Pendekar Hina Kelana | Bab 12: Terkepung

<< Bab Sebelumnya - Halaman Indeks - Bab Selanjutnya >>

Terjemahan Cersil Balada Kaum Kelana

oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Jin Yong (Chin Yung / Louis Cha)
Berdasarkan novel edisi ketiga.
[Lima belas pria bertopeng perlahan mendekat ke depan, tiga puluh mata mereka bersinar melalui lubang di topeng mereka seperti mata binatang buas yang ganas, penuh dengan kekejaman dan permusuhan.]


Smiling Proud Wanderer Jilid 2

Bab 12: Terkepung

Bagian 1

 Setiap lebih dari sepuluh zhang, Linghu Chong berhenti sejenak dan mengambil napas sambil bertumpu pada palang pintu. Setelah berusaha keras kurang dari separuh shichen, ia berhasil berjalan setengah li  lebih, matanya berkunang-kunang, langit dan bumi seakan terbalik, ia hampir terjatuh, namun tiba-tiba ia mendengar suara seseorang mengerang dari balik rerumputan di depannya. Linghu Chong tertegun dan bertanya, "Siapa itu?" Orang itu berkata dengan suara keras, "Apa ini Saudara Linghu? Aku Tian Boguang. Aiyo! Aiyo!" Jelas bahwa ia sedang sangat kesakitan. Dengan terkejut Linghu Chong berkata, "Saudara......Saudara Tian, kau......kau kenapa?" Tian Boguang berkata, "Aku mau mati! Saudara Linghu, tolong lakukan suatu perbuatan baik, aiyo......aiyo......! Cepat bunuh aku!" Bicaranya diselingi erangan kesakitan, akan tetapi suaranya tetap lantang.

Linghu Chong berkata, “Kau……kau……terluka?” Kedua  lututnya lemas hingga ia terjatuh terguling-guling ke sisi jalan.

Tian Boguang berkata dengan heran, “Kau juga terluka? Aiyo, aiyo, siapa yang mencelakaimu?” Linghu Chong berkata, “Ceritanya panjang. Kakak……Tian, siapa yang melukaimu?” Tian Boguang berkata, “Ai, tak tahu!” Linghu Chong berkata, “Bagaimana kau bisa tak tahu?” Tian Boguang berkata, “Aku sedang berjalan di jalan, tiba-tiba kedua kaki dan tanganku ditangkap orang, lalu aku diangkat tinggi-tinggi, aku tidak tahu siapa yang punya kepandaian ajaib seperti itu…..” Linghu Chong tersenyum, “Ternyata Enam Dewa Lembah Persik……aiyo, Kakak Tian, bukannya kau sama dengan mereka?” Tian Boguang berkata, “Sama dengan mereka bagaimana?” Linghu Chong berkata, “Kau datang untuk mengundang aku menemui Yi…..Adik Yilin, mereka……mereka juga datang untuk mengundang aku menemui……dia……” Sambil berbicara ia terus menerus terengah-engah.

Tian Boguang merayap keluar dari balik rerumputan, sambil menggeleng ia memaki, “Sialan, tentu saja aku tidak sama dengan mereka. Mereka naik ke Huashan untuk mencari seseorang dan bertanya padaku dimana orang itu. Aku tanya mereka cari siapa. Mereka bilang, karena mereka sudah menangkapku, seharusnya merekalah yang menanyai aku, bukannya aku yang menanyai mereka. Kalau aku yang menangkap mereka, maka aku baru boleh menanyai mereka, bukan mereka yang menanyai aku. Mereka……aiyo……mereka bilang, kalau aku punya kepandaian, tidak ada jeleknya kalau aku menangkap mereka, dengan demikian……dengan demikian aku bisa menanyai mereka”.

Linghu Chong tertawa terpingkal-pingkal, namun setelah tertawa dua kali, napasnya sesak sehingga ia tak bisa tertawa lagi.  Tian Boguang berkata, “Ketika aku masih tergantung di udara dengan muka menghadap ke bawah, walaupun kepandaianku setinggi langit, aku juga tak bisa menangkap mereka, nenekmu, omongan mereka benar-benar tak keruan”. Linghu Chong bertanya, “Lalu bagaimana?” Tian Boguang berkata, “Aku bilang, ‘Aku tidak ingin menanyai kalian, kalian sendirilah yang menanyaiku. Cepat lepaskan aku’. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Kalau kami sudah menangkapmu, tapi tidak mencabikmu menajdi empat potong, bukankah hal ini akan  merendahkan pamor kami berenam sebagai pahlawan besar?’ Seorang lain berkata, ‘Setelah kita mencabik dia jadi empat potong, apa dia masih bisa bicara?’ “ Setelah memaki-maki beberapa kalimat, napasnya terengah-engah.

Linghu Chong berkata, “Enam orang ini suka berdebat tanpa ada juntrungannya dan membuat semuanya berbelit-belit tak jelas. Kakak Tian tak usah……tak usah bercerita lagi”.

Tian Boguang berkata, “Hah, nenekmu. Seseorang berkata, ‘Setelah seseorang dicabik menjadi empat potong, tentu saja ia tak bisa bicara. Kita enam bersaudara mencabik orang menjadi empat potong, belum ada seribu orang, tapi ada kalau delapan ratus orang. Kapan kalian pernah mendengar orang yang telah dicabik menjadi empat potong masih bisa bicara?’ Ada seseorang lagi yang berbicara, ‘Orang yang sudah dicabik menjadi empat potong tak bisa bicara, karena kita tidak menanyai dia. Kalau kita menanyai dia, kurasa dia tak akan berani tak menjawab’. Seseorang lain berkata, ‘Karena dia sudah dicabik menjadi empat potong, dia takut apa? Dia berani atau takut apa? Apa dia takut kita akan mencabiknya menjadi delapan potong?’ Orang yang tadi bicara berkata, ‘Kungfu yang bisa mencabik orang jadi delapan potong itu bukan main-main, dulu kita bisa, tapi setelah itu kita lupa.’ " Tian Boguang berbicara dengan terbata-bata, walaupun sedang terluka parah, namun ternyata ia masih bisa mengingat semua omong kosong itu dengan jelas.

Linghu Chong menghela napas, "Keenam orang bersaudara ini memang benar-benar jarang ditemui di dunia ini, aku......aku juga begini karena perbuatan mereka". Tian Boguang tercengang, "Ternyata Saudara Linghu juga dilukai oleh mereka!" Linghu Chong menghela napas, "Ya, begitulah!"

Tian Boguang berkata, "Tubuhku tergantung tinggi di udara, aku tak akan berpura-pura di depanmu, aku benar-benar sangat takut. Aku berkata keras-keras, 'Kalau kalian mencabikku jadi empat potong, aku pasti tak akan bisa bicara, walaupun mulutku bisa bicara, tapi hatiku akan penuh amarah dan aku pasti tak akan mau bicara'. Seseorang berkata, 'Setelah kau dicabik jadi empat potong, mulutmu akan berada di satu potongan, hatimu di potongan lain, kalaupun hatimu ingin memerintahkan mulutmu berbicara, bagaimana mereka bisa terhubung satu sama lain?' Saat itu juga aku bicara tak keruan juga pada mereka, aku berteriak, 'Kalau ada hal yang ingin kalian tanyakan, cepat tanya, kalau kalian tak segera lepaskan aku, aku akan melepaskan gas beracun'. Seseorang bertanya, 'Gas beracun apa?' Aku berkata, 'Kentutku yang baunya minta ampun. Setelah menciumnya, tiga hari tiga malam kalian tak akan bisa menelan nasi, selain itu nasi yang dimakan tiga hari sebelumnya akan kalian muntahkan semua. Jangan salahkan aku karena belum memperingatkanmu sebelumnya!' "

Linghu Chong tersenyum, "Perkataanmu itu memang cukup masuk akal".

Tian Boguang berkata, "Benar. Keempat orang itu begitu mendengarnya serentak berteriak keras-keras, melemparkan aku ke tanah, lalu melompat ke belakang. Ketika aku melompat berdiri, aku melihat enam orang yang sangat aneh sedang memencet hidung, jelas-jelas takut pada kentutku yang baunya minta ampun. Saudara Linghu, katamu keenam orang ini namanya Enam Dewa Lembah Persik atau semacam itu?"

Linghu Chong berkata, "Tepat sekali. Ai, sayang aku tak sepintar Kakak Tian dan menggunakan akal-akalan......kentut busuk itu untuk menakut-nakuti mereka supaya mundur. Akal-akalan kentut Kakak Tian ini tidak kalah dengan strategi......strategi kota kosong yang digunakan Zhuge Liang untuk menakut-nakuti Sima Yi untuk mundur dahulu[1]".

Tian Boguang tertawa dua kali, lalu memaki “nenekmu” beberapa kali, katanya, “Aku tahu keenam orang ini tak bisa dipandang remeh, karena senjataku telah kutinggal di Siguoyamu, maka aku lantas hendak kabur, tapi tak nyana sambil memencet hidung, keenam orang itu telah menghadang di depanku seperti sebuah tembok. Hehehe, tapi tak ada yang berani berdiri di belakangku. Begitu melihat kalau aku tak bisa menerjang keluar, aku segera berbalik. Tapi ternyata keenam orang itu seperti setan, entah bagaimana, begitu aku berbalik, mereka sudah ada di depanku. Aku berbalik lagi beberapa kali, tapi aku tak bisa menghindar, maka aku segera mundur selangkah demi selangkah, sampai membentur tebing gunung. Keenam orang aneh itu sangat senang dan tertawa terkekeh-kekeh, lalu bertanya lagi, ‘Dia ada dimana? Orang ini ada dimana?’ “

Aku bertanya, ‘Kalian cari siapa? Keenam orang itu serentak berkata, ‘Kami sudah mengepungmu, kau tak bisa lari, kau harus jawab pertanyaan kami’. Salah seorang dari antara mereka berkata, ‘Kalau kau yang mengepung kami hingga kami tak bisa lari, maka kaulah yang berhak menanyai kami dan kami terpaksa menjawabmu dengan patuh’. Seorang lainnya berkata, ‘Dia cuma seorang diri, bagaimana dia bisa mengepung kita berenam?’ Orang yang sebelumnya berkata, ‘Kalau ilmunya tinggi dan ia bisa mengalahkan kita berenam bagaimana?’ Seorang lain berkata, ‘Itu artinya dia cuma bisa mengalahkan kita, bukan mengepung kita’. Orang yang sebelumnya berkata, ‘Tapi kalau ia mementang lengannya lebar-lebar dan memeluk kita semua dengan serentak, bukannya ini berarti dia mengepung kita?’ Orang yang satunya berkata, ‘Pertama, di dunia ini tidak ada orang yang lengannya begitu panjang; kedua, kalaupun di dunia ini ada orang seperti itu, orang ini tidak punya lengan yang begitu panjang; ketiga, kalaupun ia memeluk kita berenam, itu berarti ia memeluk kita, bukan mengepung kita’. Orang yang sebelumnya kelihatan cemas, ia tak bisa menyangkal, tapi tak mau mengaku kalah, setelah diam beberapa lama, tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Baiklah, kalau dia buang kentut yang bau sampai kita tak berani kabur karena dikelilingi kentut, bukankah ini berarti dia mengepung kita?’ Keempat orang lainnya bertepuk tangan sambil tertawa, ‘Benar, bocah ini punya cara untuk mengepung kita’ “.

"Aku mendapat akal, aku kabur sambil berteriak, ‘Aku……aku mau mengepung kalian’.  Kupikir mereka takut pada kentutku hingga mereka tak berani mengejar, tapi ternyata enam orang aneh itu tangannya sangat cepat, sebelum aku sempat lari dua langkah, aku sudah kena tangkap mereka. Mereka langsung mendudukkan aku diatas sebuah batu besar dan menekanku keras-keras, supaya kalaupun aku buang angin, kentut yang bau itu tak bisa menerobos keluar”.

Linghu Chong tertawa terpingkal-pingkal, tapi setelah tertawa beberapa kali, ia merasa darah panas bergolak di dadanya dan tak bisa tertawa lagi.

Tian Boguang meneruskan, “Setelah keenam orang aneh itu menekanku, seseorang bertanya, ‘Kentut keluarnya dari mana?’ Seseorang  lain berkata, ‘Kentut keluarnya dari usus, maka termasuk bagian pembuluh usus besar Yangming. Lebih baik aku totok titik Shangyang, Hegu, Youchi dan Yingxiangnya.’. Setelah ia mengucapkan perkataan itu, dengan enteng dia menotok keempat titik jalan darahku itu. Gerakan tangan mereka cepat dan tepat, si Tian ini seumur hidup belum pernah melihatnya, benar-benar membuat orang kagum. Setelah menotok, keenam orang aneh itu menghela napas panjang, seakan terbebas dari beban berat, mereka semua berkata, ‘Sekarang kutu……kutu……kutu bau ini tak akan lagi bisa mengeluarkan kentutnya yang bau’. Orang yang menotok tadi bertanya lagi, ‘Ai, dimana orang itu sebenarnya? Kalau kau tidak beritahu kami, aku selamanya tak akan membuka totokanku hingga kau tak bisa kentut dan perutmu jadi kembung tak tertahankan’. Aku berpikir bahwa keenam orang aneh itu ilmu silatnya begitu tinggi, mereka datang ke Huashan tentunya tidak mungkin kalau cuma mencari orang yang biasa-biasa saja.  Saudara Linghu, gurumu yang terhormat Tuan Yue suami istri saat ini tidak ada di Huashan, kalaupun mereka sudah kembali, mereka tentunya ada di Aula Zhengqi, kalau dicari pasti ketemu. Aku pikir-pikir, orang yang dicari keenam orang aneh itu pasti kakek gurumu Sesepuh Feng”.

Hati Linghu Chong terguncang, ia cepat-cepat bertanya, “Kau belum bilang pada mereka bukan?” Tian Boguang sangat kesal, dengan gusar ia berkata, “Bah, kau pikir aku ini orang macam apa? Si Tian ini sudah berjanji padamu, maka aku pasti tak akan membocorkan keberadaan Sesepuh Feng, aku seorang lelaki sejati, masa perkataanku disamakan dengan kentut?" Linghu Chong berkata, “Iya, iya, adik salah omong, Kakak Tian mohon maafkan aku”. Tian Boguang berkata, “Kalau kau masih memandang rendah aku, kita putus hubungan saja, sejak saat ini tidak menganggap masing-masing sebagai teman lagi”. Linghu Chong tertegun seraya berpikir, “Kau adalah seorang bandit cabul pemetik bunga yang dipandang rendah oleh dunia persilatan, siapa yang ingin menganggapmu teman? Hanya karena kau beberapa kali punya kesempatan untuk membunuhku tapi tidak turun tangan, maka aku berhutang budi padamu”.

Di tengah kegelapan, Tian Boguang tak bisa melihat air mukanya, ia mengira bahwa Linghu Chong telah mengiyakan perkataannya, maka ia terus berbicara, “Keenam orang aneh itu terus-terusan menanyaiku, maka aku berkata dengan lantang, ‘Aku tahu dimana orang itu berada, tapi aku tak akan memberitahukannya; pegunungan Huashan ini sambung-menyambung, entah ada berapa puncak, lembah dan guanya, kalau aku tak memberitahu kalian, mencari seumur hiduppun kalian tak akan bisa menemukannya’. Keenam orang aneh itu murka, mereka menyiksaku dengan lebih keras lagi, tapi sejak itu aku tak memperdulikan mereka lagi. Saudara Linghu, ilmu silat keenam orang aneh ini sangat aneh, kau harus cepat-cepat melapor pada Sesepuh Feng, walaupun ilmu pedang beliau tinggi, namun beliau harus berhati-hati”.

Ketika Tian Boguang berkata dengan enteng bahwa “keenam orang aneh itu menyiksaku dengan lebih keras”, Linghu Chong tahu bahwa keempat kata “menyiksaku dengan lebih keras” itu mengandung entah berapa banyak siksaan yang kejam dan pedih, entah berapa banyak penderitaan yang sulit dilukiskan. Ketika keenam orang aneh itu dengan maksud baik berusaha menyembuhkan lukanya saja, sampai sekarang tubuhnya masih amat sakit, kalau mereka berusaha memaksa Tian Boguang, maka bisa dibayangkan betapa mengerikannya cara yang mereka pakai. Dalam hati ia merasa sangat kasihan, maka ia berkata, “Kau lebih suka mati daripada membocorkan keberadaan kakek guruku, kau benar-benar orang yang bisa dipercaya di kolong langit ini. Tapi……tapi orang yang dicari Enam Dewa Lembah Persik itu ialah aku, bukan kakek guruku”. Sekujur tubuh Tian Boguang gemetar, katanya, “Mau mencarimu? Untuk apa mereka mencarimu?”

Linghu Chong berkata, “Mereka sama denganmu, mereka juga telah diminta Adik Yilin untuk mencariku supaya……supaya aku bisa bertemu dengannya”.

Mulut Tian Boguang mengangga lebar-lebar, ia tak kuasa berbicara, hanya bisa berulang-ulang berkata, "Oh, oh”.

Setelah beberapa saat, Tian Boguang baru berbicara, “Kalau sebelumnya aku sudah tahu bahwa enam orang aneh itu mencarimu, aku akan langsung memberitahu mereka, setelah mereka mengundangmu, aku akan mengikuti mereka dan tak usah menderita karena racun dan dikubur di Huashan seperti ini. Ai, kau sudah jatuh ke tangan enam orang aneh itu, kenapa mereka tak membawamu menemui biksuni kecil itu?” Linghu Chong menghela napas, “Ceritanya panjang. Kakak Tian, katamu kau kena racun dan akan terkubur di Huashan?” Tian Boguang berkata, “Aku sudah bilang padamu sebelumnya, titik jalan darah mautku sudah kena ditotok orang dan aku sudah keracunan, orang itu menyuruh aku untuk mengundangmu bertemu biksuni kecil itu dalam waktu sebulan. Baru setelah itu ia akan membuka totokan dan memunahkan racun. Namun sekarang aku tak bisa mengundangmu dan juga tak bisa mengalahkanmu, malah kena siksa enam orang aneh itu sampai babak belur begini. Kuhitung tinggal sepuluh hari lagi sebelum racun bekerja”.

Linghu Chong bertanya, “Dimana Adik Yilin? Dari sini, berapa hari yang diperlukan untuk pergi kesana?” Tian Boguang berkata, “Kau mau pergi?” Linghu Chong berkata, “Kau sudah beberapa kali mengampuniku dengan tidak membunuhku, walaupun tingkah lakumu tak pantas, namun Linghu Chong tak bisa hanya berpangku tangan saja melihatmu mati kena racun. Saat itu kau hendak memaksaku dengan kekerasan, tentu saja aku tak sudi tunduk, namun keadaan saat ini sangat berbeda”. Tian Boguang berkata, “Si biksuni kecil ada di Shanxi, ai……kalau saja tubuh kita berdua kuat, dengan naik kuda yang cepat larinya, dalam enam atau tujuh hari kita sudah bisa mencapainya. Saat ini kita berdua terluka hingga jadi seperti ini, mau bilang apa lagi?”

