Novel Cersil To Liong To | Bab 6: Liong-Bun Piau-Kiok

 VI

Saduran: Gan K.L.
Karya asli oleh Chin Yung (Jin Yong / Louis Cha).
Judul Inggris: Heavenly Sword and Dragon Slaying Sabre.
Judul lain: Jayanya Bu Tong Pay, Golok Pembunuh Naga.

-

<< To Liong To Bab 5 -- Halaman Indeks To Liong To -- Bab Selanjutnya >


To Liong To Bab 6

[Tiba-tiba Thio Jui-san melihat sang Guru mengacungkan jarinya ke udara terus mencoret-coret seperti orang sedang menulis, corat-coret itu diulangi berkali-kali. Akhirnya dapat diketahui, ternyata sang guru lagi menunjukkan sebuah ilmu silat lihai yang mirip gaya menulis 24 huruf ih-thian-to-liong]

LIONG-BUN PIAU-KIOK

 Maka begitulah Thio Sam-hong mengulangi berkali-kali ilmu silat itu hingga kurang lebih dua jam. Sampai suatu ketika tiba-tiba ia bersuit panjang dan meng- akhiri coretannya yang terakhir.

"Bagaimana gaya tulisanku tadi, Jui-san?" tiba-tiba ia bertanya sambil memandang jauh ke depan.

Keruan saja Jui-san sangat terkejut. Ia tidak menduga sama sekali jika sang Guru telah mengetahui keberadaannya. Maka iapun maju ke tengah serta memberi hormat. Katanya, "Sungguh, hari ini Te-cu sangat beruntung dapat menyaksikan ilmu kepandaian Suhu yang tiada taranya. Apakah boleh Te-cu pergi memanggil para Suheng agar mereka pun bisa menikmati ilmu silat Suhu?"

"Tidak perlu, keinginanku sudah habis, mungkin aku tak sanggup menulis tulisan sebagus itu lagi," kata Thio sam-hong. "Lagipula Wan-kiau dan Siong-khe tidak memahami seni tulisan, meskipun melihat juga tidak mengerti."-Sesudah berkata demikian ia tinggalkan Thio Jui-san dan masuk ke kamarnya sendiri.

Jui-san tidak berani ikut tidur. la khawatir, sesudah tidur mungkin ilmu silat yang hebat tadi akan dilupakannya. Ia segera duduk bersila. Ia membayangkan gaya tulisan sang Guru tadi, segores, secoret, ia ingat dengan baik. Kadang-kadang secara tidak sadar ia pun bangkit dan mencoba corat-coret yang dilihat- nya tadi.

Tak terasa akhirnya setiap coretan dengan perubahan dari ke 24 huruf yang seluruhnya berjumlah 215 goresan itu bisa ia hapalkan. Ketika ia melompat bangun dan melatihnya sekali lagi dirasakannya tubuhnya begitu ringan dan gerakannya begitu gesit. Sampai satu goresan terakhir menurun, tiba-tiba terdengar suara "breet", ternyata kain bajunya telah sobek sebagian.

Masih dipenuhi rasa senang, Jui-san meno- leh, ternyata matahari sudah meninggi di te- ngah cakrawala. Ia gosok-gosok matanya kha- watir salah lihat, tapi kenyataannya memang begitu. Rupanya hari sudah siang, karena asyik melatih diri hingga tidak terasa waktu sudah terlewati lebih dari setengah hari.

Cepat-cepat Jui-san mengusap keringat diji- datnya lalu berlari ke kamar Ji Tay-giam. Ia melihat gurunya sedang menempelkan tela- pak tangannya di dada sang Suheng. Dengan ilmu Lwekang yang tinggi sang Guru sedang menyembuhkan luka Ji Tay-giam. Ketika ia keluar dan bertanya, barulah ia tahu jika Song Wan-kiau, Thio Siong-khe dan In Li-hing berti- ga pagi-pagi sekali sudah berangkat. Para Piausu dari Liong-bun Piaukiok juga sudah turun gunung.

Kiranya semua orang melihatnya sedang bersemedi sehingga tidak ingin menggang- gunya. Kini seluruh pakaian Thio Jui-san sudah basah oleh keringat. Namun karena ia terdesak mau menuntut sakit hati sang Suheng, maka tanpa berkemas-kemas lagi ia langsung membawa senjata, pakaian seperlu- nya, dan beberapa keping emas. Ia datangi kamar Ji Tay-giam untuk berpamitan dengan sang Guru.

Thio Sam-hong mengangguk, dengan tersenyum ia mengantar kepergian murid keli- ma itu. Ketika Jui-san memandang keadaan Ji

Tay-giam, muka sang Suheng sangat gelap, matanya cekung, pipinya kempot, tidak ada bedanya dengan orang mati. Hati Thio Jui-san menjadi sedih, dengan suara sesenggukan ia berkata, "Samko, sekalipun aku bakal hancur lebur, pasti akan kubalaskan sakit hatimu!"- Sesudah berkata demikian, ia berlutut memberi hormat pada sang Guru, lalu pergi sambil menutup mukanya.

Dengan kuda jangkungnya yang hijau abu- abu, Thio Jui-san berangkat dari Bu-tong-san. Karena berangkatnya sudah melewati tengah hari, baru menempuh 50 mil hari sudah gelap. la mencari hotel untuk menginap. Hujan lebat turun sepanjang malam. Esok paginya kabut tebal dan hujan masih belum reda. Jui-san membeli jas hujan dan tudung seperlunya. Hujan-hujan ia menempuh perjalanan. Untunglah kudanya sangat tangkas, meskipun hujan, jalanan becek dan licin, tapi tidak me- ngurangi kecepatan larinya.

Ketika sampai di Lau-ho-gau dan menye- berangi Sungai Han, airnya sangat deras. Setelah melewati kota Sianghan, Jui-san

Tay-giam, muka sang Suheng sangat gelap, matanya cekung, pipinya kempot, tidak ada bedanya dengan orang mati. Hati Thio Jui-san menjadi sedih, dengan suara sesenggukan ia berkata, "Samko, sekalipun aku bakal hancur lebur, pasti akan kubalaskan sakit hatimu!"- Sesudah berkata demikian, ia berlutut mem- beri hormat pada sang Guru, lalu pergi sambil menutup mukanya.

