Cersil To-Liong-To Jilid 1: Para Penyelundup Garam yang Aneh

Saduran oleh Gan KL
Cerita asli oleh Jin Yong (chin yung)
Judul alternatif: Golok Pembunuh Naga / Kisah Membunuh Naga

To Liong To - Jilid 1

Penyelundup Garam yang Aneh

 Permulaan musim semi di daerah Kanglam. Pada sebuah jalan raya di tepi laut, tampaklah seorang laki-laki tegap gagah berbaju biru. Ia sedang melakukan perjalanan, langkahnya lebar dan memakai sepatu rumput.

Hari hampir petang mendekati magrib. Pemandangan di sepanjang jalan tampak indah permai, namun rupanya laki-laki itu tidak tertarik. Hatinya sedang penuh dengan rencana: "Hari ini tanggal 24 bulan tiga, sampai tanggal 9 bulan empat masih ada 14 hari, tidak boleh membuang waktu percuma di tengah jalan agar bisa tepat tiba di Giok-hi-kiong di Butong-san untuk ikut menyampaikan selamat hari ulang tahun ke-90 guru berbudi!"

Rupanya laki-laki gagah itu adalah Ji Taygiam, murid ke tiga Thio Sam-hong yang merupakan Cosu atau cikal bakal Bu-tong-pay.

Ilmu silat yang diturunkan dari Thio Samhong baru akan sempurna pada waktu berusia 70 tahun. Setelah melewati 70 tahun baru menerima murid. Meski ia sudah berusia 90 tahun, tapi di antara tujuh orang muridnya, yang tertua saja umurnya belum ada 40 tahun, yaitu Song Wan-kiau. Malahan muridnya yang termuda yakni Bok Seng-kok masih belasan tahun.

Meskipun ketujuh muridnya itu masih muda namun nama mereka sudah sangat terkenal di kalangan Kangouw. Jika kelompok orang-orang dunia persilatan membicarakan ketujuh murid Bu-tong-pay itu tentu mereka semua mengacungkan jempol dan berkata:

"Ya, Bu-tong chit-hiap, murid guru ternama, keluaran aliran suci, tentu saja hebat!"

Pada awal tahun ini, Ji Tay-giam ditugaskan gurunya pergi ke Propinsi Hok-kian untuk membasmi seorang penjahat besar yang sangat merugikan rakyat. Penjahat besar itu berilmu silat tinggi, orangnya pun sangat licik. Ketika mendengar dirinya dicari, ia segera sembunyi dan tidak keluar-keluar lagi. 

Oleh karena itulah Taygiam harus membuang waktu lebih dari dua bulan untuk bisa menemukan sarangnya. Setelah berhasil menemukan sarangnya kemudian penjahat itu diseretnya dan dibunuh memakai jurus ke-11 Hian-hi-to-hoat ajaran dari sang guru.

Tugas yang semula ditaksir bisa diselesaikan dalam waktu sepuluh hari ternyata memakan waktu lebih dari dua bulan. Ketika ia menghitung-hitung jarak waktu dengan hari ulang tahun ke 90 sang guru sudah sangat mendesak, maka cepat-cepat ia berangkat pulang meninggalkan Hokkian.

Dengan langkah lebar ia berharap dapat menempuh perjalanan dengan cepat. Jalan raya itu makin lama makin sempit. Di sisi kanan yang bertepikan laut terlihat dataran yang berpetak-petak dan mengilap. Mungkin luasnya antara 7 - 8 meter persegi. 

Seandainya dibandingkan dengan permukaan meja yang digosok mengilap pun tidak sehalus dan selicin dataran itu.

Ji Tay-giam sudah luas pengalamannya. Sudah banyak tempat yang dijajahinya, tapi tanah datar dan licin di tepi laut seperti ini belum pernah dilihatnya. Ketika ia bertanya pada penduduk setempat, ternyata itu adalah sawah penggaraman. Ia merasa geli sendiri karena ketidaktahuannya.