Linghu Chong berkata, “Toh aku cuma menunggu kematian di gunung ini, lebih baik aku menemanimu menyongsong bahaya. Mungkin yang maha kuasa akan memberkati dan melindungiku, di kaki gunung kita akan menyewa kereta kuda yang larinya cepat, dan bisa sampai di Shanxi dalam sepuluh hari” Tian Boguang tersenyum, “Si Tian ini seumur hidup sudah banyak berbuat jahat, entah sudah berapa banyak orang baik yang kubunuh, kenapa yang maha kuasa mau memberkati dan melindungiku? Kecuali kalau yang maha kuasa benar-benar buta matanya.”. Linghu Chong berkata, “Kalau yang maha kuasa matanya buta……hehehe, bisa saja. Karena maju kena mundur juga kena, tidak ada jeleknya kalau kita coba”.

Tian Boguang bertepuk tangan dan berkata, “Benar, apa bedanya kalau aku mati di jalan atau mati di Huashan? Hal yang paling penting adalah turun gunung dan mencari makanan, sejak aku digeletakkan disini, tiap hari aku hanya bisa memungut buah sarangan untuk dimakan, mulutku sampai bisa mencicit seperti burung. Kau bisa berdiri atau tidak? Aku papah kau”.

Ia berkata “aku papah kau”, tapi ia sendiri tak bisa berdiri. Linghu Chong mengulurkan tangan hendak saling memapah, namun lengannya sama sekali tak punya tenaga. Mereka berdua berjuang untuk bangkit beberapa lamanya, namun akhirnya tak berdaya, tiba-tiba tanpa direncanakan terlebih dahulu, mereka tertawa terbahak-bahak.

Tian Boguang berkata, “Si Tian ini sudah malang melintang di dunia persilatan, tapi seumur hidup belum pernah punya sahabat yang mengerti isi hatiku, kalau aku bisa mati bersama Saudara Linghu disini, hatiku girang”.

Linghu Chong tersenyum, “Kalau di kemudian hari guruku melihat jasad kita berdua, ia pasti mengira kita mati bersama setelah berkelahi mati-matian. Siapa yang akan tahu bahwa saat kita menghadapi maut, kita berdua telah menjadi saudara”.

Tian Boguang mengangsurkan tangannya seraya berkata, “Saudara Linghu, mari kita berjabat tangan sebelum mati”.

Mau tak mau, Linghu Chong menjadi bimbang, dengan berkata demikian, Tian Boguang jelas ingin mengikat persahabatan sehidup semati dengannya, namun ia adalah seorang bandit pemetik bunga yang terkenal jahat, sedangkan dirinya sendiri adalah murid perguruan lurus terkemuka, bagaimana ia dapat menjalin persahabatan dengannya? Pada hari itu ketika Tian Boguang telah berhasil beberapa kali mengalahkannya di Siguoya namun tak membunuhnya, boleh dikatakan ia melakukan hal itu untuk membalas perbuatannya yang beberapa kali tak ingin membunuhnya. Tapi kalau hari ini ia masih bermain-main dengannya, hal ini tak dapat dimaklumi. Ketika berpikir sampai disini, tangan kanannya yang baru terangsur sebagian ditariknya kembali.

Tian Boguang mengira lukanya terlalu parah hingga ia sukar mengangsurkan tangannya, maka ia berkata dengan lantang, “Saudara Linghu, Tian Boguang sudah menganggapmu seorang sahabat. Kalau kau mati duluan karena lukamu, si Tian ini juga tak mau hidup sendirian”.

Ketika Linghu Chong mendengar ia berbicara dengan tulus, hatinya terguncang, pikirnya, “Ternyata orang ini pantas disebut kawan sejati”. Ia segera mengangsurkan tangannya dan menjabat tangan kanan Tian Boguang sambil tersenyum, “Kakak Tian, kita berdua saling menemani, matipun tidak sebatang kara”.

* * *

Setelah ia mengucapkan perkataaan itu, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar sebuah tawa sinis, menyusul seseorang berkata, “Murid kepala Faksi Tenaga Dalam Perguruan Huashan ternyata terperosok begitu dalam, hingga bersahabat dengan maling cabul yang terkenal di dunia persilatan”.

Tian Boguang bertanya dengan lantang, “Siapa itu?” Diam-diam Linghu Chong mengeluh, “Lukaku parah sukar disembuhkan, mati juga tak apa-apa, tapi aku malah mencoreng nama baik guru, benar-benar celaka”.

Di tengah kegelapan, terlihat remang-remang sebuah sosok manusia yang berdiri di depan mereka, tangan orang itu mengenggam sebilah pedang yang sinarnya samar-samar berkilauan, terdengar ia tertawa dingin, "Linghu Chong, sekarang kau masih bisa mengingkari perkataanmu, ambillah pedang ini dan bunuhlah maling cabul marga Tian ini, dan tak ada orang yang akan menyalahkanmu karena bersahabat dengannya, "Sret!", ia menghunjamkan pedang itu hingga menancap di tanah.

Linghu Chong melihat bahwa badan pedang itu lebar, yaitu pedang yang dipakai oleh Perguruan Songshan, maka ia bertanya, “Apakah tuan anggota Perguruan Songshan?” Orang itu berkata, “Ternyata matamu memang tajam, aku Di Xiu dari Perguruan Songshan”. Linghu Chong berkata, “Ternyata Saudara Di, kita sudah lama tak berjumpa. Saudara Di datang ke gunung ini, entah ada urusan penting apa?” Di Xiu berkata, “Paman guru ketua memerintahkan aku datang ke Huashan untuk menyelidiki apakah para murid Perguruan Huashan memang keterlaluan seperti yang tersiar di luaran, hehehe, siapa yang tahu, begitu aku naik ke Huashan aku langsung mendengar kata-katamu yang begitu tulus mengikat persahabatan dengan maling cabul ini”.

Tian Boguang memaki, “Anjing, apa bagusnya Perguruan Songshanmu? Urus dirimu sendiri dulu, baru ikut campur urusan orang”. Di Xiu melangkah mendekat, “Duk!”, ia menendang kepala Tian Boguang keras-keras sambil membentak, “Kau sudah mau mampus, tapi masih banyak bacot!” Tian Boguang masih terus memaki-maki tanpa henti, “Anjing, maling bau, makmu!”.

Walaupun Di Xiu dapat mencabut nyawanya dengan semudah membalik telapak tangannya, namun ia hendak menghina Linghu Chong terlebih dahulu, maka ia tertawa sinis dan berkata, “Linghu Chong, kau memang sejenis dengannya, kau sudah memutuskan tidak akan membunuhnya?” Linghu Chong murka, dengan lantang ia berkata, “Aku bunuh dia atau tidak, apa urusanmu? Kalau kau punya nyali, bunuhlah Linghu Chong dengan sekali tebas, kalau kau tak berani, turunlah dari Huashan dengan ekor terjepit diantara kedua kakimu”. Di Xiu berkata, “Kau sudah memutuskan tidak akan membunuh dia, sudah bertekad bulat untuk menganggap maling cabul ini sebagai sahabat?” Linghu Chong berkata, “Tak perduli aku bersahabat dengan siapa, pokoknya lebih baik daripada bersahabat denganmu”.

Tian Boguang bersorak dengan lantang, “Perkataanmu itu benar, bagus sekali!”

Di Xiu berkata, “Kau ingin membuatku marah supaya aku membunuh kalian berdua dengan sekali tebas, memangnya begitu gampang? Aku akan melucuti pakaian kalian dan mengikat kalian menjadi satu, lalu akan kutotok titik jalan darah bisu kalian dan memamerkan kalian kepada dunia persilatan. Aku akan berkata bahwa aku telah menangkap basah seorang lelaki jantan dan seorang banci sedang melakukan hubungan terlarang. Hahaha, Yue Buqun dari Perguruan Huashanmu berpura-pura berbudi, bersikap seperti seorang yang bermoral tinggi, setelah saat ini, apa dia masih berani menyebut dirinya si ‘Pedang Budiman?’ “

Begitu mendengarnya, Linghu Chong begitu gusar sampai ia jatuh pingsan. Tian Boguang memaki, “Keparat……” Di Xiu menendang titik jalan darah di pinggangnya, sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia lalu mengangsurkan tangan hendak membuka pakaian Linghu Chong.

Sekonyong-konyong dari belakang tubuhnya terdengar suara lembut dan merdu seorang gadis berkata, “Ai, kakak, kau sedang apa disini?” Di Xiu terkejut, ia menoleh, di bawah sinar temaram ia samar-samar melihat sosok seorang gadis, katanya, “Kau juga sedang apa disini?”

Tian Boguang mengenali suara gadis itu sebagai suara Yilin, dengan girang ia berseru, “Guru……guru kecil, akhirnya kau datang juga, bagus sekali. Keparat ini mau……mau membunuh Kakak Linghumu”. Tadinya ia hendak berkata, “Keparat ini mau membunuhku”, tapi ia segera berubah pikiran, kata “aku” itu sama sekali tak akan diperdulikan oleh Yilin, maka ia buru-buru merubahnya menjadi “Kakak Linghumu”.

Ketika Yilin mendengar bahwa orang yang tergeletak di tanah itu tak nyana adalah Linghu Chong, mau tak mau ia menjadi cemas dan buru-buru melompat ke depan seraya berseru, “Kakak Linghu, apa itu kau?”

Ketika Di Xiu melihat betapa perhatiannya terpusat pada Linghu Chong dan bahwa ia sama sekali tak berjaga-jaga, ia membengkokkan lengan kirinya, lalu telunjuknya menotok sisi tubuhnya. Baru saja jarinya menyentuh pakaiannya, tiba-tiba bagian belakang lehernya terasa kencang, tubuhnya diangkat seseorang hingga terangkat beberapa chi dari tanah. Di Xiu terkejut, sikut kanannya memukul ke belakang, namun hanya menyentuh tempat kosong, menyusul kaki kirinya menendang ke belakang, namun lagi-lagi hanya menyentuh tempat kosong. Ia bertambah panik dan membalikkan kedua tangannya untuk menangkap, tepat pada saat itu, lehernya telah dicengkeram oleh sebuah tangan besar, seketika itu juga ia sulit bernapas dan sekujur tubuhnya menjadi lemas.

* * *

Perlahan-lahan Linghu Chong sadar, ia mendengar suara seorang gadis berseru dengan cemas, “Kakak Linghu, Kakak Linghu!” Samar-samar kedengaran seperti suara Yilin. Ia membuka matanya, di bawah sinar bintang yang temaram, ia melihat sebuah wajah bulat telur putih salju yang cantik jelita, siapa lagi kalau bukan Yilin?

Terdengar sebuah suara yang lantang berkata, “Lin er, apa orang penyakitan ini Linghu Chong?” Linghu Chong memandang kearah suara itu, mau tak mau ia terperangah, ia melihat seorang biksu bertubuh besar yang sangat gemuk dan tinggi menjulang berdiri bagai sebuah pagoda besi. Tinggi biksu itu paling tidak tujuh chi, tangan kirinya terjulur mengangkat Di Xiu tinggi-tinggi. Keempat anggota tubuh Di Xiu terkulai lemas dan tak bergerak-gerak, entah dia masih hidup atau sudah mati.

Yilin berkata, “Ayah, dia……dia memang Kakak Linghu, bukan orang penyakitan”. Saat ia mengucapkan perkataan itu, sepasang matanya tetap terpaku pada Linghu Chong, sinar matanya mengungkapkan perasaan cinta yang meluap-luap, ia sepertinya hendak mengangsurkan tangan untuk membelai pipi Linghu Chong, namun tak berani melakukannya.

Linghu Chong merasa sangat heran, pikirnya, “Kau seorang biksuni kecil, bagaimana kau bisa memanggil biksu besar ini ayah? Kalau seorang biksu punya seorang putri hal ini sangat mengejutkan, tapi kalau putrinya ternyata juga seorang biksuni, lebih mengagetkan lagi”.

Biksu gemuk itu tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Kau memikirkan dia siang malam, merindukan Linghu Chong ini, kukira ia seorang lelaki gagah yang tinggi besar, ternyata ia cuma bocah tak berguna yang menggeletak di tanah, pura-pura mati karena dianiaya orang dan tidak bisa membalas. Aku tak mau orang penyakitan ini jadi menantuku. Kita tak usah perdulikan dia, ayo kita pergi”.

Yilin merasa jengah sekaligus cemas, dengan kesal ia berkata, “Siapa yang siang malam memikirkannya? Kau……kau bicara sembarangan. Kalau kau mau pergi, kau pergi sendiri saja. Kau tak mau……tak mau……” Perkataan berikutnya yaitu “tak mau dia jadi menantumu” tak kuasa dikeluarkannya.

Ketika Linghu Chong mendengarnya memakinya sebagai “orang penyakitan”, dan “orang tak berguna”, ia merasa sangat geram, “Kalau kau mau pergi, pergi sana. Siapa yang perlu bantuanmu?” Tian Boguang berseru dengan cemas, “Jangan pergi, jangan pergi!” Linghu Chong berkata, “Kenapa tak boleh pergi!” Tian Boguang berkata, “Titik jalan darah kematianku telah kena ditotok olehnya, obat pemunah racunku juga ada padanya, kalau ia pergi, apa aku tidak lantas mampus?” Linghu Chong berkata, “Kau takut apa? Aku sudah janji akan menemanimu mati bersama, begitu kau mati karena racun mengamuk, aku akan langsung bunuh diri”.

Si biksu gemuk tertawa terbahak-bahak, suaranya menguncang lembah itu, lalu ia berkata, “Bagus sekali, bagus sekali, bagus sekali! Ternyata bocah ini orang gagah yang punya pendirian. Lin er, ia sangat sesuai dengan seleraku. Tapi ada satu hal yang harus kita tanyakan dengan jelas kepadanya, dia minum arak atau tidak?”

Sebelum Yilin sempat menjawab, Linghu Chong sudah berkata dengan lantang, “Tentu saja minum, kenapa tidak minum? Si tua ini minum di pagi hari, malam juga minum, di tengah mimpi pun juga minum. Begitu kau lihat bagaimana aku kecanduan minum arak, kau pasti marah setengah mati karena kau adalah seorang biksu yang pantang daging, pantang arak, pantang membunuh dan pantang berbohong!”

Si biksu gemuk tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Lin er, katakanlah padanya siapa nama agama ayah”.

Yilin tersenyum kecil dan berkata, “Kakak Linghu, nama agama ayahku ialah ‘Bujie’[1]. Walapun beliau menjadi pengikut Buddha, namun ia sama sekali tidak menaati segala peraturan dan pantangan agama Buddha, oleh karena itu nama agamanya ‘Bujie’ “. Kau jangan tertawa, beliau minum arak dan makan daging, membunuh dan mencuri, semua juga dilakukannya, lagipula ia juga……ia juga mempunyai anak yaitu aku”. Ketika ia berkata sampai disini, ia tak kuasa menahan tawa.

Linghu Chong tertawa terpingkal-pingkal, lalu berkata dengan suara lantang, “Biksu macam ini……membuatku sangat senang”.  Sambil berbicara ia berusaha untuk bangkit, namun ia sama sekali tak bertenaga. Yilin buru-buru mengangsurkan tangan untuk memapahnya.

Linghu Chong tersenyum,  “Paman, karena kau sudah melakukan semuanya, kenapa kau tidak kembali menjadi orang awam saja, untuk apa tetap menjadi biksu?” Bujie berkata, “Kau tak tahu tentang hal ini. Karena aku melakukan semuanya, maka aku jadi biksu. Aku seperti kau ini, jatuh cinta pada seorang biksuni yang cantik jelita……” Yilin menyela, “Ayah, kau bicara sembarangan lagi”.  Saat ia mengucapkan perkataan ini, wajahnya menjadi merah padam, untungnya di tengah kegelapan malam, orang lain tak bisa melihatnya dengan jelas. Bujie berkata, “Seorang lelaki sejati melakukan segala sesuatu dengan jujur dan terus terang, kalau mau berbuat apapun ia akan melakukannya, mau ditertawakan orang juga tak apa, mau dimaki orang juga tak apa, aku Biksu Bujie seorang lelaki jantan, memangnya aku takut pada siapa?”

Linghu Chong dan Tian Boguang serentak bersorak, “Tepat sekali!”

Ketika Bujie mendengar kedua orang itu memujinya, ia merasa sangat girang, ia meneruskan berbicara, “Biksuni cantik jelita yang kucintai itu adalah ibunya”.

Linghu Chong berkata dalam hati, “Ternyata ayah Adik Yilin adalah seorang biksu, dan ibunya adalah seorang biksuni”.

Bujie terus berbicara, “Saat itu aku adalah seorang jagal babi, ketika aku jatuh cinta pada ibunya, ibunya tak mengacuhkanku, aku tak tahu harus berbuat apa, maka aku pun jadi biksu. Saat itu aku pikir, biksuni dan biksu sama-sama orang yang hidup membiara. Seorang biksuni tidak bisa mencintai seorang jagal, tapi kemungkinan besar akan mencintai seorang biksu”.

“Bah!”, ujar Yilin, “Ayah, mulutmu ini memang tak bisa berhenti bicara, sudah tua seperti ini, tapi omonganmu masih seperti anak kecil”.

Bujie berkata, “Apa perkataanku tidak benar? Tapi waktu itu aku tidak sadar, bahwa setelah jadi biksu, aku tidak bisa berhubungan dengan wanita lagi, bahkan juga dengan biksuni. Kalau aku ingin berhubungan dengan ibunya, malah lebih sulit lagi, maka aku tak mau jadi biksu lagi. Tak nyana guruku berkata bahwa aku berbakat, benar-benar seorang murid Buddha, dan ia tak mengizinkan aku kembali menjadi orang awam. Ibunya juga bingung dan benar-benar tergerak oleh perasaanku yang sebenarnya sehingga melahirkan si biksuni kecil ini. Chong er, sekarang semua lebih gampang untukmu, kalau kau ingin berhubungan dengan putriku si biksuni kecil ini, kau tak usah jadi biksu”.

Linghu Chong merasa sangat jengah, pikirnya, “Saat itu ketika Adik Yilin ditawan Tian Boguang, aku menghunus pedangku untuk menegakkan keadilan dan menolongnya. Dia adalah seorang biksuni Perguruan Hengshan yang suci murni, bagaimana ia bisa berhubungan asmara dengan seorang awam? Ia telah menyuruh Tian Boguang dan Enam Dewa Lembah Persik untuk mengundangku menemuinya, jangan-jangan hal ini akan menimbulkan kesalahpahaman. Aku harus cepat-cepat menghindar, kalau nama baik Perguruan Huashan dan Hengshan tercoreng karena aku, walaupun aku mati, guru dan ibu guru akan tetap menyalahkanku dan Adik Lingshan akan memandang rendah aku”.

Yilin merasa sangat rikuh, ia berkata, “Ayah, Kakak Linghu sudah punya……punya seseorang dalam hatinya, bagaimana ia bisa mengalihkan pandangannya ke orang lain? Kau……kau setelah ini jangan menyinggung hal ini lagi, supaya tidak ditertawakan orang”.