Dengan kuda jangkungnya yang hijau abu- abu, Thio Jui-san berangkat dari Bu-tong-san. Karena berangkatnya sudah melewati tengah hari, baru menempuh 50 mil hari sudah gelap. la mencari hotel untuk menginap. Hujan lebat turun sepanjang malam. Esok paginya kabut tebal dan hujan masih belum reda. Jui-san membeli jas hujan dan tudung seperlunya. Hujan-hujan ia menempuh perjalanan. Untunglah kudanya sangat tangkas, meskipun hujan, jalanan becek dan licin, tapi tidak me- ngurangi kecepatan larinya.

Ketika sampai di Lau-ho-gau dan menye- berangi Sungai Han, airnya sangat deras. Setelah melewati kota Sianghan, Jui-san

mendengar berita bahwa tanggul di bagian hilir sungai bobol sehingga menyebabkan ban- jir. Hari itu sampailah Jui-san di kota Gisia. Ia melihat banyak pengungsi berbondong-bon- dong berlari untuk menyelamatkan diri di bawah hujan lebat.

Sementara Jui-san melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dilihatnya di depan ada serombongan penunggang kuda dengan panji berkibar- kibar. Ternyata adalah rombongan Liong-bun Piaukiok. Cepat-cepat ia keprak kudanya untuk mendahului rombongan itu. Setelah ada di depan rombongan itu ia memutar kudanya lalu menghadang di tengah jalan.

Melihat Thio Jui-san yang mengejarnya, dengan dingin Toh Tay-kim berkata, "Ada keperluan apakah Thio-ngo-hiap?"

"Banyak orang mengungsi karena banjir, apakah Toh-congpiauthau sudah melihat- nya?" tanya Jui-san.

Toh Tay-kim melengak, ia tidak menduga jika Jui-san akan bertanya tentang hal itu, maka jawabnya, "Ya, mengapa?"

"Aku minta pada tuan-tuan untuk me- nyumbangkan emasnya untuk menolong pengungsi itu!" kata Thio Jui-san.

Mendengar perkataan Thio Jui-san seketika wajah Toh Tay-kim berubah. "Kami hanyalah tukang kawal yang hidup dari pergulatan nyawa di ujung senjata, darimana kami punya kekuatan untuk menolong pengungsi?" sahut- nya kemudian.

Tiba-tiba Thio jui-san menekan suaranya dan berkata, "Keluarkanlah 2000 keping emas milikmu itu!"

"Thio-ngohiap," kata Toh Tay-kim sambil memegang goloknya, "apakah kamu benar- benar sengaja mencari gara-gara terhadapku?" "Ya... sudah tentu," sahut Thio Jui-san.

Secepat kilat Ciok dan Su-piauthau melolos senjatanya dan berdiri di samping majikan mereka. Namun Thio Jui-san tetap bertangan kosong. Katanya dengan tertawa dingin, "Toh- congpiauthau, kamu menerima upah dari orang, tapi apakah kau penuhi tugasmu? Masih punya mukakah untuk mengantongi 2000 keping emas?"

"Bukankah Ji-sam-hiap sudah kami antar sampai Bu-tong-san?" sahut Toh Tay-kim de- ngan muka merah padam. "Memang ketika diserahkan pada kami dia sudah terluka, dan sampai sekarang tidak mati."

"Kamu masih saja mengelak," bentak Jui- san gusar. "Ketika Ji-samko diberangkatkan dari Lim-an apakah tulang sendi kaki tangan- nya sudah patah?"

Mendengar perkataan Thio Jui-san itu Toh Tay-kim menjadi bungkam. "Thio-ngohiap," sambung Su-piauthau,

"sebenarnya apakah maksudmu itu, silakan berkata terus terang."

"Aku juga hendak mematahkan tulang sendi tangan kaki kalian masing-masing," sahut Thio Jui-san sambil melompat naik ke depan.

Cepat-cepat Su-piauthau mengangkat toya-nya hendak memukul. Jui-san mengeluarkan gerak tipu menurut goresan tulisan yang baru dipelajarinya itu. Tahu-tahu toya Su-piauthau terpental dari genggaman dan orangnya terus terjungkal dari kudanya.

Ciok-piauthau orangnya lebih licik, ia segera hendak mundur. Tapi terlambat, gaya goresan tulisan Thio Jui san tadi belum habis. Jarinya terus menyapu hingga tepat kena pinggangnya, terdengarlah suara "blang". Ciok-piauthau bersama pelana kudanya ter- pental dan terbanting agak jauh.

Kiranya kedua kaki Ciok-piauthau meng- gantol kencang di dalam pelana kudanya. Tetapi karena sabetan dati Thi Jui-san ini lihai luar biasa kuatnya, maka tali pengikat pelana itu menjadi putus hingga ikut terpental bersama Ciok-piaithau.

Melihat begitu cepat cara Jui-san turun ta- ngan, Toh tay-kim segera menggeprak kuda- nya menerjang ke depan. Akan tetapi Jui-san sempat memutar tubuh dan mengayunkan kepalan tangan kirinya hingga terdengar suara "duk", punggung Tay-kim dengan tepat kena dihantam.

Tubuh Taoh Tay-kim rada sempoyongan. Namun karena ilmu silatnya lebih tinggi dari kedua kawannya, maka ia tidak sampai ter- banting jatuh dari kudanya. Dalam keadaan marah ia berniat melompat turun dan berke lahi dengan Jui-san. Tapi tiba-tiba teng- gorokannya terasa anyir, ternyata darah segar keluar dari mulutnya. Ternyata hantaman Thio Jui-san tadi lihai sekali, walaupun Toh Tay-kim kekar dan kuat, juga tak tahan.

Cepat-cepat Toh Tay-kim mengatur perna- pasannya. Dadanya terasa sesak, darah keluar begitu banyak, kedua kakinya lemas, dan akhirnya jatuh terduduk. Melihat keadaan majikan mereka, tiga pengawal lainnya dan kerabat Piaukiok menjadi sangat kaget hingga tida ada yang berani maju untuk menolong.

