Jin Yong Mengatakan Cersil "A Deadly Secret" Berdasar Kisah Nyata

A Deadly Secret by Jin Yong illustration

Cersil "A Deadly Secret" dikisahkan memiliki tokoh utama yang agak gelap ceritanya dibanding cersil Jin Yong lainnya seperti trilogy condor heroes, dan lainnya. Sang tokoh utama, Di Yun, selalu sial dan ketiban hal hal buruk dan negatif dalam kehidupannya. Kemunculan tokoh seperti itu ditulis oleh Jin Yong ternyata ada sebab asal muasalnya.

Saat menulis cerita silat (Wuxia) berjudul "A Deadly Secret", yang di Indonesia dikenal dengan judul "Si Kangkung Pendekar Lugu", Jin Yong ternyata menggunakan kisah nyata dari kehidupan seorang dekatnya sebagai basis cerita. Berikut yang disadur pada akhir kata novel A Deadly Secret.

Di masa muda saya, di rumah saya di Kabupaten Haining, Provinsi Zhejiang, saya ada seorang pembantu bernama He Sheng. Ia bungkuk ekstrim dan cenderung miring ke kanan, sehingga tampak aneh. Meskipun saya menyebutnya pembantu, ia tidak melakukan pekerjaan berat apa pun. Ia hanya menyapu lantai, membersihkan debu, dan mengantar anak-anak ke sekolah. Ketika teman-teman sekelas dan kakak kelas saya melihatnya, mereka akan bernyanyi mengejek: "He Sheng, He Sheng si setengah bungkuk. Panggil nama dia tiga kali, dia akan marah. Panggil dia tiga kali lagi, dia akan jungkir balik. Ketika dia jungkir balik, dia terlihat seperti keranjang lumpuh." Keranjang lumpuh adalah bahasa gaul lokal yang merujuk pada keranjang nasi yang pecah.

Saat itu, saya hanya memegang tangan He Sheng dan berteriak kepada teman-teman sekelas kakak saya agar tidak bernyanyi mengejek. Saya bahkan pernah menangis. Karena itu, He Sheng sangat dekat dengan saya. Bahkan saat hujan atau bersalju, dia tetap mengantar saya ke sekolah. Karena dia setengah bungkuk, dia tidak bisa menggendong saya, dan dia sudah sangat tua saat itu. Orang tua saya mendesaknya untuk tidak menggendong saya karena takut kami berdua akan jatuh dan terluka, tetapi kadang dia bersikeras.

Suatu hari, dia menderita sakit parah. Saya pergi ke kamarnya untuk memberinya makanan dim sum, dan dia bercerita tentang kisah hidupnya:

Dia adalah orang dari Kabupaten Danyang di Provinsi Jiangsu. Rumahnya menjalankan bisnis keluarga produksi dan jualan tahu, dan orang tuanya membantunya mencarikan seorang wanita cantik dari lingkungan sekitar untuk dijadikan istri. Ia harus menabung selama beberapa tahun sebelum memiliki cukup uang untuk melakukan pernikahannya. Pada bulan Desember tahun itu, ada satu kepala keluarga memintanya untuk menggiling bihun yang digunakan untuk membuat kue tahun. Pria kaya dalam keluarga ini membuka pegadaian dan toko bumbu, dan rumahnya memiliki kebun yang luas. Baik menggiling tahu maupun menggiling bihun, keduanya membutuhkan usaha yang sama besarnya. Pria kaya itu ingin berasnya selesai digiling sebelum Tahun Baru. Pekerjaan menggiling dilakukan di bagian belakang rumah orang kaya itu. Saya pernah melihat orang menggiling bihun sebelumnya. Mereka akan menggiling selama beberapa hari, dan akan terlihat lingkaran jejak kaki kusam di sekitar penggilingan. Kebiasaan adat sosial di sekitar Jiangnan cukup mirip, jadi saya langsung mengerti begitu dia mengatakannya.