Bujie berkata dengan gusar, “Bocah ini punya kekasih lain? Aku marah sekali, aku marah sekali!” Ia menjulurkan lengan kanannya, tangannya yang besarnya seperti kipas menjambak dada Linghu Chong. Linghu Chong tak bisa berdiri dengan teguh, ia tak bisa menghindar dan terpaksa berdiri karena ditarik olehnya. Tangan kiri Biksu Bujie mencengkeram kerah Di Xiu, tangan kanannya menjambak dada Linghu Chong, kedua lengannya terentang, seakan sedang memikul kedua orang itu.

 Linghu Chong tak kuasa bergerak, ia diangkat tinggi-tinggi seperti sebuah karung gombal yang terkulai lemas.

Yilin berseru dengan cemas, “Ayah, cepat turunkan Kakak Linghu, kalau kau tidak melepaskan dia, aku akan marah”.

Begitu Bujie mendengar putrinya berkata ia akan marah, ia langsung kelihatan takut dan segera melepaskan Linghu Chong, namun mulutnya masih mengumam, “Apa orang yang ada di dalam hatinya adalah seorang biksuni cantik? Pantas saja!” Ia sendiri jatuh cinta pada seorang biksuni cantik, maka ia berpikir bahwa di dunia ini selain seorang biksuni cantik, tidak ada orang lain yang pantas dicintai.

Yilin berkata, “Orang yang ada di dalam hati kakak Linghu adalah adik seperguruannya, Nona Yue”.

Bujie meraung keras-keras, hingga membuat telinga semua orang mendenging, bentaknya, “Nona marga Yue apa? Sialan, bukan biksuni cantik? Kenapa dia bisa jatuh cinta padanya? Kalau aku bertemu dengannya, gadis bau itu akan kugilas sampai mati”.

Linghu Chong berpikir, “Biksu Bujie ini seorang kasar yang bebal, sama dengan Enam Dewa Lembah Persik. Jangan-jangan ia akan melakukan apa yang dikatakannya dan mencelakai adik kecil, sebaiknya aku harus bagaimana?”

Yilin merasa khawatir, ia berkata, “Ayah, Kakak Linghu terluka parah, kau cepat cari cara untuk menyembuhkan dia. Hal-hal yang lain bisa dibicarakan nanti”.

Bujie sangat patuh pada perkataan putrinya, ia berkata, “ Apa susahnya menyembuhkan lukanya?” Dengan enteng ia melemparkan Di Xiu ke belakang sambil menanyai Linghu Chong dengan lantang, “Kau menderita luka apa?” Sebelumnya ia telah menotok Di Xiu, tanpa bersuara Di Xiu jatuh terguling-guling dari lereng bukit itu.

Linghu Chong berkata, “Dadaku kena pukul orang, tapi itu tidak penting……” Bujie berkata, “Kalau dadamu kena pukul, pembuluh Renmu pasti terguncang……” Linghu Chong berkata, “Enam Dewa Lembah Persik…….” Bujie berkata, “Di pembuluh Ren itu tidak ada lembah persiknya. Ilmu tenaga dalam Perguruan Huashanmu tidak bagus, maka kau tak mengerti. Diantara titik-titik jalan darah di tubuh manusia memang ada titik Lembah Gabungan, namun titik ini terdapat di pembuluh Yangming dari tangan ke usus besar, yang terletak diantara ibu jari dan telunjuk, sama sekali tak ada hubungannya dengan pembuluh Ren. Baiklah, aku akan menyembuhkan luka di pembuluh Renmu”. Linghu Chong bekata, “jangan, jangan, Enam Dewa Lembah……” Bujie berkata, “Enam atau tujuh dewa apa? Diantara semua titik-titik jalan darah di tubuh manusia, cuma ada Tiga Li Tangan, Tiga Li Kaki, Yinlingquan, dan Sikongzhu, mana ada enam, tujuh dewa lembah segala? Kau tak boleh bicara sembarangan”. Dengan enteng ia menotok titik bisunya sambil berkata, “Aku akan mengerahkan tenaga dalamku yang  murni untuk membuka pembuluh Renmu melalui titik-titik Chengjiang, Tiantu, Shanzhong, Jiuwei, Juque, Zhongwan, Qihai, Shimen, Guanyuan, dan Zhongji. Begitu tenagaku mulai masuk, lukamu akan mulai sembuh, setelah beristirahat tujuh atau delapan hari, kau akan berubah menjadi seorang pemuda yang segar bugar dan lincah”.

Bujie mengasurkan sepasang tanggannya yang sebesar kipas, tangan kanannya menekan titik Chengjiang di rahang Linghu Chong, sedangkan tangan kirinya menekan titik Zhongji di perutnya. Dua buah hawa murni pun menerobos masuk dari kedua titik itu. Tiba-tiba, kedua hawa murni tu bertumbukan dengan keenam hawa murni yang ditinggalkan oleh Enam Dewa Lembah Persik dan kedua tangan Biksu Bujie pun terguncang. Bujie terperangah dan berseru dengan keras. Yilin buru-buru bertanya, “Ayah, ada apa?” Bujie berkata, “Di dalam tubuhnya ada beberapa aliran tenaga yang aneh, satu, dua, tiga, empat, semuanya ada empat buah, tidak, ada satu lagi, semuanya ada lima aliran, tenaga keenam ini……aha, ada banyak aliran tenaga yang beredar. Sialan, ternyata ada enam buah! Dua aliran tenagaku ini bertarung dengan enam aliran tenaga sialan itu! Hayo lihat siapa yang lebih lihai. Jangan-jangan masih ada lagi, hahaha, ramai sekali! Asyik, asyik! Ayo maju lagi, hah, sudah tak ada lagi, ya? Ada enam aliran, masa aku si Biksu Bujie takut pada enam ekor anjing seperti kalian?”

Kedua tangannya menekan kuat-kuat kedua titik jalan darah LInghu Chong itu, dari ubun-ubunnya perlahan-lahan keluar uap putih. Mula-mula ia masih bisa berteriak, tapi setelah itu semakin lama ia harus mengerahkan lebih banyak tenaga, sehingga ia tak bisa berkata sepatah katapun. Saat itu hari makin terang, terlihat uap putih di atas ubun-ubunnya makin lama makin tebal hingga kabut pekat seakan mengelilingi kepalanya yang besar.

Setelah lama, Bujie mengangkat sepasang tangannya dan tertawa terbahak-bahak, namun tiba-tiba suara tawanya terhenti. “Bruk!” Ia terjatuh ke tanah.

Yilin terkejut dan berseru, “Ayah, ayah!”. Ia buru-buru menerjang ke depan untuk menyokongnya, namun tubuh Bujie terlalu berat, begitu ia mengangkat separuh tubuhnya, mereka berdua lantas jatuh terduduk. Baju dan celana yang dikenakan Bujie basah kuyup oleh keringat, napasnya terengah-engah, dengan suara gemetar ia berkata, “Aku……aku……sialan……aku……aku…..sialan……”

Ketika Yilin mendengarnya memaki, ia merasa agak lega, tanyanya, “Ayah, bagaimana keadaanmu? Apa kau sangat lelah?” Bujie memaki, “Nenekmu, di dalam tubuh bocah ini ada enam aliran tenaga anjing, yang ingin…..ingin menempur aku si tua ini. Nenekmu, setelah si tua ini mengerahkan tenaga, aku berhasil mengeluarkan keenam tenaga aneh yang sesat itu, hehehe, kau jangan khawatir, bocah ini tak akan mati”.  Hati seorang gadis Yilin merasa lega, ia berpaling dan melihat Linghu Chong pelahan-lahan berdiri.

Tian Boguang tersenyum dan berkata, “Tenaga dalam biksu yang mulia memang sangat lihai hingga dalam waktu yang begitu singkat dapat menyembuhkan luka parah Saudara Linghu”.

Ketika Bujie mendengar ia memujinya, ia lantas merasa sangat girang, “Kau sudah berbuat banyak kejahatan, tadinya aku ingin mengilas kau sampai mati, tapi karena kau berhasil mencari si bocah Linghu Chong ini, kau masih agak berjasa, maka nyawamu kuampuni, kau pergilah dengan patuh”.

Tian Boguang gusar, ia memaki, “Apa maksudmu pergi dengan patuh? Biksu anjing sialan, omonganmu itu omongan manusia bukan? Katamu kalau dalam sebulan aku bisa menemukan Linghu Chong untukmu, kau akan membuka totokan di titik jalan darah mautku dan memunahkan racunku, tapi sekarang kau malah ingkar janji. Kalau kau tak membuka totokan dan memunahkan racun di tubuhku, kau adalah biksu bau keterlaluan yang lebih rendah dari anjing dan babi”.

Walaupun Tian Boguang mencaci makinya seperti itu, namun Bujie sama sekali tak marah, sambil tersenyum ia berkata, “Coba lihat kau bocah bau ini, coba lihat mukamu yang takut mati dan takut berubah seperti ini, begitu ketakutan kalau aku si Biksu Besar Bujie mengingkari perkataanku, tidak membuka totokan dan memberi obat pemunah. Bocah sialan, ini obat pemunahnya”. Seraya berbicara ia memasukkan tangannya ke dalam saku dadanya dan mengambil obat pemunah, namun karena ia barusan ini telah menggunakan banyak tenaga, tangannya masih gemetar sehingga botol keramik yang dipegangnya beberapa kali terjatuh. Yilin mengangsurkan tangan untuk menangkapnya, lalu membuka tutupnya. Bujie berkata, “Beri dia tiga pil, setelah makan sebutir pil, tiga hari kemudian kau makan satu pil lagi, lalu enam hari setelah itu, makanlah satu butir pil lagi. Apakah mujarab atau tidak, kau baru akan tahu setelah tiba saatnya. Kalau dalam sembilan hari ini kau dibunuh orang, tidak ada urusannya dengan aku si biksu besar ini”.

Tian Boguang mengambil obat pemunah itu dari tangan Yilin seraya berkata, “Biksu yang mulia, kau memaksaku minum racun, sekarang kau memberiku obat pemunah, tak kumakipun sudah bagus, apalagi berterima kasih padamu. Bagaimana dengan titik jalan darah mautku?” Bujie tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, “Titik jalan darah yang kutotok itu sudah terbuka sendiri dalam tujuh hari. Kalau biksu besar ini benar-benar menotok titik jalan darahmu, apa kau si bocah ini masih bisa hidup sampai sekarang?”

Tian Boguang sudah merasa bahwa titik jalan darah di tubuhnya sudah terbuka sebelumnya, begitu mendengar perkataan Bujie itu, ia segera merasa lega, ia tertawa sekaligus memaki, “Nenekmu, biksu bau menipuku”. Ia berpaling kearah Linghu Chong dan berkata, “Saudara Linghu, kau mengobrollah dengan si biksuni kecil, aku pergi dulu, sampai bertemu lagi di kemudian hari”. Seraya berbicara ia menjura, lalu ia berbalik dan berjalan kearah jalan besar yang menuruni gunung.

Linghu Chong berkata, “Tunggu dulu, Kakak Tian”. Tian Boguang berkata, “Ada apa?” Linghu Chong berkata, “Kakak Tian, Linghu Chong beberapa kali menerima ampunanmu, karena kita telah bersahabat, ada satu nasehat yang ingin kuberikan padamu. Kalau kau tak mau berubah, persahabatan kita tak akan langgeng”.

Tian Boguang tersenyum, “Kau tak usah bicara aku juga sudah tahu, kau menasehatiku supaya sejak ini aku tak lagi menganggu perempuan baik-baik. Baiklah, si Tian ini akan mendengarkan nasehatmu, di kolong langit ini banyak sekali sundal dan pelacur, si Tian ini sangat suka main perempuan, tapi aku bisa keluar uang untuk membeli mereka, tak perlu main paksa perempuan baik-baik dan membunuh orang. Hahaha, Saudara Linghu, bukankah kejadian di Wisma Kumala di Hengshan itu sangat hebat?”

Ketika Linghu Chong dan Yilin mendengarnya menyinggung Wisma Kumala di Hengshan, wajah mereka berdua tak bisa tidak menjadi merah. Tian Boguang tertawa terbahak-bahak, namun begitu melangkah, kakinya lemas dan ia terjatuh, lalu terguling-guling di lereng bukit sampai jauh. Ia berusaha untuk duduk dan menelan sebutir pil, dalam sekejap perutnya sakit melilit-lilit, ia terduduk di tanah dan tak bisa berkutik. Ia tahu bahwa ini adalah hal yang biasa terjadi dalam proses penyembuhan racun, maka ia sama sekali tak merasa takut, malahan merasa senang karena keampuhan obat itu.

Barusan ini Biksu Bujie memasukkan dua aliran hawa murni yang sangat kuat ke dalam tubuh Linghu Chong sehingga dapat menekan keenam aliran tenaga Enam Dewa Lembah Persik, maka dada Linghu Chong terasa lega dan kakinya bertenaga. Ia merasa sangat girang dan melangkah ke depan, lalu dengan hormat ia menjura kepada Bujie sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan biksu besar menyelamatkan nyawaku”.

Bujie tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, “Tak usah berterima kasih, sejak saat ini kita adalah satu keluarga, kau menantuku, aku si tua mertuamu, untuk apa mengucapkan terima kasih segala?”

Seluruh wajah Yilin merah padam, katanya, “Ayah, kau……lagi-lagi kau bicara sembarangan”. Bujie berkata dengan heran, “Hah! Kenapa kau bilang aku bicara sembarangan? Kau siang malam memikirkan dia, apa kau tak mau menikah dengannya dan jadi istrinya? Kalaupun kau tak mau menikah dengannya, apa kau tak mau melahirkan biksuni kecil yang cantik dengan dia?”  “Bah!”, ujar Yilin, “ Tua-tua tak beres, siapa yang mau……siapa yang  mau……”


* * *

Catatan Kaki:

[1] Salah satu adegan dari roman San Guo (Hokkian: Sam Kok).


Bagian 2

Tepat pada saat itu, terdengar suara langkah kaki dari jalan, dua orang berjalan berendeng naik gunung, yaitu ayah beranak Yue Buqun dan Yue Lingshan. Ketika melihat mereka Linghu Chong terkejut sekaligus girang, ia cepat-cepat menyambut mereka sambil berseru, “Guru, adik kecil, kalian sudah kembali! Apa ibu guru ikut?”

Ketika Yue Buqun melihat Linghu Chong segar bugar dan sehat walafiat, tak seperti kemarin ketika ia seperti akan menghembuskan napas terakhirnya, ia merasa benar-benar senang. Namun saat itu ia belum bisa menanyainya. Ia menjura kearah Biksu Bujie dan bertanya, “Bagaimana saya harus memanggil anda biksu yang mulia? Anda telah sudi berkunjung ke tempatku yang sederhana ini, hendak memberi petunjuk apa?”

Bujie berkata, “Namaku Biksu Bujie, aku datang ke tempatmu yang sederhana ini untuk mencari menantuku”. Seraya berbicara ia menunjuk kearah Linghu Chong. Aslinya ia adalah seorang tukang jagal, oleh karenanya ia tidak mengerti basa-basi yang dibuat-buat seperti itu, ketika Yue Buqun merendah dengan menyebut “tempatku yang sederhana”, dia juga ikut mengatakan “tempatmu yang sederhana”.

 Yue Buqun tidak tahu asal-usulnya, ketika ia mendengar sang biksu berkata bahwa ia “mencari menantuku”, ia mengira bahwa ia sedang mengejek dirinya, dalam hati ia merasa geram, akan tetapi air mukanya sama sekali tidak berubah. Dengan hambar ia berkata, “Biksu yang mulia rupanya sedang bercanda”. Ketika ia melihat Yilin memberi hormat, ia berkata, “Keponakan Yilin, tak usah banyak peradatan. Kau datang ke Huashan, apa karena disuruh gurumu yang terhormat?” Wajah Yilin samar-samar merona merah, katanya, “Bukan. Aku……aku……”

Yue Buqun tak memperdulikannya lagi, ia berbalik kearah Tian Boguang hendak menanyainya. Tian Boguang menjura seraya berkata, “Tuan Yue, aku Tian Boguang!” Yue Buqun berkata dengan gusar, “Tian Boguang, hah! Nyalimu sungguh besar!” Tian Boguang berkata, “Aku ingin mengobrol dengan muridmu Linghu Chong, jadi aku memikul dua guci arak ke atas gunung untuk minum-minum sepuasnya dengan dia, tak perlu nyali besar untuk melakukan hal itu”. Wajah Yue Buqun makin bengis, ia berkata, “Minum arak?” Tian Boguang berkata, “Sudah lama habis diminum bersama dia di Siguoya”.

Yue Buqun berpaling kearah Linghu Chong dan bertanya, “Apa omongannya itu benar?” Linghu Chong berkata, “Guru, ceritanya panjang, mohon biarkan murid menjelaskannya perlahan-lahan”. Yue Buqun berkata, “Sudah berapa hari Tian Boguang ada di Huashan?” Linghu Chong berkata, “Saat itu guru dan ibu guru tidak ada di Huashan”. Yue Buqun berkata, “Setengah bulan ini, ia selalu ada di Huashan?” Linghu Chong berkata, “Benar”. Yue Buqun membentak, “Kenapa kau tidak melapor padaku?” Linghu Chong berkata, “Saat itu guru dan ibu guru tidak ada di Huashan”. Yue Buqun berkata, “Aku dan ibu guru pergi kemana?” Linghu Chong berkata, “Pergi ke sekitar Changsha mengejar Tuan Tian”.

Yue Buqun mendengus, lalu berkata, “Tuan Tian, hah, Tuan Tian! Kau sudah tahu kejahatan orang ini bertumpuk-tumpuk seperti gunung, kenapa kau tidak menghunus pedang dan membunuhnya? Kalaupun kau tak bisa melawannya dan harus terbunuh olehnya, kenapa kau tidak mati menempurnya, malahan bergaul dengan dia?”

Tian Boguang duduk di tanah, sejak tadi ia tak bisa bergerak-gerak, namun ia menyela, “Akulah yang tak mau membunuh dia, dia bisa apa? Kalau ia tak bisa melawanku, masa dia harus menghunus pedang dan bunuh diri?”

Yue Buqun berkata, “Kau masih berani bicara di hadapanku?” Kepada Linghu Chong ia berkata, “Ayo bunuh dia!”

Yue Lingshan tak bisa menahan diri untuk tak menyela, “Ayah, Kakak pertama menderita luka parah, bagaimana ia bisa berkelahi dengan orang?”