Penduduk setempat mengalirkan air laut ke sawah penggaraman. Jika sudah kering, tinggallah tanah yang mengandung garam. Tanah itu dikeruk dan diolah, kemudian dikeringkan lagi menjadi garam kristal.

Diam-diam Tay-giam berkata sendiri, "Hah, sudah hampir 30 tahun aku memakan garam, tetapi belum pernah tahu bahwa untuk menjadi sebutir garam harus mengalami proses yang begitu susah payah!"

Saat berjalan itu tiba-tiba dari simpang jalan kecil di arah barat sana dilihatnya ada sekitar 20 orang yang membawa pikulan berjalan dengan cepat.

Tay-giam tampak sangat terkejut. Ia melihat orang-orang itu berpakaian seragam hijau, bajunya berlengan pendek, celananya pendek, dan pakai caping. Pasti isi pikulannya itu semuanya garam.

Kala itu merupakan tahun kedua pemerintahan Kaisar Sun Te dari dinasti Goan bangsa Mongol yang sudah berjalan 60 tahun sejak runtuhnya dinasti Song. Ketika di bawah penjajahan bangsa asing, rakyat Tiongkok sangat menderita. Hal itu disebabkan oleh berbagai pajak dan bea cukai yang tak terbilang banyaknya.

Tay-giam tahu bahwa bea garam yang dipungut pemerintah terlalu berat.

Oleh sebab itu penduduk daerah pantai tidak mampu makan garam pemerintah karena terlalu mahal. Mereka terpaksa membeli garam gelap dari pengusaha-pengusaha swasta yang sebetulnya dilarang.

Rombongan orang itu tampak tangkas-tangkas, perawakannya kekar. "Tidak mengherankan jika mereka menjadi jagoan tukang selundup garam gelap. Yang mengherankan adalah pikulan yang mereka bawa itu tampaknya bukan terbuat dari kayu ataupun bambu. Warnanya hitam mulus dan tidak ada daya pegasnya sama sekali, mungkin terbuat dari besi. Meskipun masing-masing orang itu memikul barang seberat 125 kg, tapi jalannya luar biasa cepat seolah-olah kakinya tidak menyentuh tanah. Hanya dalam waktu singkat sudah melampaui Ji Tay-giam.

Jagoan-jagoan garam ini tentulah ahli-ahli silat semua. Memang aku sudah mendengar jika Hay-soa-pang dari Kanglam adalah gerombolan pengusaha garam gelap yang sangat berpengaruh. Banyak jagoan terkemuka dalam perkumpulan mereka. Tapi kalau 20-an jagoan berkumpul memikul garam gelap bersama tentu sangat janggal! demikian pikir Tay-giam.

Biasanya Tay-giam suka usil. Jika ada sesuatu yang aneh pasti akan diselidikinya. Tapi sekarang ini mengingat hari ulang tahun ke 90 sang guru sudah mendesak, ia tidak boleh membuang waktu dengan percuma. Ia segera mempercepat langkahnya sehingga dapat mendahului rombongan pedagang garam itu.

Rombongan pedagang garam itu merasa sangat heran melihat betapa ringan dan cepatnya langkah Tay-giam. Petangnya, Tay-giam tiba di sebuah kota. Setelah bertanya, nama kota itu Am-tong-tin, termasuk wilayah Kabupaten Ih-jau-koan. Dari situ bila menyeberangi Ci-tong-kang akan sampai di Lim-an. Dari Lim-an kemudian belok ke barat laut melalui Propinsi Kangsay, barulah sampai Bu-tong-san yang terletak di Propinsi Oulam.

Karena pada malam hari tidak ada kapal, terpaksa Tay-giam mencari penginapan untuk bermalam. Ketika selesai makan malam dan Tay-giam sedang bersiap-siap akan tidur, tiba-tiba terdengar suara yang sangat berisik di luar sana. Ada serombongan orang datang dan menginap di hotel itu. Tay-giam mencoba melongok keluar ketika mendengar orang-orang itu berbicara dengan logat Ciatkang timur dan pada umumnya mereka bertenaga dalam kuat, beda sekali dengan orang biasa. Betapa terkejutnya Taygiam karena ternyata rombongan pedagang garam itu juga menginap di hotel yang sama.