Karena terburu-buru, ia harus bekerja sampai pukul 10 atau 11 malam setiap hari. Suatu hari, setelah selesai bekerja, hari sudah sangat larut dan ia hendak pulang ketika tiba-tiba beberapa orang dari keluarga orang kaya itu berteriak: "Ada pencuri!" dan memerintahkan orang-orang untuk menangkap pencuri di kebun. Ia bergegas berlari ke kebun dan entah kenapa dipukuli dengan tongkat oleh beberapa orang yang menyebutnya pencuri. Cukup banyak orang yang memukulinya dengan tongkat hingga memar parah dan bahkan tulang rusuknya patah. Itulah sebabnya ia menjadi bungkuk setengah. Ia menerima beberapa pukulan di kepala dan jatuh pingsan. Ketika ia bangun, ditemukan banyak perhiasan perak dan barang berharga di tubuhnya. Seseorang juga menemukan koin tembaga dan emas tersembunyi di dalam keranjang beras, jadi mereka membawanya ke kantor pemerintah. Karena barang rampasan ada di sana, ia tidak dapat menyangkal tuduhannya, dan dicambuk beberapa lusin kali sebelum dijebloskan ke penjara.

Awalnya, meskipun ia dituduh sebagai pencuri, itu bukanlah kejahatan yang tak terampuni, kemungkinan besar ia akan dipenjara selama dua tahun dan kemudian dibebaskan. Selama masa ini, ayah dan ibunya meninggal karena syok, dan calon istrinya yang belum menikah, kemudian menikahi putra orang kaya itu.

Setelah dibebaskan dari penjara, ia menyadari bahwa ia telah dijebak oleh putra orang kaya itu (berpura-pura memberinya pekerjaan). Suatu hari, mereka bertemu di jalan, dan ia mengeluarkan pisau tajam yang ia sembunyikan di sakunya dan menikam pria itu. Namun, ia tidak dapat melarikan diri dan sekali lagi ditangkap. Pria itu menderita luka serius tetapi tidak meninggal. Namun ayahnya terus-menerus menghubungi berbagai pejabat dan sipir penjara, berniat membunuhnya di dalam penjara karena takut ia akan membalas dendam setelah dibebaskan.

Ia berkata: “Sungguh berkah dari Bodhisattva, dalam setahun, Guru menjadi pejabat tinggi di kantor wilayah Danyang. Kebesarannya menyelamatkan hidup saya.”

Yang ia sebut sebagai gurunya sebenarnya adalah kakek saya.

Kakek saya adalah Wen Qing (awalnya bermarga "Mei", tetapi ketika bersekolah dan saat ujian ia menggunakan "Wen Qing"), pengetahuannya tentang sastra seluas karang laut, di kampung halamannya para tetua memanggilnya "Tuan Karang yang Luas". Ia lulus SMP pada tahun ke-22 masa pemerintahan Kaisar Qing, Guangxu, dan melanjutkan ujian dinasnya pada pertengahan tahun ke-23. Ia dikirim ke Danyang untuk menjadi hakim. Ia memiliki prestasi gemilang sebagai hakim daerah dan naik pangkat. Tak lama kemudian, insiden yang disebut "Kasus Agama Danyang" terjadi.

Gulungan kelima "Dua Ribu Tahun Sejarah Tiongkok" karya Deng Zicheng menyebutkan kejadian ini:

"Perjanjian Tianjin mengizinkan orang asing untuk berkhotbah, sehingga banyak pemuka agama menyebar ke seluruh Tiongkok. Orang-orang jahat bergabung dengan sekte agama, dan memperlakukan orang asing sebagai pelindung dari pejabat pemerintah.

Rakyat membenci arogansi para pengkhotbah, dan juga mengklaim bahwa operasi ini licik dan banyak spekulasi yang menimbulkan banyak perselisihan dan kontroversi. Ada banyak korban di kalangan pengkhotbah lokal, dan pengkhotbah asing membuat alasan tidak masuk akal untuk mengancam mereka, memeras sejumlah besar uang, dan bahkan menyalahkan para pejabat. Mereka mengancam istana Qing untuk menghukum mereka dengan keras, jenderal daerah mencopot mereka dari jabatan dan tidak boleh kembali. Urusan internal pun ikut campur, dan negara itu bukan lagi sebuah negara.

"Kasus Agama Danyang". Pada bulan Agustus tahun ke-17 masa pemerintahan Kaisar Guangxu, Liu Kunyi mengambil tindakan tegas. Tahun itu di Jiangsu, beberapa gereja di kabupaten Danyang, Jingui, Wuxi, Yanghu, Jiangyin, dan Rugao berturut-turut dibakar.