Yue Buqun berkata, “Apa dia juga tak terluka? Kau khawatir apa, jelas-jelas aku ada disini, bagaimana maling cabul itu bisa melukai muridku dengan mudah?” Ia tahu bahwa Linghu Chong licin dan banyak akal, serta seumur hidupnya membenci kejahatan seperti seorang musuh, tak lama sebelumnya ia terluka oleh golok Tian Boguang, kalau sekarang ia berkata bahwa ia telah bersahabat dengan bandit besar itu, ini adalah hal yang mustahil. Ia menduga bahwa Linghu Chong tak dapat mengalahkannya, maka ia hendak mengadu akal. Ia melihat bahwa Tian Boguang terluka parah, kemungkinan besar karena murid tertuanya ini, oleh karena itu walaupun ia mendengar bahwa Linghu Chong telah berteman dengan maling cabul itu, ia tidak benar-benar marah, melainkan hanya menyuruh dia membunuhnya. Ia tak hanya akan melenyapkan seorang penjahat besar dari dunia persilatan, namun juga akan mengharumkan nama sang murid. Karena Tian Boguang sudah terluka parah, walaupun ia bisa menahan serangan Linghu Chong, namun ia tak akan bisa menangkis serangannya sendiri.

Tak nyana, Linghu Chong malah berkata, "Guru, Kakak Tian ini sudah berjanji pada murid, bahwa mulai saat ini ia akan dengan tulus merubah kelakuannya, dan tak akan menganggu perempuan baik-baik lagi. Murid tahu kata-katanya bisa dipercaya, lebih baik......"

Yue Buqun membentak, "Bagaimana......bagaimana kau tahu kalau kata-katanya bisa dipercaya? Bagaimana kau bisa mempercayai perkataan penjahat yang kejahatannya begitu banyak sampai matipun tak cukup untuk menebus dosanya? Sudah berapa banyak orang baik-baik yang terbunuh di bawah goloknya? Kalau orang semacam ini tidak kita bunuh, apa gunanya kita belajar silat seumur hidup? Shan er, berikanlah pedangmu pada kakak pertama". Yue Lingshan menjawab, "Baik!" Ia menghunus pedang dan mengangsurkan gagang pedang ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong berada dalam keadaan yang sangat sulit, ia tak pernah berani menentang perintah sang guru, namun sebelumnya dalam keadaan sekarat ia telah menjabat tangan Tian Boguang dan telah menganggapnya sebagai seorang sahabat, lagipula Tian Boguang telah berjanji dengan sungguh-sungguh untuk merubah kelakuannya menjadi baik. Orang ini telah melakukan banyak kejahatan, namun perkataannya dapat dipegang, kalau saat ini ia membunuhnya, ia akan mengkhianatinya. Ia mengambil pedang dari tangan Yue Lingshan, lalu dengan terhuyung-huyung ia berjalan ke tempat dimana Tian Boguang sedang duduk, namun setelah berjalan beberapa langkah, ia pura-pura kakinya lemas karena luka parah yang dideritanya, lutut kirinya tertekuk dan ia roboh ke depan, "Sret!", pedang pun menembus betis kirinya.

Kejadian ini tak diduga oleh siapapun, mau tak mau semua berteriak kaget. Yilin dan Yue Lingshan serentak berlari ke arahnya. Namun setelah maju selangkah, Yilin segera berhenti, ia berpikir bahwa ia adalah murid sang Buddha, bagaimana ia bisa menunjukkan perasaan sayang pada seorang pemuda di hadapan semua orang seperti ini? Namun Yue Lingshan berlari sampai ke sisi Linghu Chong sambil berseru, "Kakak pertama, kau kenapa?" Linghu Chong memejamkan matanya dan tak menjawab. Yue Lingshan mengengam gagang pedang, lalu menariknya, darah segar pun menyembur keluar dari lukanya. Yue Lingshan cepat-cepat mengambil obat perguruan mereka dari saku dadanya dan mengoleskannya pada luka di kaki Linghu Chong. Ketika ia mengangkat kepalanya, tiba-tiba ia melihat wajah Yilin yang jelita pucat pasi, roman mukanya nampak begitu penuh perhatian. Hati Yue Lingshan terguncang, pikirnya, "Tak nyana biksuni kecil ini begitu penuh perhatian pada kakak pertama!" Ia mengangkat pedang dan bangkit, "Ayah, biar putrimu membunuh penjahat ini".

Yue Buqun berkata, "Kalau kau membunuh penjahat ini, kau akan menodai nama baikmu sendiri. Berikan pedangmu padaku!" Tian Boguang terkenal sebagai maling cabul, semua orang mengetahuinya, kalau sampai tersiar kabar di dunia persilatan bahwa Tian Boguang tewas di tangan nona keluarga Yue, pasti akan ada orang yang membuat desas-desus bahwa ada perkosaan dan sebagainya. Begitu Yue Lingshan mendengar sang ayah berkata demikian, ia segera memberikan pedang itu.

Walaupun Yue Buqun tak manyambut pedang itu, tangan kanannya mengibas hingga lengan bajunya melilitnya.

Ketika Biksu Bujie melihatnya, ia berseru, "Jangan!" Ia melepas sepasang sepatunya dan mengenggamnya di tangannya. Namun ia melihat Yue Buqun mengibaskan lengan bajunya dengan menggunakan tenaga dalam, dan pedang itu pun meluncur dengan cepat sepuluh zhang lebih ke arah Tian Boguang. Bujie sudah memperkirakan hal itu, kedua tangannya melempar dengan bertenaga, kedua sepatu itu melayang masing-masing dari arah kiri dan kanan.

Pedang berat, sedangkan sepatu ringan, pedang juga telah dilemparkan terlebih dahulu, namun sungguh aneh, sepasang sepatu biksu Bujie lebih dahulu sampai, lalu memutar balik, melesat ke depan dan menumbuk gagang pedang dari kiri dan kanan, serta menarik pedang hingga beberapa zhang jauhnya hingga akhirnya pedang itu kehilangan daya geraknya dan menancap di tanah. Sepasang sepatu biksu itu masih tergantung dari gagang pedang, dan mengikuti gagang pedang berayun-ayun tanpa henti.

Bujie berseru, "Celaka, celaka! Lin er, hari ini ayah menyembuhkan luka menantuku hingga kehilangan banyak tenaga, oleh karena itu pedang hanya bisa melayang separuh jalan sebelum jatuh. Seharusnya pedang itu melayang sampai dua zhang di depan guru menantuku dan baru jatuh, untuk menakut-nakuti dia. Ai, ayahmu si biksu benar-benar kehilangan muka, memalukan sekali".

Ketika Yilin melihat wajah Yue Buqun yang tidak senang, ia berkata dengan pelan, "Ayah, jangan bicara lagi". Ia cepat-cepat melangkah ke depan dan mengambil sepasang sepatu biksu itu dari gagang pedang, lalu menarik pedang itu. Ia merasa bimbang, ia tahu bahwa Linghu Chong tidak ingin membunuh Tian Boguang, kalau ia mengembalikan pedang pada Yue Lingshan, dan ia lalu turun tangan terhadap Tian Boguang lagi, bukankah ini akan melukai hati Linghu Chong?

Ketika Yue Buqun mengibaskan lengan bajunya untuk melemparkan pedang itu, ia bermaksud untuk menikam jantung Tian Boguang, ia sama sekali tak menyangka bahwa Biksu Bujie dapat melempar kedua sepatu biksu itu dengan begitu kuat dan lihai. Biksu ini suka berteriak-teriak, dipanggil ayah oleh si biksuni kecil, menyebut Linghu Chong sebagai menantunya dan meracau tak keruan, jelas bahwa ia adalah seorang biksu sinting, namun ilmu silatnya begitu tinggi. Ia juga berkata bahwa barusan ini ia telah menyembuhkan luka Linghu Chong dengan menghabiskan banyak tenaga, kalau tidak bagaimana ia bisa begitu lihai? Ketika mengibaskan lengan bajunya tadi ia tidak menggunakan Ilmu Awan Lembayung, kalau tidak ia tentunya belum tentu kalah oleh biksu itu. Namun bagi seorang jago ternama, sekali serangannya tak berhasil, bagaimana ia bisa mencoba sekali lagi? Ia menjura dan berkata, "Aku sungguh kagum, aku sungguh kagum. Biksu yang mulia melindungi penjahat ini, maka hari ini aku tak bisa turun tangan. Apa maksud biksu yang mulia?"

Ketika Yilin mendengarnya berkata bahwa hari ini ia tak bisa membunuh Tian Boguang, ia segera membawa pedang itu dengan kedua tangannya, melangkah ke sisi Yue Lingshan, menyoja dan berkata, "Kakak, kau......" Yue Lingshan mendengus, ia mengenggam gagang pedang itu, tanpa memandangnya, "Sret!", dengan mulus pedang itupun masuk kembali ke dalam sarungnya. Gerakannya sangat rapi dan sebat.

Biksu Bujie tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Nona yang baik, gerakanmu ini sangat bagus". Ia berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, "Menantu cilik, mari pergi. Adik seperguruanmu sangat cantik, kalau kau berada bersamanya, aku jadi khawatir".

Linghu Chong berkata, "Biksu yang mulia suka bercanda, hanya saja perkataan semacam ini akan mencoreng nama baik Perguruan Huashan dan Hengshan, mohon jangan membicarakannya lagi". Bujie berkata dengan heran, "Kenapa? Setelah aku dengan susah payah mencarimu dan menyelamatkan nyawamu, kau masih tak mau menikahi putriku?" Linghu Chong berkata dengan tegas, "Biksu yang mulia, budi baikmu menyelamatkan nyawaku, Linghu Chong tak akan berani melupakannya seumur hidupku. Peraturan Perguruan Hengshan Adik Yilin sangat ketat, kalau biksu yang mulia terus mengulangi lelucon yang konyol semacam ini, akan tidak enak kedengarannya bagi Biksuni Dingxian dan Dingjing". Bujie menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung, ia berkata, "Lin er, kau......kau......sebenarnya hubunganmu dengan menantuku ini bagaimana? Hal ini......hal ini tak jelas ujung pangkalnya".

Yilin menutupi wajahnya dengan kedua tangannya seraya berseru, "Ayah, jangan bicara lagi, jangan bicara lagi! Dia adalah dia, aku adalah aku, apa......apa......apa hubungannya?" Ia tersedu sedan dan menangis, lalu cepat-cepat berlari menuruni gunung.

Biksu Bujie makin bingung, setelah beberapa saat, ia berkata, "Sungguh aneh, sungguh aneh! Ketika ia tak bisa menemuinya, ia mati-matian berusaha menemuinya. Namun ketika ia bertemu dengannya, ia malah tak mau menemuinya. Benar-benar mirip dengan ibunya. Hati seorang biksuni kecil memang sukar untuk ditebak". Ketika melihat putrinya lari makin jauh, ia segera menyusulnya.

Tian Boguang bangkit dengan susah payah dan berkata pada Linghu Chong, "Gunung gemunung biru tak berubah, sungai hijau terus mengalir!" Ia berbalik dan menuruni gunung dengan terhuyung-huyung.

* * *

Yue Buqun menunggu sampai Tian Boguang sudah pergi jauh, baru berbicara, "Chong er, kau menjunjung tinggi kesetiaan terhadap penjahat itu, kau lebih suka menusuk dirimu sendiri dengan pedang daripada membunuhnya". Rasa malu nampak di wajah Linghu Chong, ia tahu bahwa pandangan sang guru sangat tajam, perbuatannnya yang dibuat-buat barusan ini tak terlewat dari perhatiannya. Sambil menunduk ia berkata, "Guru, walaupun kelakuan orang ini sangat tak pantas, namun pertama, ia sudah berjanji akan berubah menjadi baik, kedua, ia sudah beberapa kali membiarkan murid tetap hidup, selalu memberi ampun dan tidak membunuhku". Yue Buqun tertawa sinis, "Terhadap serigala semacam ini, bagaimana kau bisa berbicara tentang kesetiaan dan keadilan? Seumur hidupmu kau akan menanggung akibatnya".

Ia selalu menyayangi murid tertuanya ini, melihat ia masih hidup walaupun terluka parah, hatinya sudah merasa amat girang. Mengenai kejadian baru-baru ini ketika ia pura-pura terjatuh dan melukai kakinya sendiri, Yue Buqun jelas tahu bahwa ia berbohong, namun ia tahu persis bahwa orang ini sudah banyak akal sejak kecil, maka ia tak menyelidikinya lebih lanjut. Lagipula perkataan yang diapakai Linghu Chong untuk menghadapi Biksu Bujie sudah tepat, sesuai dengan apa yang diharapkannya, maka kasus Tian Boguang dikesampingkannya untuk sementara waktu. Yue Buqun mengangsurkan tangan sambil berbicara, "Dimana kitab itu?"

Ketika Linghu Chong melihat guru dan adik seperguruannya kembali, ia tahu bahwa masalah pencurian kitab itu telah terbongkar dan sang guru pulang untuk mencarinya, hal itu memang sesuatu yang diharapkannya, maka ia berkata, "Di tempat adik keenam.

Demi menyelamatkan nyawa murid, adik kecil mengambilnya, ia bermaksud baik, mohon guru jangan menyalahkannya. Tanpa diperintah guru, walaupun murid punya nyali sebesar langit, murid sama sekali tak berani menyentuh kitab rahasia, apalagi membaca ilmu sakti yang tertulis dalam kitab rahasia itu".

Air muka Yue Buqun langsung menjadi tenang, sambil tersenyum ia berkata, "Ternyata begitu. Aku bukannya tak mau mengajarkannya padamu, tapi perguruan kita sedang menghadapi masalah besar, keadaan mendesak, aku tak punya waktu untuk mengajarimu dengan seksama, tapi kalau aku membiarkanmu mempelajarinya sendiri, aku khawatir kau akan tersesat dan membawa bencana bagi dirimu sendiri". Ia berhenti sejenak, lalu meneruskan, "Biksu Bujie itu gila, tapi tenaga dalamnya benar-benar luar biasa, apa dia berhasil memunahkan keenam tenaga sesat dalam tubuhmu itu? Sekarang bagaimana perasaanmu?" Linghu Chong berkata, "Perasaan tak enak dalam tubuh murid sudah hampir hilang, berbagai sakit panas dingin juga sudah hilang, tapi sekujur tubuhku sama sekali tak bertenaga". Yue Buqun berkata, "Kau baru mulai sembuh dari luka parah, memang wajar kalau kau tak bertenaga. Kita harus berusaha membalas budi baik Biksu Bujie yang telah menyelamatkan nyawamu". Linghu Chong menjawab, "Ya".

Sejak kembali ke Huashan, Yue Buqun selalu was-was akan bertemu dengan Enam Dewa Lembah Persik, saat ini jejak mereka tak terlihat, maka hatinya merasa agak tenang, namun ia masih segan berlama-lama tinggal disitu, katanya, “Ayo kita temui Dayou, lalu pergi ke Songshan bersama-sama. Chong er, kau mampu menempuh perjalanan yang jauh dan sukar atau tidak?” Linghu Chong amat girang, berkali-kali ia berkata, “Bisa, bisa, bisa!”

Ketiga orang itu tiba diluar pondok kecil di samping Aula Zhengqi. Yue Lingshan melangkah dengan cepat di depan, ia membuka pintu dan masuk ke dalam, “Ah!”, mendadak terdengar seruan melengking, nadanya penuh rasa terkejut dan takut.

Yue Buqun dan Linghu Chong bergegas menerjang masuk dengan serentak, ketika mereka melihat ke dalam, mereka melihat Lu Dayou terbaring kaku di lantai tanpa bergerak-gerak. Linghu Chong tersenyum, “Adik jangan kaget, dia telah kutotok”. Yue Lingshan berkata, “Kau buat aku takut setengah mati, untuk apa kau menotok Monyet Keenam?” Linghu Chong berkata, “Ia bermaksud baik, ketika ia melihat aku tak mau membaca kitab rahasia, ia membacakan isi kitab rahasia itu untukku, aku tak bisa menghentikannya, maka aku terpaksa menotoknya, kenapa dia…..”

“Ah!”, tiba-tiba Yue Buqun berseru kaget, ia membungkuk untuk merasakan napas Lu Dayou, dan juga merasakan denyut nadinya, dengan terkejut ia berkata, “Bagaimana dia……bagaimana dia bisa mati? Chong er, kau menotok titik yang mana?”

Linghu Chong terkejut setengah mati ketika ia mendengar bahwa Lu Dayou telah tewas, kali ini ia begitu takut hingga sukmanya seakan terbang ke angkasa, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia hampir pingsan, dengan gemetar ia berkata, “Aku……aku……” Ia mengangsurkan tangannya dan meraba wajah Lu Dayou. Wajahnya terasa sedingin es, rupanya ia telah lama meninggal, Linghu Chong tak kuasa menahan tangis dan berseru, “Adik……adik keenam, apa kau benar-benar sudah mati?” Yue Buqun berkata, “Dimana kitabnya?” Dengan pandangan mata yang kabur karena air mata, Linghu Chong mencarinya, namun ia tak melihat Kitab Rahasia Awan Lembayung itu, ia ikut bertanya, “Dimana kitabnya?” Ia segera meraba-raba dada jasad Lu Dayou, namun sama sekali tak menemukan jejak kitab itu, ia berkata, “Ketika murid menotok dia, murid ingat melihat kitab itu dalam keadaan terbuka tergeletak di atas meja, bagaimana bisa tak ada?"

Yue Lingshan mencari-cari di atas kang, di samping meja, di sudut pintu dan di bawah kursi, namun mana ada jejak Kitab Rahasia Awan Lembayung itu? Kitab ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan yang paling wahid itu mendadak hilang, bagaimana Yue Buqun bisa merasa tak khawatir? Ia meneliti jasad Lu Dayou dengan seksama, namun ia sama sekali tak dapat menemukan bekas luka yang menyebabkan kematiannya, lalu ia memeriksa di sekitar pondok kecil itu dan diatas atap, namun juga sama sekali tak ada jejak orang luar yang datang, pikirnya, “Karena tidak ada orang luar yang datang, tentunya bukan Enam Dewa Lembah Persik atau Biksu Bujie yang mengambilnya”. Dengan bengis ia bertanya, “Chong er, sebenarnya titik mana yang kau totok?”

Linghu Chong berlutut di hadapan sang guru seraya berkata, “Murid khawatir karena terluka parah, jari-jari murid tidak bertenaga, maka murid menotok titik penting yaitu titik Shanzhong, aku tak menyangka……tak menyangka bahwa aku kehilangan kendali dan membunuh Adik Keenam”. Ia mengangsurkan tangannya, menghunus pedang yang tergantung di pinggang Lu Dayou, lalu mengayunkannya kearah lehernya sendiri.

Yue Buqun menjulurkan jarinya dan menyentil, pedang pun melayang jauh-jauh, ia berkata, “Kalau kau mau mati, kau harus menemukan Kitab Rahasia Awan Lembayung itu dahulu. Dimana sebenarnya kau menyembunyikan kitab rahasia itu?”

Hati Linghu Chong terasa sedingin es, pikirnya, “Tak nyana guru mencurigaiku menyembunyikan Kitab Rahasia Awan Lembayung”. Setelah tertegun beberapa saat, ia berkata, “Guru, kitab rahasia itu tentunya dicuri orang, bagaimanapun juga murid akan mengambilnya kembali untuk  dikembalikan kepada guru, satu lembarpun tak akan tertinggal”.