Pada umumnya kehidupan kaum penyelundup sangat royal. Bila menginap di hotel tentu makan minum layaknya pesta besar. Namun aneh, kawanan penyelundup garam ini hanya memesan makanan sederhana saja, bahkan tidak minum setetes arak pun.

Sehabis makan mereka langsung masuk kamar dan tidur. Tay-giam pun juga tidak terlalu memperhatikannya. Ia bersemadi di atas ranjang mengikuti ajaran sang guru. Setelah berlatih tiga kali kemudian ia pun merebahkan diri untuk tidur.

Ketika tengah malam, tiba-tiba dari kamar sebelah Tay-giam mendengar suara berisik tapi sangat pelan. Ia memang sudah memperoleh ajaran murni perguruan sehingga meskipun sedang tidur bisa juga terjaga. Ia pun mengendus. "Sssst, pelan-pelan! Jangan mengejutkan tamu di sebelah kamar agar tidak menimbulkan kekacauan," Terdengar seseorang berbisik. Orang-orang yang lainnya tidak menjawab tetapi pelan-pelan membuka pintu kamar dan menuju pelataran luar.

Ketika Tay-giam mengintip dari terali jendelanya, ia melihat para penyelundup garam itu membawa pikulan mereka dan melompat keluar melintasi pagar tembok. Meskipun pagar tembok hotel itu tidak terlalu tinggi, tetapi melompat keluar dengan membawa pikulan sungguh luar biasa. Kepandaian ini tidak bisa dianggap enteng.

"Mungkin kepandaian orang-orang itu tidak melebihi aku, tetapi semuanya memiliki ilmu silat yang tidak lemah," demikian taksiran Tay-giam secara diam-diam. Teringat pula olehnya kata-kata orang tadi, "Jangan mengejutkan tamu di sebelah agar tidak menimbulkan kekacauan." Jika orang itu tidak berkata demikian, meskipun Tay-giam terjaga dan bangun, tentu ia tidak akan menguntitnya. Tetapi karena kata-kata yang mencurigakan itulah, hatinya terusik. Kelakukan para penyelundup garam itu sangat mencurigakan, sepertinya mereka bermaksud berbuat jahat, aku tak bisa tinggal diam kalau sampai memergokinya, demikian pikirnya. Jika aku dapat mencegah perbuatan mereka yang jahat dan berhasil menolong satu dua orang yang baik tentu orang tua akan senang. Namun tentunya akan terlambat menghadiri ulang tahun Insu (guru berbudi).

Pemikiran Tay-giam itu memang sesuai dengan ajaran Thio Sam-hong. Saat menerima murid baru, selalu diingatkan bahwa apabila sudah tamat belajar kelak harus melakukan kebajikan. Menolong yang lemah dan membasmi kejahatan.  Nama "Bu-tong-chit-hiap" atau tujuh pendekar dari Bu-tong biasanya cemerlang. Tidak melulu karena ilmu silat mereka yang tinggi, tetapi terutama karena sifat ksatria yang sangat mengagumkan dunia persilatan.

Teringat akan petuah sang Suhu, tanpa ragu-ragu lagi Tay-giam mengikat baik-baik kantong senjatanya di punggung. Kemudian ia melesat keluar menerobos jendela dengan hentakan yang sangat ringan lalu melintasi pagar tembok hotel itu.

Ia mendengar suara langkah orang-orang tadi menuju ke arah timur laut. Cepat-cepat Tay-giam menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya kemudian menguntit orang-orang itu.

Malam itu gelap gulita karena mendung. Rembulan tampak redup, bintang pun suram, tetapi lamat-lamat dari jauh masih tampak rombongan penyelundup garam dengan pikulannya sedang berlari secepat burung terbang.

Diam-diam Tay-giam semakin heran oleh ketangkasan orang-orang itu. Berdasarkan kepandaian mereka seandainya mau berbuat kejahatan seperti merampok atau mencuri sebenarnya tidaklah sulit. Tetapi mengapa harus menyamar sebagai pedagang garam yang tidak ada untungnya? Mungkinkah ada udang di balik batu?

