Pendekar Hina Kelana Bab 13: Belajar Menabuh Kecapi

 << Bab Sebelumnya - Halaman Utama Pendekar Hina Kelana - Bab Selanjutnya >>

Terjemahan Cersil Pendekar Hina Kelana

oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Jin Yong (Chin Yung / Louis Cha)
Berdasarkan novel edisi ketiga.

Pendekar Hina Kelana Bab 13: Belajar Kecapi
[Linghu Chong mencoba memainkan "Nyanyian Lagu Langit Biru". Meskipun penjariannya tidak lancar, selain itu, beberapa nada terputus, tapi dari musiknya, orang masih dapat merasakan luasnya langit biru tak berawan.]

Smiling Proud Wanderer Jilid 2

Bab XIII Belajar Menabuh Kecapi

Bagian Pertama

Suasana sunyi senyap, hanya terdengar suara keras murid-murid lelaki dan perempuan yang terengah-engah. Mendadak Yue Buqun berkata dengan sinis, “Linghu Chong, Pendekar Besar Linghu, kau belum membuka totokanku, apa kau benar-benar ingin kami momohon-mohon dulu padamu?”

Linghu Chong sangat terkejut, dengan suara gemetar ia berkata, “Guru, kau……bagaimana kau bisa bercanda dengan murid? Aku……aku akan segera membuka totokan guru”. Ia berusaha untuk bangkit, lalu berjalan dengan terhuyung-huyung ke hadapan Yue Buqun seraya bertanya, “Guru……guru, titik jalan darah mana yang harus dibuka?”

Yue Buqun sangat geram, ia teringat bagaimana sebelumnya di Huashan Linghu Chong berpura-pura menusuk dirinya sendiri dengan pedang, bagaimanapun juga ia tak bersedia membunuh Tian Boguang, saat ini ia mengulangi permainan lamanya, melepaskan kelima belas orang berkedok itu, dan sengaja berlama-lama tidak membuka totokannya, karena khawatir dirinya akan mengejar dan membunuh para penjahat berkedok itu. Dengan gusar ia berkata, “Tak perlu bantuanmu!” Ia terus memakai Ilmu Awan Lembayung untuk membuka titik-titik jalan darah yang tertotok. Setelah ia kena totok musuh, ia terus menerus mengerahkan tenaga dalam yang kuat untuk membuka totokan, namun orang yang menotoknya tenaga dalamnya benar-benar lihai, dan titik-titik yang ditotoknya semua titik penting seperti titik Yuzhen, Shanzhong, Juzhui, Jianzhen, Zhitang dan lain-lain, jalan darah di titik-titik ini terhambat sehingga kekuatan Ilmu Awan Lembayung berkurang, untuk sementara waktu ia tak bisa membuka totokan itu.

Linghu Chong ingin segera membuka totokan gurunya, namun ia sama sekali tak berdaya, beberapa kali ia mencoba dengan sekuat tenaga untuk mengangkat lengannya, namun matanya selalu berkunang-kunang, telinganya berdenging, dan ia hampir pingsan, sehingga ia hanya bisa dengan diam berbaring di sisi Yue Buqun sambil menunggu ia membuka totokannya sendiri.

Nyonya Yue tertelungkup di tanah, saat ia marah barusan ini, ia salah menyalurkan hawa murninya, sekarang sekujur tubuhnya tak bertenaga, ia bahkan tak dapat mengangkat tangannya sendiri untuk menekan luka di kakinya.

Terlihat hari sudah agak terang, hujanpun telah sedikit demi sedikit berhenti, wajah setiap orang perlahan-perlahan berubah dari kabur menjadi jelas. Uap putih menyebar dari ubun-ubun Yue Buqun, wajahnya menjadi ungu, mendadak ia berteriak keras-keras, ternyata titik jalan darah di sekujur tubuhnya telah terbuka. Ia melompat berdiri, sepasang tangannya terkadang menepuk atau memukul, menotok atau menjepit, tak lama kemudian jalan darah semua orang yang terkena totokan telah terbuka. Setelah itu ia menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh Nyonya Yue untuk membantunya mengarahkan qinya. Yue Lingshan cepat-cepat membalut luka ibunya.

Para murid berpikir tentang bagaimana mereka lolos dari lubang jarum kemarin malam, keadaan saat ini berbeda bagai bumi dan langit. Shi Daizi, Gao Genming dan yang lain-lain telah melihat bagaimana Liang Fa dipenggal dengan mengenaskan, mereka semua menangis tersedu-sedu, beberapa murid perempuan menangis keras-keras. Semua orang berpikir, “Untung saja kakak pertama dapat mengalahkan para penjahat itu, kalau tidak apa yang akan terjadi sungguh tak terbayangkan”. Gao Genming melihat Linghu Chong masih tergeletak di tengah lumpur, ia menghampirinya dan membantunya duduk.

Yue Buqun berkata dengan dingin, “Chong er, dari mana kelima belas orang berkedok itu berasal?” Linghu Chong berkata, “Murid……murid tak tahu”. Yue Buqun berkata, "Apa kau kenal mereka? Apa hubunganmu dengan mereka?” Dengan tercengang Linghu Chong berkata, “Murid sama sekali belum pernah melihat seorangpun dari mereka sebelumnya”. Yue Buqun berkata, “Kalau begitu, ketika aku menyuruhmu untuk menahan mereka supaya dapat ditanyai, kenapa kau tak mendengarkan dan malah mengacuhkan perintahku?” Linghu Chong berkata, “Murid……murid……sama sekali tak berdaya, sedikitpun tak punya tenaga dalam, sekarang……sekarang……” Ketika berbicara tubuhnya bergoyang-goyang, jelas bahwa ia sulit untuk berdiri tegak.

Yue Buqun mendengus, lalu berkata, “Permainanmu bagus sekali!” Keringat bercucuran di dahi Linghu Chong, kedua lututnya tertekuk dan ia melemparkan dirinya ke tanah sambil berkata, “Dari kecil aku seorang yatim piatu yang menderita, guru dan ibu guru dengan penuh budi dan kebaikan membesarkan aku, dan memperlakukan murid seperti anak kandung sendiri. Walaupun murid tak berbakti, namun murid pasti tak akan berani tak patuh pada kemauan guru, atau dengan sengaja menipu guru dan ibu guru”. Yue Buqun berkata, “Kau tak berani menipu aku dan ibu gurumu? Ilmu pedangmu ini, hah, dari mana kau mempelajarinya? Apa diajarkan oleh orang sakti dalam mimpi yang tiba-tiba jatuh dari langit?” Linghu Chong bersujud sambil berkata, “Mohon maafkan aku, guru, sesepuh yang mengajarkan ilmu pedang ini minta murid berjanji agar bagaimanapun juga tidak memberitahukan asal usul ilmu pedang ini, bahkan kepada guru dan ibu guru”.

Yue Buqun tertawa sinis, “Tentu saja, dengan ilmu silatmu yang telah mencapai taraf seperti ini, bagaimana kau masih memandang guru dan ibu gurumu? Kepandaian Perguruan Huashan kami yang tak seberapa ini, bagaimana bisa melawan ilmu pedang saktimu itu? Bukankah orang tua berkedok itu berkata demikian? Seharusnya kaulah yang menjadi ketua Perguruan Huashan”.

Linghu Chong tak berani menjawab, hanya bersujud saja, berbagai pikiran berkecamuk di dalam benaknya, “Kalau aku tak memberitahukan bagaimana Kakek Guru Feng Qingyang mengajarkan ilmu pedang ini padaku, guru dan ibu guru tak akan memaafkanku. Namun seorang lelaki sejati harus memegang perkataaannya, bahkan Tian Boguang si maling cabul pemetik bungapun, saat disiksa oleh Enam Dewa Lembah Persik, sama sekali tidak membocorkan keberadaan Kekek Guru Feng. Linghu Chong telah menerima budi besar darinya, aku tak boleh mengecewakannya. Perasaanku terhadap guru dan ibu guru terlihat dengan terang benderang, apalah artinya kalau untuk sementara ini aku dipersalahkan?” Ia berkata, “Guru, ibu guru, bukannya murid berani menentang perintah guru, namun dalam hal ini ada sesuatu yang tak dapat kubicarakan. Nanti murid akan memohon dengan sungguh-sungguh pada sesepuh ini, supaya ia mengizinkan murid untuk menjelaskannya kepada guru dan ibu guru. Pada saat itu aku tak akan berani menutup-nutupi masalah ini sedikitpun”.

Yue Buqun berkata, “Baik, kau berdirilah!” Linghu Chong bersujud dua kali lagi, baru berdiri, namun kedua lututnya lemas, sehingga ia jatuh terduduk. Lin Pingzhi yang sedang berada disampingnya menjulurkan tangan untuk menyokongnya.

Yue Buqun tertawa dingin, “Ilmu pedangmu hebat, namun kepandaianmu berpura-pura lebih hebat lagi”. Linghu Chong tak berani menjawab, pikirnya, “Budi guru padaku setinggi gunung, hari ini ia menyalahkanku tanpa alasan, namun di kemudian hari semuanya akan menjadi terang benderang. Masalah ini terlalu aneh, tak heran kalau beliau menjadi curiga”. Walaupun ia diperlakukan tak adil, namun ia tak sedikitpun merasa marah.

Nyonya Yue berkata dengan lembut, “Kemarin malam kalau bukan karena ilmu pedang Chong er yang luar biasa, Perguruan Huashan akan kalah telak, hal ini tak perlu dibicarakan lagi, kami ibu dan anak jangan-jangan juga tak bisa menghindari dipermalukan. Tak perduli siapa sesepuh yang mengajarkan ilmu pedang itu pada Chong er, kita telah banyak berhutang budi padanya. Mengenai asal usul kelima belas penjahat itu, kita dapat menyelidikinya di kemudian hari. Bagaimana mungkin Chong er  berteman dengan mereka? Bukankah mereka ingin mencincang Chong er, dan Chong er juga telah membutakan mata mereka?”

Yue Buqun mengangkat kepalanya, ia nampak tertegun, seakan tak satupun perkataan Nyonya Yue yang didengarnya.

Para murid menyalakan api untuk memasak nasi, ada juga yang menggali lubang di tanah untuk mengubur jasad Liang Fa. Setelah makan pagi, masing-masing orang mengambil pakaian dari buntalan mereka dan menganti pakaian yang basah. Mata semua orang tertuju pada Yue Buqun untuk mendengarkan perintahnya, mereka semua berpikir, “Apakah kita masih akan pergi ke Perguruan Songshan untuk menemui Ketua Perserikatan Zuo? Feng Buping sudah kalah di bawah pedang kakak pertama, ia sudah tak punya muka untuk memperebutkan jabatan ketua Perguruan Huashan lagi”.

Yue Buqun berkata kepada Nyonya Yue, “Adik, menurutmu kita harus pergi kemana?” Nyonya Yue berkata, “Kita tak harus pergi ke Songshan. Tapi karena kita sudah terlanjur berpergian, kita juga tak usah cepat-cepat kembali ke Huashan”. Ia sangat jeri pada Enam Dewa Lembah Persik, oleh karena itu ia tak berani langsung pulang. Yue Buqun berkata, “Tak ada sesuatu yang perlu kita kerjakan, tidak ada salahnya kalau kita berpesiar dahulu supaya para  murid dapat menambah pengalaman mereka”.

Yue Lingshan sangat girang, ia bertepuk tangan sambil berkata, “Bagus sekali, ayah……” Namun ia segera berpikir bahwa Kakak Liang Fa baru saja meninggal, ia seharusnya tak langsung bergembira seperti ini, maka ia segera berhenti bertepuk tangan. Yue Buqun tersenyum dan berkata, “Begitu aku berbicara tentang berpesiar, kau begitu gembira. Lebih baik ayah mengikuti kemauanmu saja, Shan er, menurutmu kita lebih baik pergi bermain-main kemana?” Sambil berbicara matanya memandang kearah Lin Pingzhi.

Yue Lingshan berkata, “Ayah, kalau kita ingin bermain-main, kita main-main saja sampai puas, makin jauh kita pergi makin baik. Kita main ke rumah si Lin Kecil saja. Saat aku ikut kakak kedua ke Fuzhou, sayang sekali aku harus menyamar menjadi gadis buruk rupa, jarang berjalan-jalan diluar, tak pernah melihat apa-apa. Kelengkeng dari Fujian juga sangat manis, selain itu juga ada jeruk, pohon beringin, bunga bakung……”

Nyonya Yue menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Dari sini sampai ke Fujian selaksa li jauhnya, kita mana punya biaya untuk pergi kesana? Kecuali kalau Perguruan Huashan berubah menjadi Gai Bang dan mengemis di sepanjang jalan”.

Lin Pingzhi berkata, “Guru, ibu guru, tak sampai beberapa hari lagi kita akan sampai di perbatasan Henan, rumah nenek luar murid berada di Luoyang”. Nyonya Yue berkata, “Hmm, kakek luarmu si Golok Emas Tanpa Tanding Wang Yuanba memang orang Luoyang”. Lin Pingzhi berkata, “Ayah ibu murid sudah meninggal, aku sangat ingin memberitahukan semuanya pada kakek dan nenek luar. Kalau guru dan ibu guru beserta para kakak seperguruan bersedia menerima undanganku untuk tinggal beberapa hari di rumah kakek luarku, kakek dan nenekku pasti akan senang. Setelah itu kita bisa perlahan-lahan berpesiar ke rumahku yang sederhana di Fuzhou. Dari kantor cabang Changsha, murid berhasil merebut kembali tidak sedikit emas permata dari tangan Perguruan Qingcheng, mengenai biaya perjalanan…..tak usah dikhawatirkan”.

Sejak Nyonya Yue menikam seorang Dewa Lembah Persik, setiap hari ia merasa takut akan dicabik menjadi empat potong oleh Enam Dewa Lembah Persik, begitu memikirkan hal itu, sekujur tubuhnya langsung mati rasa dan tak kuasa bergerak. Kalau ia teringat bagaimana Cheng Buyou dicabik menjadi empat potong hingga organ-organ dalam tubuhnya berceceran dimana-mana dengan mengenaskan, ia benar-benar ketakutan setengah mati, entah sudah berapa kali ia bermimpi buruk karenanya. Setelah ia melihat sang suami menatap Lin Pingzhi, lalu Lin Pingzhi mengundang semua orang berkunjung ke Min[1] ia berpikir bahwa kalau mereka hendak melarikan diri, lebih jauh tentunya lebih baik. Ia sendiri dan sang suami seumur hidup belum pernah pergi ke selatan, tak ada jeleknya kalau mereka berjalan-jalan ke Fujian, maka sambil tersenyum ia berkata, “Kakak, Lin Pingzhi menawarkan makan dan tempat tinggal, kenapa kita tidak menerima tawarannya?”

Yue Buqun tersenyum, “Nama kakek luar Lin Pingzhi si Golok Emas Tanpa Tanding Wang Yuanba menggetarkan Daratan Tengah, aku sangat ingin bertemu dengannya, namun tak pernah kesampaian. Quanzhou di Fujian adalah tempat Biara Shaolin selatan berada, disana banyak jago-jago dunia persilatan. Setelah pergi ke Luoyang, kita akan pergi ke Fujian, kalau kita dapat menjalin persahabatan dengan beberapa orang sahabat, perjalanan kita tak akan sia-sia”. Ketika para murid mendengar bahwa sang guru berjanji untuk mengajak mereka berpesiar, mereka semua sangat girang. Lin Pingzhi dan Yue Lingshan saling berpandangan sambil tersenyum, hati mereka berbunga-bunga.

Diantara mereka semua hanya Linghu Chong yang merasa sedih, pikirnya, “Guru dan ibu guru kenapa sekarang malah pergi ke Luoyang untuk menemui kakek luar Adik Lin, lalu berkunjung ke Fujian yang laksaan li jauhnya, tentunya mereka ingin mempertunangkan adik kecil dengannya. Mereka datang ke Luoyang menemui para sesepuh di keluarganya, tentunya untuk membicarakan urusan pernikahan; setelah sampai di Fujian, kemungkinan besar mereka akan menikah di rumah keluarga Lin mereka. Aku tak punya ayah ibu, seorang yatim piatu yang tak punya sanak saudara, bagaimana bisa dibandingkan dengan dia yang kantor cabang Biro Pengawalan Fu Weinya tersebar dimana-mana? Untuk apa aku ikut Adik Lin ke Luoyang untuk mengunjungi kakek dan nenek luarnya?” Ia melihat wajah semua adik seperguruan dihiasi senyum riang. Peristiwa meninggalnya Liang Fa dengan begitu mengenaskan agaknya telah dilupakan jauh-jauh. Ia makin merasa tak senang, pikirnya, “Malam ini setelah sampai di penginapan, lebih baik aku pergi dengan diam-diam di tengah kegelapan malam. Bagaimana aku bisa ikut mereka semua, makan nasi Adik Lin, memakai uang Adik Lin, lalu berpura-pura gembira, lalu mengucapkan selamat atas pernikahannya dengan adik kecil, berendeng sebagai suami istri, berbahagia sampai rambut putih?”

* * *

Setelah mereka memulai perjalanan mereka, Linghu Chong mengikuti di belakang, makin lama jalannya makin lambat, jaraknya dari orang-orang lain makin lama makin jauh. Setelah berjalan sampai tengah hari, ketika ia duduk diatas sebongkah batu di tepi jalan untuk beristirahat, ia melihat La Denuo menghampirinya dengan cepat sambil berkata, “Kakak pertama, bagaimana keadaanmu? Apa kau kecapekan? Aku akan menunggumu”. Linghu Chong berkata, “Baik, merepotkan kau saja”. Lao Denuo berkata, “Ibu guru sudah menyewa dua buah kereta besar di depan, sebentar lagi akan datang menjemputmu”. Hati Linghu Chong terasa hangat, “Walaupun guru curiga kepadaku, ibu guru masih memperlakukanku dengan sangat baik”. Tak berapa lama kemudian, sebuah kereta yang ditarik keledai datang. Linghu Chong menaiki kereta itu, Lao Denuo menemani di sisinya.

Malam itu, ketika mereka bermalam di penginapan, Lao Denuo tidur sekamar dengannya. Dalam dua hari hari setelah itu, Lao Denuo selalu mengikutinya. Linghu Chong melihat bahwa ia setia kepada saudara seperguruan, mengurus dirinya yang sedang sakit, ia merasa berterima kasih, “Lao Denuo sudah bisa ilmu silat ketika ia masuk perguruan, usianya jauh lebih tua dariku, biasanya ia juga tak banyak bicara denganku, tak nyana ketika aku kesusahan seperti ini, ia mengurusku dengan sepenuh hati, memang seekor kuda benar-benar baru bisa diketahui kekuatannya setelah menempuh jarak yang jauh”.

Pada malam ketiga, ketika ia sedang berbaring untuk beristirahat di atas kang, mendadak ia mendengar adik seperguruan Shu Qi berbisik di pintu kamar, “Kakak kedua, guru bertanya, apa hari ini kakak pertama melakukan sesuatu yang aneh?” “Sst”, Lao Denuo berbisik, “Jangan bersuara, keluar!’ Begitu mendengar perkataan itu, hati Linghu Chong langsung menjadi sedingin es, saat itu ia baru sadar bahwa kecurigaan sang guru kepadanya tak dapat dianggap remeh, tak nyana ia telah menyuruh Lao Denuo untuk diam-diam memata-matainya.

Ia mendengar Shu Qi berjingkat-jingkat masuk ke dalam. Lao Denuo menghampiri kanguntuk melihat apakah ia benar-benar sudah tidur atau belum. Hati Linghu Chong geram, ia langsung ingin melompat berdiri dan meneriakinya, namun ia berubah pikiran, “Apa hubungan masalah ini dengannya? Ia cuma disuruh oleh guru dan terpaksa melakukannya”. Ia segera menahan amarahnya dan berpura-pura tidur nyenyak. Lao Denuo berjingkat-jingkat keluar ruangan.