Pikiran Yue Buqun galau, ia berkata, “Kalau kitab itu disalin atau dihafalkan orang, walaupun kitab itu dikembalikan tanpa kurang selembarpun, ilmu silat tertinggi perguruan kita sejak saat itu tidak hanya diketahui oleh kita sendiri”. Ia berhenti sejenak, lalu berkata dengan lembut, “Chong er, kalau kau yang mengambilnya, berikanlah padaku, guru tak akan menyalahkanmu”.

Linghu Chong menatap jasad Lu Dayou dengan nanar, lalu berkata dengan lantang, “Guru, murid hari ini bersumpah dengan sepenuh hati, bahwa kalau di dunia ini ada orang yang mencuri lihat Kitab Rahasia Awan Lembayung, aku akan membunuhnya, kalau ada sepuluh orang, murid akan membunuh kesepuluh orang itu, kalau ada seratus orang, murid akan membunuh keseratus orang itu. Kalau guru masih curiga kalau murid yang mencurinya, mohon guru memukul aku sampai mati”.

Yue Buqun menggeleng, “Bangkitlah! Karena kau sudah berkata bahwa kau tidak melakukannya, tentunya bukan kau yang melakukannya. Kau dan Dayou selalu bersahabat, kau tak mungkin sengaja membunuhnya. Namun siapa sebenarnya yang mencuri kitab rahasia itu?” Ia memandang ke luar jendela, raut wajahnya nampak penuh pikiran.

Air mata Yue Lingshan menitik, ia berkata, “Ayah, semua ini kesalahan putrimu, aku……aku sok pintar dan mencuri kitab rahasia ayah, aku berharap dapat menyembuhkan luka dalam kakak pertama, ternyata kakak pertama tak mau membacanya, dan kakak keenam malah jadi kehilangan nyawanya. Bagaimanapun juga, putrimu……putrimu akan mencari kitab rahasia itu sampai ketemu”.

* * *

Yue Buqun berkata, "Kita cari dulu di segala penjuru". Kali ini ketiga orang itu mencari di seluruh sudut pondok kecil itu dengan teliti, walaupun mereka tak menemukan kitab rahasia itu, tapi mereka juga sama sekali tak menemukan petunjuk yang mencurigakan. Yue Buqun berkata kepada putrinya, "Hal ini tidak boleh diketahui umum, aku akan memberitahu ibumu, selain itu kau sama sekali tak boleh berbicara tentangnya pada siapapun. Kita kuburkan Dayou dulu, lalu langsung turun gunung".

Ketika Linghu Chong memandang wajah jasad Lu Dayou, ia tak kuasa menahan munculnya rasa duka dalam hatinya, "Diantara para saudara seperguruan, adik keenam adalah sahabatku yang paling baik, ternyata aku kehilangan kendali dan menotoknya hingga mati. Kejadian ini sama sekali tak terpikir olehku, kalaupun aku sama sekali tak terluka, totokan semacam itu tak akan membunuhnya. Mungkinkah karena di dalam tubuhku ada aliran tenaga sesat Enam Dewa Lembah Persik, kekuatan jariku jadi luar biasa? Kalaupun begitu, bagaimana Kitab Rahasia Awan Lembayung itu bisa lenyap tanpa jejak? Ada sesuatu yang aneh dalam masalah ini yang tak dapat kutebak. Guru mencurigaiku, aku membela diripun tak ada gunanya, bagaimanapun juga aku harus menyelidiki masalah ini sampai semuanya menjadi terang benderang, saat itu aku baru bisa mengorok leher sendiri untuk minta maaf pada adik keenam". Ia menghapus air matanya, mengambil beliung, menggali lubang dan menguburkan jasad Lu Dayou. Ia kelelahan sehingga keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya, napasnya terengah-engah, hanya dengan bantuan Yue Lingshan ia dapat menyelesaikan makam Lu Dayou.

Ketika ketiga orang itu tiba di Kuil Kuda Putih, Nyonya Yue tak kuasa menahan rasa girangnya ketika melihat Linghu Chong lolos dari maut dan ikut datang dengan yang lain-lain. Diam-diam Yue Buqun memberitahunya tentang bagaimana Lu Dayou meninggal dan Kitab Rahasia Awan Lembayung menghilang. Nyonya Yue menitikkan air mata karena sedih. Walaupun hilangnya Kitab Rahasia Awan Lembayung adalah masalah besar, namun ia berpikir bahwa karena suaminya sudah mempelajarinya, apakah mereka masih memiliki kitabnya atau tidak, tidaklah penting. Namun Lu Dayou sudah lama masuk perguruan, ia selalu ramah pada siapa saja, namun dalam sehari ia telah mati secara mengenaskan, hal ini sangat melukai hatinya. Para murid lain tak tahu sebabnya, namun ketika mereka melihat wajah suram guru, ibu guru, kakak pertama dan adik kecil, mereka tak berani mengobrol dan bersenda gurau.

Yue Buqun segera menyuruh Lu Dayou untuk menyewa dua buah kereta besar, yang satu untuk ditumpangi Nyonya Yue dan Yue Lingshan, sedangkan yang satu lagi untuk Linghu Chong agar ia dapat berbaring di dalamnya untuk menyembuhkan lukanya. Mereka berangkat ke arah timur menuju Songhan.

Pada suatu hari mereka tiba di Kota Weilin, hari sudah menjelang petang, sedangkan di kota tersebut hanya ada satu penginapan, dan sudah ditempati oleh tamu yang tidak sedikit, dalam rombongan Huashan terdapat kaum wanita, tak pantas bagi mereka untuk menginap disana. Yue Buqun berkata, "Kita lanjutkan perjalanan, setelah sampai di kota berikut, kita akan mencari penginapan lagi”.

Ternyata setelah baru berjalan tiga li jauhnya, as roda kereta besar yang ditumpangi Nyonya Yue patah hingga kereta itu tak bisa berjalan lagi. Nyonya Yue dan Yue Lingshan turun dari kereta dan berjalan kaki.

Shi Daizi menunjuk kearah timur laut dan berkata, “Guru, di tengah hutan itu ada sebuah kuil, bagaimana kalau kita bermalam disana?” Nyonya Yue berkata, “Tempat itu kurang leluasa bagi anggota perempuan kita”. Yue Buqun berkata, “Daizi kau pergilah kesana untuk bertanya, kalau biksu kuil itu tidak mengizinkan, biarkan saja, tak usah kau paksa”. Daizi mengiyakan lalu berlari bagai terbang ke kuil itu. Tak lama kemudian ia telah berlari kembali, dari jauh ia berseru, “Guru, kuil itu sudah rusak, tak ada biksunya”. Semua orang merasa gembira. Taojun, Ying Bailuo, Shuqi dan para murid lain yang masih muda segera berlari kesana.

Saat Yue Buqun, Nyonya Yue dan lain-lain sampai di luar kuil, mereka melihat bahwa awan hitam telah bergumpal-gumpal di sebelah timur, dalam sekejap langitpun menjadi gelap. Nyonya Yue berkata, "Untung disini ada sebuah kuil rusak, kalau tidak kita akan tertimpa hujan badai di jalan”. Mereka memasuki aula utama dan melihat bahwa di atas altar terdapat patung dewa berwajah hijau, tubuhnya ditutupi dedaunan, tangannya mengengam rumput kering, dia adalah dewa raja obat Shennong[1] yang pernah mencicipi seratus macam tumbuhan untuk membuat obat.

Yue Buqun memimpin para murid untuk memberi hormat pada patung dewa itu, lalu mereka mempersiapkan alas tidur, cahaya petir berkelebat, mendadak setengah langit dipenuhi gelegar guntur, menyusul tetesan hujan sebesar biji kedelai berderai turun dan berdenting-denting di atas genting.

Atap kuil rusak itu bocor hingga alas tidur tak bisa digelar, mereka masing-masing mencari tempat yang kering untuk duduk. Liang Fa, Gao Genming dan tiga orang murid perempuan menanak nasi. Nyonya Yue berkata, “Tahun ini hujan musim semi datang terlalu pagi, jangan-jangan panenan tahun ini tidak baik”.

Linghu Chong duduk di sudut aula sambil bersandar pada gantungan genta, ia memandangi air hujan yang mengalir dari teritisan atap seperti air terjun, ia berpikir, “Kalau adik keenam masih hidup, kita semua akan mengobrol dan bergurau, betapa senangnya”. Ia tak kuasa menahan rasa duka yang muncul dalam hatinya.

Di sepanjang jalan ia sangat jarang berbicara dengan Yue Lingshan, kadang-kadang ia melihatnya bersama dengan Lin Pingzhi, saat itu ia lebih menyingkir jauh-jauh lagi. Dalam hati ia terus menerus berpikir, “Adik kecil mengambil resiko dimaki guru demi mencuri Kitab Rahasia Awan Lembayung untuk diberikan padaku guna menyembuhkan luka, hal ini menunjukkan bahwa perasaannya terhadapku sungguh mendalam. Aku hanya berharap agar seumur hidupnya ia bahagia. Aku sudah memutuskan bahwa setelah mendapatkan kembali kitab rahasia, aku akan mengorok leher untuk minta maaf pada adik keenam, maka untuk apa aku mendekatinya lagi? Ia dan Adik Lin memang pasangan yang serasi. Aku harap ia benar-benar bisa melupakanku, hingga setelah aku mati, ia tak akan menitikkan setetes air matapun”. Walaupun dalam hati ia berpikir demikian, akan tetapi setiap kali ia melihat dia dan Lin Pingzhi berjalan berendeng serta bercakap-cakap dengan riang, dalam hatinya ia selalu merasakan rasa sedih yang sukar ditahan.

Saat itu hujan turun dengan derasnya diluar kuil dewa obat itu, ia melihat Yue Lingshan keluar masuk aula, membantu memasak air untuk menanak nasi, setiap kali pandangan matanya bertemu dengan Lin Pingzhi, senyum kecil selalu terkembang di wajah kedua orang itu. Mereka berdua mengira bahwa orang lain tak memperhatikan kejadian itu, namun setiap senyuman tak ada yang luput dari pandangan Linghu Chong. Setiap kali mereka saling tersenyum, hati Linghu Chong terasa pedih. Ia ingin memalingkan muka dan tak melihat mereka lagi, namun setiap kali Yue Lingshan lewat, matanya tak bisa tidak memandang ke arahnya.

Setelah makan malam, semua orang pergi tidur. Hujan terkadang deras, terkadang rintik-rintik, namun tak pernah berhenti. Pikiran Linghu Chong galau dan hatinya terluka, saat itu ia susah tidur. Terdengar suara napas yang naik turun di aula itu, semua orang telah tertidur pulas.

Mendadak dari arah tenggara terdengar suara derap kaki kuda, lebih dari sepuluh orang penunggang kuda mencongklang di jalan raya. Linghu Chong terkejut, “Di tengah malam yang gelap gulita, kenapa ada orang yang bepergian dengan cepat menembus hujan? Apa mereka mengejar kami?” Ia duduk dan mendengar Yue Buqun berseru dengan suara rendah, “Jangan ada yang bersuara”. Tak lama kemudian, belasan penunggang kuda itu telah mencongklang sampai diluar kuil. Saat itu semua orang Perguruan Huashan telah bangun dari tidur, setiap orang mengenggam gagang pedang masing-masing untuk mempertahankan diri dari musuh. Ketika mereka mendengar suara derap kaki kuda melewati kuil lalu sedikit demi sedikit makin menjauh, setiap orang menghembuskan napas lega dan mulai berbaring lagi, namun suara derap kaki kuda mucul kembali. Belasan penunggang kuda itu tiba di luar kuil, lalu serentak berhenti.

Terdengar sebuah suara yang jernih dan lantang berseru, “Apakah Tuan Yue dari Perguruan Huashan ada di dalam kuil? Kami ingin bicara dengannya”.

Linghu Chong adalah murid tertua perguruan, biasanya ia selalu mewakili perguruan untuk menghadapi orang luar, maka ia segera melangkah ke gerbang kuil dan membukanya seraya berkata, “Di tengah malam buta, adakah teman seperjalanan yang datang berkunjung?” Ia memandang keluar dan melihat bahwa diluar kuil terdapat lima belas penunggang kuda yang berbaris rapi, diantaranya ada enam atau tujuh orang yang membawa lentera kongming[2] di tangan mereka, dengan serentak mereka menyorotkan sinar lentera mereka ke wajah Linghu Chong.

Karena di tengah kegelapan disorot oleh enam atau tujuh lentera sekaligus, mau tak mau matanya berkunang-kunang karena silau, cara ini sungguh keterlaluan, hanya dari satu langkah ini, dapat diketahui bahwa orang-orang yang datang itu nampaknya penuh rasa permusuhan. Linghu Chong membuka matanya lebar-lebar dan melihat bahwa setiap orang memakai kedok hitam, hanya sepasang mata mereka yang terlihat. Hatinya terguncang, “Orang-orang ini kalau tidak kami kenal, tentunya takut kami akan mengingat wajah mereka”. Terdengar orang yang paling kiri berkata, “Mohon Tuan Yue, Yue Buqun, keluar”.

Linghu Chong berkata, “Siapa tuan? Mohon beritahukan marga dan nama tuan yang mulia, agar dapat kulaporkan kepada guru perguruan kami”. Orang itu berkata, “Kau tak usah banyak bertanya kami siapa. Beritahukanlah pada gurumu, kabarnya Perguruan Huashan telah mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan milik Biro Pengawalan Fuwei, kami ingin pinjam untuk dilihat-lihat”. Linghu Chong mulai naik pitam, katanya, “Perguruan Huashan sudah punya ilmu silat sendiri, untuk apa kitab pedang milik orang lain? Jangankan kalau kami belum mendapatkannya, kalaupun kami sudah mendapatkannya, kalau tuan memintanya secara paksa seperti ini, bukankah tuan memandang rendah Perguruan Huashan?”

Orang itu tertawa terbahak-bahak, keempat belas orang lainnya juga ikut tertawa, suara tawa itu mengelegar sampai jauh dari tengah belantara, suaranya nyaring dan jelas,  jelas bahwa tenaga dalam mereka tidak lemah. Diam-diam Linghu Chong merasa terkejut, “Malam ini kita lagi-lagi bertemu dengan lawan yang tangguh. Kelima belas orang ini sepertinya jagoan semua, entah darimana mereka berasal”.

Di tengah suara tawa orang-orang itu, seseorang berkata dengan nyaring, “Kabarnya bocah marga Lin dari Biro Pengawalan Fuwei itu sudah masuk Perguruan Huashan. Kami dengar bahwa ilmu pedang si ‘Pedang Budiman’ Tuan Yue luar biasa, tak ada tandingannya di dunia persilatan, tentunya Kitab Pedang Penakluk Kejahatan itu tak ada artinya baginya. Kami cuma keroco tak bernama[3] di dunia persilatan yang memberanikan diri untuk mohon Tuan Yue meminjamkannya kepada kami”. Keempat belas orang itu tak henti-hentinya tertawa, namun suara orang itu tetap jelas dan nyaring, tidak tertelan oleh keributan di sekelilingnya, hal ini menunjukkan bahwa tenaga dalam orang ini lebih tinggi dari orang-orang lainnya.

Linghu Chong berkata, “Sebenarnya tuan siapa? Kau……” Beberapa kata itu bahkan dirinya sendiripun tak mampu mendengarnya, ia terkejut dan segera menutup mulutnya, pikirnya, “Apakah tenaga dalam yang telah kulatih selama lebih dari sepuluh tahun sama sekali tak ada sisanya sedikitpun?” Ia sendiri setelah turun dari Huashan, sudah beberapa kali mencoba untuk melatih tenaga dalamnya sesuai dengan ajaran perguruannya, namun begitu ia mengerahkan tenaga, segala hawa murni dalam tubuhnya lantas bergolak tak terkendali. Semakin ia berusaha untuk mengendalikannya, napasnya semakin sesak hingga sukar ditahan. Kalau ia tak menghentikan latihannya, ia bisa langsung pingsan. Ia sudah berlatih beberapa kali, dan setiap kali selalu berakhir seperti itu. Ia bermaksud untuk minta petunjuk sang guru, tapi Yue Buqun hanya memandangnya dengan dingin dan sama sekali tak menjawab. Saat itu Linghu Chong bepikir, “Guru tentunya mencurigaiku telah mencuri Kitab Rahasia Awan Lembayung dan diam-diam mempelajarinya. Tak ada gunanya membela diri. Toh hidupku tak akan lama lagi, untuk apa berlatih ilmu tenaga dalam lagi?” Sejak saat itu ia tak lagi berlatih. Tak nyana bahwa ketika ia mengerahkan tenaga untuk berbicara, suaranya terkubur oleh suara tawa lawan, suaranya sendiri sedikitpun tak kedengaran.

Terdengar suara Yue Buqun yang nyaring berkumandang dari dalam kuil, “Kalian semua adalah tokoh dunia persilatan yang punya nama, kenapa harus merendahkan diri sebagai keroco tak bernama? Si Yue ini selamanya tak pernah berbohong. Kitab Pedang Penakluk Kejahatan tidak ada pada kami”. Saat berbicara ia mengerahkan Ilmu Awan Lembayung. Walaupun ia berbicara di tengah-tengah suara tawa belasan orang itu, namun semua orang baik di dalam maupun diluar kuil dapat mendengarnya dengan jelas. Ia berbicara dengan santai, tak ada bedanya dengan percakapan biasa, dibandingkan dengan cara bicara orang tadi yang berteriak keras-keras, kedengarannya jauh lebih alami.

Terdengar seseorang lain berbicara dengan kasar, “Katamu kau tidak punya kitab itu, lalu kemana perginya kitab itu?” Yue Buqun berkata, “Atas dasar apa tuan bertanya?” Orang itu berkata, “Semua urusan di kolong langit ini adalah urusan semua orang”. Yue Buqun tertawa dingin dan sama sekali tak menjawab. Orang itu berkata dengan lantang, “Marga Yue, kau mau menyerahkannya atau tidak? Jangan sampai kau sekarang menolak bersulang, lalu nanti terpaksa minum arak dengan penuh penyesalan. Kalau kau tak mau menyerahkannya, kami terpaksa bertindak kasar dan akan masuk untuk mencarinya sendiri".

Nyonya Yue berbisik, "Murid-murid perempuan berdiri bersama-sama, punggung menempel punggung, para murid lelaki, hunus pedang!" "Sret, sret, sret, sret!" Semua murid menghunus pedang mereka.

Linghu Chong berdiri di ambang pintu, tangannya menekan gagang pedangnya, ia belum menghunus pedangnya, namun dua orang telah melompat turun dari kuda dan menerjang ke arahnya. Linghu Chong mengegos, dan baru saja hendak menghunus pedangnya ketika terdengar seseorang berkata dengan lantang, "Pergi sana!" Orang itu mengangkat kakinya dan menendangnya hingga jatuh terguling-guling sampai jauh.

Linghu Chong melayang beberapa zhang jauhnya dan terjatuh di tengah semak-semak. Pikirannya kacau, "Tenaga yang digunakannya untuk menendang tidak terlalu lihai, bagaimana aku bisa begitu ringan dan sama sekali tak bertenaga?" Ia berusaha untuk duduk, namun mendadak darah panas bergolak dalam dada dan perutnya, tujuh atau delapan macam aliran tenaga berputar-putar dalam dirinya dan saling bertumbukan satu sama lain, hingga mengerakkan satu jaripun ia tak mampu.