Mulanya tadi Thio Jui-san hendak mematah- kan tulang sendi Toh Tay-kim dan kawan- kawannya untuk membalaskan sakit hati sang Suheng. Namun setelah beberapa pukulan ter- hadap tiga Piausu dan Toh Tay-kim menjadi luka parah, diam-diam ia terkejut sendiri. Ia sama sekali tidak berpikir sebelumnya bahwa ilmu "Th-thian-to-liong-kang" dari ke 24 huruf itu ternyata punya daya serangan begitu hebat.

Akhirnya ia mengurungkan niatnya. Lalu berkata, "Hai, orang she Toh, hari ini aku bermurah hati padamu. Kini keluarkan saja 2000 keping emas itu untuk menolong pengungsi yang tertimpa musibah banjir. Diam-diam aku akan mengawasimu, jika kau berani menilap satu keping saja, biar Liong-bun Piaukiok ku- obrak-abrik. Isi rumahmu sebanyak 71 jiwa kubinasakan, tanpa kecuali termasuk anjing dan ayam!"-Kata-kata terakhir ini dulu per- nah didengarnya dari cerita Toh Tay-kim, tiba- tiba ia teringat dan sekalian diucapkannya.

Perlahan-lahan Toh Tay-kim berdiri, ia merasa punggungnya sakit bukan kepalang. Dan karena bergerak, darah segar kembali keluar lagi.

Sebaliknya Su-piauthau hanya terluka sedikit saja. Ia tahu bukan tandingan Thio Jui- san, dan tak berani menantang lagi. Katanya, "Thio-ngohiap, meski kami menerima upah dari orang, tapi karena dalam perjalanan telah terjadi keonaran, maka lebih baik emas itu kami kembalikan. Tapi emas itu kami tinggalkan di rumah karena kami berada di tempat asing. Lalu darimana kami punya uang untuk menolong pengungsi?"

"Hm, kau kira aku orang yang bisa kau tipu?" ejek Jui-san. "Kalian tinggalkan Piaukiok semua, tidak ada orang kuat yang menjaga rumah, apakah kalian berani mening- galkan emas di rumah? Tentu saja kalian bawa dalam perjalanan."-Kemudian ia melirik ke arah kereta-kereta Piaukiok. Ia mendekati sebuah kereta yang besar. Sekali tangannya menghantam, terdengarlah suara gedubrakan yang keras. Dinding kereta itu jebol, dan belasan emas lantakan jatuh berhamburan.

Toh Tay-kim menjadi heran dan saling pan- dang dengan kawan-kawannya. Mereka sung- guh tidak mengerti darimanakah Thio Jui-san tahu tempat simpanan emas?

Meskipun Thio Jui-san masih muda tapi sudah lama berkelana di Kangouw bersama saudara-saudara perguruannya, pengalamannya pun luas. Ketika tadi ia melihat bekas roda kereta besar ini sangat dekuk, lebih dalam dari kereta lainnya dan selalu dijaga ketat oleh tiga pengawal muda.

Ketika Toh Tay-kim terjungkal dan luka tak ada yang menolongnya, maka pikir Thio Jui san pastilah kereta itu menyimpan benda berharga.

Begitulah, setelah emas lantakan itu berserakan di tanah, dengan tertawa dingin Thio Jui-san keprak kudanya dan pergi mening- galkan mereka. Ia menduga bahwa Toh Tay- kim akan mengingat keselamatan 71 jiwa di rumahnya sehingga mau tidak mau akan menyumbangkan 2000 keping emas itu untuk menolong pengungsi. Thio Jui-san senang akan perbuatan ini. Sepanjang jalan ia pun mengingat-ingat kembali perubahan-perubah- an gerak silat ke 24 huruf "Ih-thian-to-liong" itu. Dia tak menyangka bahwa ilmu silat itu ternyata lihai luar biasa. Tentu saja hatinya senang melebihi orang menang undian.

Karena selama beberapa hari selalu me- nempuh perjalanan di bawah hujan le- bat, meski kudanya sangat tangkas, akhirnya tak tahan juga. Ketika sampai di per- batasan Propinsi Kangsay, tiba-tiba mulut kuda itu berbusa dan badannya panas. Jui-san sangat menyayangi kuda tunggangannya ini, maka ia turun dan berjalan perlahan-lahan sambil menuntun kudanya. Itulah sebabnya maka perjalanannya menjadi lambat sehingga sampai di Lim-an-hu tanggal 30 bulan 4 dan hari pun sudah petang.

Setelah mendapatkan hotel, ia berpikir se- jenak. Perjalananku terlambat, rombongan Toh Tay-kim sudah pulang atau belum? Dan Jiko dan Chitte tinggal di mana ya? Ah, biarlah nanti malam aku menyelidiki ke Liong-bun Piaukiok.

Sesudah makan, ia mendapat informasi dari pelayan bahwa letak Liong-bun Piaukiok ada di tepi Se-oh. Sebelum berangkat ke Liong-bun Piaukiok ia membeli seperangkat pakaian dan sebuah kipas lipat keluaran Hangciu yang terkenal itu. Kemudian ia pun mandi dan berdandan, dan ketika bercermin terkejutlah mendapati dirinya berubah. Ia lebih menyerupai seorang bangsawan muda yang ganteng dibandingkan seorang pendekar silat yang namanya menggoncangkan Bu-lim.

la coba meminjam alat tulis. Maksudnya adalah untuk menulisi kipas barunya dengan sebait dua bait syair. Namun begitu tangannya memegang pensil, otomatis yang ditulisnya adalah ke-24 huruf "Th-thian-to-liong" dengan goresannya yang bergaya kuat.

"Ha, setelah mempelajari ilmu pukulan Suhu ini, ternyata gaya tulisanku banyak kemajuan," katanya sendiri sehabis menulis. Ia menggoyangkan kipasnya perlahan-lahan, dengan jalan berlenggang ia menuju Se-oh.