Linghu Chong tahu bahwa ia pasti pergi menghadap sang guru untuk melaporkan gerak-geriknya, ia tertawa sinis sendiri, “Aku sama sekali tak bersalah, walaupun kalian menyuruh sepuluh atau seratus orangpun untuk memata-mataiku siang dan malam, Linghu Chong tetap bersikap jujur dan terbuka, apa yang kutakuti?” Rasa geram memenuhi dadanya dan mempengaruhi pernapasannya, ia merasakan darah dan qi bergolak, sulit ditahan, ia bersandar pada bantal dan terengah-engah dengan keras, setelah lama, ia baru bisa menenangkan diri. Ia duduk, mengenakan pakaian dan sepatu sambil berpikir, “ Karena guru sudah tak menganggapku sebagai muridnya dan memperlakukan aku seperti seorang pencuri, untuk apa aku tetap berada di Perguruan Huashan? Lebih baik aku pergi saja. Apa guru mengerti aku atau tidak, terserah dia saja”.

Tepat pada saat itu, ia mendengar seseorang berbisik dari balik jendela, “Jongkok dan jangan bergerak!” Suara seorang lain berbisik, “Kelihatannya kakak pertama sudah bangun”. Suara kedua orang itu sangat pelan, namun di tengah kesunyian malam, pendengaran Linghu Chong juga tajam, sehingga ia dapat mendengar mereka dengan jelas. Ia mengenali mereka sebagai dua orang murid berusia muda, rupanya mereka sedang berjongkok di halaman, untuk menjaga agar ia tak melarikan diri. Kedua tinju Linghu Chong mengepal hingga sendi-sendinya bergemeretakan, pikirnya, “Kalau aku melarikan diri sekarang, aku akan jadi maling yang berdosa. Baiklah! Aku tidak akan pergi, terserah kalian mau apakan aku.”. Mendadak ia berseru, “Pelayan, pelayan, ambilkan arak!”

Setelah memanggil-manggil beberapa lama, pelayan datang membawakan arak. Linghu Chong minum sampai mabuk berat dan tak sadarkan diri. Keesokan paginya, ketika Lao Denuo memapahnya masuk ke dalam kereta, ia masih berteriak, “Ambilkan arak, aku masih mau minum!”


Beberapa hari kemudian, murid-murid Perguruan Huashan tiba di Luoyang,  mereka bermalam bersama di sebuah penginapan besar. Lin PIngzhi pergi seorang diri ke rumah kakek luarnya. Yue Buqun dan yang lain-lain berganti pakaian yang bersih.

Linghu Chong sendiri masih mengenakan jubah berlumpur yang dipakainya saat bertarung di kuil dewa obat itu, saat ini sekujur tubuhnya sangat kotor, matanya terpicing karena mabuk. Yue Lingshan mengambil sehelai jubah panjang, melangkah ke sisinya dan berkata, “Tukarlah bajumu dengan jubah ini, ya?” Linghu Chong berkata, “Untuk apa kau berikan jubah guru untuk kupakai?” Yue Lingshan berkata, “Lin Kecil mengundang kita untuk mengunjungi rumahnya, pakailah jubah ayah”. Linghu Chong berkata, “Apa kalau ke rumah dia harus pakai baju bagus?” Sambil berbicara ia memandanginya dari kaki sampai ke ubun-ubunnya.

Ia melihat bahwa Yue Lingshan mengenakan atasan sutra berwarna zamrud dan rok satin hijau muda, wajahnya dirias tipis. Rambutnya yang hitam legam disisir rapi dan berkilauan, di pelipisnya tersemat sepasang jepit mutiara. Linghu Chong ingat bahwa dahulu ia hanya berdandan seperti ini saat tahun baru, hatinya terasa pedih, ia ingin mengeluarkan kata-kata pedas, namun ia berpikir, “ Seorang lelaki sejati bagaimana bisa begitu sempit pikirannya?” Maka ia menahan diri dan tak berbicara.

Dipandang dengan tajam oleh Linghu Chong, Yue Lingshan merasa jengah dan tak tenang, ia berkata, "Kalau kau tak mau, kau tak usah berganti pakaian". Linghu Chong berkata, "Aku tak biasa memakai pakaian baru, aku tak usah ganti baju!" Yue Lingshan tak berbicara banyak lagi kepadanya, ia mengambil jubah itu dan keluar ruangan.

Terdengar sebuah suara nyaring dari balik pintu, "Ketua besar Yue telah jauh-jauh datang berkunjung, namun aku tak menyambut dari jauh, benar-benar tak sopan!"

Yue Buqun tahu bahwa Golok Emas Tanpa Tanding Wang Yuanba telah datang berkunjung secara pribadi ke penginapan mereka, ia memandang istrinya sambil tersenyum, lalu mereka berdua segera keluar untuk menyambutnya.

Mereka melihat bahwa Wang Yuanba sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, wajahnya kemerahan, di bawah dagunya tergantung janggut panjang putih yang melambai-lambai di depan dadanya, ia nampak segar dan sehat, di tangan kirinya nampak dua buah bola emas sebesar telur angsa yang berdentang-dentang ketika ia memainkannya. Di dunia persilatan, orang yang memainkan bola adalah sangat biasa, namun biasanya bola-bola itu dibuat dari besi atau baja. Bola-bola yang tergenggam di tangan Wang Yuanba terbuat dari emas murni yang berkilauan, beratnya lebih dari dua kali bola besi, dan juga nampak mewah. Begitu melihat Yue Buqun, ia tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Senang sekali bertemu anda, senang sekali bertemu anda! Nama ketua besar Yue termasyur di dunia persilatan, sudah sepuluh tahun lebih aku si tua ini ingin bertemu, hari ini anda datang ke Luoyang, sungguh merupakan keberuntungan besar bagi dunia persilatan di Henan". Sambil berbicara ia mengenggam tangan kanan Yue Buqun dan mengoyang-goyangkannya, rasa girangnya nampak tulus.

Yue Buqun berkata, "Kami berdua suami istri mengajak para murid berpesiar dan mengunjungi teman-teman untuk menambah pengalaman, orang pertama yang ingin kami kunjungi memang pendekar besar dari Henan, Golok Emas Tanpa Tanding Tuan Wang. Kami para tamu yang tak diundang ini sudah merepotkan kalian".

Wang Yuanba berkata dengan lantang, "Empat perkataan 'Golok Emas Tanpa Tanding' ini tak boleh disebut-sebut di hadapan ketua besar Yue. Barangsiapa yang menyebutnya bukan memuji aku, tapi malah menurunkan derajatku. Tuan Yue, anda telah menerima cucu luarku, ini adalah suatu budi baik yang seperti memberinya hidup baru, kita Perguruan Huashan dan keluarga Golok Emas sejak ini seperti satu keluarga besar. Mari, mari, mari, datang ke rumahku, sebelum kalian tinggal selama setengah tahun di rumahku, kalian tak boleh meninggalkan Luoyang selangkahpun. Ketua besar Yue, aku si tua ini akan mengusung barang-barang bawaanmu sendiri".

Yue Buqun cepat-cepat berkata, "Aku tak berani menerima penghormatan semacam ini".

Wang Yuanba berpaling kepada kedua putranya yang mengikuti di belakangnya, "Bofen, Zhongqiang, cepat bersujud pada paman guru dan bibi guru Yue". Wang Bofen dan Wang Zhongqiang serentak menjawab, mereka menekuk lutut dan bersujud. Suami istri Yue Buqun segera berlutut dan membalas menghormat seraya berkata, "Kami berdua satu angkatan, bagaimana kalian dapat memanggil kami paman guru? Bahkan kalau dihitung dari Pingzhi, kita juga angkatan yang sama". Nama Wang Bofen dan Wang Zhongqiang sangat terkenal di dunia persilatan Henan dan Hubei, walaupun mereka selalu mengagumi Yue Buqun, namun mereka enggan bersujud padanya, namun perintah sang ayah tak dapat dibantah, maka mereka menekuk lutut dengan enggan. Ketika mereka melihat suami istri Yue Buqun juga bersujud membalas menghormat, mereka sangat senang. Keempat orang itu menjalankan peradatan lalu berdiri.

Ketika Yue Buqun memandang mereka berdua, ia melihat bahwa kakak beradik itu sama sama bertubuh sangat jangkung, namun Wang Zhongyang jauh lebih gemuk, kedua kening mereka tampak menonjol, urat-urat tangan mereka nampak jelas, jelas bahwa tenaga luar dan dalam mereka sangat kuat. Yue Buqun berkata pada para murid, "Kalian semua kemari dan menghormatlah pada Tuan Wang dan kedua paman guru. Ilmu silat keluarga Golok Emas menggetarkan Daratan Tengah, para leluhur Perguruan Huashan dari generasi sebelumnya amat menghargai keluarga Golok Emas. Hari ini kita telah menerima petunjuk dari Tuan Wang dan kedua paman guru, tentu akan sangat besar manfaatnya".

Para murid serentak menjawab, "Baik!" Ruang depan penginapan itupun dipenuhi oleh para murid yang berlutut.

Wang Yuanba tersenyum, "Aku tak berani menerima penghormatan ini!" Wang Bofen dan Wang Zhongqiang berdua juga menjalankan peradatan.

Lin Pingzhi berdiri di samping dan memperkenalkan satu persatu murid pada sang kakek luar. Wang Yuanba adalah seorang kaya. Sebelumnya ia telah mempersiapkan empat puluh tahil perak untuk diberikan kepada setiap orang sebagai hadiah. Kedua kakak beradik Wang membagi-bagikannya kepada setiap orang.

Ketika Lin Pingzhi memperkenalkan Yue Lingshan, Wang Yuanba menyeringai dan berkata pada Yue Buqun, "Adik Yue, putrimu ini benar-benar cantik, apa dia sudah punya tunangan?" Yue Buqun tertawa, "Usia putriku masih muda, lagipula kami adalah keluarga pesilat, nona besar kami seharian bermain golok dan pedang, sama sekali tak bisa menyulam atau memasak, keluarga mana yang mau mengambilnya sebagai menantu?"

Wang Yuanba tersenyum, "Adik terlalu merendah, dia adalah gadis pemberani dari keluarga jenderal, anak cucu keluarga biasa tentunya tak berani menjalin hubungan dengannya. Tapi baik juga bagi seorang anak gadis untuk belajar keterampilan wanita". Ketika berbicara sampai disini, suaranya bertambah rendah dan ia sepertinya sangat menyesal. Yue Buqun tahu bahwa ia teringat pada putrinya yang tewas di Hunan, maka ia segera berhenti tersenyum dan menjawab, "Ya!"

Wang Yuanba bersikap terbuka pada setiap orang, namun ia segera menahan rasa sedih karena kehilangan putrinya. Ia tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Putrimu begitu cantik dan berbakat, untuk mencari seorang pendekar muda untuk menjadi pasangannya tentu tidak mudah".

Lao Denuo pergi ke kamar penginapan dan memapah Linghu Chong keluar, Linghu Chong berjalan dengan terhuyung-huyung, ketika melihat Wang Yuanba dan kakak beradik Wang, ia tidak bersujud, melainkan hanya menjura dalam-dalam seraya berkata, "Murid Linghu Chong menghormat pada Tuan Wang dan kedua paman guru".

Yue Buqun mengerutkan dahinya sambil berkata, "Kenapa kau tak bersujud?" Wang Yuanba sebelumnya sudah mendengar laporan dari cucunya, ia tahu Linghu Chong terluka, maka ia tersenyum dan berkata, "Keponakan Linghu sedang tidak sehat, tak usah banyak peradatan. Adik Yue, ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan kalian disebut nomor satu diantara Perguruan Pedang Lima Puncak, kekuatan minummu pasti hebat, mari, ayo minum sepuluh mangkuk besar". Sambil berbicara ia menarik tangan Yue Buqun dan membawanya masuk ke dalam penginapan.

Nyonya Yue, Wang Bofen, Wang Zhongqiang dan seluruh murid mengikuti di belakang mereka.

Ketika mereka keluar dari penginapan, di luar sudah tersedia kereta-kereta dan kuda tunggangan. Kaum wanita menaiki kereta, sedangkan para tamu lelaki menunggang kuda, atap kereta, kekang dan pelana kuda dihias dengan indah. Sejak Lin Pingzhi datang ke rumah kakeknya sampai Wang Yuanba berkunjung ke penginapan tidak sampai satu shichen berlalu, kereta dan kuda disiapkan dengan amat cepat, dari hal ini dapat diketahui bahwa keluarga Golok Emas Wang adalah keluarga berpengaruh di Luoyang.

Ketika mereka tiba di rumah keluarga Wang, mereka melihat bahwa rumah itu tinggi dan luas, gerbang besarnya di cat dengan lak merah, di gerbang itu ada dua buah cincin tembaga yang berkilauan bagai salju, delapan orang lelaki tinggi besar menunggu di samping pintu gerbang. Begitu mereka memasuki gerbang, mereka melihat sebuah papan hitam besar tergantung dari balok atap, di atasnya tertulis tiga kata dengan tinta emas, 'SIAP MEMBELA KEADILAN', di bawahnya tertulis nama gubernur Propinsi Henan.

Malam itu Wang Yuanba mengadakan pesta besar untuk menjamu Yue Buqun dan murid-muridnya, ia tak hanya mengundang tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan Luoyang untuk menemani mereka, namun juga tidak sedikit para bangsawan, tokoh masyarakat dan pedagang kaya.

Linghu Chong adalah murid tertua Perguruan Huashan, kecuali Yue Buqun dia adalah tamu paling yang paling senior. Ketika para hadirin melihat pakaiannya lusuh dan wajahnya lesu, semua diam-diam merasa heran. Namun di dunia persilatan sangat banyak tokoh yang aneh dan unik, para ketua Gaibang semua berpakaian compang-camping. Karena dia adalah murid kepala Perguruan Huashan, tentunya dia bukan orang biasa, maka semua orang memperlakukannya dengan sangat hormat.

Linghu Chong duduk di kursi kedua, menemani sang tuan rumah Wang Bofen. Arak telah beredar tiga kali, namun Wang Bofen melihat bahwa raut muka Linghu Chong dingin dan acuh tak acuh, kalau ia menanyainya tiga kali, ia sering hanya menjawab sekali, jelas bahwa ia tak memperdulikan kedudukannya yang lebih senior. Ia teringat bahwa sebelumnya di penginapan, orang ini bahkan tak bersujud pada dirinya sendiri dan ayahnya, namun tak sungkan menerima keempat puluh tahil perak yang dihadiahkan kepadanya. Mau tak mau ia merasa tersinggung, ia berbicara tentang ilmu silat dan mengajukan beberapa pertanyaan yang sukar untuk mengujinya.

Linghu Chong hanya menggeleng, namun sama sekali tak menjawab. Ia sama sekali tak punya rasa permusuhan dengan Wang Bofen, namun ia melihat keluarga Wang hidup dengan begitu mewah, sedangkan dirinya sendiri hanya seorang bocah miskin, benar-benar bagai bumi dan langit. Begitu Lin Pingzhi tiba di rumah kakek luarnya, ia segera berganti jubah panjang yang terbuat dari brokat Sichuan, wajahnya memang tampan, begitu mengenakannya ia bertambah kelihatan seperti seorang kaya dan terhormat yang anggun, sungguh amat tampan. Begitu Linghu Chong melihatnya, tak bisa tidak ia merasa rendah diri, pikirnya, "Pantas saja saat berada di Huashan adik kecil berhubungan akrab dengannya, kalaupun ia bersikap seperti sediakala kepadaku, apa untungnya mengikuti aku yang miskin seperti ini?" Hatinya bergejolak, pikirannya hanya memikirkan Yue Lingshan, tak perduli Wang Bofen berbicara apapun, ia tak mendengarkannya.

Di dunia persilatan di Henan dan sekitarnya, semua orang menjilat Wang Bofen, namun malam ini ia diperlakukan dengan acuh tak acuh oleh Linghu Chong yang jauh kebih muda darinya. Dalam keadaan biasa, ia tentu sudah naik pitam, namun, pertama, ia mengingat kakak perempuannya yang baru meninggal dunia, kedua, ia melihat bahwa ayahnya begitu menghormati Perguruan Huashan, maka ia menahan amarahnya dan susul-menyusul bersulang dengan Linghu Chong. Linghu Chong menengak habis setiap cawan arak, tanpa sadar ia telah minum empat puluh cawan lebih. Ia memang sangat kuat minum, walaupun minum seratus cawanpun ia tak akan mabuk, namun saat ini ia tak punya tenaga dalam, hingga kekuatan minumnya juga banyak berkurang. Lagipula, ia minum arak dengan perasaan sedih, sehingga ia lebih mudah mabuk. Setelah minum empat puluh cawan arak lebih ia sudah mulai mabuk. Wang Bofen berpikir, "Kau bocah yang tak mengerti seluk beluk dunia, keponakanku adalah adik seperguruanmu, seharusnya kau memanggilku paman guru atau paman. Kalau kau tak mau memanggilku paman, tak apa, tapi kau juga tak memperdulikanku. Kaau pikir aku Wang Bofen orang macam apa? Baik, hari ini kau akan kubuat mabuk supaya kau mempermalukan dirimu sendiri di depan semua orang".

Ia melihat bahwa mata Linghu Chong sudah setengah tertutup karena mabuk, Wang Bofen tersenyum dan berkata, "Adik Linghu adalah murid kepala Perguruan Huashan, benar-benar seorang pahlawan muda, ilmu silatnya hebat, kekuatan minumnya juga hebat. Pelayan, ambilkan semangkuk arak lagi, beri tuan muda Linghu arak".

Para pelayan keluarga Wang menjawab dengan nyaring dan menuangkan arak. Seumur hidupnya, Linghu Chong belum pernah menolak arak yang diberikan orang padanya, ia langsung menengak semangkuk arak itu, lalu minum lima atau enam mangkuk besar lagi, bau arak menyeruak, tiba-tiba ia menyapu mangkuk dan sumpit yang berada di meja di depannya hingga jatuh ke lantai.

Orang-orang yang duduk bersamanya semua berkata, "Pendekar muda Linghu sudah mabuk. Minumlah teh hangat untuk mengusir rasa mabuk". Wang Bofen tersenyum, "Dia adalah murid tertua ketua Perguruan Huashan, bagaimana ia begitu gampang mabuk? Adik Linghu, ayo minum lagi!" Ia menuangkan semangkuk arak lagi untuk Linghu Chong.

Linghu Chong berkata, "Mabuk......mabuk apa? Ayo minum lagi!" Ia mengangkat mangkuk arak itu dan meminumnya sampai tandas, setengah dari arak dalam mangkuk itu membasahi bagian depan bajunya. Tiba-tiba tubuhnya bergoyang-goyang dan ia muntah, memuntahkan arak dan makanan di dalam perutnya hingga memenuhi permukaan meja. Sisa arak dan makanan menciprat ke segala penjuru dan mengenai orang-orang. Orang-orang yang duduk bersamanya serentak menghindar, namun Wang Bofen tak henti-hentinya tersenyum sinis. Karena Linghu Chong muntah, pandangan mata semua orang di aula itu tertuju padanya.

Kening suami istri Yue Buqun berkerut, mereka berpikir, "Anak ini tidak tahu cara bersikap di depan umum, ia mempermalukan dirinya sendiri di depan begitu banyak tamu yang terhormat".

Lao Denuo dan Lin Pingzhi bersamaan menerjang ke depan untuk memapah Linghu Chong. Lin Pingzhi berkata, "Kakak Pertama aku akan memapahmu supaya kau dapat beristirahat". Linghu Chong berkata, "Aku.....aku tidak mabuk, aku masih mau minum arak. Ambilkan arak". Lin Pingzhi berkata, "Baik, baik, cepat ambilkan arak". Dengan mata merah karena mabuk, Linghu Chong meliriknya, "Kau......kau si Lin Kecil, kenapa kau tak menemani adik kecil? Untuk apa kau mengajakku? Bikin repot saja!" Lao Denuo berbisik, "Kakak pertama, ayo istirahat dulu, disini banyak orang, jangan bicara sembarangan". Linghu Chong berkata dengan gusar, "Aku bicara sembarangan apa? Guru menyuruh kalian memata-mataiku? Kau......kau sudah menemukan bukti apa? Kalaupun tak ada, kau akan membuat-buatnya supaya kau disayang guru!" Lao Denuo sangat khawatir kalau-kalau setelah mabuk kata-katanya bertambah kacau, ia dan Lin Pingzhi berdua memapahnya dan dengan susah payah membawanya ke ruangan belakang di sayap gedung untuk beristirahat.

