokoh besar yang menjelajah dunia persilatan.
Dari sarung pedangnya yang sudah usang, penuh goresan, penuh kesan kuno, seseorang dapat melihat sekilas perbuatan masa lalu para pahlawan yang kini telah tiada.
Peti mati dibawa masuk ke dalam gua, menuju ruang belakang yang luas, berisi lebih dari seratus peti mati. Semua itu adalah jasad para anggota klan Xiao dan pendekar sekte pedang Huanhua yang gugur untuk sekte ini, disemayamkan di aula leluhur keluarga Xiao.
Jenazah Tang Da dan Zhang Linyi untuk sementara ditempatkan di serambi panjang.
Tang Fang menitikkan air mata. Lama ia baru mendongak, hanya untuk melihat Xiao Xilou berdiri membisu di depan sebuah papan arwah, Xiao Qiushui pun berdiri di sampingnya dengan tangan terkulai.
Di papan itu terukir:
“Roh Tuan Xiao Qiwu, Leluhur generasi ke-18 keluarga Xiao Huanhua.”
itulah ayah Xiao Xilou, sang grandmaster besar yang dengan satu pedang mendirikan sekte Huanhua.
Di meja, asap dupa mengepul. Wajah patung di dinding sudah tak terlihat jelas. Saat Xiao Xilou dan Xiao Qiushui hendak berlutut, Tang Fang tiba-tiba terkejut: ia melihat patung itu, yang ternyata seorang kakek berjubah abu-abu, matanya justru berkilau tajam!
Tang Fang terpekik kaget. Pada saat bersamaan, patung itu melompat keluar dari kepulan asap, mengayunkan pedang bagai kilat, menerangi seluruh ruangan, menyinari wajah orang-orang yang sedang sembahyang!
Pedang itu menusuk ke arah Xiao Xilou!
Bertahun-tahun lamanya, setiap kali berada di Jianlu (paviliun pedang - wisma kediaman keluarga Xiao), Xiao Xilou selalu, setiap pagi dan malam, bersembahyang di Gua Jiantian.
Sosok ayahnya, Xiao Qiwu, sudah sangat akrab baginya. Masa mudanya pun sebagian ia habiskan bersama sang ayah, meski hubungan ayah-anak kadang renggang, namun ia tetap paling mengagumi ayahnya.
Saat bersembahyang, tentu ia tak berani mendongak. Xiao Qiushui lebih-lebih lagi menundukkan kepala. Di meja ada dupa, kurban, asap mengepul, membuat siapa pun sulit melihat jelas. Justru Tang Fang, yang berdiri agak jauh, bisa melihat semuanya.
Patung dewa tiba-tiba berubah menjadi iblis buas, hal yang tak pernah disangka siapa pun!
Dan cahaya pedang itu sudah sampai!
Pedang licik bagaikan ular berbisa, langsung mengincar tenggorokan Xiao Xilou!
Saat ia sadar, sudah terlambat.
Ia terkejut, segera mencabut pedang, namun sekali lagi terkejut!
Dari kepulan asap itu menerjang iblis, siapa lagi kalau bukan kakek pemalas penghisap pipa tembakau di paviliun Zhenmei yang biasa membersihkan halaman, Qiu Bo!
Tapi Qiu Bo kini sama sekali bukan Qiu Bo dulu, melainkan berwajah garang, pedangnya secepat kilat, benar-benar seperti dewa iblis dari langit!
Dalam keterkejutan berlapis-lapis, tarikan pedang Xiao Xilou menjadi terlambat. Qiu Bo sudah mendahului, pedangnya langsung menuju tenggorokannya!
Xiao Qiushui, yang ilmunya masih kalah jauh dari ayahnya, mencabut pedang lebih lambat lagi. Pedang baru setengah keluar, dan ia sudah melihat ayahnya akan mati di ujung pedang musuh!
Saat itu tiba-tiba terdengar “shiuu, shiuu, shiuu”, tiga suara melesat tajam, langsung menuju Qiu Bo!
Itu adalah senjata rahasia Tang Fang, putri Tang Clan dari Sichuan!
Senjata rahasia tentu saja bisa lebih cepat sampai meski diluncurkan kemudian!