Kota Lim-an adalah bekas ibukota Kerajaan Song, tapi kini sudah berada di bawah kekuasaan bangsa Mongol. Karena bekas ibukota dan khawatir jika rakyatnya diam- diam melakukan pergerakan bawah tanah, maka bangsa Mongol sengaja mengirim ten- tara pendudukan yang kuat. Di samping seba- gai unjuk kekuatan, kekejaman mereka ternya- ta lebih hebat daripada di tempat lain, sehingga rakyat Lim an pun menjadi semakin menderita. Makanya banyak penduduk kota yang mengungsi dan pindah ke desa. Ke- indahan kota Lim-an (sekarang terkenal de- ngan nama Hangciu) yang selama ratusan tahun menjadi kunjungan kaum pelancong, kini sudah berubah semua.

Thio Jui-san melihat dimana-mana terdapat bangunan gedung yang roboh, suasananya sepi. Kota yang dulu terkenal dengan kesubur- an dan kemakmurannya di daerah Kanglam ini, sekarang setengahnya sudah menjadi tumpukan puing.

Saat itu hari belum terlalu gelap tapi rumah penduduk sudah tutup. Jalanan sepi, jarang ada orang lewat. Hanya prajurit-prajurit Mo- ngol berkuda ronda ke sana ke mari. Thio Jui-san tidak ingin mencari gara-gara. Jika mendengar suara prajurit berkuda itu maka ia segera sembunyi di tepi jalan untuk meng- hindarinya.

Dulu, bila malam mulai tiba, seluruh telaga Se-oh penuh dengan pelita perahu. Tapi sekarang ketika Jui-san menaiki gili-gili telaga terasa gelap dan tak ada pelancong satupun. Diam-diam ia menghela napas. Ia turut petun- juk pelayan hotel dan mencari Liong-bun Piaukiok.

Liong-bun Piaukiok terdiri dari sebuah ge- dung yang berderet-deret lima susun ke be- lakang, menghadap Se-oh. Di pintu depannya terdapat sepasang singa batu. Bangunannya sangat megah dan angker.

Perlahan-lahan Jui-san mendekati gedung itu. Tiba-tiba ia terkesiap, ia melihat di tengah telaga depan pintu Piaukiok berlabuh sebuah perahu pesiar. Di dalam perahu itu menyala lentera berkurung sutera, dan di bawah sorot lentera itu lapat-lapat kelihatan ada seseorang sedang minum-minum sendiri menghadapi meja.

Sementara itu ia melihat tenglang (lentera dari kertas atau lampion) besar yang ter- gantung di depan Liong-bun Piaukiok itu tidak tersulut lilin. Daun pintu besarnya pun terkunci rapat, mungkin penghuninya sudah tidur semua. Thio Jui-san mendekati pintu itu, dalam hati ia berkata: Sebulan yang lalu ada orang mengantar Ji-samko masuk ke pintu besar ini, tapi siapakah gerangan orang itu? Teringat akan hal itu, hatinya menjadi ber- duka.

Pada saat bersamaan tiba-tiba ia mendengar dari arah belakang ada orang yang perlahan menghela napas. Karena malam itu gelap dan sunyi, suara helaan napas itu kedengarannya menjadi seram. Dengan cepat Thio Jui-san ber- paling ke belakang tapi tak ada seorangpun yang dilihatnya. Sekelilingnya tampak sepi, bah- kan tak ada bayangan seorangpun. Hanya ada seorang pelancong di dalam perahu itu saja.

la rada heran, saat memperhatikan pelan- cong dalam perahu itu ternyata baju dan ikat kepalanya sama seperti dirinya. Berdandan sebagai sastrawan. Dalam keadaan remang- remang, muka orang itu tidak jelas. Hanya dari samping wajahnya sangat pucat. Disorot oleh sinar lenteranya yang membayangi telaga yang berbuih hijau, perahu itu dikelilingi air telaga. Tampaknya menjadi sangat seram. Orang itu duduk anteng di dalam perahu, kecuali bajunya yang bergoyang-goyang ter- tiup angin malam yang silir-silir, tapi tidak bergerak sama sekali,

Diam-diam, Thio Jui-san menjadi ragu-ragu setelah memandang beberapa kali pada orang di dalam perahu itu. Ia berniat masuk ke Liong-bun Piaukiok dengan cara melompati pagar tembok. Namun niatnya pun diurung- kan. Lalu ia mendekati pintu dan memegang gelang tembaga pintu yang besar itu terus diketoknya hingga tiga kali.

Di tengah malam sunyi, suara ketokan itu kedengarannya sangat keras hingga ber- kumandang jauh. Tapi lewat agak lama, tak ada seorangpun yang keluar. Jui-san kembali mengetoknya tiga kali, suaranya tambah keras. Tapi tetap saja tak ada sahutan dan orang keluar, rumah itu sunyi senyap.

Ia heran, dicobanya mendorong pintu besar itu. Diluar dugaan ternyata pintu terbuka sendiri, kiranya tidak dipalang dari dalam. Segera Jui-san melangkah masuk, dengan suara lantang ia berseru, "Apakah Toh-congpi- authau di rumah?"-Sambil berkata demikian, ia berjalan ke tengah paseban.

Di tengah paseban itu pun gelap gulita. Pada saat itulah mendadak terdengar suara "blang" yang keras. Pintu besar itu seperti ter- tiup angin dan menutup sendiri.

Hati Jui-san kaget dan cepat melompat ke- luar dari paseban. Ia terhenyak ketika men- dapati pintu sudah terkunci rapat, bahkan dipalang dari dalam. Pikirnya, terang ada orang di dalam rumah ini.

Jui-san berteriak beberapa kali, katanya dalam hati: Hmm, apa-apaan ini?--Ia mene- nangkan hati, karena ilmu silatnya tinggi de- ngan mantap ia segera melangkah masuk ke paseban lagi.

Namun sekarang keadaannya sudah lain. Baru ia melangkah masuk, segera didengarnya dari empat penjuru angin keras menyambar. Ada empat orang telah mengerubutnya. Cepat-cepat Jui-san mengelak dan menghin- darkan diri dari serangan. Dalam kegelapan, sekilas ia melihat sinar tajam berkelebat, rupa- nya keempat orang itu bersenjata semua.

Segera ia mendahului melangkah ke sebelah barat. Telapak tangan kirinya menyampok lurus ke kanan. "Plok" dengan tepat pilingan orang itu kena digaplok hingga pingsan seketika. Menyusul tangan kiri dari ujung kanan atas menghantam miring ke ujung kiri bawah dan mengenai pinggang salah seorang lagi.