Linghu Chong sangat terkejut, ia membuka mulut hendak berteriak, namun tiada suara sedikitpun yang keluar. Keadaan ini seperti suatu mimpi buruk, otaknya sangat jernih, namun ia sama sekali tak dapat bergerak. Telinganya mendengar suara senjata beradu tiada henti, guru, ibu guru, adik kedua dan yang lain-lain telah menerjang keluar kuil dan bertempur bersama melawan tujuh atau delapan orang berkedok. Selain itu ada juga beberapa orang berkedok yang menyerbu masuk ke dalam kuil, suara teriakan mereka terdengar keluar dari gerbang kuil, bercampur dengan beberapa jeritan perempuan.

Saat itu hujan menjadi deras, beberapa lentera kongming telah terlempar ke tanah dan mengeluarkan sinar kuning temaram yang terpantul di sinar pedang yang berkilauan, bayangan manusia berkelebat dengan kacau.

Tak lama kemudian, terdengar suara jeritan memilukan seorang wanita dari dalam kuil, Linghu Chong makin cemas, musuh semua lelaki, jeritan yang memilukan itu pasti berasal dari para adik seperguruan perempuan yang terluka. Ia melihat sang guru mengayunkan pedang, seorang diri melawan empat orang musuh. Ibu guru bertarung melawan dua orang musuh. Ia tahu ilmu pedang guru dan ibu guru sangat cemerlang, walaupun bertarung dengan musuh yang jumlahnya lebih banyak, mereka belum tentu kalah. Adik Kedua Lao Denuo berteriak keras-keras, ia juga seorang diri melawan dua orang musuh, kedua lawannya sama-sama menggunakan golok, dari suara senjata beradu yang terdengar, jelas bahwa kekuatan lengan mereka sangat kuat, setelah beberapa saat, Lao Denuo akan sukar untuk bertahan.

Ia melihat tiga orang dari perguruannya bertarung melawan delapan orang musuh, keadaan mereka sungguh berbahaya, jangan-jangan keadaan di dalam kuil lebih berbahaya lagi. Walaupun para adik seperguruan banyak jumlahnya, namun tak ada yang berilmu tinggi. Telinganya mendengar jeritan memilukan yang susul menyusul, kemungkinan besar sudah ada beberapa orang yang tewas. Semakin ia khawatir, semakin sulit baginya untuk mengumpulkan tenaga, diam-diam ia berulang-ulang berdoa, "Tuhan, berkatilah dan lindungilah aku supaya aku dapat memperoleh kembali kekuatanku dalam setengah shichenini. Linghu Chong harus dapat masuk ke dalam kuil agar bisa melindungi adik kecil. Kalaupun tubuhku harus dicabik-cabik oleh musuh menjadi seribu potong atau disiksa dengan siksaan yang kejam tanpa banding, akupun rela dengan sepenuh hati".

Ia berusaha mati-matian untuk sekali lagi mengerahkan tenaga dalamnya, mendadak enam aliran tenaga dalam serentak menerjang ke arah dadanya, menyusul dua buah aliran tenaga menerjang dari atas dan menekan keenam aliran tenaga itu. Dalam sekejap tubuhnya terasa kosong melompong, seakan seluruh organ dalam tubuhnya lenyap entah kemana, kulit, otot dan darahnya pun seakan hilang tanpa bekas. Seketika itu juga hatinya menjadi sedingin es, dalam hati ia berseru, "Celaka, celaka! Ternyata begitu kejadiannya".

Saat itu ia baru sadar bahwa ketika Enam Dewa Lembah Persik berlomba-lomba untuk memasukkan hawa murni ke dalam tubuhnya guna menyembuhkan lukanya, keenam aliran tenaga itu masuk melalui pembuluh yang berbeda-beda, maka lukanya tak cuma tidak sembuh, tapi keenam tenaga itu juga masih tertinggal dalam tubuhnya, menumpuk dan sukar untuk dikeluarkan. Lalu ia bertemu dengan Biksu Bujie yang tenaga dalamnya tinggi dan sifatnya berangasan, dan memaksakan memasukkan dua aliran hawa murni lain untuk menekan tenaga dalam Enam Dewa Lembah Persik. Saat itu, luka dalamnya seakan sembuh, akan tetapi di dalam tubuhnya malah ada dua aliran tenaga baru, sehingga aliran-aliran tenaga di tubuhnya saling melawan. Akibatnya tenaga dalam yang telah dilatihnya sebelumnya hilang tanpa sisa sedikitpun, sehingga ia berubah menjadi seorang biasa yang tak pernah berlatih ilmu tenaga dalam. Hatinya sedih dan ia berpikir, "Malang sekali nasibku ini, sama seperti kehilangan seluruh ilmu silatku. Hari ini perguruanku mengalami kesulitan, namun aku sama sekali tak berdaya. Linghu Chong adalah murid tertua Perguruan Huashan, namun aku malah berpangku tangan tergeletak di tanah dan membiarkan guru dan ibu guru dianiaya, para adik seperguruan ditekan orang, benar-benar sia-sia aku jadi manusia. Baiklah, aku akan mati bersama adik kecil".

Ia tahu bahwa begitu ia mengerahkan tenaga dalam, kedelapan aliran tenaga dalam tubuhnya akan bergolak dan sekujur tubuhnya akan sama sekali tak dapat bergerak, maka ia segera menekan chi nya ke daerah dantian dan sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam, benar saja ia lantas dapat menggerakkan keempat anggota tubuhnya dan perlahan-lahan berdiri, selangkah demi selangkah ia memasuki kuil.

Begitu masuk ke gerbang kuil, bau darah segar menusuk hidungnya, di atas altar terdapat dua buah lentera kongming, ia melihat Liang Fa, Shi Daizi dan Gao Genming dan adik-adik seperguruan lain dengan bersimbah darah sedang bertarung dengan sengit melawan musuh. Beberapa adik seperguruan, lelaki dan perempuan, tergeletak di lantai, entah sudah mati atau masih hidup. Yue Lingshan dan Lin Pingzhi sedang bertarung dengan seorang musuh berkedok, pundak mereka berendeng.

Rambut panjang Yue Lingshan tergerai, tangan kiri Lin Pingzhi mengenggam pedang, jelas bahwa tangan kanannya telah dilukai musuh. Tangan musuh berkedok itu mengenggam sebatang tombak pendek, ia memainkan tombaknya dengan lincah, Lin Pingzhi harus melancarkan jurus 'Cemara Hijau Menyambut Tamu' tiga kali berturut-turut untuk menangkis serangan lawan, namun ilmu pedang yang dipelajarinya terbatas. Terlihat musuh mengangkat tombaknya, rumbai merah yang tergantung di tombak itu melambai-lambai dan menutupi pandangan Lin Pingzhi. "Sret!", bahu kanan Lin Pingzhi tertusuk tombak. Yue Lingshan cepat-cepat menikam dua kali hingga memaksa musuh mundur selangkah, ia berseru, "Lin Kecil, cepat balut lukamu!" Lin Pingzhi berkata, "Tidak parah!" Ia menikam sekali, namun langkah kakinya sudah terhuyung-huyung. Orang berkedok itu tertawa panjang, lalu melintangkan tombaknya, "Wus!" Ia menusuk pinggang Yue Lingshan. Pedang terlepas dari tangan kanan Yue Lingshan dan ia meringkuk kesakitan.

Linghu Chong sangat terkejut, ia segera menerjang ke depan dan menikam sambil mengerahkan qi. Namun ujung pedang baru meluncur beberapa chi saja, tenaga dalam tubuhnya telah bergolak lagi, lengan kanannya langsung terkulai lemas. Orang berkedok itu melihat pedang datang, ia mengegos ke samping untuk menghindar, lalu ia menusuk dengan tombaknya, ternyata tusukan pedang hanya maju satu chi jauhnya, namun lengan musuh sudah terkulai jatuh. Orang berkedok itu agak bingung, tanpa berpikir panjang ia menyapukan kaki kirinya dan menendang Linghu Chong keluar dari pintu kuil.

"Bruk!" Linghu Chong terjatuh ke dalam genangan air di luar kuil. Hujan masih turun dengan derasnya, mulut, mata, hidung dan telinganya penuh lumpur, untuk sesaat ia tak mampu bergerak. Ia melihat bahwa Lao Denuo telah kena totok orang, kedua orang yang tadinya bertarung melawannya telah mengepung suami istri Yue Buqun. Tak berapa lama kemudian, dua orang musuh keluar dari dalam kuil sehingga Yue Buqun sekarang bertarung melawan tujuh orang seorang diri, sedangkan Nyonya Yue melawan dengan sekuat tenaga tiga orang musuh di belakangnya.

Terdengar Nyonya Yue dan seorang musuh serentak berteriak, mereka berdua sama-sama mundur karena kaki mereka terluka. Musuh itu mundur, sehingga lawan Nyonya Yue sekarang berkurang seorang, namun kakinya telah terkena bacokan golok yang parah, lukanya benar-benar tak ringan. Setelah beberapa jurus, bahunya terkena bacokan punggung golok musuh. Kedua orang berkedok itu tertawa terbahak-bahak, lalu menotok beberapa titik jalan darah di punggungnya.

Saat itu para murid yang berada di dalam kuil satu demi satu terluka, satu persatu dikalahkan musuh. Musuh yang datang menyerang jelas sudah punya rencana untuk menangkap para murid Perguruan Huashan, mereka hanya menotok namun tidak membunuh mereka.

Kelima belas orang itu mengepung Yue Buqun dari segala penjuru, kedelapan orang jago berdiri di delapan tempat yang berbeda dan menyerang Yue Buqun, tujuh orang sisanya memegang lentera kongming dan menyorotkan sinarnya ke mata Yue Buqun. Walaupun tenaga dalam ketua Perguruan Huashan sangat kuat, walaupun ilmu pedangnya hebat, delapan orang itu masing-masing juga seorang jagoan, lagipula ia juga disorot tujuh buah lentera yang membuatnya sulit untuk membuka matanya. Ia tahu bahwa hari ini Perguruan Huashan sudah kalah telak, mereka semua akan tewas di kuil dewa obat ini, namun ia masih terus mengayunkan pedang untuk membela perguruan. Ia punya banyak cadangan tenaga dalam dan ilmu pedangnya hebat, saat sinar lentera menyorot ke arahnya, ia mengarahkan pandangannya ke bawah, untuk beberapa waktu, para penyerang tak bisa menundukannya.

Seorang berkedok berseru keras-keras, "Yue Buqun, kau mau menyerah atau tidak?" Yue Buqun berkata, "Si Yue ini lebih baik mati daripada terhina, kalau mau bunuh, bunuh saja". Orang itu berkata, "Kalau kau tak mau menyerah, aku akan memotong lengan kanan istrimu!" Sambil berbicara ia mengangkat sebilah golok kepala setan yang badannya lebar namun matanya sangat tajam, dibawah sinar lentera kongming, mata golok itu mengeluarkan sinar biru yang samar-samar, mata golok itu bergerak ke arah bahu Nyonya Yue.

Yue Buqun agak bimbang, "Bagaimana aku bisa membiarkan lengan adik dipotong orang?" Namun ia segera berpikir, "Kalau aku melempar pedang dan menyerah, mereka akan tetap menganiaya dan menghina kami, bagaimana aku bisa membiarkan nama besar Perguruan Huashan yang telah terpelihara ratusan tahun hancur di tanganku?" Mendadak ia mengambil napas panjang, sinar ungu muncul di wajahnya, lalu ia menebas ke arah lelaki yang berada di sisi kirinya. Lelaki itu mengangkat golok untuk menangkis, namun ternyata bersamaan dengan tebasan pedang itu Yue Buqun mengerahkan Ilmu Awan Lembayungnya sehingga tebasan itu berkekuatan luar biasa. Tak nyana, golok terdorong ke belakang oleh pedang, golok dan pedang bersamaan membacok ke lengan kanan orang itu hingga tangannya tertebas menjadi dua potong. Darah segar berhamburan. Orang itu berteriak dengan keras, lalu rubuh ke tanah.

Setelah berhasil melancarkan jurus itu, ia menikam kaki kiri seorang musuh lain, orang itu memaki-maki, lalu mundur. Orang yang menempurnya telah berkurang dua orang, namun keadaan masih genting, tiba-tiba, "Wus!" Sebuah bandulan berantai mengenai punggungnya, ia menyerang tiga kali untuk memaksa musuh mundur, namun mau tak mau ia memuntahkan darah segar. Para musuhnya serentak bersorak, "Si tua Yue sudah terluka, buat dia kecapekan sampai mati!" Keenam orang yang menempurnya merasa yakin kemenangan sudah di tangan, mereka memperbesar lingkaran yang mengepungnya, sehingga ia tak punya kesempatan untuk menyerang mereka secara mendadak.

Diantara kelima belas musuh berkedok itu, tiga diantaranya telah dilukai oleh suami istri Yue Buqun, seorang yang lengannya tertebas terluka parah, sedangkan yang dua orang lagi terluka kakinya, luka mereka tidak parah. Mereka membawa lentera kongming sambil tak henti- hentinya mencaci Yue Buqun.

Yue Buqun tahu dari logat mereka bahwa mereka berasal dari berbagai tempat yang berbeda-beda, ilmu silat mereka bermacam-macam, jelas bahwa mereka tidak berasal dari satu perguruan, namun saat bertempur mereka dapat saling mengerti dengan baik, tentunya mereka bukan hanya baru saja bergabung, dari mana sebenarnya mereka berasal? Ia benar-benar tak dapat menebaknya, dan yang paling mengherankan, kelima belas orang ini semuanya jagoan, dirinya mempunyai pengetahuan yang luas tentang dunia persilatan, seharusnya ia dapat mengenali paling tidak beberapa orang dari ilmu silat mereka, namun ia sama sekali tak tahu siapa mereka. Ia yakin bahwa orang-orang ini belum pernah bertarung dan tak punya permusuhan dengannya, apakah hanya demi Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, mereka membuat susah Perguruan Huashan?

Ia memikirkan hal itu, namun tangannya terus bergerak tanpa henti, ia mengerahkan Ilmu Awan Lembayung, ujung pedangnya samar-samar berkilauan, setelah sepuluh jurus lebih, ia berhasil menikam bahu seorang musuh, cambuk baja yang tergengam di tangannya jatuh ke tanah. Seorang berkedok yang berada diluar lingkaran menerjang masuk, mengantikan temannya yang terluka, tangan orang ini mengenggam sebuah golok bergigi gergaji yang berat dan ujungnya melengkung seperti kait. Ia terus menerus berusaha mengaet pedang di tangan Yue Buqun. Cadangan tenaga dalam Yue Buqun masih banyak, semakin lama bertarung ia semakin lincah, mendadak tangan kirinya berbalik dan memukul dada seorang musuh, “Krek!”, ia mematahkan dua tulang iga orang itu. Tongkat besi yang dipegang oleh kedua tangan orang itupun lantas jatuh ke tanah.

Tak nyana orang ini sangat ganas, rasa sakit karena tulang iganya patah malah membuatnya naik darah, ia menerjang sambil mementang kedua lengannya dan menangkap kaki kiri Yue Buqun. Yue Buqun terperanjat, ia mengayunkan pedang dan menebas kearah punggung orang itu, namun dua buah golok serentak menangkis serangannya. Karena ia tak bisa menebas dengan pedangnya, kaki kanannya menendang kepala orang itu. Orang itu jago menangkap, ia menjulurkan lengan kirinya, menyusul kaki kirinya mengaet, lalu ia berguling ke depan. Ilmu silat Yue Buqun tinggi, namun ia tak dapat tetap berdiri tegak, seketika itu juga ia terjatuh. Dalam sekejap, golok, tombak pendek, bandulan berantai dan pedang langsung menuju ke titik-titik penting di kepala, wajah, tenggorokan dan dadanya.

Yue Buqun menghela napas dan melepaskan pedangnya, lalu memejamkan mata menunggu kematian. Ia merasakan titik-titik jalan darah di pinggang, sisi tubuh, tenggorokan dan dada kirinya ditotok orang dengan keras, menyusul dua orang berkedok menariknya supaya bangkit.

Suara seorang tua berkata, “Ilmu silat Pedang Budiman Tuan Yue sangat hebat, kau memang pantas menyandang nama besarmu, kami berlima belas bergabung untuk melawanmu seorang, namun baru bisa menangkapmu setelah kau melukai empat atau lima orang diantara kami. Hmm, sangat mengagumkan, sangat mengagumkan! Kalau aku si tua ini bertarung denganmu seorang diri, aku tak akan bisa mengalahkanmu. Namun dari sisi lain, kami punya lima belas orang, tapi kau punya lebih dari dua puluh orang, kalau dibandingkan, Perguruan Huashanmu masih punya lebih banyak orang. Malam ini kami yang lebih sedikit menang terhadap yang lebih banyak, dan mengalahkan Perguruan Huashan, namun kemenangan ini tidak diperoleh dengan mudah, benar tidak?” Semua orang berkedok lainnya berkata, “Benar, kemenangan tidak diraih dengan mudah”. Orang tua itu berkata, “Tuan Yue, kami tak punya permusuhan denganmu, malam ini kami memberanikan diri untuk menyinggungmu  hanya karena kami ingin meminjam Kitab Pedang Penakluk Kejahatan untuk dilihat. Kitab itu asalnya bukan milik Perguruan Huashanmu, dengan menggunakan segala cara kau berhasil membuat bocah keluarga Lin dari Biro Pengawalan Fu Wei itu masuk ke perguruanmu, tentunya untuk mendapatkan kitab pedang itu. Perbuatanmu ini terlalu licik, ketika para kawan di dunia persilatan mendengar tentang hal ini, mereka semua murka. Si tua ini memberimu nasehat yang baik, apa kau masih tak mau menyerahkannya?”

Yue Buqun murka, ia berkata, “Si Yue ini sudah jatuh ke dalam tanganmu, kalau mau bunuh, bunuh saja, untuk apa omong kosong seperti ini? Siapa Yue Buqun ini sebagai manusia, semua orang di dunia persilatan sudah mengetahuinya, mudah bagimu untuk membunuh si Yue ini, tapi kau cuma mimpi kalau kau ingin merusak nama baikku!”

Seorang berkedok tertawa terbahak-bahak, lalu berkata dengan suara keras, “Apa susahnya merusak nama baikmu? Istri, putri dan beberapa murid perempuanmu wajahnya tidak jelek, kita bagi saja diantara kita semua, lalu kita jadikan gundik! Hahaha, kali ini Tuan Yue, nama baikmu akan sangat cemerlang di dunia persilatan”. Orang-orang berkedok lainnya ikut tertawa terbahak-bahak, tawa mereka penuh nada cabul.

Yue Buqun begitu marah hingga sekujur tubuhnya gemetar. Terlihat beberapa orang berkedok mendorong semua murid lelaki dan perempuan keluar dari dalam kuil. Semua murid itu telah ditotok, ada yang wajahnya bersimbah darah segar, ada yang begitu tiba di luar kuil langsung terjatuh, jelas bahwa kaki mereka telah terluka.