Qiu Bo sangat mengenal kekuatan keluarga Xiao, ia tahu jelas berapa banyak ahli yang tersisa. Setelah kegagalan Kong Yangqin dan yang lain dalam menyerang, Qiu Bo justru ingin dengan identitasnya sendiri merebut kemenangan besar.
Dia semula yakin bahwa setelah berhasil menyergap dan membunuh Xiao Xilou, dengan kemampuan bela dirinya, membunuh dua pemuda itu (Xiao Qiushui dan Tang Fang) tentu sangat mudah. Namun, yang tidak ia sangka, gadis muda dan cantik yang berdiri agak jauh itu ternyata adalah seorang jagoan muda langka dari keluarga ahli senjata rahasia Tang, Tang Fang!
Pedang tinggal setengah kaki lagi menembus tenggorokan Xiao Xilou!
Sementara itu, senjata rahasia hanya berjarak kurang dari satu kaki dari dada dan perut Qiu Bo!
Xiao Xilou sudah mencabut pedang, tapi belum sempat menebas!
Xiao Qiushui baru menarik pedang keluar setengah, belum sempat keluar sarung!
Apakah lebih baik membunuh Xiao Xilou dulu? Tapi apakah sempat menangkis senjata rahasia itu? Bisa kah ia menangkapnya dengan tangan? Apakah senjata itu beracun?
Qiu Bo tiba-tiba teringat rumor di dunia persilatan: racun pada senjata rahasia Tang Men begitu ganas. Seketika tubuhnya bergetar, ia buru-buru memutar pedangnya, membalikkan tiga kilatan bunga pedang—ting, ting, ting!—menepis ketiga senjata rahasia itu. “Duar, duar, duar!” Senjata-senjata rahasia itu menancap di balok kayu, ternyata hanya tiga buah jarum kecil berbentuk capung, berwarna merah, hijau, dan biru.
Qiu Bo menepis senjata rahasia itu, lalu tubuhnya berputar cepat. Ia melompat ke meja altar, hanya menjejakkan kaki sekali, wusss! tubuhnya seperti burung garuda raksasa, melesat keluar!
Satu serangan gagal, segera mundur! Begitulah tindakan seorang ahli sejati.
Karena serangan itu gagal, Xiao Xilou kini sudah memegang pedang, ditambah keberadaan jagoan Tang Men (Tang Fang) serta keberanian Xiao Qiushui, Qiu Bo sadar dirinya pasti kalah. Maka ia memilih segera mundur!
Awalnya ia ingin membunuh Xiao Xilou, tapi jika melakukannya ia tidak mungkin sempat menghindari senjata rahasia “Capung Biao” itu. Ia tak mau mati bersama Xiao Xilou. Karena gagal membunuh, ia segera mengambil kesempatan untuk kabur, supaya tidak berbalik terbunuh!
Serangan gagal, ia langsung melarikan diri. Saat itu pedang Xiao Qiushui baru terhunus penuh, pedang Xiao Xilou baru menusuk kosong, dan Tang Fang belum sempat mengeluarkan senjata rahasia keduanya, Qiu Bo sudah melesat keluar dari Gua Jiantian !
Tang Fang memang tak sempat melancarkan serangan kedua, tapi sempat bersuara:
“Senjata rahasiaku tak pernah memakai racun!”
Xiao Qiushui seketika terkejut. Ia teringat ucapan terakhir Tang Rou sebelum wafat:
“Aku, Tang Rou, senjataku tak pernah beracun…”
Seorang ahli senjata rahasia sejati, tidak butuh racun.
Senjata rahasia Tang Men terkenal di dunia persilatan, memang ada yang memakai racun, ada juga yang tidak. Namun, putra-putri murni Tang Men sejati, senjata rahasia mereka tak perlu dilumuri racun.
Bagi mereka, senjata rahasia bukan hanya senjata, tapi juga lambang kehormatan. Mereka selalu mengukir huruf kecil “唐” (Tang) di atasnya. Huruf itu bukan hanya mewakili nama keluarga Tang, tapi juga wibawa, kedigdayaan senjata rahasia, bahkan keadilan seluruh dunia persilatan!
Itu bukan lagi “senjata tersembunyi” biasa, melainkan sebuah simbol.
Namun, satu kalimat dari Tang Fang itu hampir membuat Qiu Bo, yang sedang kabur dengan ilmu meringankan tubuhnya, meledak marah!