Ketika Yue Buqun mendengar ia berkata "Guru menyuruh kalian memata-mataiku? Kau......kau sudah menemukan bukti apa?", walaupun ia pandai mengendalikan diri, namun tak bisa tidak air mukanya berubah. Wang Yuanba tersenyum, "Adik Yue, kalau anak muda mabuk mereka bicara tak keruan, tak usah kau perdulikan. Ayo minum lagi!" Yue Buqun memaksakan diri untuk tersenyum, "Pemuda kampung yang belum pernah melihat dunia, mohon supaya Tuan Wang memaafkannya".

Setelah perjamuan selesai, Yue Buqun memerintahkan Lao Denuo supaya tak mengikutinya lagi, dan hanya diam-diam memperhatikannya saja.

Malam itu Wang Yuanba memanggil kedua putranya, menyuruh mereka menutup pintu kamar, dan berbicara dengan suami istri Yue Buqun tentang bagaimana Perguruan Qingcheng menghancurkan Biro Pengawalan Fu Wei, dan tentang bagaimana mereka dapat membalas dendam bagi putri dan menantunya yang dibunuh oleh Yu Canghai dan Mu Gaofeng.

Dengan penuh perasaan Yue Buqun bercerita tentang bagaimana Perguruan Qingcheng mengalahkan mereka dengan begitu banyak orang, terjadinya perselisihan di dalam Perguruan Pedang Lima Puncak, dan perselisihan yang masih terjadi saat ini, yang belum tentu dapat dimenangkannya. Kalau di kemudian hari mereka harus bertempur, Perguruan Huashan tak akan melalaikan kewajiban mereka. Wang Yuanba, kedua putranya dan Lin Pingzhi serentak mengucapkan terima kasih, kedua belah pihak berbicara sampai larut malam.

* * *

Linghu Chong mabuk dan baru sadar siang esok harinya, ia tak ingat sepatah katapun perkataannya kemarin malam. Ia merasa kepalanya begitu sakit seperti akan pecah, ia melihat bahwa seprai di kamar yang ditempatinya sendiri itu amat bersih. Ia melangkah keluar kamar, namun tak melihat seorang muridpun. Ia bertanya pada seorang pelayan, ternyata mereka sedang berada di aula belakang tempat berlatih silat untuk saling bertukar kepandaian dengan anak cucu dan murid keluarga Wang. Linghu Chong berkata dalam hati, "Untuk apa aku bergaul dengan mereka? Lebih baik aku keluar melihat-lihat". Ia langsung keluar dari pintu gerbang.

Luoyang adalah ibu kota beberapa dinasti, kotanya megah, namun toko-tokonya tak terlalu ramai. Linghu Chong tak terlalu pandai membaca, pengetahuannya tentang peristiwa bersejarah zaman kuno terbatas, ketika ia melihat tempat-tempat bersejarah terkenal di dalam kota Luoyang, ia sama sekali tak mengetahui sejarahnya, hingga ia sama sekali tak tertarik melihatnya. Ia melangkah dengan santai ke sebuah lorong sempit dan melihat tujuh atau enam bergajul sedang main judi dadu di sebuah kedai arak kecil. Ia mendesak ke depan dan mengeluarkan bungkusan yang berisi hadiah yang diberikan Wang Yuanba kemarin, mengambil beberapa tahil, lalu berjudi dengan mereka sambil berteriak-teriak. Saat senja tiba, ia telah minum-minum sampai mabuk di kedai arak kecil itu.

Beberapa hari berturut-turut, ia berjudi dan minum-minum dengan para bergajul itu, dalam beberapa hari pertama, ia beruntung dan memenangkan beberapa tahil perak, namun pada hari keempat ia kalah telak. Keempat puluh tahil perak itu sudah habis ludes. Para bergajul itu tak mengizinkannya berjudi lagi. Linghu Chong naik pitam, ia terus minum arak, setelah menghabiskan beberapa guci arak, pelayan kedai berkata, "Anak muda, kau sudah kalah habis-habisan, bagaimana kau akan bayar bon arak ini?" Linghu Chong berkata, "Aku akan bayar hutangku besok". Pelayan kedai itu berkata, "Kedai ini kecil dan untungnya sedikit, kerabat dan sahabatpun tak boleh hutang!" Linghu Chong gusar dan berteriak, "Kau bilang tuan mudamu ini tak punya uang?" Si pelayan berkata, "Tak perduli kau tuan muda atau tuan besar, kalau punya uang boleh minum, kalau tak punya uang tak boleh hutang".

Linghu Chong memandang dirinya sendiri, pakaiannya lusuh, penampilannya tak seperti orang yang punya uang, kecuali pedang yang tergantung di pinggangnya, ia sama sekali tak punya barang berharga, maka ia langsung melepaskan pedang itu dan melemparkannya ke atas meja sambil berkata, "Bawalah ke pegadaian!"

Seorang bergajul ingin mengalahkannya dan mengambil uangnya, maka ia cepat-cepat berkata, "Baik, akan kugadaikan untukmu". Ia membawa pedang itu dengan kedua belah tangannya dan melangkah pergi.

Si pelayan kedai membawa dua poci arak dan menaruhnya di atas meja. Ketika Linghu Chong telah menengak habis satu poci, si bergajul kembali dengan membawa beberapa tahil perak, "Semuanya dapat tiga tahil dan empat kepeng". Ia memberikan tahil perak dan kupon gadai kepadanya. Linghu Chong menimang tahil perak itu di tangannya, beratnya tak sampai tiga tahil, ia tak banyak bicara dan langsung berjudi dengan para bergajul itu. Setelah berjudi sampai sore, dua tahil lebih sudah melayang entah kemana untuk membayar arak dan kekalahan.

Linghu Chong berkata pada bergajul di sampingnya, si sumbing Chen, "Aku pinjam tiga tahil dulu, kalau aku menang kau akan kubayar dobel". Si sumbing Chen berkata, "Bagaimana kalau kau kalah?" Linghu Chong berkata, "Kalah? Besok kubayar kau". Si sumbing Chen berkata, "Bocah, kurasa kau tak punya uang di rumah, kalau kalah bagaimana kau akan bayar? Jual istrimu? Jual adik perempuanmu?" Amarah Linghu Chong meledak, ia membalikkan tangannya dan menampar si sumbing Chen, saat itu ia sudah hampir mabuk berat, dengan enteng ia mengambil dua tahil perak yang berada di depannya. Si sumbing Chen berteriak, "Hei, hei! Bocah ini perampok". Para bergajul segera bergerombol dan mendesak ke depan, tujuh atau delapan tinju serentak menghajar tubuh Linghu Chong.

Linghu Chong tak mengenggam pedang, tenaga dalampun ia sama sekali tak punya, beberapa bergajul itu menekannya ke tanah sambil meninju dan menendanginya, wajahnya langsung babak belur. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda, beberapa penunggang kuda lewat di sampingnya. Salah seorang penunggang kuda berseru, "Pergi, pergi!" Ia mengayun-ayunkan cambuk kuda untuk membubarkan para bergajul itu. Linghu Chong tertelungkup di tanah dan tak bisa bangkit.

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, "Ai, apa itu bukan kakak pertama?" Ia adalah Yue Lingshan. Seseorang lain berkata, "Coba aku lihat". Ternyata ia adalah Lin Pingzhi. Ia turun dari kuda dan membalikkan tubuh Linghu Chong, lalu berkata dengan kaget, "Kakak pertama, kau kenapa?" Linghu Chong menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum getir, "Aku mabuk! Kalah judi!" Lin Pingzhi cepat-cepat mengendongnya dan menaikannya ke punggung kuda.

Selain Lin Pingzhi dan Yue Lingshan berdua, ada empat penunggang kuda lain, mereka adalah kedua putri Wang Bofen dan kedua putra Wang Zhongqiang, sepupu-sepupu Lin Pingzhi. Pagi itu mereka berenam telah berpesiar melihat-lihat kuil dan tempat-tempat terkenal lain di kota Luoyang, setelah puas berpesiar, mereka hendak pulang. Mereka tak menyangka bahwa di lorong kecil itu, mereka akan melihat Linghu Chong dipukuli orang sampai babak belur seperti itu. Keempat orang itu tercengang, "Perguruan Huashannya termasuk Perguran Pedang Lima Puncak, kakek biasanya selalu memuji mereka, beberapa hari sebelum ini kami bertukar pendapat tentang ilmu silat dengan murid-murid mereka, mereka memang benar-benar mempunyai kungfu yang luar biasa.  Linghu Chong ini adalah murid kepala Perguruan Huashan, kenapa ia tak bisa melawan beberapa bajingan kelas kambing seperti ini?" Mereka melihat bahwa hidungnya yang kena pukul mengalirkan darah, jelas bukan dibuat-buat, sungguh suatu hal yang aneh.

Setelah Linghu Chong kembali ke rumah Wang Yuanba, ia beristirahat beberapa hari untuk menyembuhkan lukanya. Ketika suami istri Yue Buqun mendengar bahwa ia berkelahi dengan beberapa bergajul dan kalah judi, mereka sangat marah, tapi tak menengoknya.

* * *

Pada hari kelima, putra bungsu Wang Zhongqiang, Wang Jiaju dengan bersemangat masuk ke dalam kamarnya sambil berkata, "Kakak Linghu, hari ini aku melampiaskan amarahmu, tujuh bergajul yang memukulimu tempo hari sudah kutemukan dan kucambuki keras-keras".

Terhadap masalah itu, Linghu Chong sama sekali tak memasukkannya di dalam hati, dengan hambar ia berkata, "Tak usahlah. Hari itu aku minum sampai mabuk, jadi itu salahku sendiri".

Wang Jiaju berkata, "Mana boleh begitu? Kau adalah tamu keluarga kami, kalau mereka tak memberi muka pada biksu, mereka harus memberi muka pada Buddha[2], bagaimana tamu Keluarga Golok Emas Wang kami bisa dipukuli orang di dalam kota Luoyang dan pelakunya tidak dihukum? Kalau masalah ini tak dibereskan, bukankah orang akan memandang Keluarga Golok Emas Wang dengan sebelah mata?"

Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Linghu Chong merasa agak muak dengan 'Keluarga Golok Emas Wang', ketika ia mendengarnya terus-terusan menyebut-sebut 'Keluarga Golok Emas Wang' seakan-akan mereka adalah keluarga kaya yang pengaruhnya setinggi langit di dunia persilatan, ia tak bisa menahan diri untuk berkata, "Kalau cuma untuk menggebuki beberapa bergajul seperti itu, tak perlu 'Keluarga Golok Emas Wang' ". Begitu perkataan itu keluar dari mulutnya, ia langsung menyesalinya dan ingin minta maaf. Wajah Wang Jiaju berubah masam, "Kakak Linghu, kenapa kau bicara begitu? Tempo hari kalau aku dan kakak tidak memukuli dan mengusir bergajul-bergajul itu, apa hari ini kau masih hidup?" Linghu Chong tertawa hambar dan berkata, "Benar! Aku sangat berterima kasih atas budi baik kalian menyelamatkan nyawaku".

Ketika Wang Jiaju mendengar nada suaranya, ia tahu bahwa ia sedang menyindirnya, ia bertambah gusar dan berkata dengan suara keras, "Kau adalah murid tertua ketua Perguruan Huashan, tapi menghadapi bajingan kota Luoyang saja kau tak bisa. Hehehe, orang luar yang tak tahu, apa tidak mengira kau cuma seorang pengangguran yang nama besarnya kosong?"

Saat itu Linghu Chong tak memperdulikan apapun, maka ia berkata, "Dari dulu memang aku tak punya nama besar apapun, mana bisa dibilang 'pengangguran yang nama besarnya kosong?"

Tepat pada saat itu, seseorang berteriak dari balik pintu kamar, "Adik, kau bicara apa dengan Linghu Chong?" Tirai yang menutupi pintu kamar tersibak, dan seseorang masuk ke dalam kamar, dia adalah putra tertua Wang Zhongqiang, Wang Jiajun.

Dengan gusar Wang Jiaju berkata, "Kakak, aku dengan maksud baik membantu dia melampiaskan amarahnya dengan menghajar ketujuh bajingan itu, setiap orang kucambuk keras-keras, tak nyana si pendekar besar Linghu ini malah menyalahkan aku". Wang Jiajun berkata, "Adik, kau tak tahu, barusan ini aku mendengar Adik Yue berkata, Kakak Linghu ini tidak menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya, tempo hari di Kuil Dewa Obat di Shanxi, hanya dengan sebilah pedang, ia membutakan mata lima belas jago kelas satu dengan satu jurus. Ilmu pedangnya benar-benar sakti, tak ada bandingannya di kolong langit ini, hahaha, hahaha!" Nada tertawanya sinis, jelas bahwa ia sama sekali tak percaya pada perkataan Yue Lingshan. Wang Jiaju ikut tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Rupanya kelima belas jago kelas satu itu kalau dibandingkan dengan bergajul kota Luoyang kita, ilmu silatnya kalah jauh. Hahaha, hahaha!"

Linghu Chong tidak gusar, ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu duduk di kursi sambil memeluk lutut kanannya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan perlahan.

Kali ini Wang Jiajun menerima perintah paman dan ayahnya untuk menanyai Linghu Chong. Kakak beradik Wang Bofen dan Wang Zhongqiang sebenarnya menyuruh mereka untuk menanyainya tanpa kentara dengan sopan, supaya tidak menyinggung tamu, akan tetapi ketika mereka melihat raut mukanya yang angkuh, sama sekali tak memandang kakak beradik itu, amarah mereka perlahan-lahan memuncak. Ia berkata, "Kakak Linghu, adik ingin minta petunjuk tentang suatu masalah". Suara bicaranya sangat keras. Linghu Chong berkata, "Aku tak berani memberimu petunjuk". Wang Jiajun berkata, "Kami dengar dari Adik Sepupu Pingzhi, saat paman dan bibi meninggal dunia, hanya Kakak Linghu seorang yang berada di sisi mereka". Linghu Chong berkata, "Tepat sekali". Wang Jiajun berkata, "Perkataan terakhir paman dan bibi telah kausampaikan pada Adik Sepupu Pingzhi". Linghu Chong berkata, "Benar". Wang Jiajun berkata, "Kalau begitu Kitab Pedang Penakluk Kejahatan pamanku ada dimana?"

Begitu Linghu Chong mendengar perkataannya, ia langsung berdiri dan berkata dengan lantang, "Apa katamu?"

Wang Jiajun berjaga-jaga kalau-kalau ia marah dan memukul, ia mundur selangkah, lalu berkata, "Pamanku punya Kitab Pedang Penakluk Kejahatan yang dipercayakan pada, untuk diberikan pada Pingzhi, kenapa sampai sekarang belum kau berikan padanya?" Ketika Linghu Chong mendengarnya menuduhnya dengan sembarangan, ia begitu gusar hingga sekujur tubuhnya gemetar, dengan suara gemetar ia berkata, "Siapa......siapa yang berkata bahwa ada sebuah kitab......Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, yang dipercayakan.......dipercayakan padaku untuk diberikan kepada Adik Lin?" Wang Jiajun tersenyum, "Kalau tak ada masalah apapun, kenapa kau bersikap seperti maling yang takut ketahuan, bicara saja gemetar seperti ini?" Linghu Chong berusaha menahan amarahnya, "Saudara Wang, Linghu Chong adalah tamu di rumah kalian, perkataanmu ini apakah berasal dari kakek atau ayahmu yang terhormat, atau dari kalian sendiri?"

Wang Jiajun berkata, "Aku cuma asal bertanya, memangnya kenapa? Sama sekali tak ada hubungannya dengan kakek dan ayahku. Namun Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan keluarga Lin menggetarkan seluruh kolong langit, seluruh dunia persilatan sudah mengetahuinya. Saat Paman Lin tiba-tiba meninggal, Kitab Pedang Penakluk Kejahatan yang dibawanya hilang entah kemana. Karena kami adalah kerabat dekatnya, mau tak mau kami harus menyelidikinya".

Linghu Chong berkata, "Si Lin Kecil menyuruh kalian menanyaiku, benar tidak? Kenapa ia sendiri tidak menanyaiku?"

Wang Jiajun tertawa terkekeh-kekeh tiga kali, lalu berkata, "Adik Sepupu Pingzhi adalah adik seperguruanmu, dia mana berani menanyaimu?" Linghu Chong tertawa sinis, "Karena sudah didukung oleh Keluarga Golok Emas Wang, hah, kalian sekarang bisa bersama-sama memaksaku bicara. Panggilah Lin Pingzhi kemari". Wang Jiajun berkata, "Kau adalah tamu kami, kami tak berani menggunakan perkataan "memaksa bicara" itu. Kami kakak beradik hanya merasa ingin tahu, kalau Kakak Linghu bersedia mejawab tentunya sangat baik, tapi kalau kau tak mau menjawab, kami juga tak dapat memaksamu".

Linghu Chong mengangguk, "Aku tak mau menjawab! Kalian tak bisa memaksaku, silahkan pergi!"

Kakak beradik keluarga Wang itu saling berpandangan dengan putus asa, mereka tidak menyangka bahwa ia begitu lugas dan langsung menutup pokok pembicaraan.

Wang Jiajun mendehem, lalu mengalihkan pokok pembicaraan, "Kakak Linghu, ilmu pedang yang kau pakai untuk membutakan mata lima belas orang jago itu sangat hebat, kemungkinan besar tentu kau pelajari dari Kitab Pedang Penakluk Kejahatan!"

Linghu Chong sangat terkejut, keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya, mau tak mau tangannya gemetar, tiba-tiba semuanya menjadi terang benderang baginya, "Guru, ibu guru, para adik seperguruan dan adik kecil tidak merasa berterima kasih karena aku menyelamatkan nyawa mereka, mereka semua malah merasa sangat curiga. Aku tidak pernah tahu apa alasannya, ternyata begini, ternyata begini! Mereka semua yakin bahwa aku telah menggelapkan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan Lin Zhennan. Karena mereka tak pernah melihat Sembilan Pedang Dugu, dan aku juga tak bisa membocorkan rahasia Kakek Guru Feng yang mengajarkan ilmu pedang itu padaku. Mereka melihat aku tinggal beberapa bulan di Siguoya, lalu tiba-tiba ilmu pedangku maju pesat, bahkan jago Faksi Pedang seperti Feng Bupingpun tak bisa melawanku, kalau bukan dari  mempelajari jurus-jurus hebat dari Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, dari mana aku mempelajari ilmu pedang itu? Kebetulan Kakek Guru Feng mengajariku ilmu pedang, tak ada yang menyangkanya, tapi saat suami istri Lin Zhennan meninggal dunia, aku adalah satu-satunya yang berada di sisi mereka. Setiap orang tentunya menduga bahwa Kitab Pedang Penakluk Kejahatan yang didambakan para jago dunia persilatan itu pasti telah jatuh ke tanganku. Kalau orang luar menduga demikian, tidaklah aneh. Namun guru dan ibu guru telah membesarkan aku, adik kecil dan aku seperti kakak beradik. Memangnya aku Linghu Chong orang macam apa, hingga mereka tak bisa mempercayaiku? Hah, mereka benar-benar memandang rendah diriku!" Ketika berpikir sampai disini, mau tak mau raut wajahnya menunjukkan rasa kesal.