Orang tua berkedok itu berkata, “Tuan Yue, mungkin kau telah menebak dari mana kami berasal, kami sama sekali bukan ksatria dari aliran lurus di dunia persilatan, kami bisa berbuat apa saja. Saudara-saudaraku semua suka paras cantik, kalau mereka sampai menyinggung istri dan putrimu yang tercinta, mau ditaruh dimana mukamu?”

Yue Buqun berseru, “Baik, baik! Kalau kau tak percaya padaku, geledahlah kami semua, coba lihat apa ada Kitab Pedang Penakluk Kejahatan atau tidak!”

Orang berkedok itu tersenyum, “Aku nasehati kau untuk menyerahkannya sendiri. Kalau kami harus mengeledah istri dan anak gadismu satu persatu tentunya tidak enak dilihat”.

Lin Pingzhi berteriak keras-keras, “Semua bencana ini disebabkan oleh aku, Lin PIngzhi. Aku beritahukan pada kalian semua, keluarga Lin kami dari Fujian sama sekali tidak punya Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, terserah kalian apa kalian mau percaya atau tidak”. Sambil berbicara ia mengambil tongkat besi yang tergeletak di atas tanah lalu tiba-tiba memukulkannya ke dahinya sendiri keras-keras, tapi karena kedua lengannya kena totok, tangannya tak bertenaga, sehingga walaupun tongkat besi itu mengenai kepalanya, namun hanya mengores kulitnya saja tanpa mengeluarkan darah. Tetapi semua orang mengerti maksudnya. Ia hendak mengorbankan nyawanya untuk membuktikan bahwa Perguruan Huashan sama sekali tak memiliki kitab pedang itu.

Orang tua berkedok itu tersenyum, “Tuan muda Lin, kau memang seorang ksatria. Kami sahabat almarhum ayahmu, Yue Buqun membunuh ayahmu dan merebut Kitab Pedang Penakluk Kejahatan warisan keluargamu, maka hari ini kami datang untuk membela keadilan. Gurumu disebut seorang budiman, namun sebenarnya bukan seorang budiman, lebih baik kau berguru pada kami saja, aku jamin kau akan bisa mempelajari ilmu silat yang dapat membuatmu dapat malang melintang di dunia persilatan”.

Lin Pingzhi berseru, “Ayah ibuku dibunuh oleh Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng dan Mu Gaofeng, apa hubungannya dengan guruku? Aku bangga menjadi murid Perguruan Huashan, bagaimana dalam keadaan bahaya aku hanya bisa memikirkan hidupku saja dan takut mati?”

Liang Fa berseru, “Perkataanmu itu benar! Perguruan Huashan kami……” Seorang berkedok membentak, “Memangnya Perguruan Huashan kalian kenapa?” Ia mengayunkan goloknya  dan memenggal kepala Liang Fa. Darah segarpun menyembur. Delapan atau sembilan orang murid Huashan berteriak ketakutan.

Berbagai macam pikiran muncul silih berganti dalam otak Yue Buqun, namun ia masih tak dapat menebak darimana orang-orang ini berasal. Dari perkataan orang tua itu, kemungkinan besar mereka adalah perampok dari dunia hitam, atau kepala bandit yang telah melakukan segala macam kejahatan. Akan tetapi kalau ia adalah seorang tokoh aliran lurus atau sesat dari Shaanxi, Shanxi, Sichuan atau Henan, walaupun dirinya tak mengenalinya, tentunya ia telah pernah mendengar tentangnya. Tidak ada gerombolan atau kelompok yang mempunyai begitu banyak jago. Orang itu dengan sangat kejam memengal kepala Liang Fa, hal ini sangat jarang didapati. Dalam pertarungan di dunia persilatan, membunuh atau melukai orang adalah hal yang biasa. Namun setelah lawan ditawan, sangat jarang bahwa kepala seseorang bisa dengan enteng dipenggal begitu saja.

Setelah orang itu membunuh Liang Fa dengan sekali bacok, ia tertawa keras-keras dengan liar, melangkah ke depan Nyonya Yue, lalu membacok-bacok udara dengan golok yang  masih belumuran darah segar itu. Dari ubun-ubun Nyonya Yue, golok itu tak ada setengah chi jaraknya. Yue Lingshan menjerit, “Jangan……jangan lukai ibuku!” Lalu ia pingsan. Namun Nyonya Yue adalah pahlawan diantara kaum wanita, ia sama sekali tak jeri, ia berpikir bahwa kalau ia akan dibunuh, ia akan terhindar dari penghinaan, hal ini justru diharapkannya, maka ia memaki dengan angkuh, “Maling tak berguna, bunuh aku kalau kau berani”.

* * *

Catatan Kaki

[1] Seorang raja yang menurut legenda menemukan bajak dan obat-obatan yang dibuat dari tumbuhan.

[2] Sejenis lentera yng tahan air (Hokkian: Khong Beng Ting).

[3] Terjemahan (wuming xiaozu) (Hokkian: bu beng siauw cut)


Bagian 3

Tepat pada saat itu, dari arah timur laut terdengar suara derap kaki kuda, puluhan  penunggang kuda mencongklang menghampiri mereka. Orang tua berkedok itu berseru, “Siapa mereka? Ayo lihat!” Dua orang berkedok menjawab, “Baik!” Mereka menaiki kuda untuk menyambut orang-orang itu. Terdengar suara derap kaki kuda sedikit demi sedikit mendekat, menyusul suara denting senjata beradu, lalu seseorang berseru, “Aiyo!” Jelas bahwa orang-orang yang baru datang tersebut sedang bertarung dengan kedua orang berkedok itu, dan ada seseorang yang terluka.

Suami istri Yue Buqun dan seluruh murid Huashan tahu bahwa pertolongan telah tiba, mereka semua sangat girang, dibawah sinar lentera yang temaram, mereka hanya dapat melihat tiga atau empat orang penunggang kuda mencongklang di jalan raya, air dan lumpur menciprat ketika para penunggang kuda itu mendekati mereka. Dalam sekejap mereka telah menghentikan kuda mereka diluar kuil dan mengelilinginya. Seorang penunggang kuda berseru, “Ternyata teman-teman dari Perguruan Huashan. Ai! Apakah ini Kakak Yue?”

Yue Buqun memandang wajah orang yang berbicara itu, mau tak mau ia merasa amat jengah, ternyata orang ini adalah orang yang beberapa hari yang lalu membawa bendera komando lima puncak, yaitu pelindung kedua Perguruan Songshan si Tapak Bangau Lu Bai yang pernah datang ke puncak Huashan. Di sebelah kanannya ada seseorang yang perawakannya tinggi besar, yang dikenalinya sebagai pelindung utama Perguruan Songshan, Tapak Pengusung Pagoda Ding Mian. Orang yang berdiri di sebelah kirinya dengan jumawa adalah murid buangan Faksi Pedang Perguruan Huashan, Feng Buping. Para jago Perguruan Taishan dan Heng Shan yang waktu itu datang ke Huashan juga terdapat diantara mereka, tapi dibandingkan dengan yang ikut naik gunung saat itu, jumlah mereka lebih banyak lagi. Di bawah sinar lentera kongming yang redup, sosok mereka terlihat samar-samar, untuk sesaat ia tak dapat mengenali siapa mereka. Lu Bai berkata, “Kakak Yue, pada hari itu kau tidak mau menerima bendera komando Ketua Perserikatan Zuo, ketua Perserikatan Zuo sangat tidak senang. Maka ia memerintahkan Kakak Ding dan Adik Tang bersama aku untuk mengunjungi Huashan dan menyerahkan bendera komando sekali lagi. Tak nyana di tengah malam ini kita dapat berjumpa disini, benar-benar tak disangka-sangka”. Yue Buqun hanya diam saja tak menjawab.

Orang tua bertopeng itu menjura seraya berkata, “Rupanya Pendekar Kedua Ding, Pendekar Ketiga Lu dan Pendekar Ketujuh Tang bertiga dari Perguruan Songshan yang datang. Senang sekali bertemu dengan kalian”. Pelindung keenam Perguruan Songshan Tang Yinge berkata, “Kami tak berani menerima pujian kalian, sudikah kalian memberitahukan nama dan marga kalian yang mulia?” Orang tua berkedok itu berkata, “Saudara-saudara kami cuma keroco tak bernama dari dunia hitam, kalau kami menyebutkan nama bandit kami yang tak enak didengar, hanya akan mengotori telinga tokoh dunia persilatan seperti kalian. Dengan memandang muka emas kalian, kami tak akan berani bersikap kurang ajar pada Nyonya Yue dan Nona Yue, hanya ada satu hal yang kami minta, yaitu agar kalian membantu kami menegakkan keadilan”.

Tang Yinge berkata, “Ada masalah apa? Tidak ada jeleknya kalau kalian beritahukan kepada kami”.

Orang tua itu berkata, “Tuan Yue Buqun ini dijuluki si ‘Pedang Budiman’, kabarnya ia selalu berbicara tentang kemanusiaan dan keadilan, dan selalu menjunjung tinggi peraturan dunia persilatan, namun akhir-akhir ini perbuatannya agak menyimpang. Kalian semua pasti sudah mendengar bahwa Biro Pengawalan Fu Wei di Fuzhou telah dihancurkan dan ketuanya Lin Zhennan bersama istrinya dibunuh orang”.

Tang Yinge berkata, “Benar, kabarnya hal itu dilakukan oleh Perguruan Qingcheng dari Sichuan”. Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Walaupun itu adalah cerita yang beredar di dunia persilatan, namun kejadian yang sebenarnya bukan seperti itu. Mari kita buka jendela supaya semuanya terang benderang, semua orang tahu bahwa keluarga Lin dari Biro pengawalan Fu Wei memiliki sebuah kitab warisan yaitu Kitab Pedang Penakluk Kejahatan yang memuat ilmu pedang yang luar biasa mendalam dan cemerlang. Setelah mempelajarinya, seseorang dapat menjadi tanpa tanding di kolong langit ini. Suami istri Lin Zhennan dibunuh karena ada orang yang menginginkan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan ini”. Tang Yinge berkata, “Lalu kenapa?”Orang tua itu berkata, “Orang luar tak tahu bagaimana sebenarnya suami istri Lin Zhennan dibunuh. Kami mendengar bahwa si Pedang Budiman ini menggunakan tipu muslihat untuk menipu putra Lin Zhennan sehingga ia berkeras masuk ke Perguruan Huashan. Kitab pedang itu tentunya juga akan dibawa masuk Perguruan Huashan. Kami semua memikirkannya dan kami semua berpendapat bahwa Yue Buqun sangat pandai bermuslihat. Coba pikir, bocah marga Lin ini berapa usianya? Berapa banyak pengalamannya? Setelah ia masuk ke Perguruan Huashan, bagaimana ia tak dipermainkan oleh si rubah tua ini sehingga ia akan menyerahkan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan secara sukarela”.

Tang Yinge berkata, “Tapi kurasa hal ini tidak mungkin. Ilmu pedang Huashan sangat lihai, Ilmu Awan Lembayung Tuan Yue tak ada tandingannya di dunia persilatan, ilmu itu adalah ilmu tenaga dalam yang paling sakti, untuk apa ia menginginkan ilmu pedang perguruan lain?"

Orang tua itu mendongak dan tertawa terbahak-bahak, "Pendekar Tang berjiwa budiman, kau mengukur hati seorang penjahat dengan ukuranmu sendiri. Yue Buqun mana punya ilmu pedang yang sangat lihai? Sejak Faksi Pedang dan Tenaga Dalam Perguruan Huashannya berpisah, Faksi Tenaga Dalam menduduki Huashan secara paksa, mereka cuma menekankan melatih tenaga dalam, ilmu pedang mereka tak ada apa-apanya. Dunia persilatan segan pada nama kosong Perguruan Huashan, namun kepandaian mereka sebenarnya, hehehe, hehehe......" Ia tertawa dingin beberapa kali, lalu melanjutkan, "Seharusnya, karena Yue Buqun adalah ketua Perguruan Huashan, ilmu pedangnya mestinya tidak biasa-biasa saja. Tapi kalian semua sudah melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana barusan ini ia dapat ditangkap oleh beberapa keroco tak bernama seperti kami ini. Pertama, kami tidak menggunakan racun, kedua, kami tidak memakai senjata rahasia, ketiga, kami tidak menggunakan jumlah orang yang lebih banyak untuk mengalahkan yang lebih sedikit. Kami benar-benar hanya mengandalkan kepandaian kami belaka, bertarung dengan jujur dan berhasil membereskan para guru dan murid Perguruan Huashan. Seperti apa ilmu silat Faksi Tenaga Dalam Perguruan Huashan, kau sudah tahu sendiri. Yue Buqun sendiri pasti juga sudah menyadari hal ini. Maka ia hendak mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, lalu mempelajari ilmu pedangnya dengan seksama, agar nama kosongnya tidak terbongkar".

Tang Yinge mengangguk, "Perkataanmu ini masuk akal".

Orang tua itu berkata lagi, "Kungfu kami beberapa keroco tak bernama dari dunia hitam ini di hadapan para jago seperti kalian hanya pantas ditertawakan. Kami tak berani menginginkan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan. Namun dalam sepuluh tahun belakangan ini, Ketua Lin dari Biro Pengawalan Fu Wei menghargai kami dan selalu dengan murah hati mengirim hadiah kepada kami setiap tahun. Kalau kereta biro pengawalannya melewati gunung kami, semua saudara kami memberinya muka dan tak ada yang menganggunya. Kali ini kami mendengar bahwa karena Kitab Pedang Penakluk Kejahatan itu, keluarga Ketua Lin menjadi tercerai berai, mau tak mau kami menjadi gusar. Oleh karena itu kami ingin membuat perhitungan dengan Yue Buqun". Setelah berbicara sampai disini, ia berhenti sejenak, memandang orang-orang yang duduk diatas kuda, lalu berkata, "Semua yang datang kesini malam ini adalah orang gagah yang termasyur di dunia persilatan, selain itu ada juga para jago dari Perguruan Pedang Lima Puncak yang berserikat dengan Perguruan Huashan, bagaimanapun juga kalian akan memutuskan perkara ini, kami akan mematuhinya".

Tang Yinge berkata, "Kakak ini pantas disebut sahabat sejati, kami menerima maksud baik kalian. Kakak Ding, Kakak Lu, apa yang harus kita lakukan?"

Ding Mian berkata, "Kedudukan Ketua Perguruan Huashan, sesuai dengan perintah Ketua Zuo, seharusnya milik Tuan Feng. Kalau hari ini Yue Buqun melakukan hal yang memalukan seperti ini, Tuan Fenglah yang berhak untuk membersihkan perguruannya sendiri!"

Orang-orang yang duduk di punggung kuda serentak berseru, "Pendekar Kedua Ding telah memutuskan hal ini dengan jelas. Masalah Perguruan Huashan harus ditangani oleh ketua Perguruan Huashan sendiri, supaya teman-teman di dunia persilatan tidak menuduh kita ikut campur urusan orang".

Feng Buping melompat turun dari kudanya dan menjura kepada semua orang seraya berkata, "Kalian semua memberiku muka yang begitu besar, aku benar-benar merasa berterima kasih. Yue Buqun telah merampas kedudukan ketua perguruan kami dan menimbulkan kemarahan langit dan manusia, nama baik kami di dunia persilatan telah hancur. Sekarang terlebih lagi ia telah membunuh ayah seseorang, merebut kitab pedang orang dan memaksa orang menjadi muridnya. Ia telah melakukan segala macam perbuatan yang menyimpang. Aku tak punya budi dan kemampuan, tak pantas menjabat sebagai ketua perguruan, namun mengingat segala usaha yang telah dilakukan dengan susah payah oleh para leluhur kami, aku tak bisa membiarkan Perguruan Huashan musnah di tangan Yue Buqun, murid yang tak berbakti ini. Aku terpaksa melakukan pekerjaan yang sukar ini sebisanya, aku harap di kemudian hari kalian semua sudi memberiku petunjuk dan bantuan". Sambil berbicara ia menjura ke segala penjuru.

Saat itu sudah ada tujuh atau delapan orang penunggang kuda yang menyalakan obor, hujan belum berhenti, namun telah berubah menjadi gerimis. Cahaya obor menyinari wajah Feng Buping, jelas terlihat bahwa ia nampak sangat puas diri. Ia meneruskan berbicara, "Yue Buqun telah melakukan kejahatan yang paling berat, ia tak dapat diampuni, kita harus menuruti peraturan perguruan dan segera menghukum mati dia! Adik Cong, untuk membersihkan perguruan kita, bunuhlah pengkhianat suami istri Yue Buqun".

Seorang lelaki berusia lima puluhan tahun menjawab, "Baik!" Ia menghunus pedang, menghampiri Yue Buqun, dan berkata sambil menyeringai bengis, "Marga Yue, kau telah merusak perguruan kita, hari ini kau akan menerima hukumannya".

Yue Buqun menghela napas dan berkata, "Baiklah, baiklah! Demi merebut kedudukan ketua kalian Faksi Pedang telah merencanakan jebakan maut ini. Cong Buqi, kalau hari ini kau membunuhku, bagaimana kau akan punya muka untuk menghadap para leluhur Perguruan Huashan di akherat kelak?"

Cong Buqi tertawa terbahak-bahak, "Kau sendiri melakukan begitu banyak kejahatan, kalau aku tidak membunuhmu, kau pasti akan mati di tangan orang luar, sangat tak elok".  Feng Buping membentak, "Adik Cong, tak ada gunanya banyak bicara, bunuh!"

Cong Buqi berkata, "Baik!" Ia mengangkat pedangnya, sikunya ditarik ke belakang, cahaya merah obor menyinari mata pedangnya, kilauannya kadang merah kadang biru.

Nyonya Yue berseru, "Tunggu dulu! Kitab Pedang Penakluk Kejahatan itu sebenarnya ada dimana? Kalau kalian menuduh seseorang mencuri, kalian harus menunjukkan barang buktinya. Kalian memfitnah orang, tapi apa kalian dapat meyakinkan semua orang?"

Cong Buqi berkata, "Benar, kalau ada pencuri tentu ada barang buktinya!" Ia melangkah ke arah Nyonya Yue sambil menyeringai, "Kitab Pedang Penakluk Kejahatan itu kemungkinan besar disembunyikan di tubuhmu, aku ingin mengeledahmu, supaya kau tidak berkata bahwa kami memfitnah orang". Bertahun-tahun yang lalu ketika mereka belajar ilmu pedang bersama, Cong Buqi mendambakan kecantikan sang adik seperguruan Ning Zhongze, saat ini ia mendapatkan kesempatan, maka ia menjulurkan tangan kirinya untuk meraba dada Nyonya Yue.

Kaki Nyonya Yue telah terluka, dan dua titik jalan darahnya juga telah kena totok, ia melihat tangan Cong Buqi yang besar dan kasar bergerak ke arah tubuhnya hendak meraba, kalau sampai kulitnya dijamah oleh jemarinya, ini adalah hal yang sangat memalukan, maka ia berseru keras-keras, "Kakak Ding dari Perguruan Songshan!"