Ternyata senjata rahasia itu tidak beracun!
Seandainya ia berani menangkapnya dengan tangan tadi, ia bisa langsung membunuh Xiao Xilou, menguasai keadaan, dan tak perlu sampai lari pontang-panting seperti ini!
Kesadaran itu membuatnya mendongkol, hampir tersedak oleh amarahnya. Ia bahkan berharap tadi tak mendengar perkataan Tang Fang bahwa senjatanya tidak beracun. Karena begitu ia mendengar, napasnya pun nyaris kacau.
Ia telah mengembara di dunia persilatan lebih dari dua puluh tahun. Kekalahan kali ini sungguh karena kesalahan sekecil rambut.
Xiao Xilou yang lolos dari maut. Begitu menenangkan diri, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah:
“Xin Huqiu!”
Xiao Qiushui terkejut. Xiao Xilou sudah mencabut pedang dan mengejar keluar!
Xiao Qiushui terperanjat: Xin Huqiu! Salah satu dari tujuh pedang besar zaman ini, pemilik pedang mematikan dari Kolam Pedang Huqiu (bukit harimau), Xin Huqiu, Si Pedang Ilahi Pemusnah!
Siapa sangka Xin Huqiu ternyata adalah Qiu Bo, si pemalas penghisap tembakau yang sudah tinggal dua tahun lebih di keluarga Xiao!
Xiao Qiushui hanya tertegun sesaat, lalu segera menyusul keluar bersama ayahnya. Saat itu Tang Fang dan Xiao Xilou sudah jauh di depan.
Mereka mengejar sampai ke Qili Shantang (Jalan Tujuh Li di Suzhou), yang berakhir di Huqiu (Bukit Harimau).
catatan: Qilishantang (七里山塘), juga dikenal sebagai Jalan Shantang, adalah jalan bersejarah dan indah yang terkenal di Suzhou, Provinsi Jiangsu, Tiongkok.
Huqiu adalah makam Raja Wu Yuejian (Raja Helü dari Wu) dari zaman Chunqiu (musim semi dan gugur). Suzhou juga disebut kota Yuejian, karena didirikan oleh Raja Wu. Menurut Yue Jue Shu:
“Pemakaman Yuejian digali dengan membentuk gunung buatan, menimbun tanah jadi bukit. Mengerahkan seratus ribu orang untuk bekerja, menggali kolam, keliling enam puluh li, sedalam satu zhang, membuat tiga lapisan tembok tembaga, mengalirkan air raksa setinggi enam chi, menguburkan emas dan permata sebagai bekal arwah.”
Pada saat itu, negeri Wu dan Yue terkenal karena menempa senjata. Konon lebih dari dua ribu pedang terkenal dikubur bersama Raja Wu. Kelak, pedang “Yuchang” yang dipakai Jing Ke untuk menusuk Kaisar Qin juga berasal dari bekal kuburan ini.
Namun makam Raja Wu itu dirancang terlalu rumit. Bahkan Qin Shihuang sendiri pernah datang menggali, ingin mencari pedang-pedang pusaka, namun gagal menemukannya. Jejak galian itu kini masih ada, berupa kolam batu, sisa dari penggalian Qin Shihuang.
Karena itu disebut Jianchi (Kolam Pedang).
Setelah pemakaman Raja Yuejian, konon muncul sepasang harimau putih di bukit itu, sehingga kemudian disebut Huqiu (Bukit Harimau).
Nama Huqiu Jianchi pun tersohor di seluruh dunia.
Dan dari tempat itu, lahir dua ahli pedang besar di dunia saat ini: Xin Huqiu dan Qu Jianchi.
Xin Huqiu bukan hanya pedangnya cepat, tapi ilmu meringankan tubuhnya juga luar biasa!
Ia melesat keluar dari Gua Jiantian, melewati koridor sembilan tikungan, dan melihat seorang kakek tua.
Seorang kakek tua yang tuli dan bisu, sedang menyapu halaman.
Xin Huqiu mengenalnya, dialah Paman Guang si bisu, penjaga “Jian Tian Dong” (Gua Jiantian).
Selama sembilan tahun*, Xin Huqiu sudah mengenal seluk-beluk keluarga Xiao luar dalam.
catatan: ini plothole, padahal barusan dibilang uda kerja selama dua tahun lebih.