Kurang dari setengah jam, kawanan penyelundup garam itu sudah menempuh lebih dari 20 mil. Sepertinya mereka mempunyai urusan yang sangat penting hingga berjalan tanpa menoleh. Tay-giam yang menggunakan ilmu ringan tubuh atau Ginkang tidak dipergokinya sama sekali.

Mereka sudah berada di tepi laut, suara ombak sangat bergemuruh. Ketika sedang berjalan, tiba-tiba orang yang menjadi pemimpin itu bersuara pelan, maka cepat-cepat kawannya pun berhenti.

"Siapa?" tegur yang menjadi pemimpin itu dengan suara tertahan.

"Apakah kawan-kawan dari 'tepi air tiga'?" terdengar seorang menyahut dengan suara serak dari tempat gelap.

"Ya. Dan siapa kau?" tanya si pemimpin tadi.

Diam-diam Tay-giam mendengar percakapan tadi dan bertanya-tanya apakah yang dimaksud 'tepi air tiga' seperti yang dikatakan orang itu? Tapi ia segera berdesis. "Ah, itulah Hay-soa-pay, bukankah tiga huruf Hay-soapay itu pinggirnya berhurufkan air?"

Sementara itu suara serak tadi berkata lagi, "Urusan To-Liong-To, kukira lebih baik kalian tidak usah ikut campur saja!"

"Hah, jadi kedatangan Tuan pun berhubung dengan To-Liong-To?" tanya si pemimpin tadi agak sedikit terkejut.

Orang yang bersuara serak itu tidak berkata lagi. Di malam yang gelap itu hanya terdengar tertawa dingin beberapa kali, kemudian diam.

Tay-giam merasa tawa orang itu luar biasa aneh. Siapa pun yang mendengar akan merasakan suasana hati yang kesal dan pikiran menjadi kacau, pendeknya suasana hati yang susah dilukiskan.

Sejenak kemudian Tay-giam cepat-cepat bersembunyi di balik batu karang lalu bergerak melingkar dan maju. Dilihatnya ada seorang laki-laki kurus kecil sedang menghadang di tengah jalan.

Karena gelap, wajah orang itu tidak tampak jelas. Tapi kelihatannya tangannya memegang sebatang tongkat dan bajunya bersinar. Rupanya jubah itu terbuat dari kain sutera satin.

Tak lama setelah itu Tay-giam mendengar si pemimpin kawanan Hay-soa-pay berkata lagi: "To-Liong-To ini adalah pusaka perkumpulan kami. Karena telah dicuri orang, maka sudah selayaknya kami cari kembali.”

Tapi Kim-bau-khek atau tamu berjubah satin itu kembali tertawa dingin. Ia masih tetap menghadang di tengah jalan dengan lagaknya yang sok jagoan.

Tiba-tiba seorang di belakang si pemimpin kawanan Hay-soa-pay itu membentak dengan bengis. "Cepat minggir anjing galak, berani merintangi jalan berarti mencari mampus..." Namun belum lagi selesai kata-katanya, mendadak ia menjerit dan roboh ke belakang.

Dalam keadaan terkejut, orang-orang itu melihat jubah tamu galak itu berkelebat beberapa kali di tempat gelap, lalu lenyap tak ketahuan rimbanya.

Setelah tercengang sejenak, kawanan Haysoa-pay segera beramai-rami mengerumuni kawannya yang terjungkal itu. Orang tadi terlihat meringkuk seperti udang dan napasnya putus, dia sudah mati. Kawanan Hay-soa-pay itu menjadi terkejut dan gusar. Kemudian ada beberapa di antara mereka yang mengejar cepat ke arah menghilangnya Kim-bau-khek tadi. Tapi orang berjubah itu terlalu cepat perginya, apalagi di malam gelap gulita seperti itu ke mana harus mencari bayangannya? Tay-giam menjadi heran.