Wang Jiajun sangat puas, sembari tersenyum ia berkata, "Tebakanku ini benar, benar bukan? Mana Kitab Pedang Penakluk Kejahatan itu? Kami tidak ingin melihat milikmu, tapi cuma ingin mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah, berikanlah kitab pedang itu pada Adik Sepupu Lin". Linghu Chong menggeleng sambil berkata, "Aku tak pernah melihat Kitab Pedang Penakluk Kejahatan. Sebelumnya Ketua Lin suami istri sudah ditangkap oleh Perguruan Qingcheng, lalu oleh Si Bongkok Dari Utara Mu Gaofeng, kalau mereka punya kitab pedang, orang lain tentunya sudah menemukannya lebih dahulu". Wang Jiajun berkata, "Tepat sekali! Kitab Pedang Penakluk Kejahatan itu begitu berharga, mana mungkin paman dan bibiku membawanya? Tentunya mereka menyembunyikannya di suatu tempat yang sangat rahasia. Ketika mereka menghadapi maut, mereka mohon kau menyampaikan pesan pada Adik Sepupu Pingzhi, ternyata......ternyata......hah!" Wang Jiaju berkata, "Ternyata kau diam-diam mencarinya dan menggelapkannya!"

Linghu Chong makin lama mendengarkan perkataannya makin gusar, tadinya ia tidak ingin banyak berdebat, tapi karena hal ini menyangkut masalah yang sangat penting, ia tak bisa menerima tuduhan kotor itu, maka ia berkata, "Kalau Ketua Lin benar-benar punya kitab pedang yang begitu hebat, seharusnya ia sendiri tanpa tanding di dunia ini, kenapa dia bahkan tak bisa melawan beberapa murid Perguruan Qingcheng itu, dan malah bisa ditangkap oleh mereka?"

Wang Jiaju berkata, "Ini......ini......" Begitu membuka mulut lidahnya seakan kelu, tak punya kata-kata untuk menjawab. Namun Wang Jiajun pandai bicara, katanya, "Semua perkara di dunia ini ada kembarannya. Setelah Kakak Linghu belajar Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan, ilmu pedangnya menjadi sangat lihai, namun melawan beberapa bajingan kampung saja tak bisa, dan malah bisa ditangkap oleh mereka. Apa alasannya? Hahaha, ini namanya orang sakti yang tak mau menunjukkan jati dirinya. Sayang sekali, Kakak Linghu, kau agak keterlaluan, masa murid tertua ketua Perguruan Huashan sama sekali tak berdaya hingga bisa dipukuli beberapa bajingan kota Luoyang? Kau pura-pura seperti ini, semua orang sukar untuk mempercayainya. Karena sama sekali tak bisa dipercaya, tentunya di dalamnya ada suatu penipuan. Kakak Linghu, kau mengaku saja!"

Kalau menuruti wataknya sehari-hari, ia sudah akan menjawab dengan sindiran, tapi kebetulan untuk masalah ini, ia tidak perduli apakah 'Keluarga Golok Emas Wang' atau kakak beradik Wang curiga padanya, namun ia tak bisa membiarkan guru, ibu guru dan adik kecil bertiga mencurigainya, maka ia segera berkata dengan wajah bersungguh-sungguh, "Seumur hidup Linghu Chong belum pernah melihat Kitab Pedang Penakluk Kejahatan. Pesan terakhir Ketua Lin dari Fuzhou juga sudah kusampaikan seluruhnya pada Adik Lin tanpa menghilangkan sepatah katapun. Kalau Linghu Chong menipu atau menyembunyikan sesuatu, aku telah melakukan dosa yang tak bisa diampuni dan tak bisa hidup di kolong langit ini lagi". Sambil berbicara ia menjura dengan raut wajah tegas.

Wang Jiajun tersenyum dan berkata, "Hal ini adalah masalah besar yang menyangkut kitab rahasia dunia persilatan, kalau hanya dengan sembarangan bersumpah kau bisa melepaskan dirimu dari masalah ini, Kakak Linghu memperlakukan semua orang di kolong langit ini sebagai orang bodoh". Linghu Chong berusaha menahan amarahnya, "Lalu menurutmu seharusnya bagaimana?" Wang Jiajun berkata, "Kami memberanikan diri untuk mengeledah tubuh Kakak Linghu". Ia berhenti sejenak, lalu tertawa terkekeh-kekeh, "Kalau tempo hari kau ditangkap oleh tujuh bergajul itu dan tak bisa berkutik, bukankah mereka bisa menggeledahmu luar dalam?" Linghu Chong tertawa sinis, "Kalian mau menggeledah tubuhku, hah, apa kalian anggap aku Linghu Chong seorang maling kecil?" Wang Jiajun berkata, "Kami tak berani melakukan hal itu! Karena Kakak Linghu sudah berkata bahwa kau tidak mengambil Kitab Pedang Penakluk Kejahatan itu, kenapa kau harus takut digeledah? Kalau setelah digeledah ternyata tak ada kitab pedang, semua kecurigaan akan hilang, bukankah ini hal yang baik?" Linghu Chong mengangguk, "Baik! Pangillah Adik Lin dan Adik Yue supaya mereka berdua bisa jadi saksi".

Wang Jiajun sangat khawatir bahwa begitu ia pergi dan meninggalkan sang adik sendirian, adiknya akan dengan mudah dikalahkan oleh Linghu Chong, namun kalau mereka berdua pergi, Linghu Chong akan dapat menyembunyikan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan itu sehingga mereka tak akan bisa menemukannya, maka ia berkata, "Kami akan mengeledahmu, kalau kau tidak merasa bersalah, kenapa begitu banyak alasan?"

Linghu Chong berpikir, "Aku memperbolehkan kalian menggeledahku, hanya supaya aku dapat membuktikan bahwa aku tidak bersalah di depan guru, ibu guru dan adik kecil bertiga, apakah kalian berdua percaya padaku, Linghu Chong perduli apa? Kalau adik kecil tak hadir, untuk apa aku membiarkan cakar kalian menyentuh tubuhku?" Ia langsung menggeleng perlahan sambil berkata, "Kalau hanya kalian berdua, kalian tak pantas menggeledahku!"

Kakak beradik Wang makin melihat ia tak mau digeledah, makin yakin bahwa ia menyembunyikan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan di tubuhnya, pertama, karena mereka ingin kelihatan berjasa di depan paman dan ayah mereka, kedua, karena mereka mendengar kabar bahwa Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan amat lihai, kalau mereka berhasil menemukan kitab itu, Adik Sepupu Lin tentunya tak bisa menolak meminjamkannya pada mereka kakak beradik. Beberapa hari yang lalu, Wang Jiajun melihatnya ditekan ke tanah dan dipukuli oleh beberapa bajingan tanpa bisa melawan, maka ia berpikir bahwa walaupun ilmu pedangnya lihai, namun kungfu tangan kosongnya tentunya tak ada istimewanya. Saat ini ia tidak sedang memegang pedang, maka mereka harus menggunakan kesempatan ini untuk beraksi, ia segera mengedip pada adiknya sambil berkata, "Kakak Linghu, jangan sampai kau sekarang menolak bersulang, lalu nanti terpaksa minum arak dengan penuh penyesalan, kalau kami sampai merusak mukamu, tentunya kelihatannya tidak baik". Sambil berbicara kakak beradik itu maju mengepung Linghu Chong.

Wang Jiaju membusungkan dadanya dan menerjang ke depan. Linghu Chong mendorong tangannya ke depan untuk menahannya. Wang Jiajun berkata dengan lantang, "Aiyo, kau mau pukul orang?" Ia mengunci pergelangan tangan Linghu Chong dan menekannya. Ia berpikir bahwa Linghu Chong adalah murid kepala Perguruan Huashan, maka ia tak akan meremehkannya, teknik mengunci dan menekan ini adalah ilmu qinna[3] warisan keluarga mereka, ia menggunakannya dengan sekuat tenaga.

Linghu Chong sudah berpengalaman menghadapi musuh, ia segera mendorong dadanya ke depan. Ia tahu mereka bermaksud jahat, ia menangkis dengan tangan kanan yang tadinya disembunyikan di belakang, ketika pergelangan tangannya dikunci lawan, ia memiringkan lengannya untuk melawan serangan, namun ternyata setelah ia tak punya tenaga dalam lagi, walaupun ia melancarkan jurus dengan lengannya, namun  ia sama sekali tak bertenaga. "Krek!", lengan kanannya terasa kesemutan, sendi sikunya telah ditarik keluar oleh Wang Jiaju, sakitnya sampai menembus sumsum.

Wang Jiaju turun tangan dengan sangat ganas, setelah menekan lengan kanan Linghu Chong, ia memutar bahu Linghu Chong sehingga sendi bahunya terlepas sambil berkata, "Kakak, cepat cari!" Wang Jiajun menjulurkan kaki kirinya di depan sepasang kaki Linghu Chong supaya ia tak dapat menendang, tangannya masuk ke saku dadanya dan mengeluarkan berbagai macam benda kecil, tiba-tiba tangannya meraba sebuah buku tipis, yang segera dikeluarkannya. Kedua orang itu serentak berseru dengan gembira, "Ada disini, ada disini! Kita berhasil menemukan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan Paman Lin!".

Kedua kakak beradik Wang cepat-cepat membuka kitab itu, mereka melihat bahwa pada halaman pertama tertulis 'Lagu Xiao Ao Jiang Hu' dengan huruf-huruf kuno[4]. Kakak beradik Wang hanya mengerti sedikit tentang tulisan, kalau enam kata itu ditulis dengan huruf-huruf biasa, mereka tentu akan mengenalinya, namun karena kata-kata itu ditulis dengan huruf kuno, satu katapun tak ada yang mereka kenali. Ketika mereka membolak-balik halaman-halaman buku itu, mereka melihat bahwa semuanya dipenuhi tulisan-tulisan aneh. Mereka tidak tahu bahwa kitab ini adalah kitab lagu kecapi dan seruling, dalam hati mereka sudah yakin bahwa kitab itu adalah Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, mereka sama sekali tak sangsi akan hal itu, maka mereka serentak berteriak, "Kitab Pedang Penakluk Kejahatan! Kitab Pedang Penakluk Kejahatan!"

Wang Jiajun berkata, "Ayo kita perlihatkan pada ayah". Ia mengambil kitab lagu kecapi dan seruling itu dan berlari keluar kamar. Wang Jiaju menendang pinggang Linghu Chong keras-keras sembari memaki, "Maling kecil yang tak tahu malu!" Ia juga meludahi wajahnya.

Mula-mula Linghu Chong begitu marah hingga dadanya seakan hendak meledak, namun ia memikirkannya kembali, "Kedua bocah ini tak tahu apa-apa, tapi kakek dan ayah mereka tidak sebegitu bodoh, kalau mereka tahu bahwa kitab ini adalah kitab kecapi dan seruling, tentunya mereka tak akan ikut menuduhku". Kedua sendi bahunya yang terlepas sakitnya hampir tak tertahankan, lagi-lagi ia berpikir, "Tenaga dalamku sudah musnah seluruhnya, ketika bertemu bajingan jalanan aku sama sekali tak berdaya melawan, aku sudah menjadi seorang yang tak berguna, apa gunanya hidup di dunia ini?" Ia berbaring di atas ranjang, keringat mengucur tak henti-hentinya dari dahinya, hatinya terasa amat pedih, ia tak kuasa menahan air matanya jatuh bercucuran, namun ia berpikir bahwa dalam sekejap kedua bersaudara Wang pasti akan kembali, ia tak boleh menunjukkan kelemahannya, maka ia segera menghapus air matanya.

Setelah lama, terdengar suara langkah kaki, kakak beradik Wang memburu masuk ke dalam kamar. Wang Jiajun tersenyum dengan sinis, "Ayo temui kakekku".

Linghu Chong berkata dengan gusar, "Aku tak mau pergi! Kalau kakekmu tak minta maaf padaku, untuk apa aku menemuinya?" Kedua kakak beradik Wang tertawa terbahak-bahak, Wang Jiaju berkata, "Untuk apa kakekku minta maaf pada maling kecil seperti kau? Cuma dalam mimpi di siang bolongmu! Ayo pergi, ayo pergi!" Mereka berdua menarik baju di pinggang Linghu Chong dan mengangkatnya dari ranjang, lalu membawanya keluar kamar. Linghu Chong memaki, "Keluarga Golok Emas Wang memuji diri mereka sendiri sebagai pembela keadilan, tapi menganiaya orang dengan begitu angkuh, benar-benar sangat hina". Wang Jiajun membalikkan tangannya dan memukulnya hingga ia memuntahkan darah.

Linghu Chong terus memaki selagi kakak beradik Wang menyeretnya ke aula di samping taman bunga.

* * *

Catatan Kaki
[1] Fujian.
[2] Ungkapan yang artinya 'menghormati seseorang karena memandang muka seorang lain'.
[3] Ilmu menangkap dan mengunci sendi.
[4] Zhuanzi (seal script), yaitu huruf-huruf kuno yang biasanya digunakan untuk cap.

Bagian kedua

Terlihat suami istri Yue Buqun dan Wang Yuanba duduk di tempat masing-masing, Wang Bofen dan Wang Zhongqiang duduk di sebelah kanan Wang Yuanba. Linghu Chong masih terus memaki dengan sengit, "Keluarga Golok Emas Wang, hina dan tak tahu malu, di dunia persilatan tak pernah terlihat orang-orang yang begitu kotor!"
 
Wajah Yue Buqun masam, ia membentak, "Chong er, tutup mulut!"
 
Begitu Linghu Chong mendengar sang guru memarahinya, ia berhenti memaki, ia menatap Wang Yuanba dengan gusar.
 
Wang Yuanba mengenggam kitab kecapi dan seruling itu di tangannya, dengan hambar ia berkata, "Keponakan Linghu, Kitab Pedang Penakluk Kejahatan ini kau dapatkan dari mana?"
 
Linghu Chong mendongak dan tertawa keras-keras, suara tawanya tak berhenti sampai lama. Yue Buqun menegurnya, "Chong er, para sesepuh menanyaimu, kau harus segera melaporkan hal yang sebenarnya. Bagaimana kau berani berbuat begitu kasar? Mana sopan santunmu?" Linghu Chong berkata, "Guru, setelah murid terluka parah, sekujur tubuhku tak berdaya. Guru lihat bagaimana kedua orang ini memperlakukanku, hah, apa aturan memperlakukan tamu di dunia persilatan seperti ini?"
 
Wang Bofen berkata, "Terhadap seorang sahabat atau tamu yang terhormat, kami keluarga Wang bagaimanapun juga tak akan berani menyinggung mereka. Tapi kau mengkhianati kepercayaan seseorang, merebut Kitab Pedang Penakluk Kejahatan ini, ini adalah perbuatan seorang perampok. Kami Keluarga Golok Emas Wang adalah orang yang bersih, bagaimana kami dapat menganggapmu seorang sahabat?" Linghu Chong berkata, "Kalian kakek dan cucu, tiga turunan selalu berkata bahwa ini adalah Kitab Pedang Penakluk Kejahatan. Apa kalian pernah melihat Kitab Pedang Penakluk Kejahatan? Bagaimana kalian bisa tahu kalau ini adalah Kitab Pedang Penakluk Kejahatan?"
 
Wang Bofen tertegun, lalu berkata, "Kitab ini ditemukan di tubuhmu, Kakak Yue sudah berkata bahwa ini bukan kitab ilmu silat Perguruan Huashan, kalau bukan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, lalu ini apa?"
 
Linghu Chong naik pitam, namun ia malah tersenyum, "Kalau kau berkata bahwa kitab ini ialah Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, anggap saja Kitab Pedang Penakluk Kejahatan. Aku harap kalian Keluarga Golok Emas Wang dapat mempelajari ilmu pedang tanpa tanding darinya, dan sejak ini keluarga Wang dari Luoyang akan dikenal di dunia persilatan sebagai Golok Pedang Tanpa Tanding, hahaha!"
 
Wang Yuanba berkata, "Keponakan Linghu, cucuku telah menyinggungmu, kau jangan tersinggung. Orang yang membuat kesalahan, setelah tahu ia harus memperbaikinya, dan ia akan tetap dihormati. Karena kau sudah menyerahkan kitab pedang itu, dengan memandang muka gurumu, masa kami masih akan menyelidikinya lebih lanjut? Masalah ini tak boleh diungkit-ungkit lagi di kemudian hari. Sekarang aku akan membetulkan lenganmu dahulu". Sambil berbicara ia bangkit dan berjalan ke arah Linghu Chong, lalu mengangsurkan tangannya untuk memegang tangan kirinya.
 
Linghu Chong mundur dua langkah dan berkata dengan tegas, "Tunggu dulu! Linghu Chong tak bisa dibeli olehmu".
 
Wang Yuanba tercengang, lalu berkata, "Bagaimana aku membeli dirimu?"
 
Linghu Chong berkata dengan gusar, "Aku Linghu Chong bukan mainan kalian. Lenganku kalian yang mematahkan, lalu kalian sendiri yang membetulkannya". Ia bergerak dua langkah ke kiri, berjalan ke hadapan Nyonya Yue sambil berseru, "Ibu guru!"
 
Nyonya Yue menghela napas dan menarik lengannya sehingga sendi bahunya kembali ke tempatnya semula.
 
Linghu Chong berkata, "Ibu guru, ini adalah jelas-jelas kitab kecapi dan seruling, kalian keluarga Wang tak tahu apa-apa, berkeras bahwa ini adalah Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, ternyata di kolong langit ini ada lelucon seperti ini".
 
Nyonya Yue berkata, "Tuan Wang, bolehkah aku melihatnya?" Wang Yuanba berkata, "Silahkan lihat, Nyonya Yue". Ia memberikan kitab musik itu kepada Nyonya Yue. Nyonya Yue membolak-balik beberapa halamannya, tapi tak mengerti isinya, maka ia berkata, "Aku tak mengerti kitab kecapi dan seruling, kalau kitab pedang aku sudah pernah melihat beberapa, kitab ini tak seperti kitab pedang. Tuan Wang, apa di keluargamu ada yang bisa bermain kecapi atau seruling? Tidak ada jeleknya kalau dia diminta datang supaya kita bisa menyelidiki hal ini sampai tuntas".
 
Dalam hati Wang Yuanba ragu-ragu, ia khawatir kalau kitab itu benar-benar kitab kecapi dan seruling, ia akan menanggung malu, untuk beberapa waktu ia hanya mengumam dan tak menjawab. Namun Wang Jiaju adalah seorang bebal, ia berteriak, "Kakek, Juru Tulis[1] Yi di bagian pembukuan bisa meniup seruling, suruh saja ia datang untuk melihatnya. Ini jelas-jelas Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, bagaimana mungkin ini kitab kecapi dan seruling?" Wang Yuanba berkata, "Kitab rahasia ilmu silat amat banyak macamnya, ada orang yang demi merahasiakannya, takut akan ada orang yang mengintip, sengaja menulis kitab ilmu silat menjadi seperti kitab musik, hal itu pernah terjadi dan bukan sesuatu yang aneh".
 
Nyonya Yue berkata, "Karena di rumah ini sudah ada seorang juru tulis yang dapat bermain seruling, supaya kita tahu apakah ini benar-benar kitab pedang atau kitab seruling, mohon dia datang untuk melihatnya". Wang Yuanba tak punya pilihan lain, maka ia menyuruh Wang Jiaju untuk memanggil Juru Tulis Yi.
 
Juru Tulis Yi itu adalah seorang lelaki kecil kurus yang berusia lima puluh tahun lebih, di dagunya tersisa janggut yang jarang-jarang, pakaiannya bersih dan rapi. Wang Yuanba berkata, "Juru Tulis Yi, coba lihat apakah kitab ini adalah kitab seruling dan kecapi biasa atau bukan?"
 
Juru Tulis Yi membuka kitab kecapi itu, membolak-balik beberapa halamannya, lalu menggelengkan kepalanya, "Saya kurang mengerti mengenai buku ini". Ketika ia melihat bagian belakang kitab seruling itu, sepasang matanya langsung bersinar-sinar, deheman lirih keluar dari mulutnya, dua jari tangan kirinya tak henti-hentinya mengetuk-ketuk daun meja dengan berirama. Ia bersenandung sejenak, lalu menggeleng seraya berkata, "Tak benar, tak benar!" Ia bersenandung lagi, mendadak suaranya menjadi tinggi, lalu tiba-tiba berhenti. Sambil mengerutkan kening, ia berkata, "Di dunia tidak ada hal semacam ini, ini......ini......saya sulit mengertinya".
 