Kedua gerakan tadi adalah garis-garis lintang dan miring dari permulaan huruf "put" dari il- mu "Th-thian-to-liong" itu. Dua kali gebrak, dua kali berhasil. Menyusul tangan kiri terus me- nyanggah lurus dari bawah ke atas. Sedangkan kepalan tangan kanan menghantam sekali ke samping. Dua gerakan terakhir itu sebagai pelengkap huruf "put", dan empat serangan ternyata merobohkan keempat musuh itu.

Jui-san tidak tahu siapa yang bersembunyi di dalam rumah itu lalu mendadak me- nyerangnya. Ia pun hanya menggunakan tiga bagian tenaganya untuk melawan musuh, sehingga serangannya memang tidak keras.

Ketika orang keempat tadi kena di"tutul" oleh hantamannya hingga terhuyung-huyung ke belakang terus menindih kursi hingga pecah. Orang itu membentak, "Begini keji caramu turun tangan, jika kamu laki-laki sejati, beritahukan namamu!"

"Jika benar-benar aku turun tangan keji, mungkin nyawamu sudah melayang," sahut Jui-san tertawa. "Cayhe tidak lain adalah Thio Jui-san." "Eh!" Orang itu kaget, "Kamu benar-benar Gin-kau-tiat-hoa Thio... Thio Jui-san dari Bu-tong-pay? Bukan palsu?".

Jui-san tidak menjawab. Dengan tersenyum ia lolos senjatanya, dengan tangan kirinya memegang Hou-thau-kau atau gaetan ber- kepala harimau dari perak dan tangan kanan memegang Boan-koan-pit atau potlot jaksa dari baja. Kedua senjata yang menggambarkan julukannya itu segera ia ketokan kedua sen- jatanya sehingga mengeluarkan suara nyaring disertai percikan api.

Karena percikan api itu, sekilas Thio Jui-san dapat melihat dengan jelas keempat lawan yang dirobohkannya itu berjubah paderi/pen- deta. Rupanya semuanya Hwesio. Dua dari empat pendeta itu menghadap Thio Jui-san, sehingga merekapun dapat melihat jelas wajahnya.

Jui-san melihat muka kedua pendeta itu penuh noda darah, matanya memancarkan sinar kebencian yang tak terkatakan, seakan-akan menyesal tidak bisa menghabisi Jui-san. Keruan Jui-san heran, tanyanya: "Siapakah Taysu (sebutan hormat untuk Hwesio) ber- empat?"

"Sakit hati sedalam lautan ini tentu tak dapat terbalas hari ini, ayolah pergi!" tiba-tiba seorang diantarnya berseru. Kemudian ke- empat Hwesio itu meloncat bangun dan ber- jalan keluar. Satu diantaranya masih sem- poyongan, baru beberapa tindak terus roboh. Mungkin karena hantaman Thio Jui-san yang keras tadi. Cepat-cepat kedua kawannya mengangkat dan memapahnya lalu dilarikan.

"Kalian tunggu dulu! Sakit hati sedalam lautan apa...." Tapi belum selesai Jui-san bertanya, keempat Hwesio itu telah melompat pagar tembok terus menghilang.

Kejadian malam ini, membuat Thio Jui-san tidak habis mengerti. Ia termangu-mangu sekian lamanya di tengah paseban itu. Namun tetap saja ia tak mengerti mengapa di dalam Liong-bun Piaukiok itu bisa bersembunyi empat orang Hwesio? Apalagi ketika ia masuk langsung mendapat serangan dan perkataan tentang "sakit hati sedalam lautan" yang makin menambah bingungnya. Ia berpikir, harus bertanya pada salah seorang penghuni rumah itu barulah persoalannya menjadi jelas.

Segera ia berteriak, "Toh-congpiauthau! Apakah Anda di rumah?"

Tetap tidak ada sahutan, hanya suaranya sendiri yang berkumandang. Ia menjadi curi- ga, jangan-jangan isi rumah ini telah bersem- bunyi semua karena takut padanya. Atau semuanya sudah pergi mengungsi dan ge- dung ini dikosongkan? Sebab, jika penghuni- nya tidur, tak mungkin seperti orang mati.

Segera ia keluarkan geretan korek api dan menyalakan lilin. Dengan penerangan itu, ia berjalan ke ruangan belakang. Tapi baru bebe- rapa tindak tiba-tiba ia melihat seorang wanita tertelungkup di lantai. Badannya kaku dan tidak bergerak.

"Hai, Toaci! Kamu kenapa?" tanya Jui-san. Tapi wanita itu diam tak bergerak. Ketika Jui- san menarik pundak wanita itu, dan diperik- sanya dengan penerangan lilin, ia menjerit kaget. Ternyata wanita itu sudah lama tewas,

Meskipun wajahnya tampak tersenyum, tapi badannya sudah kaku. Jui-san memperhatikan sekelilingnya, ia melihat di sebelah tiang sana juga tergeletak seseorang yang sudah mati. Rupanya seorang pelayan yang sudah tua.

Jui-san semakin heran, ia lolos Hau-thau- kau ditangan. Sedangkan tangan kanan meng angkat tinggi tatakan lilin untuk melihat sekitarnya. Rupanya banyak mayat bergelimpang- an, seluruh penghuni Liong-bun Piaukiok te- was dibunuh dan tidak seorang pun yang hidup.

Thio Jui-san memang sudah cukup berpe- ngalaman akan berbagai hal. Tetapi melihat pemandangan seperti yang ia saksikan dimana seluruh penghuni rumah binasa, hatinya ber- debar-debar juga. Badannya menjadi gemetar dan bulu kuduknya pun berdiri.