Ia tak berhenti, langsung melesat melewati si kakek, melewati bukit buatan, menyeberangi taman, sampai ke aula panjang.
Untuk kabur, harus cepat!
Ia harus meloloskan diri dari rumah keluarga Xiao sebelum Xiao Xilou sempat memberi perintah. Begitu keluar, orang-orang dari Quanli Bang (Perkumpulan Kekuasaan) pasti menyambutnya.
Namun, saat itu ia melihat seorang lagi.
Orang itu menundukkan kepala, membungkuk, menyapu di paviliun panjang.
Ternyata lagi-lagi Paman Guang si bisu!
Xin Huqiu tersedak, tapi tidak berhenti. Ia kembali melesat melewati paviliun, menyeberangi kolam, sampai ke gerbang kecil Xiao Xuan.
Dan di sana, ia kembali melihat seorang lelaki tua membungkuk, dengan hati-hati menyapu halaman, seolah pekerjaan menyapu itu sesuatu yang agung, yang tak boleh diganggu siapa pun.
Mata Xin Huqiu menyempit. Kali ini ia tidak berani melompat melewati kepala si kakek, melainkan perlahan melangkah maju selangkah demi selangkah…
Karena dia tahu, pada saat ia melompat maju sebelumnya, orang tua ini setidaknya bisa membunuhnya enam kali.
Orang tua itu masih belum bergerak, masih dengan tekun menyapu lantai.
Setelah Xin Huqiu berjalan melewatinya, ia baru menoleh, lalu berjalan mundur, melangkah enam belas-delapan langkah, tiba-tiba menghirup satu tarikan napas dalam-dalam, lalu berbalik dan langsung berlari!
Lari tergesa-gesa ini, ia kerahkan seluruh tenaga, melewati Paviliun Ikan, sampai di Paviliun Zhenmei, dan hampir tiba di Paviliun Mendengar Hujan, tiba-tiba ia melihat ada seseorang di arah bawah bangunan.
Di bawah situ ada seorang tua yang sedang menyapu tanah.
Pagi hari, hening, bunga-bunga gugur memenuhi jalan, hanya terdengar suara sasa sapuan orang tua itu.
Xin Huqiu berhenti, melangkah selangkah demi selangkah mendekat. Setiap langkah, jarak, sikap, dan gaya tubuhnya, semuanya sama.
Ia sudah terjebak dalam kepungan musuh, ia sama sekali tidak boleh lengah sedikit pun.
Karena tak mungkin menghindari rintangan ini, satu-satunya cara adalah menjatuhkannya!
Ketika sampai pada jarak sebelas chi dari orang tua itu, suara sapuan pun tiba-tiba berhenti.
Xin Huqiu juga berhenti, perlahan mengeluarkan pipa tembakau keringnya.
Itulah pipa tembakau yang sangat ia sukai.
Orang tua itu tetap menundukkan kepala, membungkukkan punggung, menatap bunga-bunga yang jatuh di tanah, lalu mendesah:
“Bunga yang gugur semalam sungguh banyak.”
Baru saat itu wajah Xin Huqiu berubah, berkata:
“Aku pernah menghabiskan tiga hari tiga malam mengamati dirimu, kau bahkan tak pernah mengucapkan sepatah kata pun dalam tidurmu, namun hari ini aku baru tahu kau bukan bisu!”
Orang tua itu tersenyum:
“Aku juga bukan tuli.”
Wajah Xin Huqiu berubah lagi:
“Aku pernah menggunakan simbal perunggu tiba-tiba dibunyikan keras-keras di samping telingamu!”
Orang tua itu tersenyum:
“Sayangnya suara langkahmu di belakangku, terdengar lebih dulu sebelum suara simbal itu.”
Mata Xin Huqiu membesar, kata demi kata ia berkata:
“Sebenarnya siapa dirimu?”
Orang tua itu perlahan mendongakkan kepala, matanya menyipit menjadi seutas garis, tersenyum berkata:
“Xiao Dongguang dari Keluarga Xiao Huanhua, pernahkah kau mendengar namanya?”
Begitu kata-kata itu selesai, tubuhnya mendadak tegak, sorot mata penuh tenaga, punggungnya tak lagi bungkuk, seketika seolah menjulang tujuh chi, laksana dewa!