Ada rasa gembira di wajah Wang Yuanba, ia bertanya, "Apakah dalam kitab ini ada sesuatu yang sangat mencurigakan? Apakah sangat berbeda dengan kitab seruling biasa?"
 
Juru Tulis Yi menunjuk ke kitab seruling itu, "Coba Tuan lihat, nada gongdiao disini, tiba-tiba berubah menjadi pianzhi, ini sangat menyalahi teori musik, dan seruling juga tak bisa dimainkan. Disini tiba-tiba berubah menjadi jiaodiao, lalu berubah menjadi yudiao. Saya belum pernah melihat lagu semacam ini. Bagaimanapun juga, tidak mungkin memainkan lagu ini dengan seruling".
 
Linghu Chong tertawa sinis, "Karena kau tak bisa memainkannya, bukan berarti orang lain tak bisa memainkannya!"
 
Juru Tulis Yi mengangguk, "Perkataan anda itu benar, kalau di dunia ini ada orang yang bisa memainkan lagu semacam ini, saya akan bersujud menyembahnya, saya akan bersujud menyembahnya! Kecuali......kecuali......di kota sebelah timur......"
 
Wang Yuanba memotong perkataannya dan bertanya, "Menurutmu ini bukan kitab seruling biasa? Beberapa lagu yang ada di dalamnya, semua tak bisa dimainkan dengan seruling?"
 
Juru Tulis Yi mengangguk, "Benar. Sangat tidak biasa, sangat tidak biasa. Saya pasti tidak bisa memainkannya. Kecuali di kota sebelah timur......"
 
Nyonya Yue bertanya, "Apakah di kota sebelah timur ada seorang ahli seruling terkenal yang bisa memainkan kitab lagu ini? "
 
Juru Tulis Yi berkata, "Saya tak berani memastikannya, tapi......Luzhuweng[2] yang tinggal di kota sebelah timur, ia selain bisa memetik kecapi, juga bisa meniup seruling, mungkin ia bisa memainkannya. Kepandaiannya meniup seruling jauh lebih tinggi dibandingkan dengan saya, benar-benar jauh lebih tinggi, sama sekali tak dapat dibandingkan dengan saya, sama sekali tak dapat dibandingkan dengan saya!"
 
Wang Yuanba berkata, "Karena jelas bukan kitab biasa, pasti ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya".
 
Selama ini, Wang Bofen hanya mendengarkan saja di samping tanpa berkata-kata, tiba-tiba ia menyela, "Ayah, jurus Empat Gerbang Enam Penjuru dari Perguruan Golok Bagua dari Zhengzhou bukankah juga ditulis dalam kitab musik?"
 
Wang Yuanba tertegun, namun ia segera sadar, ia tahu putranya hanya membuat-buat saja. Ketua Golok Bagua dari Zhengzhou Mo Xing terikat ikatan perkawinan dengan Keluarga Golok Emas Wang dari Luoyang selama beberapa generasi, dalam Perguruan Golok Baguanya sama sekali tak ada jurus Empat Gerbang Enam Penjuru. Namun ia berpikir karena Perguruan Huashan memusatkan diri pada ilmu pedang, apakah perguruan lain memiliki ilmu golok semacam itu, walaupun Yue Buqun berwawasan luas, ia belum tentu mengetahuinya. Ia segera mengangguk dan berkata, "Benar, benar, beberapa tahun lalu Besan Mo pernah menyebut hal itu. Dalam kitab musik ada ilmu golok dan pedang, itu adalah hal yang biasa, sama sekali tak mengherankan".
 
Linghu Chong tersenyum sinis, "Karena sama sekali tak mengherankan, saya mohon petunjuk Tuan Wang, seperti apa ilmu pedang yang ditulis dalam dua buah kitab ini?"
 
Wang Yuanba menghela napas panjang, "Ini......ai, menantuku sudah meninggal dunia, di dunia ini selainmu, anak muda, jangan-jangan tidak ada orang kedua yang mengertinya".
 
Kalau Linghu Chong ingin membela dirinya, ia bisa menjelaskan mengenai asal-usul kitab musik Xiao Ao Jiang Hu, namun hal ini dapat menyangkut masalah yang lebih besar, ia mau tak mau harus bercerita tentang bagaimana Tuan Mo Da dari Perguruan Heng Shan membunuh Tapak Songyang Besar Fei Bin. Kalau sang guru tahu bahwa lagu itu ada hubungannya dengan tetua Sekte Iblis Qu Yang, tentunya ia akan langsung menghancurkannya, sehingga ia sendiri tak akan bisa melaksanakan amanat Qu Yang. Ia segera menahan amarahnya dan berkata, "Juru Tulis Yi ini berkata bahwa di kota sebelah timur ada Luzhuweng yang pandai bermain musik, kenapa kita tidak minta ia meneliti kitab musik ini?"
 
Wang Yuanba berkata, "Luzhuweng ini orangnya sangat aneh dan sinting, perkataan orang semacam itu bagaimana dapat kita percayai?"
 
Nyonya Yue berkata, "Masalah ini harus diselidiki sampai tuntas, Chong er adalah murid kami, Pingzhi juga murid kami, kita tak boleh berat sebelah, untuk mengetahui  sebenarnya siapa yang bersalah, tidak ada jeleknya kalau kita minta Luzhuweng itu untuk meneliti kitab itu". Ia tak secara langsung mengatakan bahwa ini adalah perselisihan diantara Linghu Chong dan Keluarga Golok Emas Wang, namun ia menukar pihak yang berselisih dengan Lin Pingzhi, ia berkata lagi, "Juru Tulis Yi, bagaimana kalau anda menyuruh tukang tandu untuk menjemput Luzhuweng kemari?"
 
Juru Tulis Yi berkata, "Watak beliau sangat aneh, kalau ada orang yang mohon pertolongannya, tapi kalau ia tidak ingin mengurusnya, walaupun orang itu bersujud di depan pintunya, dia tak akan memperdulikannya, namun kalau ia ingin ikut campur, siapapun tak bisa mengusirnya".
 
Nyonya Yue menganguk dan berkata, "ini seperti kita para pesilat, mungkin Luzhuweng ini adalah seorang sesepuh dunia persilatan. Kakak, kita benar-benar tak tahu apa-apa".
 
Wang Yuanba tersenyum, "Luzhuweng ini adalah seorang pengrajin bambu, ia bisa menganyam keranjang bambu dan membuat tikar, masa dia seorang pesilat? Tapi dia pandai menabuh kecapi dan meniup seruling, dan juga bisa melukis bambu. Banyak orang yang membeli lukisannya, ia seorang pengrajin yang pura-pura mengerti budaya, oleh karena itu ia cukup dianggap penting".
 
Nyonya Yue berkata, "Seorang tokoh seperti itu harus kita jumpai selagi kita berada di Luoyang. Tuan Wang, kami mohon bantuanmu, bagaimana kalau kita mengunjungi pengrajin yang anggun itu?"
 
Ketika melihat bahwa Nyonya Yue bertekad untuk melakukannya, Wang Yuanba tak bisa melarang, ia terpaksa mengajak anak cucunya bersama suami istri Yue Buqun, Linghu Chong, Lin Pingzhi, Yue Lingshan dan yang lain-lain bersama pergi ke kota sebelah timur.
 
* * *
 
Juru Tulis Yi berada di depan untuk menunjukkan jalan, setelah melewati beberapa jalan kecil, mereka tiba di sebuah lorong yang amat sempit. Di ujung jalan itu terdapat sebuah rumpun bambu yang bergoyang-goyang ditiup angin, anggun secara alami[3].
 
Ketika mereka baru memasuki lorong itu, terdengar denting suara kecapi, rupanya seseorang sedang menabuh kecapi, lorong kecil itu teduh dan tenang, seakan sebuah dunia yang berbeda dengan kota Luoyang di luarnya. Nyonya Yue berkata dengan lirih, "Luzhuweng ini benar-benar tahu cara menikmati hidup!"
 
Tepat pada saat itu, dengan suara berdentang, senar kecapi tiba-tiba putus, suara kecapipun berhenti. Suara seorang tua berkata, "Tamu-tamu yang terhormat sudi mengunjungi rumahku yang sederhana, entah ingin minta petunjuk apa?" Juru Tulis  Yi berkata, "Zhuweng, kami punya sebuah kitab kecapi dan seruling yang aneh, kami mohon agar kau sudi menilainya dengan wawasanmu yang luas". Luzhuweng berkata, "Kalian punya kitab kecapi dan seruling yang kalian ingin aku nilai? Hmm, kalian terlalu memandang tinggi seorang pengrajin bambu tua".
 
Juru Tulis Yi belum menjawab, namun Wang Jiaju sudah mendahului berkata dengan lantang, "Tuan Wang dari Keluarga Golok Emas Wang datang berkunjung". Ia mengusung nama besar kakeknya karena berpikir bahwa kakeknya adalah seorang tokoh yang namanya terkenal di Luoyang, seorang pengrajin bambu tua tentunya akan segera keluar untuk menyambutnya. Ternyata Luzhuweng hanya tertawa dingin, "Hah, golok emas, golok perak, tidak sebagus pisau besi karatan yang dipakai si pengrajin bambu tua ini. Si pengrajin bambu tua ini tidak mengunjungi Tuan Wang, Tuan Wang juga tak perlu mengunjungi si pengrajin bambu tua". Wang Jiaju gusar dan membentak, "Kakek, pengrajin tua ini seorang bebal yang tak tahu aturan, untuk apa menemuinya? Lebih baik kita pulang saja".
 
Nyonya Yue berkata, "Karena kita sudah datang kesini, tidak ada jeleknya kalau kita mohon Luzhuweng untuk melihat-lihat kitab kecapi dan seruling ini".
 
"Hah!", ujar Wang Yuanba, ia menyerahkan kitab musik itu kepada Juru Tulis Yi, Juru Tulis Yi menerimanya dan masuk ke dalam rumpun bambu.
 
Terdengar Luzhuweng berkata, "Baiklah, taruhlah disini!" Juru Tulis Yi berkata, "Mohon tanya Zhuweng, apa ini benar-benar kitab musik, atau sebuah rumus rahasia ilmu silat, yang dengan sengaja ditulis hingga menyerupai kitab musik?" Luzhuweng berkata, "Rumus rahasia ilmu silat? Apa kau sudah gila? Tentu saja ini adalah kitab kecapi. Hmm......" Menyusul terdengar suara kecapi berkumandang, anggun dan enak didengar.
 
Setelah mendengarkan untuk beberapa saat, Linghu Chong ingat bahwa lagu ini adalah lagu yang dimainkan Liu Zhengfeng dan Qu Yang tempo hari, mereka telah tewas, namun lagu mereka masih tertinggal di dunia, mau tak mau ia merasa sedih.
 
Setelah ditabuh tak seberapa lama, suara kecapi tiba-tiba meninggi, semakin lama semakin tinggi, suaranya sangat tajam berdentingan, "Tring!", sebuah senar putus, namun nada kecapi masih meninggi, "Tring!", lagi-lagi sebuah senar putus. "Eh", ujar Luzhuweng, "Kitab kecapi ini sangat aneh dan susah dimengerti".
 
Wang Yuanba dan keempat anak cucunya saling berpandangan, wajah mereka menunjukkan rasa puas.
 
Terdengar Luzhuweng berkata, "Aku akan coba mainkan naskah seruling ini". Menyusul suara seruling terdengar mengalun dari tengah-tengah rumpun bambu, mula-mula merdu dan enak didengar, sungguh menawan hati, namun setelah itu suara seruling makin lama makin rendah, hingga sulit terdengar, setelah beberapa tiupan, suara seruling seakan bisu, mengalun-alun dengan sumbang. Luzhuweng menghela napas dan berkata, "Adik Yi, kau bisa meniup seruling, bagaimana nada yang begitu rendah ini bisa dimainkan? Kitab kecapi dan seruling ini belum tentu palsu, tapi si penulis lagu sengaja membuatnya begitu rumit untuk mengolok-olok orang. Kau pulanglah dahulu, biarkan aku menelitinya dahulu". Juru Tulis Yi berkata, "Baik". Ia mundur dan keluar dari tengah-tengah rumpun bambu itu.
 
Wang Zhongqiang berkata, "Mana kitab pedangnya?" Juru Tulis Yi berkata, "Kitab pedang? Ah! Luzhuweng ingin kita meninggalkannya disini supaya ia bisa menelitinya dengan seksama". Wang Zhongqiang segera berkata, "Cepat ambil kembali, kitab itu adalah kitab pedang yang sangat berharga, tak ada bandingannya di dunia ini, entah berapa banyak orang dunia persilatan yang ingin merebutnya, bagaimana kau bisa meninggalkannya di tangan orang yang tak berkepentingan?" Juru Tulis Yi menjawab, "Baik!" Ia baru saja hendak berbalik untuk masuk kembali ke rumpun bambu ketika tiba-tiba terdengar Luzhuweng berseru, "Bibi, kenapa kau keluar?"
 
Wang Yuanba bertanya dengan suara pelan, "Berapa usia Luzhuweng?" Juru Tulis Yi menjawab, "Lebih dari tujuh puluh tahun, hampir delapan puluh tahun!" Semua orang berpikir, "Seorang tua berusia delapan puluh tahun ternyata masih punya seorang bibi, apa nenek tua ini paling tidak berusia seratus tahun?"
 
Terdengar suara seorang wanita yang sangat lirih menjawab. Luzhuweng berkata, "Silahkan bibi lihat, naskah musik kecapi ini ada keanehannya". Wanita itu mendehem, suara kecapipun berkumandang, sepertinya sedang disetem, suaranya berhenti sejenak, seakan senar yang putus sedang diganti, lalu kembali disetem lagi, setelah itu baru memainkan lagu. Mula-mula permainannya sama dengan irama yang dimainkan Luzhuweng, setelah itu makin lama nadanya makin tinggi, namun tak nyana permainannya tetap lancar, dengan enteng memainkan nada-nada yang sulit tanpa sedikitpun kesusahan.
 
Linghu Chong terkejut sekaligus girang, ia samar-samar teringat pada permainan kecapi Qu Yang di malam itu.
 
Irama lagu itu terkadang berapi-api, terkadang lembut dan anggun, walaupun Linghu Chong tidak mengerti seni musik, namun ia merasa bahwa permainan nenek ini, walaupun iramanya sama dengan permainan Qu Yang, namun suasana hati yang terkandung di dalamnya sangat berbeda. Irama yang dimainkan nenek ini tenang dan lembut, sehingga orang yang mendengarnya dapat merasakan keindahannya, tanpa semangat yang membuat darah bergolak seperti irama yang dimainkan oleh Qu Yang. Setelah memainkan lagu itu untuk waktu yang lama, irama kecapi sedikit demi sedikit melambat, seakan suara musik berulang-ulang menjauh, sehingga orang yang memainkannya seakan melangkah pergi beberapa zhang jauhnya, lalu pergi lagi beberapa li jauhnya, dan akhirnya nada suaranya menjadi begitu halus sehingga tak terdengar lagi.
 
Ketika suara kecapi hampir menghilang, suara seruling yang lirih dan lembut berkumandang mengiringinya. Suaranya merdu seakan mengelilingi suara kecapi, suara seruling perlahan-lahan makin nyaring, seakan peniup seruling sambil meniup serulingnya melangkah mendekat. Suara seruling itu jernih dan anggun, iramanya tiba-tiba meninggi dan tiba-tiba merendah, tiba-tiba lembut dan tiba-tiba nyaring, lalu menjadi sangat rendah, setelah beberapa lama, nadanya menjadi lebih rendah lagi, namun walaupun sangat rendah dan lirih, setiap nadanya tetap dapat didengar dengan jelas. Sedikit demi sedikit, di tengah irama yang rendah itu, terkadang muncul nada-nada merdu bagai manik-manik kumala yang berjatuhan, mula-mula hanya sekejap, namun sedikit demi sedikit bertambah banyak susul menyusul, mula-mula seperti kicau burung dan kecipak mata air, lalu seperti gemerisik rerumputan dan bebungaan yang diselingi kicauan burung yang saling sahut menyahut dengan serasi. Perlahan-lahan kawanan burung itu pergi, musim semi berakhir dan bunga-bungapun luruh, hanya terdengar suara gemericik hujan yang muram, gerimis turun tak henti-hentinya, seakan ada dan tiada, dan akhirnya kesunyianpun meliputi semesta.
 
Setelah suara seruling berhenti beberapa lama, semua orang seakan baru bangun dari mimpi, walaupun Wang Yuanba, Yue Buqun dan yang lain-lain tidak mengerti seni musik, namun mau tak mau mereka hanyut dalam irama itu. Juru Tulis Yi terlebih lagi seakan lupa akan dirinya sendiri.
 
Nyonya Yue menghela napas, dengan rasa kagum yang tulus, ia berkata, "Sangat mengagumkan, sangat mengagumkan! Chong er, ini lagu apa?" Linghu Chong berkata, "Lagu ini namanya 'Lagu Xiao Ao Jiang Hu', kepandaian nenek ini memang benar-benar luar biasa, jarang ada orang yang menguasai baik kecapi maupun seruling dengan begitu mahir". Nyonya Yue berkata, "Walaupun kitab kecapi ini luar biasa, namun harus ada seorang nenek yang kepandaiannya begitu hebat seperti ini sehingga dapat memperdengarkan keindahan lagu ini. Musik yang begitu indah seperti ini, mungkin baru pertama kali kau dengar seumur hidupmu". Linghu Chong berkata, "Tidak! Tempo hari murid sudah pernah mendengarnya, bahkan lebih cemerlang dari yang terdengar hari ini". Nyonya Yue tercengang, "Bagaimana bisa begitu? Masa di dunia ini ada orang yang lebih cemerlang dalam menabuh kecapi dan meniup seruling dari nenek ini?" Linghu Chong berkata, "Belum tentu lebih cemerlang dari nenek ini, namun ketika murid mendengarnya ada dua orang yang bermain bersama, yang seorang menabuh kecapi, yang seorang lagi meniup seruling, memainkan lagu Xiao Ao Jiang Hu ini......"
 
Sebelum ia sempat menyelesaikan perkataan itu, dari balik rumpun bambu hijau muncul tiga kali dentang denting suara kecapi, suara nenek itu amat lirih, sepertinya sayup-sayup terdengar ia berkata, "Kecapi dan seruling bermain bersama? Di dunia ini, dimana aku dapat menemukan yang seorang lagi?"
 
Terdengar Luzhuweng berkata dengan nyaring, "Juru Tulis Yi, ini memang benar-benar kitab kecapi dan seruling, bibiku baru saja memainkannya, ambillah kembali!" Juru Tulis Yi menjawab, "Baik!" Ia masuk ke dalam rumpun bambu dan menerima kitab musik itu dengan kedua belah tangannya. Luzhuweng berkata lagi, "Dalam kitab musik ini tertulis  musik indah yang amat jarang ditemui di dunia ini, ini adalah karya seorang empu, tak boleh jatuh ke tangan orang yang tak terpelajar. Kau sama sekali tak boleh bermimpi untuk sembarangan mempelajarinya, kalau tidak kau akan mencelakai dirimu sendiri". Juru Tulis Yi menjawab, "Baik, baik! Aku sama sekali tak berani mempelajarinya". Ia menyerahkan naskah musik itu kepada Wang Yuanba.
 
Wang Yuanba mendengar sendiri irama kecapi dan seruling, ia tahu bahwa naskah musik itu tidak palsu, maka ia segera memberikannya kepada Linghu Chong. Dengan malu ia berkata, "Keponakan Linghu, kami telah menyinggungmu".
 
Linghu Chong menyambutnya sambil tertawa dingin, ia ingin mengucapkan beberapa kalimat sindiran, namun Nyonya Yue menggeleng ke arahnya, maka ia menahan diri untuk tak berbicara. Wajah Wang Yuanba dan keempat anak cucunya lesu, mereka pergi lebih dahulu. Yue Buqun dan yang lain-lain ikut pergi.
 