Untuk menyelidiki kasus ini, orang-orang dikirim ke Jiangsu. Danyang menjadi kabupaten pertama yang diselidiki, dan hasil pemeriksaan terhadap Wen Qing menyebabkan ia diusir. (Catatan Guangxu, hlm. 105)

Sebelum kakek saya diusir, beliau mencoba mengajukan banding atas keputusan tersebut. Atasannya memerintahkan beliau untuk memenggal kepala dua penjahat yang membakar gereja di depan umum demi memuaskan para pendeta asing. Namun, kakek saya bersimpati kepada warga yang membakar gereja dan memberi tahu kedua penjahat itu untuk melarikan diri. Kemudian beliau menjelaskan kepada atasannya bahwa insiden ini disebabkan oleh para pemuka agama asing yang menindas warga negara kita yang baik, yang menyebabkan kemarahan publik. Ratusan orang langsung berbondong-bondong membakar gereja, tanpa ada pemimpin provokator dalam aksi ini. Setelah itu, beliau secara resmi dicopot dari jabatannya.

Kemudian, kakek saya kembali ke kampung halamannya untuk belajar dan menulis puisi. Beliau memberikan banyak pengabdian kepada masyarakat. Beliau menulis "Kompilasi Puisi Klan Haining Cha" yang terdiri dari beberapa ratus gulungan, tetapi beliau meninggal dunia sebelum selesai (Salinan ini ditempatkan di dua rumah dan kemudian menjadi hiburan bagi saya dan sepupu-sepupu saya). Pada saat pemakaman, Danyang mengirimkan belasan atau lebih pendeta untuk memberikan persembahan. Kedua pria yang bertanggung jawab atas pembakaran gereja hadir dan menangis. Menurut paman dan ayah saya, mereka berdua datang kemari dari Danyang ke kampung halaman saya, dan setiap setengah kilometer mereka akan bersujud hormat. Bahkan hingga hari ini saya masih ragu dengan pernyataan ini, apalagi di masa kecil saya. Namun, kedua pria itu memang sangat berterima kasih, jadi bukan tidak mungkin mereka melakukan sujud ini selama beberapa kilometer terakhir perjalanan.

Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke Taiwan dan bertemu sepupu saya, Tuan Jiang Fucong. Beliau adalah kepala Museum Istana Nasional dan dulunya teman sekelas paman kedua saya di Universitas Beijing. Beliau menceritakan kepada saya tentang perbuatan kakek saya dan sangat memujinya. Seandainya beliau tidak memberi tahu saya, saya tidak akan tahu hal ini.

He Sheng berkata bahwa setelah kakek saya menjadi hakim Danyang, ia menyelidiki kembali kasus setiap tahanan dan menyadari bahwa He Sheng tidak bersalah. Namun, insiden penikaman putra orang kaya itu sepenuhnya benar dan tidak dapat disangkal, sehingga ia tidak dapat dibebaskan. Setelah kakek saya mengundurkan diri dari jabatannya dan pulang, ia membawa He Sheng bersamanya dan membesarkannya di keluarga saya.

He Sheng tidak meninggal dunia sampai perang dimulai. Ayah dan ibu saya tidak akan menceritakan perbuatan masa lalunya kepada siapa pun. Ketika He Sheng berbicara kepada saya, ia berpikir bahwa ia tidak akan bisa sembuh lagi dari penyakitnya, jadi ia tidak meminta saya untuk tidak mengungkapkan informasi ini.

Kejadian ini selalu membekas di hati saya. "A Deadly Secret" dikembangkan dari kisah nyata ini untuk mengenang seorang tetua yang sangat dekat dan saya sayangi di masa kecil saya. Apa nama belakang He Sheng, saya tidak pernah tahu; He Sheng bukanlah nama aslinya. Jelas, ia tidak menguasai ilmu bela diri apa pun. Saya hanya ingat bahwa ia sering tidak berbicara selama satu atau dua hari. Orang tua saya memperlakukannya dengan sangat murah hati dan hormat, dan tidak pernah memerintahkannya untuk melakukan apa pun.

Novel ini ditulis pada tahun 1963. Saat itu, surat kabar Ming Pao dan Nanyang Business Paper Singapura bekerja sama untuk menerbitkan sebuah terbitan mingguan bernama "Southeast Asia Weekly". Novel ini ditulis untuk surat kabar tersebut. Novel ini awalnya berjudul "Su Xin Jian" (Pedang Hati Suci).


Jin Yong

-April 1977

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url