Saat itu di bawah Paviliun Mendengar Hujan, Xiao Xilou, Tang Fang, Xiao Qiushui semuanya sudah tiba, bahkan Zhu Xiawu, Zuo Qiu Chaoran, dan Deng Yuhan di atas lantai paviliun juga mendengar suara dan datang.
Mereka hanya melihat di paviliun kecil di bawah, dua orang seperti pelayan sedang berbincang, tetapi tiba-tiba terasa hawa dingin menusuk, tekanan membunuh menekan, lalu si orang tua bungkuk itu mendadak seperti dewa langit, dan mengucapkan kalimat itu!
Xiao Dongguang!
Xiao Qiushui terkejut, dengan bersemangat sekaligus bingung memandang ayahnya.
Hanya melihat ayahnya berwajah penuh rasa pilu, seakan teringat sesuatu dari masa lalu, perlahan berkata:
“Sesungguhnya Paman Guang itu adalah paman kandungmu, dua puluh tahun lalu sudah terkenal di dunia sebagai ‘Pedang Terkenal di Telapak Tangan’ Xiao Dongguang!”
Xiao Dongguang sebenarnya adalah anak luar nikah pendiri Aliran Pedang Huanhua, Xiao Xiqiu. Karena kedudukannya tidak sah, meski tingkat generasinya lebih tua dari Xiao Xilou, dia menyembunyikan diri dan mengurus urusan internal keluarga Xiao.
Pedang Xiao Dongguang adalah pedang patah terkenal “Gu Song Can Que” (Pinus Tua yang Rusak), sebuah pedang yang tinggal setengah bilah, dengan itu ia mampu memainkan Jurus Pedang Huanhua hingga puncaknya, namanya bahkan di atas Xiao Xilou.
Ketika kekuasaan Xiao Dongguang semakin besar, Xiao Xiqiu wafat karena sakit*, sementara Xiao Xilou karena menikahi Sun Huishan diusir dari perguruan, lalu terjadilah pertikaian antara pihak dalam dan luar Aliran Pedang Huanhua.
catatan: di awal bab disebut Xiao Xiqiu setelah terluka parah oleh musuh, jatuh sakit, dan mati, jadi agak plothole ini.
Dalam perselisihan itu, Xiao Dongguang melakukan banyak kesalahan besar yang tak bisa ditebus: ia memfitnah Xiao Xilou, menolak kepulangannya, padahal sebenarnya wasiat terakhir Xiao Xiqiu adalah agar Xiao Xilou yang memimpin Aliran Pedang Huanhua. Demi menghancurkan bukti, Xiao Dongguang bahkan membunuh saksi, menindas para senior, melakukan banyak dosa besar. Akhirnya ketika Xiao Xilou dan Sun Huishan kembali ke keluarga Xiao, mereka bersama-sama mengalahkan Xiao Dongguang, namun mengampuninya dan tidak membunuh. Baru saat itu Xiao Dongguang sadar atas kesalahannya, memilih bungkam, tidak mau mengembalikan identitas masa lalu, hanya rela jadi seorang pekerja, selamanya membersihkan leluhur, dan memohon agar pasangan Xiao Xilou tidak pernah membocorkan bahwa ia adalah “Pedang Terkenal di Telapak Tangan” Xiao Dongguang yang dahulu menggemparkan dunia!
Maka itulah sebabnya dunia persilatan mengira, dalam pertikaian Aliran Pedang Huanhua dulu, Xiao Dongguang sudah tewas. Tak disangka ia tetap berada di Paviliun Pedang Keluarga Xiao, sebagai pelayan tua yang menyapu setiap hari, menebus dosanya sendiri!
Xiao Dongguang tidak mati seperti yang dikira.
Xiao Dongguang berdiri di hadapan mereka.
Xin Huqiu tidak lagi melarikan diri, karena ia tahu sudah terkepung; jika ia hendak kabur, orang pertama yang harus ia langkahi dulu mayatnya adalah Xiao Dongguang.
Ia sudah tinggal di keluarga Xiao dua tahun tujuh bulan, tapi tak tahu bahwa di Paviliun Pedang (nama kediaman keluarga Xiao) masih ada ahli sehebat Xiao Dongguang.