Ia tak habis mengerti, senjata rahasia berbisa apakah yang dilepaskan Kim-bau-khek itu. Mengapa tanpa bergerak sedikitpun tahu-tahu lawannya terjungkal dan mati. Jaraknya denganku tak terlalu jauh, tapi aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, demikian pikirnya.

Ia terus bersembunyi di belakang batu karang dan tak berani bergerak. Ia khawatir dipergoki kawanan Hay-soa-pay atau gerombolan Pasir Laut sehingga menimbulkan garagara yang tidak diharapkan.

"Letakkan jenazah Lo-su (si keempat) itu ke pinggir. Ada urusan penting yang harus kita selesaikan lebih dulu. Ketika kembali nanti kita baru menguburnya. Lalu siapa gerangan musuh itu, kelak tentu kita bisa menyelidikinya," kata orang yang mengepalai rombongan tadi.

Semua orang menurut, mereka memikul pikulannya masing-masing dan meneruskan perjalanan pula secepat burung terbang.

Sesudah orang-orang itu pergi jauh, taygiam mencoba mendekati mayat itu dan memeriksanya. Ia melihat mayat orang itu meringkuk seperti udang, jelas ini kena racun yang sangat jahat. Tay-giam bertambah heran namun khawatir kalau terciprat racun sehingga ia tak berani menyentuh mayat itu. Cepat-cepat ia meninggalkan mayat itu dan pergi menyusul kawanan penyelundup garam tadi.

Setelah beberapa mil, kepala rombongan tadi kembali berbisik, rombongan mereka lalu berpencar menuju ke sebuah gedung di jurusan timur laut.

Mereka membicarakan "To-Liong-To", jangan-jangan berada di dalam rumah ini? pikir Tay-giam.

la melihat cerobong gedung itu mengeluarkan asap tebal dan menjulang tinggi ke atas dan tidak pudar. Malahan dari dalam cerobong itu masih menyemburkan asap tebal terus-menerus.

Pada waktu itu, kawanan penyelundup garam sudah meletakkan pikulan mereka. Lalu masing-masing mengambil sebuah gayung dan mengambil sesuatu dari bakul mereka lalu disebarkan ke sekeliling rumah.

Tay-giam melihat barang yang mereka taburkan itu berbentuk bubuk warnanya putih seperti salju. Jelas itu garam! katanya dalam hati. "Sungguh luar biasa kejadian malam ini, kelak bila kuceritakan pada saudara seperguruan, pasti mereka tidak akan percaya!" gumamnya lagi.

Kawanan penyelundup garam masih menaburkan garamnya dan tampaknya mereka melakukannya dengan sangat hati-hati, seolah-olah khawatir jika bubuk garam mengenai tubuh mereka. Melihat hal itu, sebagai jagoan Kangouw tahulah Tay-giam, bahwa garam itu tentulah mengandung racun jahat. Mereka sengaja menggunakan garam beracun untuk mengurung gedung. Tentu mereka bermaksud untuk mencelakai orang didalamnya.

Menyaksikan hal itu, seketika jiwa ksatrianya bangkit. Tak peduli pihak mana yang benar atau salah, yang jelas perbuatan orangorang ini terlalu keji. Apa pun yang terjadi aku harus memberitahukan orang-orang di dalam gedung itu supaya tidak ditipu oleh akal licik, kata Tay-giam dalam hati.

Tay-giam melihat orang-orang Hay-soa-pay yang menaburkan garam beracun itu belum sampai di bagian belakang gedung. Kesempatan itu digunakan Tay-giam untuk menggunakan ilmu meringankan tubuh dari Bu-tongpay yang hebat. Kemudian ia memutar ke arah belakang rumah dan melompat masuk ke dalam.

Gedung itu ternyata dibangun berderetderet, terdapat lima deret dan puluhan kamar. Rumahnya tampak gelap gulita karena tidak ada penerangan. Kalau melihat asap tebal menyembur keluar dari cerobong ruangan pertama, tentunya di situ ada orangnya, pikir Tay-giam.

Karena Tay-giam khawatir nanti orang salah sangka terhadap dirinya dan dikira musuh yang hendak menyerang, maka ia mengambil sepotong kayu bakar lalu disulutnya sebagai obor.