Sambil memegang gaetannya, tiba-tiba ia ingat pada kata-kata: "Jika di tengah jalan ter- jadi sesuatu, akan kubunuh semua isi rumah- mu sebanyak 71 jiwa, termasuk anjing dan ayam tanpa kecuali." - Dan sekarang ia meli- hat seluruh penghuni Piaukiok mati semua, tentu disebabkan oleh peristiwa gagalnya Toh Tay-kim mengantar Ji Tay-giam ke Bu-tong- san. Ia juga berpikir, penyebab kejadian me- ngerikan ini adalah karena Ji-samko, tentu dia adalah kawan baiknya. Kepandaian orang itu tentu jauh lebih tinggi dari Toh Tay-kim. Lagipula jika ia sudah tahu bahwa dalam per- jalanan akan banyak menemui rintangan me- ngapa ia tidak mengantar sendiri ke Bu-tong- san? Sebaliknya, hati Ji-samko suci dan bersih. la paling benci pada kejahatan, tetapi menga- pa bisa berteman dengan orang sekeji itu?

Semakin dipikir, Jui-san menjadi semakin curiga. Ia melangkah keluar dari ruangan itu. Tiba-tiba ia melihat dua orang pendeta berjubah kuning berdiri menempel dinding, sam- bil mengawasi dan tersenyum pada Jui-san. Cepat-cepat Jui-san mundur dua langkah, kemudian sambil melepas senjata ia memben- tak, "Apa yang kalian lakukan di sini?"

Ternyata kedua pendeta itu tidak bergerak. Thio Jui-san menjadi sadar jika kedua Hwesio itupun sudah tidak bernyawa. Ia mendekati- nya, dilihatnya tubuh kedua Hwesio itu se- olah-olah terbingkai ke dalam dinding. Tentu saja karena terkena pukulan orang dengan te- naga berat sehingga masuk ke dalam dinding.

Ketika Jui-san memeriksa tubuh mereka, ter- lihat di pinggang tempat "jiau-jau-hat" ada titik merah, tidak ada tanda luka lainnya. Ia mengangguk-angguk, katanya dalam hati: "Ya, mengertilah aku. Ketika mati orang-orang ini terlihat tertawa, mungkin karena ditotok Jiau-jau-hat oleh lawannya."

Tiba-tiba ia berteriak, "Ai, celaka, sakit hati sedalam lautan..." Ia ingat apa yang dikatakan keempat Hwesio tadi: "Sakit hati sedalam lau- tan ini tentu tidak akan terbalas hari ini." Rupanya hutang darah seluruh penghuni Liong-bun Piaukiok itu telah menjadi catatan keempat Hwesio itu. Ya...ya Jui-san telah menyebutkan namanya, bahkan telah memperlihatkan senjata andalannya yaitu Gin-kau-tiat- hoa atau pengait perak dan pensil baja. Lalu darimanakah asal-usul keempat pendeta ber jubah kuning itu.

Memang ia bergerak terlalu cepat, sehingga hanya menggunakan gaya goresan satu huruf "put" saja keempat pendeta itu dapat diroboh- kannya. Ia tidak sempat memperhatikan ge- rakan para pendeta itu. Tapi ketika Jui-san menabrak orang yang hendak menyerangnya tadi, tenaga pendeta itu sangat kuat dan ce- katan. Gerakan seperti itu adalah gaya golong- an Siau-lim-pay. Toh Tay-kim adalah murid Siau-lim, mungkin pendeta-pendeta Siau-lim- si ini diundang ke sini untuk membantunya.

Sejenak berpikir, Jui-san teringat kembali pada kedua saudara seperguruannya. Ke- manakah Ji-jiko dan Bok-chitte pergi? Guru menyuruh mereka datang kemari utnuk melin dungi penghuni Liong-bun Piaukiok. Lalu apa yang dihadapi oleh kedua saudaranya itu?

Mengapa terjadi keadaan seperti ini? Jui san tidak habis berpikir karena kejadian itu.

la termenung-menung, tapi sebagian teka- teki itupun sudah terjawab, katanya dalam hati: "Dengan perginya keempat pendeta itu tentu Siau-lim-pay akan mencurigai diriku. Tapi persoalan ini nanti pasti akan terbongkar, siapa pelaku sebenarnya. Dengan mengga- bungkan tenaga Siau-lim dan Bu-tong, rasanya tidak susah untuk menyelidikinya. Sebaiknya aku tidak mengusik kejadian di sini, yang pa- ling penting adalah menemukan Jiko dan Chitte." Ia segera memadamkan lilin dan 1 mendekati pagar tembok, sekali tendang ia langsung melompat keluar.

Belum lagi kakinya menginjak tanah di luar, secara tak terduga ada semacam senjata de- ngan kekuatan besar telah menyerempet ping- gangnya bersamaan dengan suara bentakan seseorang. "Robohlah Thio Jui-san!"

Thio Jui-san dalam keadaan mengambang dan tidak bisa menghindarkan diri dari se- rangan yang kuat dan ganas. Meskipun agak gugup, ia mengulurkan tangan kirinya untuk menahan senjata lawan. Karena tenaga itulah dengan ringan sekali tubuhnya bisa melompat ke atas pagar tembok lagi.

Jui-san sama sekali tidak menyangka jika ilmu silat yang intinya 24 huruf "Ih-thian-to- liong" itu mengandung mujizat yang begitu hebat. Meskipun dalam kedaan bahaya, de- ngan gerakan sepele saja, tubuhnya terasa ringan dan gerakannya cepat. Karenanya de ngan mudah ia bisa mematahkan serangan lawannya yang cekatan.

Setelah menginjak tembok pagar itu, Jui-san segera melepas Boan-koan-pit di tangan ka- nannya. Meskipun belum jelas siapa lawan- nya, tapi serangan yang kuat dan ganas tadi tentulah dilakukan oleh seseorang yang tidak boleh dianggap enteng.

Sebaliknya, orang yang menyerang Thio Jui- san itupun tidak menyangka jika pemuda itu dapat dengan mudah menghindar dari serang- annya. Tanpa bersuara, orang itupun memuji Jui-san.

Sementara itu tangan kiri Thio Jui-san telah memegang pengait dan tangan kanan memegang pensil serta ujung senjatanya menyerong ke bawah. Gaya ini disebut "kiong-leng-kau- hwe" atau memohon petunjuk dengan hor- mat. Ini merupakan sikap memberi hormat saat menghadapi angkatan tua dari persilatan.

Meskipun singkat, untunglah Jui-san belajar sejurus ilmu silat bergaya menulis dari sang Guru. Jika tidak, tentu saja serangan men- dadak dari lawan tadi sudah mematahkan pinggang dan menghancurkan tubuhnya. Meskipun diliputi perasaan dongkol, ia tetap patuh pada ajaran perguruan, yakni agar berlaku hormat pada tokoh Bu-lim.