Xiao Dongguang, sembilan belas tahun lalu dengan sebilah pedang patah “Gu Song Can Que”, pernah bertarung melawan “Lima Pedang Langit Panjang (Changtian)”, tiga hari tiga malam, tanpa pemenang. Saat itu ada yang menempatkannya sebagai yang pertama di antara “Tujuh Pendekar Pedang Terkenal”. Baru setelah Xiao Xilou menyatukan Aliran Pedang Huanhua dalam dan luar, dan Xiao Dongguang menghilang, namanya baru dicoret dari daftar Tujuh Pedang Terkenal.
Namun sekarang, dua puluh tahun kemudian, apakah pedang Xiao Dongguang masih sama tajamnya?
Xin Huqiu perlahan mencabut pedangnya.
Pedangnya itu ditarik keluar dari dalam gagang pipa tembakau.
Bilah pedang itu pipih, panjang dan tipis, pendek dan berwarna merah kehitaman. Begitu pedang ditarik keluar, seketika seluruh tempat terasa penuh hawa membunuh yang tajam.
Pedang Xin Huqiu diarahkan ke tanah di depan tubuh Xiao Dongguang, tak bergeming.
Angin mengguncang, bunga-bunga beterbangan, bunga yang ada di depan tubuh Xiao Dongguang pun terangkat.
Pedang hitam yang pipih dan tumpul itu, ternyata punya kekuatan magis semacam itu.
Xiao Dongguang melihat pedang ini, matanya bahkan tidak berkedip.
Ia tahu teknik pedang Xin Huqiu benar-benar bisa membunuh dalam sekejap mata.
Dalam sekejap mata itu, bahkan bisa sekaligus membunuh tiga ahli besar.
Xiao Dongguang ternyata masih bisa tersenyum, lalu mendesah:
“Pedang Bian Zhu (Bian Zhu Shenjian), memang benar-benar senjata tajam!”
Xin Huqiu kedua alisnya terangkat, dengan marah membentak:
“Keluarkan pedangmu!”
Xiao Dongguang tidak menjawabnya, tetap memegang sapu, berkata:
“Dua puluh tahun lalu, engkau Xin Huqiu sejajar ketenaran dengan Qu Jianchi, sama-sama masuk ke dalam Tujuh Pendekar Pedang Terkenal masa kini, hatimu sebetulnya sudah puas. Tetapi karena muda dan penuh nafsu, engkau ingin mencari Li Chenzhou untuk duel hidup-mati. Li Chenzhou adalah ketua Perkumpulan Kekuasaan, diakui sebagai pendekar nomor satu di dunia persilatan.”
Ketika berkata sampai sini, ia berhenti sebentar. Xin Huqiu keringat deras mengalir, menggenggam erat pedang pendek di tangannya.
Xiao Dongguang melanjutkan:
“Li Chenzhou tidak pernah meninggalkan hidup-hidup lawannya, tapi pertempuran itu engkau tidak mati. Mengenai hal itu, aku selalu merasa ragu; belakangan baru tahu bahwa engkau sudah ikut bersama Kong Yangqin bergabung ke dalam Perkumpulan Kekuasaan.”
Dada Xin Huqiu naik turun, tetapi ia tidak berkata apa-apa.
Xiao Dongguang kembali berkata:
“Dua tahun lalu, ketika engkau datang ke keluarga Xiao Huanhua, aku pun tidak menaruh curiga padamu. Hingga suatu malam tiga bulan yang lalu… kau tahu bagaimana aku menemukan identitasmu?”
Xin Huqiu tak bisa menahan diri menggelengkan kepala. Xiao Dongguang justru tidak menjawab, melainkan menoleh ke Xiao Xilou dan berkata:
“Tiga tahun lalu, Perkumpulan Kekuasaan sudah mengutus orang menyusup ke keluarga Xiao, niat jahat dalam hati, perhitungan jauh ke depan, sudah sejak lama berambisi menguasai dunia. Nampaknya di berbagai perguruan dunia persilatan, penyusupan mata-mata pun tidaklah sedikit.”