'Anak murid Bu-tong-pay, Ji Tay-giam, ada urusan hendak memberitahu, harap jangan curiga!” katanya dengan suara nyaring sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi.

Meskipun suaranya tidak keras tapi penuh tenaga dalam. Gaungnya sangat jauh, sepertinya setiap kamar dalam rumah mendengarnya. Tapi aneh, meski ia ulangi berkalikali, masih tetap sepi seperti tidak ada orang dalam rumah itu.

Sebagai seorang lulusan perguruan ternama yang gagah perkasa, meski rumah sunyi dan menyeramkan, Tay-giam tidak ingin terkecoh. Ia menghimpun tenaga dalamnya lalu memasuki gedung itu.

Setelah melewati sebuah serambi dan sampai di ruangan belakang, tiba-tiba ia berhenti dengan perasaan agak ngeri. Ternyata di situ tergeletak dua mayat. Yang seorang berdandan seperti Tojin, yang satunya seperti petani. Kedua mayat itu berusia lanjut. Muka mereka berkerut-kerut, tampak menyeramkan sekali. Mungkin sebelum mati, mereka telah menderita karena dianiaya. Herannya, di sekitar mereka tidak ada noda-noda darah. Tidak ada luka pada tubuh mereka. Tentu kematiannya bukan karena terkena senjata.

Lalu Tay-giam berjalan ke belakang. Ia melihat setiap pintu ruangan tertutup rapat, kamarnya sangat gelap, dan keadaan sekeliling gelap gulita. Meskipun nyalinya besar dan pengalamannya luas, tapi melihat keadaan yang demikian itu timbul juga ketakutan dalam diri Tay-giam.

Setelah melalui sebuah pelataran, sampailah di sebuah ruangan samping. Keadaan dalam ruangan ini ternyata lebih mengerikan. Mayat mayat bergelimpangan, sedikitnya ada 20 orang mayat. Ada yang saling bergelutan satu sama lain, ada pula yang saling membacok dengan senjata masing-masing. Ada di antara mereka yang matinya sudah lama, terlihat dari mukanya yang sudah berubah. Tapi ada juga yang baru saja matinya.

Melihat keadaan itu Tay-giam berpikir, pasti terjadi suatu drama Bu-lim yang mengenaskan dalam rumah ini. Kalau melihat senjata yang dipergunakan, jelaslah banyak di antara orang ini adalah murid golongan terkemuka. Golongan 'tiam-hiat-koat', 'ngo-heng-lun', dan 'boankoan-pit' semuanya ahli menotok.

Entah mengapa mereka bisa saling membunuh di sini?

Awal memasuki rumah tadi Tay-giam masih menganggap sepele. Tapi kini setelah menyaksikan mayat-mayat jagoan silat yang tumpang tindih, barulah timbul rasa was-was. Ia pun berteriak, "Anak murid Bu-tong-pay, Ji Taygiam, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan, harap Cianpwe-kojin (angkatan tua) mau menemuiku!"

Meskipun Tay-giam berteriak, tapi tetap tidak ada orang yang menjawab. Hanya sayup-sayup terdengar dari ruangan tengah ada suara percikan api dan suara orang yang sedang meniup sesuatu.

Cepat-cepat Tay-giam memasuki ruangan itu dan memutari sebuah pintu angin langsung ke ruangan tengah. Tiba-tiba matanya terbeliak, segumpal hawa panas terasa di mukanya.

Ternyata di tengah paseban ada sebuah tungku yang terbuat dari batu. Api tungku sedang berkobar-kobar. Di tepi tungku berdiri tiga orang yang sedang menghimpun tenaga.

Mereka meniup api tungku yang di atasnya melintang sebuah golok yang panjangnya kira-kira satu meter. Mula-mula api berwarna merah, kemudian berubah kehijau-hijauan, lalu menjadi keputih-putihan.

Yang mengherankan, golok tetap bersinar kemilauan, sedikitpun tidak menjadi cair.

--

No Comment
Add Comment
comment url