Namun Linghu Chong memegang kitab lagu itu dengan kedua tangannya, dan berdiri mematung di tempatnya.
 
Nyonya Yue berkata, "Chong er, kau tak ikut pulang?" Linghu Chong berkata, "Murid ingin tinggal disini sejenak, baru pulang". Nyonya Yue berkata, "Pulanglah agak pagi untuk beristirahat. Lenganmu baru saja terlepas dari sendinya, kau tak bisa menggunakan tenaga". Linghu Chong menjawab, "Baik".
 
* * *
 
Setelah mereka semua pergi, lorong sempit itu sunyi senyap tanpa suara, terkadang angin berhembus diantara daun-daun bambu, suaranya gemerisik. Linghu Chong memandangi kitab musik yang berada di tangannya, ia terkenang akan bagaimana malam itu Liu Zhengfeng dan Qu Yang berduet memainkan kecapi dan seruling, mereka berdua telah menemukan orang yang mengerti isi hati mereka, lalu mengubah naskah lagu yang luar biasa ini. Walaupun sang nenek di balik rumpun bambu hijau itu dapat menabuh kecapi dan meniup seruling dengan halus dan mahir, namun sayang ia hanya dapat bermain seorang diri, sejak saat itu lagu Xiao Ao Jiang Hu yang dimainkan berdua tak akan berkumandang lagi.
 
Lagi-lagi ia berpikir, "Paman Guru Liu Zhengfeng dan Tetua Qu, yang seorang jago perguruan lurus, yang seorang tetua Sekte Iblis, jalan mereka berbeda, yang satu sesat dan yang seorang lagi lurus, bagai api dan air, namun begitu mereka membicarakan seni musik, mereka menjadi sahabat kental, dan bersama mengubah lagu Xiao Ao Jiang Hu yang begitu indah ini. Saat mereka mati bersama sambil mengenggam tangan masing-masing, jelas bahwa tak ada penyesalan dalam hati mereka, jauh melebih aku yang sebatang kara di dunia ini, dicurigai guru, ditinggalkan adik kecil, dan satu-satunya adik seperguruan yang menghargai dan menyayangiku mati di tanganku sendiri". Mau tak mau rasa duka muncul di hatinya, air matanya menitik di atas kitab musik itu, dan ia tak kuasa menahan sedu sedan.
 
Suara Luzhuweng muncul dari tengah-tengah rumpun bambu, "Kawan, kenapa kau menangis?" Linghu Chong berkata, "Aku berduka karena nasibku yang malang, dan juga karena teringat bahwa kedua sesepuh yang mengubah lagu ini telah meninggal dunia, aku tak bisa menahan diri sehingga menganggu tuan". Sambil berbicara ia berbalik dan melangkah pergi. Luzhuweng berkata, "Sobat kecil, ada beberapa hal yang aku ingin tanyakan padamu, silahkan masuk dan berbincang-bincang sejenak, bagaimana?"
 
Linghu Chong mendengar bahwa ketika ia berbicara pada Wang Yuanba ia bersikap angkuh, tak nyana ia begitu sopan terhadap dirinya yang bukan siapa-siapa, sesuatu yang sama sekali tak diduganya, ia berkata, "Aku tak berani, apapun yang sesepuh tanyakan, aku akan memberitahukannya". Perlahan-lahan ia memasuki hutan bambu itu.
 
Ia melihat bahwa di hadapannya terdapat lima buah pondok kecil, dua di sebelah kiri, dan tiga di sebelah kanan, semuanya terbuat dari batang-batang bambu yang tebal. Seorang tua keluar dari sebuah pondok di sebelah kanan, sembari tersenyum ia berkata, "Sobat kecil, silahkan masuk untuk minum teh".
 
Linghu Chong melihat bahwa tubuh Luzhuweng ini agak bungkuk, rambut di kepalanya sudah jarang, kaki dan tangannya besar, semangatnya tinggi dan tubuhnya segar bugar, ia segera menyoja untuk menghormat sembari berkata, "Linghu Chong memberi hormat!"
 
Luzhuweng tertawa terkekeh-kekeh, lalu berkata, "Aku si tua ini lebih tua beberapa tahun darimu namun tak lebih bijaksana, tak usah banyak peradatan, silahkan masuk, silahkan masuk!"
 
Linghu Chong mengikutinya masuk ke dalam pondok kecil itu, ia melihat bahwa meja, kursi dan dipan di dalamnya semua terbuat dari bambu, di dinding tergantung lukisan bambu dari tinta China, gaya sapuan kuasnya bebas merdeka, bercak-bercak tinta membuat lukisan bambu itu nampak rimbun, diatas meja tergeletak sebuah kecapi dan sebuah seruling.
 
Dari sebuah poci tanah liat, Luzhuweng menuangkan secawan teh berwarna hijau tua, ia berkata, "Silahkan minum teh". Linghu Chong menyambutnya dengan kedua tangannya dan membungkuk untuk berterima kasih. Luzhuweng berkata, "Sobat kecil, entah dari mana kau mendapatkan kitab lagu ini, apakah kau sudi memberitahu aku?"
 
Linghu Chong tertegun, ia berpikir bahwa dalam asal usul kitab lagu itu terkandung banyak rahasia, yang bahkan belum pernah diberitahukannya kepada guru dan ibu guru. Namun pada hari itu ketika Liu Zhengfeng dan Qu Yang memberikan kitab lagu itu kepada dirinya, mereka ingin agar lagu itu dapat diwariskan kepada generasi mendatang sehingga tidak punah. Luzhuweng dan bibinya sangat pandai bermain musik, dan bibinya telah memainkan lagu itu dengan sangat menawan, mereka berdua sudah tua, namun di dunia ini selain mereka berdua, dimana lagi ia harus mencari orang ketiga untuk mewarisi lagu itu? Kalaupun di dunia ini terdapat seorang ahli musik lain, hidupnya sendiri tak akan lama lagi, belum tentu ia akan beruntung dapat menjumpainya. Untuk sesaat ia mengumam pada dirinya sendiri, lalu berkata, "Kedua sesepuh yang mengubah lagu ini, yang seorang pandai menabuh kecapi, dan yang seorang lagi ahli meniup seruling, mereka bersahabat erat, dan lalu mengubah lagu ini bersama-sama, namun sayang sekali mereka tertimpa bencana dan meninggal dunia pada saat yang sama. Saat menghadapi maut, kedua sesepuh itu memberikan lagu ini kepada murid, dan menyuruh murid untuk mencari seorang ahli waris, agar lagu ini tidak menghilang". Ia berhenti sejenak, lalu kembali berbicara, "Ketika murid mendengar permainan kecapi dan seruling bibi anda yang luar biasa, aku sangat senang karena lagu ini telah menemukan pemiliknya yang sejati, aku mohon agar sesepuh sudi menerima kitab lagu ini dan memberikannya pada nenek, supaya aku dapat memenuhi amanat dan harapan pengubah lagu ini". Sambil berbicara dengan kedua tangannya ia mengangsurkan kitab lagu itu dengan hormat.
 
Namun Luzhuweng tidak menyambutnya, ia berkata, "Aku harus minta izin bibi dulu, aku tak tahu ia akan setuju atau tidak".
 
Terdengar suara nenek itu berbicara dari pondok di sebelah kiri, "Tuan Linghu sangat baik, dengan begitu murah hati menghadiahkan kitab lagu yang luar biasa, tak sopan kalau kita menolaknya, namun kita tak pantas menerimanya. Aku tak tahu nama mulia kedua sesepuh yang mengubah lagu ini, sudikah kau memberitahukannya kepadaku?" Suaranya sama sekali tak seperti suara seorang tua. Linghu Chong berkata, "Kalau sesepuh bertanya, aku akan memberitahukannya. Kedua sesepuh yang menciptakan lagu ini, yang seorang ialah Paman Guru Liu, Liu Zhengfeng, sedangkan yang seorang lagi ialah Tetua Qu, Qu Yang". "Ah!", ujar nenek itu, jelas bahwa ia amat terkejut, lalu ia berkata, "Ternyata mereka berdua".
 
Linghu Chong berkata, "Apa sesepuh mengenal beliau berdua?" Nenek itu tak langsung menjawab, ia bergumam pada dirinya sendiri untuk waktu yang lama, lalu berbicara, "Liu Zhengfeng adalah seorang jago Perguruan Heng Shan, tapi Qu Yang adalah tetua Sekte Iblis, keduanya adalah musuh bebuyutan, bagaimana mereka bisa mengubah lagu ini bersama-sama? Alasannya sangat sulit dimengerti bagi orang lain".
 
Walaupun Linghu Chong belum pernah melihat wajah sang nenek, namun setelah mendengar ia menabuh kecapi dan meniup seruling, ia merasa bahwa sang nenek adalah seorang sesepuh berilmu tinggi yang anggun dan ramah, sama sekali tak mungkin menipu atau mengkhianati dirinya, kalau ia tahu mengenai asal usul Liu dan Qu, jelas bahwa ia adalah orang dunia persilatan, maka ia segera menceritakan dari awal hingga akhir mengenai bagaimana Liu Zhengfeng mencuci tangan di baskom emas, bagaimana Ketua Perserikatan Zuo dari Perguruan Songshan mengirimkan bendera komando untuk menghentikannya, bagaimana Liu dan Qu terkena pukulan para jago Perguruan Songshan, bagaimana mereka berduet di hutan belantara, bagaimana ketika mereka berdua menghadapi maut, mereka mohon dirinya mencari seorang sahabat yang dapat mewarisi lagu itu, dan peristiwa-peristiwa lain. Satu persatu diceritakannya sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya, hanya menghilangkan bagian dimana Tuan Mo Da membunuh Fei Bin. Nenek itu mendengarkannya dengan seksama tanpa berbicara sepatah katapun.
 
Setelah Linghu Chong selesai berbicara, nenek itu bertanya, "Ini jelas-jelas kitab lagu, kenapa Golok Emas Wang Yuanba itu bisa berkata bahwa kitab ini adalah kitab rahasia ilmu silat?"
 
Linghu Chong segera bercerita tentang bagaimana suami istri Lin Zhennan dilukai hingga tewas oleh Perguruan Qingcheng dan Mu Gaofeng, bagaimana sebelum meninggal mereka mohon dirinya menyampaikan pesan kepada Lin Pingzhi, bagaimana kakak beradik keluarga Wang mencurigainya, dan peristiwa-peristiwa lain.
 
Nenek itu berkata, "Ternyata begitu". Ia berhenti sejenak, lalu berkata, "Kau seharusnya menceritakan sebab musabab peristiwa ini kepada guru dan ibu gurumu, bukankah dengan demikian kau dapat menghindarkan banyak kecurigaan yang tak beralasan? Aku adalah orang asing yang belum pernah bertemu denganmu sebelumnya, kenapa kau malah berbicara dengan terus terang dan tanpa tedeng aling aling kepadaku?"
 
Linghu Chong berkata, "Murid sendiri juga tak mengerti apa sebabnya. Kurasa setelah aku mendengar sesepuh bermain musik dengan anggun, aku sangat mengagumi sesepuh, sama sekali tak punya rasa curiga". Nenek itu berkata, "Kenapa kau malah merasa curiga kepada guru dan ibu gurumu?" Linghu Chong terkejut, "Murid sama sekali tak berani mencurigai mereka. Hanya saja......guruku yang budiman sangat mencurigai murid, ai, aku tak menyalahkan guru yang budiman". Sang nenek berkata, "Dari caramu berbicara, aku tahu bahwa kau kekurangan tenaga dalam, seorang muda seharusnya tidak begini, kenapa? Apakah baru-baru ini kau sakit, atau terluka parah?" Linghu Chong berkata, "Aku menderita luka dalam yang parah".
 
Nenek itu berkata, "Keponakan Zhu, tolong bawa anak muda ini ke depan jendelaku supaya aku bisa memeriksa nadinya?" Luzhuweng berkata, "Baik". Ia membawa Linghu Chong ke depan jendela pondok kecil sebelah kiri dan menyuruhnya menjulurkan tangan kirinya ke dalam jendela melalui tirai bambu tipis. Tirai bambu itu ditutupi oleh selapis kain kasa halus, Linghu Chong hanya bisa samar-samar melihat sebuah sosok manusia, namun ia tak sedikitpun dapat melihat raut wajahnya, ia hanya bisa merasakan tiga buah jari yang sedingin es memeriksa nadi di pergelangan tangannya.
 
Tak lama setelah nenek itu memeriksa nadinya, ia berseru kaget, lalu berkata, "Aneh sekali!" Setelah beberapa lama, ia berkata lagi, "Coba tukar dengan tangan kananmu". Setelah ia selesai memeriksa kedua tangannya, ia diam untuk beberapa waktu lamanya, sama sekali tak berbicara.
 
Linghu Chong tersenyum kecil dan berkata, "Sesepuh tak usah mengkhawatirkan mati hidup murid. Murid sendiri sudah tahu hidup murid tak akan lama lagi, dari dahulu aku sudah tak memperdulikannya". Nenek itu berkata, "Bagaimana kau tahu bahwa hidupmu tak akan lama lagi?" Linghu Chong berkata, "Murid membunuh adik seperguruan sendiri, menghilangkan Kitab Rahasia Awan Lembayung milik perguruan, aku berharap dapat segera menemukan kitab rahasia itu dan mengembalikannya kepada guru, lalu setelah itu aku akan bunuh diri untuk minta maaf pada adik seperguruanku". Nenek itu berkata, "Kitab Rahasia Awan Lembayung? Kitab itu bukan sesuatu yang luar biasa. Kau bagaimana bisa membunuh adik seperguruanmu?" Linghu Chong segera bercerita tentang bagaimana Enam Dewa Lembah Persik menyembuhkan lukanya, bagaimana enam macam hawa murni berkecamuk di dalam tubuhnya, bagaimana adik kecil mencuri kitab rahasia untuk menyembuhkan lukanya, bagaimana ia menolak membacanya sehingga adik seperguruannya Lu Dayou membacakannya, bagaimana ia menotoknya, bagaimana ia turun tangan dengan terlalu kuat dan menyebabkan kematiannya, dan peristiwa-peristiwa lain, satu persatu diceritakannya.
 
Setelah nenek itu selesai mendengarkannya, ia berkata, "Adik seperguruanmu itu, bukan kau yang membunuhnya". Linghu Chong terkejut, ia berkata, "Bukan aku yang membunuhnya?" Nenek itu berkata, "Tenaga dalammu tidak murni, kalau kau menotok jalan darah itu, kau pasti tak bisa membunuhnya. Adik seperguruanmu itu dibunuh orang lain". Linghu Chong mengumam pada dirinya sendiri, "Siapa yang membunuh Adik Lu?" Nenek itu berkata, "Orang yang mencuri kitab rahasia itu, walaupun belum tentu ia yang membunuh adik seperguruanmu, namun kedua hal ini sedikit banyak ada hubungannya".
 
Linghu Chong menghela napas panjang, seketika itu juga sebongkah batu besar yang  menindih dadanya seakan terangkat. Saat itu ia sebenarnya juga sudah memikirkan hal itu, ia menotok titik shanzhong Lu Dayou dengan sangat pelan, bagaimana ia bisa mengakibatkan kematiannya? Dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia samar-samar merasa bahwa kalaupun Lu Dayou tidak mati karena totokannya, ia mati demi dirinya, seorang lelaki sejati bagaimana bisa menghindarkan diri dari tanggung jawabnya, dan mencari alasan untuk meloloskan dirinya sendiri? Dalam beberapa hari ini ia telah melihat sendiri hubungan yang akrab diatara Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, hatinya terluka, ia putus asa dan kehilangan semangat hidup, pikirannya hanya terpusat pada satu kata yaitu 'mati', saat ini setelah sang nenek berbicara tentang hal itu, amarah timbul dalam hatinya, "Balas dendam! Balas dendam! Aku harus membalas dendam untuk Adik Lu!"
 
Nenek itu berkata lagi, "Kau berkata bahwa dalam tubuhmu enam macam hawa murni saling bertumbukan, tapi dari denyut nadimu aku merasakan ada delapan macam hawa murni, bagaimana bisa begitu?" Linghu Chong tertawa terbahak-bahak, lalu bercerita tentang bagaimana Biksu Bujie berusaha menyembuhkan lukanya.
 
Nenek itu tertawa kecil, "Watak tuan periang, walaupun denyut nadimu kacau, namun sama sekali tak melemah. Bagaimana kalau aku menabuh kecapi untuk memainkan sebuah lagu untuk tuan?" Linghu Chong berkata, "Murid sangat berterima kasih atas perhatian sesepuh".
 
Nenek itu mendehem, lalu suara kecapipun berkumandang. Namun kali ini irama lagunya amat lembut, seperti seseorang yang sedang mendesah pelan, juga bagai embun pagi yang membasahi kelopak bunga, atau angin fajar yang membelai ranting pohon liu.
 
Setelah mendengarkan tak seberapa lama, kelopak mata Linghu Chong makin lama makin berat, dalam hati ia berkata, "Aku tak boleh tidur, aku sedang mendengarkan sesepuh ini menabuh kecapi, kalau aku sampai tertidur, bukankah sangat tidak sopan?" Namun walaupun ia berusaha keras dengan penuh perhatian, akhirnya ia tak kuasa melawan rasa kantuk yang amat sangat, tak lama kemudian kelopak matanyapun tertutup dan tak bisa dibuka lagi, tubuhnya terasa lemas, ia berbaring di lantai dan tertidur. Dalam tidurnya ia masih samar-samar mendengar denting kecapi yang lembut, seakan ada sebuah tangan lembut yang membelai-belai rambutnya, seperti kembali ke masa kanak-kanak, seakan berada dalam pangkuan ibu guru, menerima kasih sayang dan belas kasihannya.
 
Setelah lama, suara kecapipun berhenti, Linghu Chong bangun dari tidurnya dan cepat-cepat merangkak bangkit, mau tak mau ia merasa malu, katanya, "Murid pantas mati karena tidak mendengarkan dengan seksama permainan sesepuh yang anggun, malah tertidur, benar-benar memalukan".
 
Nenek itu berkata, "Kau tak usah menyalahkan dirimu sendiri, lagu yang baru kumainkan memang untuk menidurkan orang, dengan harapan agar dapat mengatur hawa murni dalam tubuhmu. Cobalah menggerakkan tenaga dalammu, apakah perasaan tertekan dalam dadamu agak berkurang?"
 
Linghu Chong amat girang, ia berkata, "Banyak terima kasih sesepuh". Ia segera bersila dan mengerakkan tenaga dalamnya, ia merasa bahwa kedelapan hawa murni itu masih saling bertumbukan, namun darah panas yang sebelumnya bergejolak di dadanya dan rasa mual yang sulit ditahan sudah banyak berkurang. Namun walaupun ia hanya sebentar mengerahkan tenaga dalam, kepalanya sudah pening, tubuhnya miring dan iapun terjatuh ke lantai.
 
Luzhuweng cepat-cepat memapahnya dan menyokongnya masuk ke dalam ruangan.
 
Nenek itu berkata, "Tenaga dalam Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie sangat kuat, aliran tenaga mereka terlalu kuat, tak dapat disembuhkan dengan suara kecapiku yang dangkal, sehingga membuat tuan kesakitan, aku sungguh merasa bersalah".
 
Linghu Chong cepat cepat berkata, "Kenapa sesepuh berkata demikian? Setelah mendengar lagu ini, murid sudah banyak mendapat manfaat".
 
Luzhuweng membawa sebuah kuas tulis dan mencelupkannya ke dalam batu tinta, lalu menulis di atas kertas, "Mohonlah dengan sungguh-sungguh supaya beliau bersedia mengajarkan lagu ini padamu, kau akan memperoleh manfaat seumur hidupmu". Linghu Chong segera sadar, ia berkata, "Murid memberanikan diri untuk mohon sesepuh mengajarkan lagu ini padaku, supaya murid dapat perlahan-lahan menyembuhkan diri sendiri". Raut wajah Luzhuweng menampakkan rasa gembira, ia mengangguk-angguk.
 