Dalam keadaan gelap, Jui-san dapat melihat jika di bawah tembok itu berdiri dua orang Hwesio. Mereka memakai jubah merah berbe- nang emas. Masing-masing membawa tongkat pendeta yang bersinar-sinar. Jui-san terkesiap, katanya diam-diam, "Melihat jubah merah berbenang emas yang dipakai para Hwesio itu, apakah benar mereka tokoh dalam 'Siai- lim-cap-peh-lohan' (delapan belas budha dari siau-lim-si) yang terkenal itu?" Pendeta yang berdiri di sebelah kiri lalu mengetukkan tongkatnya sehingga menimbulkan suara yang keras. Kemudian ia berkata, "Thio Jui-san, Bu-tong-chit-hiap termasuk orang ter kenal di Kangouw, mengapa perbuatanmu begitu kejam?"

Karena namanya disebut-sebut, Jui-san menjadi dongkol. Meskipun ramah, di antara Bu-tong-chit-hiap ia berwatak paling angkuh Dengan suara dingin iapun menjawab: "Taysu tidak bertanya sebab musabab, tapi ber- sembunyi di bawah tembok dan melaku- kan penyerangan apakah perbuatan seorang ksatria sejati? Sudah lama orang mendengar dan mengagumi ilmu silat Siau-lim-pay yang terkenal di dunia itu, tapi siapa sangka ke- pandaiannya menyerang juga lain dari yang lain?"

Pendeta itu menjadi sangat marah. Ia meng- angkat tongkatnya lalu melompat ke atas tem- bok. Seketika Thio Jui-san merasa ada angin keras menyambar dadanya. Ia segera mema- langkan pengaitnya untuk menangkis, se dangkan pensil bajanya untuk menotok senja- ta lawan. Ada bunyi "tang", ternyata tongkat pendeta itu telah ditotok dan menyebabkan le- ngannya seperti kesemutan lalu terpaksa turun lagi.

Ternyata pukulan tadi juga membuat kedua tangan Thio Jui-san terasa pegal. Tenaga pendeta itu sungguh luar biasa. Jui-san berpikir, jika pendeta yang satunya juga ikut menyerang, mungkin ia tidak sanggup melawannya.

Jui-san membentak, "Siapakah kalian berdua, silakan memberitahu."

Dengan kalem, pendeta yang tetap berdiri di tempatnya itu berkata: "Pinceng (pendeta miskin, sebutan merendah) Wan-im dan ini adalah suteku, Wan-giap."

"Rupanya kedua taysu ini dari 'Siau-lim- cap-peh-lohan', sudah lama Cayhe sangat kagum, ada apa gerangan?" sahut Jui-san sam- bil memberi hormat.

"Persoalan ini menyangkut perguruan Siau- lim dan Bu-tong-pay, kami tidak berhak bicara," sahut Wan-im, suaranya lemah dan napasnya tersengal. "Tapi hari ini kami menyaksikan kejadian yang luar biasa. Kami hanya ingin bertanya pada Thio-ngo-hiap.

Seluruh penghuni Piaukiok dan dua orang Sutit kami binasa di bawah tangan Thio-ngo- hiap. Bagaimana cara menyelesaikan per- soalan ini, Thio-ngohiap perlu memberi pen- jelasan." - Meskipun kata-katanya merendah, tetapi sangat tegas. Jelaslah, orang ini jauh lebih cekatan daripada Wan-giap yang cero- boh.

"Hm, Cayhe juga merasa heran, siapa yang melakukan pembunuhan dalam rumah ini? Dan sekarang Taysu telah menuduh Cayhe yang melakukannya, apakah Taysu telah me nyaksikan sendiri kejadian ini?" sahut Jui-san sambil tertawa dingin.

"Hui-hong, coba kau keluar menjadi saksi,"

tiba-tiba Wan-im berteriak. Lalu muncullah empat pendeta berjubah kuning dari semak-semak pohon sana. Ternyata mereka empat pendeta yang telah dijatuhkan oleh Thio Jui san dengan goresan huruf "put".

"Lapor Supek," kata satu di antara empat pendeta yang bergelar Hui-hong itu sambil memberi hormat, "berpuluh jiwa orang Liong bun Piaukiok, ditambah Hui-thong dan Hui-kong berdua Sute, semuanya.... semuanya di- bunuh oleh she Thio ini."

"Apakah kau melihat dengan mata kepala sendiri?" tanya Wan-im.

"Ya, Tecu menyaksikan sendiri," sahut Hui- hong pasti, "jika Tecu berempat tidak segera melarikan diri, mungkin sudah dibunuh juga oleh bangsat ini."

"Murid budha tidak boleh berbohong, per- soalan ini menyangkut dua golongan, Siau-lim dan Bu-tong-pay, jangan sekali-sekali kau ber- dusta," kata Wan-im tegas.

Tiba-tiba Hui-hong berlutut sambil menung- kup dengan telapak tangannya lalu berkata: "Budha yang maha kasih, apa yang dicerita- kan Tecu Hui-hong adalah apa yang sesung- guhnya terjadi, tidak pernah berani berbohong pada Supek."

"Baik! Nah, coba ceritakan dengan jelas apa yang telah kau lihat," kata Wan-im kemudian.

Sampai di sini, dengan ringan Thio Jui-san segera melompat turun. Sebaliknya, Wan-giap menyangka Jui-san hendak menyerang Hui- hong. Dengan cepat ia mengayunkan tongkatnya dan memukul keras-keras ke atas kepala Jui-san. Tapi Jui-san mengelak dan memutar ke belakang Hui-hong.

Sekali memukul tidak kena. Dengan gerakan itu sebenarnya Wan-giap bisa memutar tongkatnya dan memukul pundak Thio Jui san, tapi ia berdiri di belakang Hui-hong. Jika tongkatnya berbalik pasti akan menghantam sang murid keponakan lebih dulu. Ia sangat terkejut dan menarik kembali tongkatnya sambil membentak: "Kamu mau apa?" "Aku ingin mendengar secara jelas dan ingin tahu bagaimana ia menyaksikan aku membunuh orang-orang Piaukiok ini," sahut Jui-san tenang.