Baru setelah itu Xiao Dongguang perlahan menyambung:
“Hingga tiga bulan lalu, kau tak bisa menahan diri, akhirnya dengan dalih mabuk, sebenarnya diam-diam keluar benteng, pergi duel pedang dengan orang. Kebetulan aku melihatmu, barulah aku tahu. Aku juga tahu kau bukan hanya mata-mata, melainkan juga salah satu dari ‘Sembilan Langit Sepuluh Bumi, Sembilan Belas Iblis’!”
Wajah Xin Huqiu silih berganti hijau dan pucat, tak bisa membantah. Xiao Dongguang masih tertawa:
“Li Chenzhou menugaskanmu menyusup ke keluarga Xiao, lama tak memberi perintah untuk bertindak, membuatmu tak tahan ingin beraksi, bukan? Ingin agar ‘Pedang Ilahi Pemusnah’ namamu kembali mengguncang dunia persilatan. Kalau tidak terus membantai di dunia persilatan, bagaimana bisa mempertahankan kedudukanmu sebagai salah satu Tujuh Pendekar Pedang Terkenal masa kini?”
Xin Huqiu ingin mendapatkan kekuasaan, maka ia menuruti perintah Li Chenzhou.
—Namun ia tak rela hanya berdiam, maka dengan dalih mabuk, diam-diam keluar dari keluarga Xiao, menumpahkan darah di dunia persilatan.
—Namun justru karena itulah, kelemahannya ketahuan oleh Xiao Dongguang.
Selama ini, memang Xin Huqiu tetap mempertahankan ketenarannya, sementara Xiao Dongguang makin lama makin tenggelam. Itulah harga yang harus dibayar. Kini terjebak dalam bahaya seperti ini, bukankah itu juga hasil dari keringat dan darah?
Xin Huqiu tidak berkata sepatah pun.
Xiao Dongguang berkata:
“Pedang Bianzhu-mu memang terkenal di dunia persilatan. Engkau bisa berlatih pedang hingga berhasil, salah satunya juga karena dua puluh empat tahun lalu di Bukit Harimau engkau secara kebetulan mendapatkan pedang Bianzhu, itu sangat berkaitan. Hanya saja...”
Xin Huqiu kedua alisnya terangkat, tak tahan berkata:
“Hanya saja apa?”
Xiao Dongguang kata demi kata berkata:
“Pedangku bernama ‘Gu Song Can Que’ (Pinus Tua yang Rusak), bila dibandingkan pedang dengan pedang, kita berdua seimbang, tak ada yang bisa mengambil keuntungan.”
Xiao Dongguang, berjuluk “Pedang Terkenal di Telapak Tangan”, pernah pengalaman menggunakan tiga puluh enam bilah pedang pusaka di dunia persilatan, tapi akhirnya ia hanya menggunakan sebilah pedang patah ini, yaitu “Gu Song Can Que”.
Xiao Dongguang adalah seorang ahli besar dalam mengenali pedang, penilaiannya terhadap pedang tentu tidak salah.
Xin Huqiu menatap senjata tajam yang tak terkalahkan di tangannya, namun di dalam hati tak bisa menemukan kembali keyakinan untuk tak terkalahkan seperti yang dahulu ada saat berhadapan dengan musuh.
Xiao Dongguang dengan dingin berkata:
“Yang lebih penting, masih ada satu hal lagi…”
Xin Huqiu menatap Xiao Dongguang, gigi terkatup rapat, namun tidak bertanya.
Xiao Dongguang menatap Xin Huqiu dalam-dalam, lalu berkata:
“Selama tiga tahun ini, setiap waktu engkau hanya memikirkan keluar untuk mencoba pedang; sedangkan selama dua puluh tahun ini, aku setiap waktu hanya berlatih pedang.”
Xiao Dongguang tersenyum, dengan bangga berkata:
“Kita Dua puluh tahun yang sama, tapi engkau terburu-buru ingin adu pedang terus, aku tekun mengasah pedang. Dua puluh tahun lalu aku sudah termasuk Tujuh Pendekar Pedang Terkenal era kita; dua puluh tahun kemudian, ilmu pedangku sudah berada di atas Zhang Linyi. Pertarungan ini, aku punya 100% keyakinan bisa membunuhmu. Engkau, sama sekali tidak punya kesempatan!”
Xin Huqiu keringat deras seperti hujan, tangan yang memegang pedang bergetar, melolong keras:
“Keluarkan pedangmu, ayo bertarung!”