Nenek itu sama sekali tak menjawab, beberapa saat kemudian, ia baru berkata, "Bagaimana kepandaianmu bermain kecapi? Bisakah kau memainkan sebuah lagu?"
 
Wajah Linghu Chong memerah, "Murid belum pernah mempelajarinya, murid tak tahu apa-apa tentangnya. Murid terlalu berani ingin belajar permainan kecapi tingkat tinggi dari sesepuh, mohon maafkan kelancangan murid". Ia segera berbalik ke arah Luzhuweng, menyoja dalam-dalam seraya menangkupkan kedua tangannya di dada, lalu berkata, "Murid mohon diri dahulu".
 
Nenek itu berkata, "Tuan jangan pergi dahulu. Kami telah menerima hadiah lagu yang luar biasa ini, kami malu tak dapat membalas kemurahan hatimu, tuan terluka parah dan sulit disembuhkan, membuat orang menjadi khawatir. Keponakan Zhu, kau mengerti cara menabuh kecapi, ajarkanlah pada Tuan Muda Linghu, kalau ia mau bersabar, dan bisa tinggal agak lama di Luoyang, tak ada jeleknya kalau aku juga mengajarkan.....mengajarkan lagu 'Qingxin Pushan Zhou'[4] padanya". Beberapa kata terakhir diucapkannya dengan amat pelan hingga hampir tak terdengar.
 
Pagi-pagi keesokan harinya, Linghu Chong datang ke pondok bambu di lorong kecil itu untuk belajar menabuh kecapi. Luzhuweng mengambil sebuah kecapi tua dari kayu pohon Tung yang ujung-ujungnya hangus dan mulai mengajarkan ilmu musik kepadanya, ia berkata, "Dalam musik terdapat dua belas nada, yaitu huangzhong, dalu, taicu, jiazhong, guxi, zhonglu, ruibin, linzhong, yize, nanlu, wushe dan yingzhong. Nada-nada ini sudah ada dari zaman kuno, konon dahulu ketika Huangdi memerintahkan Ling Lun untuk menciptakan nada musik, setelah mendengar kicauan burung hong, ia menciptakan kedua belas nada ini. Kecapi memiliki tujuh senar, yaitu jugong, shang, jiao, zheng, dan lima nada yu. Senar pertama untuk memainkan nada huangzhong, senar ketiga untuk memainkan tangga nada gongdiao. Kelima irama ialah manjiao, qingshang, gongdiao, mangong dan ruibin". Ia segera menjelaskannya secara berurutan dan terperinci.
 
Walaupun Linghu Chong tak tahu apa-apa tentang seni musik, namun secara alami ia memang cerdas, hanya diterangkan sedikit saja, ia lantas mengerti. Luzhuweng amat girang, ia segera mengajarinya cara memetik kecapi, lalu mengajarinya memainkan sebuah lagu sangat pendek yang berjudul 'Bixiao Yin'[5]. Setelah mempelajarinya beberapa kali, Linghu Chong memainkannya, walaupun beberapa nada terdengar sumbang dan petikan jarinya tidak lancar, namun karena dalam hati ia membayangkan 'langit biru' itu, maka dalam permainannya itu seakan terkandung suasana langit biru yang luas tak bertepi, seluas laksaan li tak berawan.
 
Setelah lagu itu selesai, sang nenek yang mendengarkan dari pondok sebelah menghela napas dengan pelan, lalu berkata, "Tuan Muda Linghu, kau begitu pandai belajar menabuh kecapi, kemungkinan besar tak lama lagi kau akan sudah bisa mempelajari 'Qingxin Pushan Zhou' ". Luzhuweng berkata, "Bibi, Adik Linghu baru mulai belajar musik hari ini, tapi ia sudah bisa mengungkapkan gambaran dalam lagu Bixiao Yin ini dengan lebih baik dari keponakan. Suara kecapi datang dari hati, kurasa hal ini disebabkan oleh pikirannya yang luas dan sifatnya yang periang".
 
Linghu Chong mengucapkan terima kasih dengan rendah hati, "Sesepuh terlalu berlebihan memujiku, entah kapan murid bisa memainkan lagu Xiao Ao Jiang Hu seperti sesepuh". Nenek itu tiba tiba berkata, "Kau......kau ingin memainkan lagu Xiao Ao Jiang Hu?"
 
Muka Linghu Chong memerah, ia berkata, "Kemarin ketika murid mendengar sesepuh memainkan seruling dan kecapi dengan begitu anggun, murid sangat kagum. Akan tetapi tentunya ini cuma mimpi belaka, bahkan sesepuh Luzhupun tak bisa memainkannya, bagaimana murid bisa menabuhnya?"
 
Nenek itu tak berbicara, setelah beberapa lama, ia berkata dengan lirih, "Kalau kau bisa menabuh kecapi, tentunya sangat baik......" Suaranya makin lirih, lalu ia mendesah dengan lembut.
 
* * *
 
Catatan Kaki
[1] Terjemahan 师爷 (shiye), seorang asisten yang bertugas mengurus masalah-masalah keuangan, hukum atau sekretarial di sebuah yamen, atau di rumah pribadi.
[2] Namanya berarti 'Pak Tua Bambu Hijau'.
[3] Ji Kang dan anggota Tujuh Resi Hutan Bambu lainnya mengasingkan diri di sebuah hutan bambu di luar kota Luoyang (lihat catatan kaki tentang Ji Kang di Bab VII).
[4] 清心普善咒, secara harafiah berarti 'Mantera Untuk Memurnikan Hati Dan Kebaikan Universal'.
[5] 碧霄吟, yang berarti 'Lagu Langit Biru'. 

Bagian ketiga

Begitulah berturut-turut dua puluh hari lebih setiap pagi Linghu Chong datang ke pondok bambu di lorong kecil itu untuk belajar menabuh kecapi, sampai menjelang senja ia baru berangkat pulang. Makan siangpun juga di tempat Luzhuweng, walaupun hanya sayur-sayuran dan tahu, namun rasanya lebih lezat dari hidangan daging ikan dan babi di rumah keluarga Wang, terlebih lagi karena setiap makan selalu ditemani arak bagus. Walaupun kekuatan minum Luzhuweng tidak tinggi, namun ia selalu menghidangkan arak yang bermutu. Ia juga banyak tahu mengenai arak, ia tidak saja banyak tahu tentang asal usul arak bagus di dunia, namun ia juga bisa membedakan tahun dan tempat pembuatan arak itu. Linghu Chong mempelajari hal-hal baru yang belum pernah diketahuinya sebelumnya, ia tak hanya belajar menabuh kecapi darinya, tapi juga belajar ilmu merasakan arak, sepertinya ilmu tentang arak ini tak kalah mendalam dengan ilmu pedang atau kecapi.
 
Kadang-kadang jika Luzhuweng pergi keluar untuk menjajakan kerajinan bambu, ia diajari oleh sang nenek dari belakang tirai bambu. Setelah itu, kalau Linghu Chong mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit tentang kecapi, Luzhuweng sendiri sering tak bisa menjawab, maka sang nenek sendiri harus memberinya petunjuk.
 
Namun Linghu Chong sama sekali belum pernah melihat wajah sang nenek, hanya mendengar suaranya yang lembut saja, seperti suara seorang gadis dari keluarga kaya, tak seperti seorang nenek yang hidup sederhana di sebuah lorong sempit. Ia menduga bahwa karena sejak kecil sang nenek telah menerima pengaruh musik yang anggun, maka suaranyapun tetap enak didengar hingga tua.
 
Pada suatu hari Linghu Chong bertanya," Nenek, aku pernah dengar Sesepuh Qu berkata bahwa irama lagu Xiao Ao Jiang Hu digubah dari irama lagu Guang Ling San yang dimainkan oleh Ji Kang. Tetapi ternyata Guang Ling San melukiskan kisah pembunuhan atas raja negara Han oleh Nie Zheng[1]. Dahulu, aku pernah dengar Nenek berkata bahwa irama Xiao Ao Jiang Hu itu anggun, lembut dan riang, agak berlawanan dengan keadaan diantara hidup dan mati Nie Zheng. Nenek, mohon jelaskan."
 
Nenek itu berkata, "Keanggunan yang  lembut dari irama itu mengambarkan perasaan kakak perempuan Nie Zheng. Mereka berdua kakak beradik memiliki hubungan yang sangat mendalam. Setelah Nie Zheng gugur, kakaknya mengambil jasadnya dan menyiarkan ketenaran namanya kepada generasi mendatang.  Bahwa kau bisa merasakan adanya sesuatu yang lain dalam irama itu berarti bahwa kau memiliki bakat musik alami.” Setelah berhenti sejenak, dengan lirih nenek itu berkata, "Kalau kau dan aku bisa bersama untuk waktu yang agak lama, tuan muda pasti akan bisa mempelajari lagu Xiao Ao Jiang Hu ini, namun…..ini akan tergantung pada apakah kita berjodoh atau tidak”.
 
Beberapa hari belakangan ini, Linghu Chong belajar menabuh kecapi di lorong bambu hijau, dan sering mendengar perkataan lembut dan ramah sang nenek. Ia berpikir bahwa sang nenek sudah lanjut usia, dan bahwa hidupnya sendiripun tak akan lama lagi, ia tidak tahu entah berapa lama lagi nasib akan memperbolehkan mereka untuk tetap bersama. Hatinya menjadi sedih, dan ia pun berkata," Aku harap nenek selalu sehat dan berumur panjang. Semoga hidup murid ini juga bisa diperpanjang dan bisa belajar lebih banyak lagi dari nenek."
 
Sang nenek menghela napas panjang, dengan suara lembut ia berkata, "Hidup manusia berubah-ubah. Nasib sulit dipastikan. Lagu Xiao Ao Jiang Hu dan Guang Ling San ini agak berbeda. Ketika Nie Zheng maju menyerang dengan pisau pembunuhnya, irama lagu menjadi bengis. Setelah Nie Zheng membunuh Raja Han, ia sendiri dibunuh oleh para pengawal istana. Disini, nada kecapi menjadi setinggi langit, begitu tingginya sehingga kalau lebih tinggi lagi senar kecapi akan putus; suara seruling menjadi amat rendah, begitu rendah sehingga Keponakan Zhuku tak dapat meniup serulingnya, ini menandakan akhir hidup Nie Zheng. Setelah itu, kecapi dan seruling sekali lagi memainkan irama yang cepat dan riang, artinya adalah: walaupun sang pendekar telah wafat, semangat kepahlawanannya hidup selamanya. Bunga bermekaran dan berguguran, namun setiap tahun selalu muncul laki-laki dan perempuan pahlawan yang menyanyikan lagu Xiao Ao Jiang Hu. Dalam dunia manusia, semangat kepahlawanan tak akan pernah pupus, oleh karena itu, bagian lagu berikutnya ini bagai bunga yang bermekaran dengan semarak. Menurut catatan sejarah, Nie Zheng bukan membunuh Raja Han, melainkan Xia Lei, tapi kita tidak perlu terlalu mendalaminya".
 
Linghu Chong memukul pahanya dan berkata, "Nenek, penjelasanmu bagus sekali. Kalau murid bisa mendapatkan pencerahan seperti ini dari nenek, meskipun harus mengalami sepuluh kali lipat lagi halangan dan fitnahpun juga tak apa"
 
Sang nenek tak berbicara lagi, suara kecapinya berkumandang, sekali lagi mengalun bebas tanpa beban.
 
Beberapa hari kemudian, sang nenek mengajarkan sebuah lagu yang berjudul You Suosi[2], lagu ini berasal dari zaman Han, iramanya lembut dan manis. Linghu Chong mendengarkannya beberapa kali, lalu memainkannya. Secara tak sadar ia mengenang saat-saat ketika ia dan Yue Lingshan bersama-sama bermain dengan gembira di masa kanak-kanak mereka, saat mereka berlatih pedang di air terjun, saat ia mengantar nasi ke Siguoya, mengenang cinta sang adik seperguruan kepadanya, yang entah kenapa kemudian berpindah ke Lin Pingzhi, lalu mengenang bagaimana adik kecil memperlakukannya dengan dingin dari hari ke hari. Hatinya terasa pedih, tiba-tiba irama permainan kecapinya berubah, tak nyana muncullah melodi lagu rakyat Fujian, lagu yang dinyanyikan Yue Lingshan saat ia turun gunung tempo hari. Ia terkejut dan segera berhenti menabuh kecapi.
 
Nenek itu berkata dengan lembut, "Tadinya kau memainkan lagu ini dengan sangat baik, dengan penuh perasaan dan pengertian akan maksud yang terkandung di dalamnya, mungkin kau terkenang akan suatu peristiwa di masa lampau. Irama dari Min[3] yang muncul itu nampaknya adalah lagu rakyat, aku tak mengerti, kenapa ia tiba-tiba muncul?"
 
Watak Linghu Chong aslinya periang, beban pikiran itu sudah lama terpendam di dalam dadanya, nenek ini telah memperlakukannya dengan begitu baik lebih dari dua puluh hari berselang ini, maka ia tak bisa tidak mengungkapkan perasaan rindunya yang pahit pada Yue Lingshan. Begitu ia mulai bercerita, ia sukar menahan dirinya dan ia menceritakan semuanya dari awal sampai akhir, ia menganggap sang nenek sebagai nenek, ibu, kakak atau adik perempuannya sendiri, setelah itu ia merasa amat malu dan berkata, "Nenek, murid telah mengoceh panjang lebar setengah harian tentang beban pikiranku yang tak berarti, benar benar......benar benar....."
 
Nenek itu berkata dengan lembut, "Masalah 'jodoh' tak dapat dipaksakan. Orang zaman dahulu mengatakannya dengan sangat baik, 'Setiap orang punya jodohnya masing-masing, jangan iri hati kepada orang lain'. Tuan Muda Linghu, walaupun saat ini kau dikecewakan, namun bukan berarti bahwa di kemudian hari kau tak akan bisa mendapatkan jodoh yang baik".
 
Linghu Chong berkata dengan lantang, "Murid tak tahu dapat hidup entah berapa hari lagi, tak terpikir oleh murid bahwa murid akan bisa memiliki keluarga sendiri".
 
Nenek itu tak berbicara lagi, suara lembut kecapinya terdengar, lagu yang dimainkannya adalah Qingxin Pushan Zhou. Begitu mendengarnya, Linghu Chong langsung merasa mengantuk. Nenek itu berhenti menabuh kecapi dan berkata, "Sekarang aku akan mulai mengajarkan lagu ini padamu, kira-kira perlu waktu sepuluh hari untuk mempelajarinya sampai mahir. Setelah itu kau dapat memainkannya setiap hari, walaupun tak bisa mengembalikan tenaga dalammu seperti dahulu, namun sedikit banyak akan dapat memberikan maanfaat bagimu". Linghu Chong menjawab, "Baik".
 
* * *
 
Nenek itu segera mengajarkan cara menabuh lagu itu kepadanya, dengan penuh perhatian, Linghu Chong menghafalkannya.
 
Begitulah ia belajar selama empat hari, pada hari kelima ketika Linghu Chong hendak pergi ke lorong kecil itu untuk belajar menabuh kecapi, Lao Denuo tiba-tiba bergegas mendatanginya, lalu berkata, "Kakak pertama, guru memerintahkan supaya kita berangkat besok pagi". Linghu Chong tertegun dan berkata, "Kita akan berangkat besok? Aku......aku......" Tadinya ia hendak berkata, "Aku belum selesai belajar lagu kecapiku", namun ia segera menarik kembali perkataan itu sebelum sempat terucap. Lao Denuo berkata, "Ibu guru menyuruhmu berkemas-kemas, kita akan berangkat pagi pagi besok".
 
Linghu Chong mengiyakan, lalu cepat-cepat pergi ke pondok kecil di lorong bambu itu dan berkata pada sang nenek, "Besok murid akan mohon diri". Nenek itu tertegun, untuk beberapa lama ia tak bersuara, setelah beberapa saat, ia berkata dengan lirih, "Kenapa kau pergi begitu cepat? Kau......kau belum selesai mempelajari lagu ini".
 
Linghu Chong berkata, "Murid juga punya pikiran yang sama. Namun perintah guru harus ditaati. Lagipula kami adalah tamu di tempat asing, kami tak bisa berlama-lama tinggal di rumah orang lain". Nenek itu berkata, "Perkataanmu itu benar". Ia segera mengajarkan cara memetik kecapi untuk lagu itu, sama seperti hari-hari sebelumnya.
 
Linghu Chong sudah bergaul dengan nenek itu selama banyak hari, walaupun ia belum pernah melihat wajahnya, namun dari suara kecapi dan nada bicaranya, ia tahu bahwa sang nenek sangat memperhatikannya, tak ada bedanya dengan anggota keluarga sendiri. Namun nenek itu tak suka menunjukannya, kalau terkadang ia mengucapkan perkataan yang penuh perhatian, ia segera mencampurnya dengan perkataan-perkataan lain, jelas bahwa ia tak ingin dirinya mengetahui isi hatinya. Di dunia ini, mereka yang dahulu paling memperhatikan Linghu Chong adalah suami istri Yue Buqun, Yue Lingshan dan Lu Dayou berempat, namun sekarang Lu Dayou telah meninggal dunia, Yue Lingshan mencintai Lin Pingzhi dengan sepenuh hati, guru dan ibu guru mencurigainya, maka orang-orang yang ia anggap keluarga sendiri hanya Luzhuweng dan sang nenek berdua. Dalam sehari itu, ia sudah tiga kali hendak berkata pada Luzhuweng bahwa ia ingin tinggal di lorong kecil itu untuk belajar menabuh kecapi dan seni kerajinan bambu, dan tak kembali ke Huashan lagi. Namun begitu ia teringat pada sosok jelita Yue Lingshan, ia berubah pikiran, pikirnya, "Walaupun adik kecil tak memperdulikanku, namun kalau setiap hari aku bisa melihat wajahnya, walaupun hanya melihat punggungnya, dan mendengar suaranya berkata-kata, sudah cukup bagiku. Lagipula, dia toh masih mengacuhkan aku". 
 
Saat mereka berpisah senja itu, ia merasa sangat berat untuk meninggalkan Luzhuweng dan nenek itu, ia melangkah ke depan jendela sang nenek dan bersujud berkali-kali. Ia samar samar melihat dari balik tirai sang nenek juga membalas bersujud menghormat, terdengar ia berkata, "Aku mengajarkan ilmu menabuh kecapi untuk membalas budimu menghadiahiku lagu itu, untuk apa Tuan Muda Linghu menjalankan peradatan seperti ini?" Linghu Chong berkata, "Hari ini aku pergi, entah kapan aku dapat mendengar permainan kecapi sesepuh yang anggun lagi. Kalau Linghu Chong tidak mati, aku pasti akan datang untuk mengunjungi nenek dan Zhuweng". Dalam hati tiba-tiba ia berpikir, "Usia mereka berdua sudah lanjut, entah berapa tahun lagi mereka bisa terus hidup, kalau aku datang ke Luoyang lagi, belum tentu aku dapat menjumpai mereka lagi". Ia berpikir bahwa hidup manusia bagai mimpi atau setetes embun, dan ia tak kuasa menahan sedu sedan.
 
Nenek itu berkata, "Tuan Muda Linghu, pada saat perpisahan ini, aku ingin memberimu satu nasehat".
 
Linghu Chong berkata, "Baik, Linghu Chong tak akan berani melupakan ajaran sesepuh".
 
Namun nenek itu tidak juga mulai berbicara, setelah lama, ia baru berkata dengan lirih, "Angin dan ombak dunia persilatan berbahaya, watak Tuan Muda jujur dan baik hati, jagalah dirimu baik baik".
 
Linghu Chong berkata, "Baik". Hatinya terasa pedih, ia menyoja untuk mengucapkan selamat tinggal pada Luzhuweng. Terdengar suara kecapi berkumandang dari pondok di sebelah kiri memainkan lagu kuno You Suosi itu.
 