Hui-hong memperhatikan bahwa jarak antara dirinya dan Thio Jui-san hanya tinggal dua langkah saja. Jika senjata Jui-san bergerak sedikit saja akan membinasakannya. Meskipun di samping ada dua orang supeknya, tapi tentu tidak terburu untuk menolongnya. Dengan bersemangat Hui-hong terus ber- bicara, "Ketika Wan-sim Susiok menerima surat panggilan kilat dari Toh Tay-kim Suheng, Hui-thong dan Hui-kong segera dikirim kemari untuk membantu. Setelah itu Tecu disu- ruh membawa tiga Sute lainnya dan segera menyusul kemari. Ketika kami sampai di sini, Hui-kong Suheng mengatakan bahwa mung- kin malam ini akan kedatangan musuh tang- guh. Kami berempat disuruh bersembunyi di sebelah timur rumah untuk mengintai musuh. Kami dipesan agar tidak terkena tipu musuh dan tidak boleh meninggalkan tempat penjagaan."

"Lalu bagaimana, cepat ceritakan!" desak Wan-im.

"Setelah gelap, kami mendengar Hui-thong Suheng sedang membentak-bentak di ruangan dalam dan saling memukul dengan seseorang, kemudian ia menjerit ngeri, mungkin terluka parah," tutur Hui-hong. "Segera aku membu- ru ke belakang dan di situ terlihatlah dia ..... Dia, bangsat she thio ini...." - sampai disini, karena terlalu bernapsu ia melompat bangun lalu menuding Thio Jui-san hingga hampir menyentuh batang hidungnya. Lalu ia me- lanjutkan, "Kami saksikan sendiri, dengan sekali dorong kau himpit Hui-kong Suheng ke dinding hingga terbentur dan mati. Aku sadar jika aku sendirian bukan tandinganmu. Diam- diam dari jendela aku berlari ke dalam rumah, kulihat orang-orang Piaukiok berlarian keluar sambil kau uber-uber. Tapi semuanya kau totok mati hingga tidak satu nyawa pun peng- huni Piaukiok ini kauampuni, setelah itu ka- mu melintasi pagar tembok lalu menghilang."

Selama Hui-hong berbicara Thio Jui-san diam saja hingga ludah Hui-hong terciprat ke muka Jui-san. Thio Jui-san tidak menghindari- nya bahkan tidak juga membersihkannya, de- ngan suara dingin ia bertanya: "Lalu bagai- mana?"

"Lalu?" sahut Hui-hong bernapsu. "Hm, la- lu akupun kembali ke tempat penjagaan dan berunding dengan ketiga suteku, merekapun merasa bahwa ilmu silatmu terlalu tinggi dan tak sanggup menandingimu dan terpaksa me- nunggu datangnya ketiga Supek dalam Piau- kiok ini. Tidak lama kemudian, kamu manusia berhati binatang ini datang kembali, bedanya waktu itu kamu masuk melalui pintu dan memanggil Toh-Congpiauthau untuk menemui- mu. Meskipun tak berdaya, tapi kami tidak gentar dan kami segera keluar, lalu aku tanya namamu, bukankah kau sendirimengatakan namamu 'Gin-kau-tiat-hoa Thio Jui-san? Se- mula aku masih menyangsikan kedudukanmu sebagai salah satu Bu-tong-chit-hiap yang ti- dak pantas melakukan kejahatan ini. Tapi ka- mu sendiri yang menunjukkan senjata andal- anmu, apakah itu bisa dikelabui?"

"Benar, memang aku sendiri yang memper- kenalkan nama dan memperlihatkan senjata- ku, dan aku juga yang memukul kalian berem- pat hingga roboh," kata Jui-san. "Tapi coba ka- mu bilang sekali lagi bahwa dengan mata ke- pala sendiri telah menyaksikan Thio Jui-san membunuh berpuluh jiwa penghuni Piaukiok ini!"

Tiba-tiba Wan-im mengibaskan lengan baju- nya sehingga tubuh Hui-hong terlempar ke samping beberapa meter, lalu dengan tegas ia berkata: "Ya, katakanlah sekali lagi, supaya Thio-ngohiap yang namanya menggoncang- kan dunia itu tidak dapat menyangkal lagi.".

Maksud Wan-im menyingkirkan Hui-hong ke samping supaya murid keponakan itu terhin dar dari serangan apabila Thio Jui-san marah dan membunuh untuk melenyapkan saksi.

"Baik, biar kuulangi sekali lagi, memang ku saksikan sendiri jika kamu membunuh Hui kong dan Hui-thong Suheng, dan aku juga me lihat beberapa orang Piaukiok kamu totok sampai mati," kata Hui-hong kemudian.

"Apakah kamu melihat wajahku dengan jelas? Aku memakai pakaian ini?" Jui-san ber- tanya tegas sambil menyalakan korek api dan menyorotkan ke mukanya sendiri.

"Benar, pakaian inilah yang kamu pakai baju panjang dan ikat kepala bersegi," sahut Hui-hong sambil memperhatikan Jui-san "Waktu itu kamu membawa sebuah kipas seperti yang sekarang menempel di bajumu itu."

Thio Jui-san sangat marah. Ia tidak mengerti mengapa ada orang yang memfitnahnya. Ke- mudian ia mengangkat api tinggi-tinggi dan mendekatkan ke mukanya, sambil melangkah maju ia membentak: "Jika kamu berani, ayo katakan sekali lagi bahwa pembunuhnya adalah aku Thio Jui-san, dan bukan orang lain!"

Tiba-tiba kedua mata Hui-hong memancarkan sinar aneh. Ia menuding Thio Jui-san dan berkata: "Kau... kau..." - tapi baru saja mulutnya terbuka, tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan roboh ke lantai.

Wan-im dan Wan-giap berteriak kaget Mereka berdua berlari maju untuk memba- ngunkan sang Sutet. Namun kedua mata Hui- hong terlihat melotot, mukanya menampak kan rasa bingung dan terkejut, tapi orangnya sudah mati.

"Ha? Kau... kau telah bunuh dia?" teriak Wan-im kalap.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url