* * *
 
Keesokan harinya Yue Buqun dan yang lain mendatangi ayah beranak Wang Yuanba untuk minta diri, dengan sebuah perahu mereka akan mengarungi Sungai Luo ke arah utara. Wang Yuanba dan anak cucunya berlima mengantarkan mereka sampai ke kapal, mereka mengirimkan uang ongkos perjalanan, makanan dan arak yang berlimpah.
 
Sejak Wang Jiajun dan Wang Jiaju menarik lengan Linghu Chong hingga terlepas dari sendinya, Linghu Chong tak pernah berbicara dengan Wang Yuanba dan anak cucunya, saat berpisah kali ini, ia hanya mendelik pada mereka, dan memandang mereka berlima dengan acuh tak acuh, seakan di depan matanya sama sekali tak ada 'Keluarga Golok Emas Wang'. Yue Buqun benar-benar dibuat pusing oleh murid tertuanya ini, ia tahu wataknya yang keras kepala, kalau ia berkeras menyuruhnya menghormat kepada Wang Yuanba untuk minta diri, ia tak akan membantah perintah sang guru, namun setelah itu ia kemungkinan besar akan mendatangi keluarga Wang dan membuat onar untuk membalas dendam. Daripada membuat masalah, ia mendatangi Wang Yuanba sendiri untuk mengucapkan terima kasih sambil berpura-pura tak melihat ekspresi wajah Linghu Chong yang kasar.
 
Dengan dingin, Linghu Chong memandang peti dan bungkusan besar kecil dari keluarga Wang, hadiah untuk Yue Lingshan sangat banyak. Para pelayan wanita tua satu persatu naik ke kapal untuk menghantarkan hadiah, mereka berkata bahwa hadiah itu diberikan oleh nyonya besar untuk bekal makanan Nona Yue di jalan, atau bahwa hadiah itu diberikan oleh nenek besar untuk dipakai nona di jalan, atau dari nenek kedua untuk dipakai nona di atas kapal, pendeknya mereka memperlakukan Yue Lingshan seakan ia adalah anggota keluarga mereka. Dengan gembira Yue Lingshan mengucapkan terima kasih, ia berkata, "Aiyo, bagaimana aku dapat memakai begitu banyak baju, bagaimana aku bisa menghabiskan begitu banyak makanan?"
 
Di tengah keramaian, tiba-tiba seorang tua berpakaian lusuh melangkah ke haluan kapal, ia berteriak, "Tuan Muda Linghu!" Ketika melihat bahwa orang itu adalah Luzhuweng, mau tak mau Linghu Chong tertegun, ia cepat-cepat menyambut sambil menyoja menghormat. Luzhuweng berkata, "Bibi menyuruh aku untuk mengantarkan hadiah kecil ini kepada Tuan Muda Linghu". Sambil berbicara sepasang tangannya mengangsurkan sebuah bungkusan yang amat panjang. Kain pembungkusnya adalah kain tenun rumahan berwarna biru berkembang-kembang putih. Linghu Chong menyoja dan menyambutnya seraya berkata, "Hadiah dari sesepuh ini murid terima dengan penuh terima kasih".
 
Wang Jiajun dan Wang Jiaju kakak beradik melihat bagaimana ia begitu menghormati seorang tua berpakaian karung goni, namun tak memandang sebelah mata kepada kakek Keluarga Golok Emas Wang yang tak tertandingi dan namanya termasyur di seluruh dunia persilatan, tentu saja mereka naik pitam, kalau saja mereka tak harus memberi muka pada suami istri Yue Buqun dan seluruh murid Perguruan Huashan, mereka sudah menyeret Linghu Chong keluar dan memukulinya habis-habisan untuk melampiaskan kekesalan mereka.
 
Mereka melihat bahwa setelah menyerahkan bungkusan itu, Luzhuweng melompat dari haluan kapal ke papan titian untuk kembali ke tepian, kedua kakak beradik itu saling memandang, lalu masing-masing mendesak Luzhuweng dari kiri dan kanan. Mereka berdua mendesak bahu kiri dan kanannya, mereka tinggal mendorong dengan pelan saja, bagaimana si tua bangka itu tak akan terjatuh ke Sungai Luo? Walaupun air di tepi sungai dangkal dan tak akan membunuhnya, namun mereka akan membuat Linghu Chong kehilangan muka. Linghu Chong melihat mereka, ia cepat-cepat berseru, "Awas!" Ia baru saja hendak menarik kedua orang itu, namun tiba-tiba ia ingat bahwa ia sama sekali tak punya tenaga dalam, jangankan menarik kedua kakak beradik Wang, kalaupun ia dapat menarik mereka sama sekali tak ada gunanya. Ketika ia masih memandang dengan tertegun, kedua bersaudara Wang terlihat telah membentur tubuh Luzhuweng.
 
Wang Yuanba berseru, "Jangan!" Ia tergolong orang berada di Luoyang, sangat berbeda dengan orang dunia persilatan biasa. Kedua cucunya masih muda dan kuat, kalau mereka sampai membunuh si tua bangka itu, pejabat setempat akan menyelidikinya dan mereka akan mengalami kesulitan yang tiada habisnya. Tapi karena ia sedang duduk di dalam ruangan kapal, bercakap-cakap dengan Yue Buqun, ia tak sempat mencegahnya.
 
Namun terdengar suara air berkecipak, bahu kedua kakak beradik itu telah membentur Luzhuweng, lalu tiba-tiba tubuh mereka melayang, "Byur! Byur!" Kedua kakak beradik Wang tercebur ke Sungai Luo dari kedua sisi papan titian, orang tua itu seperti sebuah kantong kulit yang berisi udara, begitu kakak beradik Wang membenturnya, mereka langsung terpental. Orang tua itu sendiri bersikap seperti tak terjadi apa-apa, dengan tertatih-tatih ia berjalan melewati titian papan menuju ke tepi sungai.
 
Begitu kakak beradik Wang tercebur ke sungai, suasana di atas perahu menjadi hiruk pikuk, beberapa pelaut segera melompat ke air untuk menolong kedua orang itu. Saat itu awal musim semi, walaupun Sungai Luo sudah tak membeku, namun air sungai masih sangat dingin. Kakak beradik Wang tak bisa berenang, belum-belum mereka telah menelan entah berapa teguk air sungai, saking kedinginannya gigi mereka bergemeletukan, keadaan mereka sangat menyedihkan. Dengan terkejut, Wang Yuanba memeriksa keadaan mereka, namun ia malah makin terkejut ketika melihat keempat lengan kedua kakak beradik itu, lengan kiri dan siku tangan kanan mereka telah ditarik hingga terlepas dari sendi-sendinya, persis seperti bagaimana mereka menarik lengan Linghu Chong tempo hari. Keduanya mengerang kesakitan sekaligus memaki-maki tak keruan, namun kedua tangan mereka terlanjur tergantung lemas di samping tubuh mereka. 
 
Ketika Wang Zhongqiang melihat kedua putranya mengalami kesulitan, ia melompat ke tepi sungai, menerjang ke depan Luzhuweng dan menghadangnya.
 
Luzhuweng tetap berjalan perlahan-lahan, punggungnya membungkuk, kepalanya menunduk. Wang Zhongqiang membentak, "Tuan orang lihai dari mana? Apa kau datang ke Luoyang untuk mempertunjukkan kepandaianmu di depan keluarga Wang?" Luzhuweng seakan tak mendengarnya, ia tetap berjalan perlahan-lahan sampai ke depan Wang Zhongqiang.
 
Pandangan mata semua orang yang berada di atas perahu tertuju pada kedua orang itu. Melihat Luzhuweng berjalan ke depan selangkah demi selangkah, Wang Zhongqiang sedikit membuka kedua lengannya dan menghadang di tengah jalan. Makin lama kedua orang itu makin dekat, jarak diantara mereka tinggal dari satu zhang menjadi lima chi, dari lima chi menjadi tiga chi, namun Luzhuweng tetap melangkah ke depan. Wang Zhongqiang berseru, "Mau kemana kau?" Ia menjulurkan kedua tangannya ke arah pundak orang tua itu dan mencengkeramnya kuat kuat.
 
Jari-jarinya terlihat menyentuh punggung Luzhuweng, namun tiba-tiba sosoknya yang tinggi besar terlontar ke udara dan melayang hingga beberapa zhang. Saat para hadirin berseru kaget, ia berjungkir balik di udara, lalu mendarat di tanah dengan kokoh. Kalau dua orang berlari dari jauh dengan sangat cepat, saat mereka bertumbukan, salah seorang akan mencelat, ini bukanlah sesuatu hal yang aneh. Yang aneh ialah bahwa Wang Zhongqiang berdiri di tempatnya tanpa bergerak-gerak, dan Luzhuweng melangkah maju dengan begitu lambat, namun dengan tiba-tiba Wang Zhongqiang terpental hingga melayang di udara. Bahkan jago-jago seperti Yue Buqun, Wang Yuanba dan lain-lain juga tak tahu ilmu tangan kosong apa yang digunakan oleh orang tua itu hingga ia dapat membuat seseorang terpental sampai beberapa zhang jauhnya. Wang Zhongqiang mendarat dengan kokoh, ia sama sekali tidak terlihat kepayahan, maka orang-orang yang tak mengerti ilmu silat mengira bahwa ia berjumpalitan sendiri untuk mempertontonkan ilmu ringan tubuhnya. Para pengiring keluarga Wang dan tukang tandu bertepuk tangan dan bersorak-sorai, memuji kehebatan ilmu silat tuan kedua keluarga Wang. Namun ketika melihat air mukanya berubah dan keringat dingin mengucur dari dahinya, dan kedua lengannya jelas-jelas terkulai lemas, mereka tak berani bersorak lagi.
 
Ketika Wang Yuanba melihat Luzhuweng menarik keempat lengan kedua cucunya sampai terlepas dari sendinya tanpa bergerak, ia sangat terkejut, ia berpikir bahwa walaupun ia juga mempunyai kepandaian semacam itu, tapi saat ia menggunakannya, ia harus memakai banyak tenaga, sama sekali tak bisa seperti orang tua itu, yang dengan begitu enteng mengangkat beban berat, dan juga tak bisa sebegitu cepat. Ketika ia melihat putranya terpental, ia tak lagi terkejut melainkan ketakutan. Ia tahu bahwa ia telah mengajarkan seluruh ilmu silatnya pada putranya yang kedua, putranya itu dapat memainkan golok bergagang pendek dengan mantap namun ganas, kungfu tangan kosong dan tenaga dalamnyapun cukup baik, tidak kurang dari kemampuannya sendiri saat muda. Namun sebelum mereka berdua bertukar jurus, putranya sudah terpental terlebih dahulu, dan bahkan tanpa menyadarinya, kedua lengannya telah ditarik hingga keluar dari sendi-sendinya. Hal itu belum pernah dilihatnya seumur hidupnya, ketika ia melihat putranya telah kalah, ia segera berseru, "Zhongqiang, kemari!"
 
Wang Zhongqiang kesakitan, dengan susah payah ia melompat ke haluan kapal, ia meludah, lalu memaki dengan geram, "Kakek bau itu kemungkinan besar memakai ilmu sihir!" Wang Yuanba mendehem-dehem sambil membetulkan persendian anaknya, dengan pelan ia bertanya, "Bagaimana rasanya? Apa kau terluka dalam?" Wang Zhongqiang menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam hati Wang Yuanba memperhitungkan, bahwa dengan mengandalkan kepandaiannya sendiri, ia tak akan bisa mengatasi orang tua itu, kalau Yue Buqun turun tangan membantunya, kemenangan yang diperolehnya tidak akan gemilang, maka lebih baik masalah ini tak diungkit lagi dan mereka pergi begitu saja. Ia memandang Luzhuweng perlahan-lahan menjauh, dalam hatinya timbul perasaan yang sulit dilukiskan, pikirnya, "Orang tua ini tentunya teman Linghu Chong, karena cucu-cucuku menarik kedua lengan Linghu Chong, ia juga menarik lengan ketiga ayah beranak itu sebagai pembayaran hutang, ditambah bunganya. Aku telah lama merajai dunia persilatan Luoyang, apakah di masa tuaku ini aku akan terguling?"
 
Saat itu Wang Bofen telah membetulkan lengan kedua keponakannya, dua tandu membawa kedua pemuda yang basah kuyup itu pulang ke rumah.
 
Wang Yuanba memandang Yue Buqun dan berkata, "Tuan Yue, dari mana orang itu berasal? Si tua ini matanya sudah lamur dan tak bisa mengenalinya". Yue Buqun berkata, "Chong er, siapa dia?" Linghu Chong berkata, "Dia adalah Luzhuweng".
 
"Oh!", ujar Wang Yuanba dan Yue Buqun dengan serentak. Tempo hari ketika mereka bersama-sama mendatangi lorong kecil itu, mereka tak melihat wajah Luzhuweng. Yang dapat mengenali Luzhuweng hanya Juru Tulis Yi, namun setelah melepas tetamu di gerbang rumah, ia tak ikut mengantar ke dermaga, sehingga tak ada seorangpun yang mengenali orang itu.
 
Yue Buqun menunjuk bungkusan berwarna biru itu seraya bertanya, "Dia memberikan apa padamu?" Linghu Chong berkata, "Murid tak tahu". Ia membuka bungkusan itu dan mengeluarkan sebuah kecapi pendek, kecapi itu nampak kuno, jelas adalah sebuah barang antik, di ujung kecapi terukir dua buah huruf kuno yang berbunyi 'Yan Yu'[4]: selain itu juga ada sebuah kitab, di sampulnya tertulis lima buah huruf yaitu 'Qingxin Pushan Zhou'. Dada Linghu Chong terasa hangat, "Ah!", ujarnya.
 
Yue Buqun menatapnya tanpa berkedip seraya bertanya, "Kenapa?" Linghu Chong berkata, "Sesepuh ini tak cuma memberiku sebuah kecapi, namun juga menyalin sebuah kitab kecapi untukku". Ia membuka kitab itu dan mendapati bahwa setiap halamannya penuh tulisan huruf-huruf kaligrafi mungil yang indah, selain not-not musik, juga terdapat penjelasan terperinci tentang cara memetik, tangga nada dan kuncinya. Tinta di atas kertas masih baru, jelas bahwa nenek itu baru saja selesai menulisnya. Linghu Chong berpikir bahwa sesepuh itu begitu penuh perhatian kepadanya, hatinya tersentuh, air matanya berlinangan, hampir jatuh berderai-derai.
 
Wang Yuanba dan Yue Buqun melihat bahwa kitab itu benar-benar hanya berisi cara memetik kecapi, di dalamnya ada beberapa huruf aneh, mirip dengan huruf-huruf aneh yang terdapat dalam kitab lagu Xiao Ao Jiang Hu, walaupun rasa curiga masih tersisa dalam hati mereka, namun mereka tak dapat berkata apa apa. Yue Buqun berkata, "Luzhuweng ini tak menunjukkan jati dirinya, ternyata dia adalah seorang jago dunia persilatan. Chong er, apa kau tahu dia berasal dari keluarga atau perguruan apa?" Ia menduga bahwa kalaupun Linghu Chong tahu, ia tak akan menjawab dengan jujur, tapi ilmu silat orang ini terlalu tinggi, kalau ia tidak menanyai Linghu Chong dengan seksama, hatinya terasa tak tenang. Benar saja, Linghu Chong berkata, "Murid hanya belajar memetik kecapi darinya, murid benar-benar tak tahu kalau ia bisa ilmu silat".
 
Suami istri Yue Buqun segera menjura untuk minta diri pada Wang Yuanba dan kakak beradik Wang Bofen dan Wang Zhongqiang, lalu mengangkat sauh, perahu besar itupun berlayar ke utara. Semangat Wang Yuanba surut, ia khawatir kalau Luzhuweng datang lagi untuk mencari gara-gara.
 
Setelah kapal berlayar sepuluh zhang lebih, para murid berbicara dengan ribut. Ada yang berkata bahwa ilmu silat Luzhuweng itu sulit diukur tingginya, ada juga yang demi menyenangkan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, berkata bahwa orang tua itu belum tentu berkepandaian tinggi, kakak beradik Wang sendirilah yang tidak berhati-hati hingga tercebur ke Sungai Luo, Wang Zhongqiang tidak ingin bertarung dengan seorang tua miskin, sehingga ia sengaja melompat untuk menghindar. Akan tetapi bagaimana lengannya bisa tertarik di udara dengan sendirinya, sukar untuk dijelaskan.
 
Linghu Chong duduk di buritan kapal dan tak mendengarkan percakapan saudara saudari seperguruannya, ia membolak-balik kitab kecapi sendirian, dengan menuruti petunjuk dari kitab itu, ia menekan-nekan senar kecapi, ia khawatir menganggu guru dan ibu guru, maka ia hanya berlatih memposisikan tangannya dan tak berani membunyikannya.
 
Nyonya Yue melihat bahwa angin bertiup dari buritan kapal sehingga mereka berlayar dengan cepat, ia berpikir tentang penampilan Luzhuweng yang aneh dan ilmu silatnya yang tinggi, berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya, maka ia pergi ke haluan untuk menikmati pemandangan. Setelah beberapa lama melihat pemandangan, tiba-tiba terdengar suara sang suami di samping telinganya, "Menurutmu Luzhuweng ini berasal dari perguruan apa?" Pertanyaan ini memang sesuatu yang ingin ditanyakannya pada suaminya, walaupun ia telah menanyakannya terlebih dahulu, namun Nyonya Yue masih bertanya, "Menurutmu dia berasal dari perguruan apa?" Yue Buqun berkata, "Tingkah laku orang tua itu aneh, tanpa menggerakkan tangan atau kaki, ia bisa membuat ayah beranak Wang bertiga terpental sampai beberapa zhang jauhnya. Kemungkinan besar bukan ilmu silat perguruan lurus. Ia menarik tangan ayah beranak Wang bertiga, persis seperti ketika mereka menarik lengan Chong er tempo hari, ia jelas-jelas membalaskan dendam Chong er".
 
Nyonya Yue mengangguk-angguk, "Sepertinya dia sangat baik pada Chong er, tapi kelihatannya ia tidak sengaja membuat susah Keluarga Golok Emas Wang". Yue Buqun menghela napas, "Aku harap masalah ini bisa diselesaikan, kalau tidak reputasi Tuan Wang yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun akan pupus begitu saja". Setelah berdiam diri beberapa lama, ia berkata lagi, "Walaupun kita melalui jalan air, namun lebih baik kita agak lebih berhati-hati".
 
Nyonya Yue berkata, "Apa menurutmu ada orang yang bisa naik ke kapal untuk mencari gara-gara?"
 
Yue Buqun menggeleng, "Selama ini ada yang ditutup-tutupi dari kita, kita masih tak tahu siapa sebenarnya kelima belas orang berkedok yang menyerang kita malam itu dan dari mana mereka berasal. Kita berada di tempat terang, sedangkan musuh berada di tempat gelap, keadaan di masa datang belum tentu aman tenteram". Sejak ia menguasai Perguruan Huashan, ia belum pernah menemui halangan sebesar ini. Dalam beberapa bulan terakhir ini, ia merasa akan banyak kesukaran di masa depan, akan tetapi siapa musuh sebenarnya, dan mengapa mereka berkomplot, ia sama sekali tak tahu seluk beluknya, oleh karena itu benaknya dipenuhi kekhawatiran.
 
Mereka berdua suami istri terus menerus memperingatkan para murid agar waspada siang dan malam, namun sampai perahu yang mereka tumpangi memasuki sungai dekat Kabupaten Gong, dan mengikuti arus sungai ke timur, sama sekali tidak ada kejadian yang tak terduga. Makin jauh meninggalkan Luoyang, semua orang makin merasa lega, dan kewaspadaan mereka sedikit demi sedikit berkurang.
 
Catatan Kaki
[1] Lihat catatan kaki tentang Nie Zheng di Bab VII.
[2] 有所思, berarti 'Terkenang'.
[3] Fujian.
[4] 燕语 berarti 'Kicau Burung Walet'.
 

No Comment
Add Comment
comment url