Ding Mian tak menyangka bahwa ia bisa tiba-tiba berteriak memanggilnya, ia bertanya, "Ada apa?" Nyonya Yue berkata, "Kakak Ding, Ketua Zuo adalah ketua perserikatan Perguruan Pedang Lima Puncak yang menjadi teladan dunia persilatan, Perguruan Huashan kami berlindung di bawah panji-panji Ketua Perserikatan Zuo, namun kau malah membiarkan seorang rendah seperti ini menghina kaum wanita kami, aturan macam apa itu?" Ding Mian berkata, "Ini......" Ding Mian mengumam pada dirinya sendiri dan tak berbicara.

Nyonya Yue berkata lagi, "Penjahat ini berdusta, tidak benar kalau mereka tidak menang karena jumlah mereka lebih banyak. Kalau kedua pengkhianat Perguruan Huashan ini bisa mengalahkan suamiku dalam pertarungan satu lawan satu, kami akan menyerahkan jabatan ketua dengan sukarela, matipun kami tak menyesal. Jika tidak, kalian tak akan mendapat pengakuan dari para orang gagah di dunia persilatan". "Bah!" Ketika ia berbicara sampai disini, ia meludahi wajah Cong Buqi.

Jarak diantaranya dan Cong Buqi amat dekat, karena hal itu terjadi dengan tiba-tiba, Cong Buqi tak sempat menghindar, ludah Nyonya Yue mendarat tepat diantara kedua matanya, ia memaki, "Nenekmu!"

Nyonya Yue murka, "Kalian pengkhianat Faksi Pedang, ilmu silat kalian amat rendah, tak ada gunanya suamiku turun tangan, cukup aku seorang perempuan saja, kalau aku tidak kena totok karena akal busuk, membunuhmu sama mudahnya seperti membalik telapak tangan".

Ding Mian berkata, "Baiklah!" Ia menjepit kudanya dengan kedua kakinya hingga kuda hitam yang ditungangginya melangkah ke depan, lalu memutar ke belakang Nyonya Yue. Ia membalik cambuk kuda yang dipegangnya, membungkuk ke depan dan menyentuh tiga titik jalan darah di punggung Nyonya Yue dengan gagang cambuknya. Nyonya Yue merasa sekujur tubuhnya gemetar, lalu kedua titik jalan darahnya yang ditotokpun terbuka.

Begitu keempat anggota tubuhnya dapat bergerak dengan bebas, ia tahu bahwa Ding Mian ingin ia bertarung dengan Cong Buqi. Pertarungan ini tidak hanya akan menentukan hidup matinya ketiga anggota keluarga Yue, namun juga akan menentukan nasib Perguruan Huashan. Kalau ia dapat mengalahkan Cong Buqi, mereka belum tentu akan lolos dari bahaya, namun paling tidak keadaan akan menjadi lebih baik. Kalau ia kalah, tak ada sesuatu apapun yang dapat dikatakan lagi. Ia segera memungut pedangnya sendiri yang tadi terjatuh dari tangannya, lalu melintangkannya di depan dadanya, namun saat itu kaki kirinya tiba-tiba lemas, sehingga ia hampir berlutut. Luka di kakinya terlalu parah, begitu ia mencoba berdiri, kakinya tak mampu menyangga tubuhnya.

Cong Buqi tertawa terbahak-bahak, lalu berseru, "Katamu kau cuma seorang perempuan, sekarang kau pura-pura kakimu sakit, untuk apa adu pedang denganmu? Kalaupun aku menang, apalah artinya?" Nyonya Yue tak mau berbicara lagi dengannya, ia membentak, "Awas pedang!" "Wus, wus, wus!" Ia menyerang ke depan tiga kali dengan mengerahkan tenaga dalamnya, hingga pedangnya mengeluarkan suara berdesir. Dalam ketiga serangan itu, serangan berikutnya lebih cepat dari yang sebelumnya, dan semuanya menuju ke bagian penting tubuh musuh. Cong Buqi mundur dua langkah dan berseru, "Bagus!" Nyonya Yue sebenarnya bisa mengambil kesempatan untuk menekannya, tapi ia tak berani bergerak karena kakinya masih lemah, ia hanya berdiri di tempat saja. Cong Buqi mengangkat pedangnya dan balas menyerang, "Trang, trang, trang!" Lelatu berterbangan, tiga serangan itu sangat ganas. Nyonya Yue menangkisnya satu persatu dan merubah tangkisan ketiga menjadi serangan, dengan sebat ia menikam ke perut musuh.

Yue Buqun berdiri di sampingnya, ia melihat sang istri menempur musuh dengan kaki terluka, jurus-jurus pedang Cong Buqi cemerlang, dengan cepat berubah-ubah, jelas bahwa kepandaiannya jauh diatas sang istri. Setelah bertarung lebih dari sepuluh jurus, kaki Nyonya Yue melemah, sebenarnya Faksi Tenaga Dalam Huashan ahli dalam menggunakan tenaga dalam untuk mengalahkan musuh, namun setelah terluka ia sulit mengendalikan napasnya. Permainan pedangnya pun sedikit demi sedikit berada dibawah kendali Cong Buqi. Yue Buqun sangat cemas, ketika melihat jurus-jurus pedang sang istri makin lama makin cepat, ia makin cemas lagi, "Faksi Pedang mereka lebih mahir dalam ilmu pedang, tapi kau malah memakai jurus-jurus pedang untuk melawannya. Menggunakan kelemahan sendiri untuk melawan kelebihan lawan akan berujung pada kekalahan".

Nyonya Yue bukannya tak tahu kunci permasalahan itu, namun luka di kakinya tak ringan, lagipula tak lama setelah kena bacok, ia terkena totokan, maka ia sama sekali tak sempat membalut lukanya, saat inipun darah masih mengalir tanpa henti, hanya semangatnyalah yang membuatnya masih bisa bertarung. Walaupun ia masih terus melancarkan jurus-jurusnya, kekuatannya dengan cepat menurun. Setelah lebih dari sepuluh jurus, Cong Buqi telah menemukan kelemahan lawan, ia merasa amat girang dan tak lagi menyerang untuk cepat meraih kemenangan, melainkan hanya bertahan dengan rapat saja.

Linghu Chong juga melihat kedua orang itu bertarung. Ia melihat bahwa Cong Buqi hanya memakai teknik berpedang dan tidak menggunakan tenaga dalam, sama sekali berbeda dengan ajaran gurunya, pikirnya, "Tak heran kalau perguruan kita terpecah menjadi Faksi Pedang dan Faksi Tenaga Dalam, ilmu silat kedua faksi itu benar-benar sangat berbeda". Perlahan-lahan, ia bangkit, lalu meraba-raba untuk mencari pedang yang tergeletak di tanah sambil berpikir, "Hari ini perguruan kami kalah telak, namun nama ibu guru dan adik kecil yang tak bernoda tak boleh dirusak oleh orang jahat, nampaknya ibu guru bukan tandingan orang ini, aku akan terlebih dahulu membunuh ibu guru dan adik kecil, lalu baru mengorok leher sendiri, sehingga nama baik Perguruan Huashan akan tetap utuh".

Permainan pedang Nyonya Yue terlihat makin kacau, mendadak pedangnya berputar, dan dengan suara berdesir, ia menikam ke depan, itulah jurus 'Jurus Tanpa Tanding Keluarga Ning' miliknya. Serangan itu amat sebat dan ganas, walaupun ia sedang terluka, saat ia menikam tenaga yang digunakannya masih mengagumkan.

Cong Buqi terkejut, ia cepat-cepat melompat ke belakang, ia beruntung masih dapat menghindar. Kalau saja kedua kaki Nyonya Yue tidak terluka, ia akan mengambil kesempatan untuk mendesaknya dan musuh akan sulit meloloskan diri, namun saat ini wajahnya pucat pasi, ia bertumpu pada pedangnya dan napasnya terengah-engah.

Cong Buqi tersenyum dan berkata, "Bagaimana sekarang? Nyonya Yue, kau sudah kehabisan tenaga? Apa sekarang kau bersedia kugeledah?" Sambil berbicara ia membuka telapak tangan kirinya, selangkah demi selangkah ia mendekat. Nyonya Yue hendak mengangkat pedang dan menikam, namun lengan kanannya seakan seribu jin beratnya, bagaimanapun juga ia tak mampu mengangkatnya.

Linghu Chong berseru, "Tunggu dulu!" Ia melangkah ke depan Nyonya Yue seraya berseru, "Ibu guru!" Ia bermaksud untuk menikamnya sampai mati, guna menjaga kemurnian namanya yang tak bernoda. Sinar mata Nyonya Yue memancarkan perasaan gembira, ia mengangguk dan berkata, "Anak yang baik!" Ia tak sanggup berdiri lagi dan terduduk di tanah berlumpur. Cong Buqi berseru, "Pergi sana!" Ia mengarahkan pedangnya ke tenggorokan Linghu Chong.

Linghu Chong memandang pedang yang bergerak ke arahnya, ia sadar bahwa tangannya sama sekali tak bertenaga, kalau ia menangkis dengan pedang, pedangnya akan langsung terpental jatuh. Tanpa berpikir panjang, ia menikam ke arah tenggorokan

Cong Buqi, ini adalah gerakan yang akan mengakibatkan mereka berdua sama-sama binasa. Gerakannya sama sekali tidak cepat, namun posisinya sangat cemerlang, inilah jurus andalan 'Jurus Pemecah Pedang' dari Sembilan Pedang Dugu.

Cong Buqi sangat terkejut, ia sama sekali tak menyangka bahwa pemuda yang sekujur tubuhnya berlumuran lumpur itu bisa tiba-tiba melancarkan jurus seperti itu, dengan panik ia menerjang dan berguling-guling sampai beberapa zhang jauhnya, sehingga ia akhirnya dapat menghindar, namun ia telah berada dalam keadaan yang sangat berbahaya.

Orang-orang yang menonton melihat bahwa ia berada dalam keadaan genting, saat ia berguling-guling, kepala, muka, tangan, sekujur tubuhnya penuh berlumuran lumpur, hingga orang-orang tak bisa menahan tawa. Namun setelah mereka memikirkannya lebih lanjut, mereka sependapat bahwa selain berguling-guling, tidak ada cara lain untuk menghindari jurus yang cemerlang itu.

Ketika mendengar suara orang-orang yang mentertawakannya, Cong Buqi merasa malu sekaligus murka, ia mengenggam pedangnya erat-erat dan menerjang ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong telah mengambil keputusan, "Aku sama sekali tak dapat menggunakan tenaga dalam, maka aku hanya akan menggunakan ilmu pedang yang diajarkan kakek guru untuk bertarung dengannya". Ia belum mempelajari Sembilan Pedang Dugu itu sampai mahir, tadinya ia tak berani menggunakannya untuk mempertahankan diri terhadap seorang lawan yang tangguh, namun saat itu ia berada dalam keadaan diantara hidup dan mati. Mendadak pikirannya menjadi luar biasa jernih, berbagai macam gerakan yang rumit dan sakti dari 'Jurus Pemecah Pedang' dalam sekejap muncul dalam pikirannya. Ketika ia melihat Cong Buqi menerjang bagai seekor harimau buas, ia sudah terkebih dahulu mengetahui kelemahan jurusnya, ia memiringkan pedangnya hingga ujung pedang mengarah ke perut Cong Buqi.

Ketika Cong Buqi menerjang ke depan, ia berpikir bahwa kalau lawan tak bisa menghindar, ia harus menangkis dengan senjatanya, oleh karena itu walaupun perutnya terbuka, ia tak perlu mempertahankan diri. Namun ternyata Linghu Chong tidak menghindar dan tidak menangkis, ia hanya mengarahkan pedangnya dengan miring, menunggu perut Cong Buqi tertusuk pedang. Cong Buqi melompat, namun sebelum kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah terjatuh ke dalam keadaaan yang berbahaya, maka ia cepat-cepat mengayunkan pedangnya kearah pedang Linghu Chong. Namun Linghu Chong telah menduga bahwa ia akan melakukan gerakan ini, lengan kanannya diangkat sedikit hingga pedangnya terangkat dua chi dan ujung pedang mengarah ke dada Cong Buqi.

Ketika Cong Buqi mengayunkan pedangnya, ia berharap agar pedangnya akan menghantam pedang Linghu Chong. Dengan meminjam daya geraknya, ia akan dapat melompat untuk menghindar, ia sama sekali tak menyangka bahwa dengan tiba-tiba, dalam keadaan genting musuh dapat membalikkan pedangnya ke atas. Pedang Cong Buqi sendiri hanya menebas udara kosong, tubuhnya sendiri tak bisa berbalik, “Ah!”, ia berteriak kaget saat tubuhnya melayang ke ujung pedang Linghu Chong. Feng Buping melompat dan menjulurkan tangannya untuk menarik punggung Cong Buqi, lalu mundur selangkah, namun, “Sret!”, pedang telah menembus tulang selangka di bahu Cong Buqi.

Karena Feng Buping tak dapat menarik mundur Cong Buqi, ia menghunus pedang dan menebas kearah leher belakang Linghu Chong. Berdasarkan prinsip ilmu pedang, Linghu Chong harus cepat-cepat melompat ke belakang, lalu mengambil kesempatan untuk melancarkan serangan. Namun hawa murni di dalam tubuhnya campur aduk, tenaga dalamnya kacau balau, dan ia sama sekali tak dapat mengerahkan tenaga dalam, hingga ia tak bisa melompat untuk menghindar. Karena tak ada pilihan lain, ia menarik pedangnya dari bahu Cong Buqi lalu melancarkan sebuah jurus Sembilan Pedang Dugu. Ia membalikkan pedangnya dan menikam kearah pusar Feng Buping. Dengan jurus ini ia seakan hendak mati bersama Feng Buping, namun gerakan pedangnya yang berbalik ada keanehannya, tikaman itu akan sudah menusuk pusar musuh sebelum senjata musuh mencapainya. Walaupun hanya berselang tipis, namun hasilnya akan sangat berbeda.

Feng Buping tahu bahwa dirinya tak akan bisa menangkis serangan itu, namun ternyata pemuda itu dengan enteng membalikkan pedangnya dan dengan tak disangka-sangka menikam kearah perutnya, keadaannya sangat berbahaya. Ia segera mundur, mengambil napas dan menyerang tujuh kali berturut-turut, setiap tikaman lebih cepat dari yang sebelumnya, menyerang bagai angin ribut. 

Linghu Chong sudah tak memperdulikan hidup atau matinya, ia hanya memikirkan berbagai macam ilmu pedang yang diajarkan oleh Feng Qingyang, kadang-kadang di otaknya muncul gambaran jurus-jurus pedang yang diukir di gua belakang. Ia dengan enteng melancarkan jurus-jurus itu dengan bebas. Dalam sekejap ia telah bertukar lebih dari tujuh puluh jurus dengan Feng Buping, namun tak sekalipun kedua pedang mereka bertemu. Dalam menyerang atau bertahan, jurus-jurus pedangnya sangat mendalam dan halus. Ketika melihat pertandingan yang cemerlang itu, para penonton semua diam-diam bersorak, setiap orang bisa mendengar Linghu Chong bernapas dengan terengah-engah, jelas bahwa ia tak punya tenaga. Namun jurus-jurus pedangnya yang cemerlang terus mengalir tanpa putus, berubah-ubah tanpa bisa ditebak. Setiap kali Feng Buping kesukaran menangkis serangannya, ia menebas keras-keras karena ia tahu bahwa lawan tak akan beradu tenaga dengannya, dengan demikian ia dapat melepaskan dirinya dari kesulitan.

Ketika para hadirin melihat cara berkelahi Feng Buping yang agak licik, mau tak mau mereka menjadi kesal. Seorang pendeta dari Perguruan Taishan berkata, "Murid Faksi Tenaga Dalam ilmu pedangnya tinggi, paman guru dari Faksi Pedang tenaga dalamnya kuat, sebenarnya ini bagaimana? Apa Faksi Pedang dan Tenaga Dalam sudah bertukar tempat?"

Wajah Feng Buping memerah, ia mengayunkan pedangnya bagai topan badai. Saat ini ialah jago nomor satu Faksi Pedang Perguruan Huashan, ilmu pedangnya memang luar biasa. Linghu Chong tak berdaya untuk bergerak-gerak, tetap berdiri saja susah baginya hingga ia sudah kehilangan beberapa kesempatan emas untuk dapat menang. Begitu ia menggunakan Sembilan Pedang Dugu, ia langsung bertemu dengan musuh yang tangguh, mau tak mau hatinya merasa jeri, ilmu pedang itu juga belum sepenuhnya dikuasainya, oleh karena itu mereka berdua bertarung untuk waktu yang lama tanpa diketahui siapa yang menang atau kalah.

Setelah lewat tiga puluh jurus lebih, Linghu Chong menyadari bahwa kalau ia menggunakan pedangnya secara tak beraturan, musuh sering kerepotan dan sulit untuk menangkis serangannya; akan tetapi kalau ia memakai jurus-jurus Perguruan Huashan, atau jurus-jurus pedang Perguruan Songshan, Heng Shan, Taishan dan lain-lain yang terukir di dinding gua belakang, Feng Buping dapat menangkis dan balas menyerang, bahkan memecahkan jurus pedangnya. Pernah sekali pedang Feng Buping  membuat tiga lengkungan dan hampir menebas putus lengan kanannya, sungguh berbahaya. Dalam keadaan genting, mendadak perkataan Feng Qingyang terngiang di telinganya, "Kalau kau tak punya jurus, musuh tak akan bisa memecahkan ilmu pedangmu, yang tak punya jurus menang terhadap yang punya jurus, itulah pencapaian tertinggi ilmu pedang".

Sebenarnya setelah ia telah bertarung lebih dari dua ratus jurus dengan Feng Buping, pemahamannya akan jurus-jurus hebat Sembilan Pedang Dugu makin lama makin mendalam. Tak perduli bagaimana sebat dan ganasnya serangan Feng Buping, ia selalu bisa mencari kelemahan ilmu pedangnya, setiap kali dengan enteng ia melancarkan suatu jurus, ia dapat memaksa Feng Buping untuk menarik pedangnya guna mempertahankan diri. Setelah bertarung beberapa lama, rasa percaya dirinya sedikit demi sedikit meningkat. Ia ingat pada perkataan Feng Qingyang, "yang tak punya jurus menang terhadap yang punya jurus", ia menghela napas panjang lalu menikam dengan miring, gerakan ini sepertinya tak termasuk dalam jurus apapun, bahkan juga tak termasuk dalam 'Jurus Pemecah Pedang' Sembilan Pedang Dugu. Serangannya sama sekali tak bertenaga, ujung pedangnya miring, bahkan dirinya sendiripun tak tahu menuju ke arah mana.

Feng Buping tertegun, pikirnya, "Ini jurus apa?" Intuk beberapa saat ia tak tahu bagaimana ia harus mematahkannya, maka ia terpaksa memutar pedang untuk melindungi bagian bawah tubuhnya. Karena Linghu Chong tidak terikat pada ilmu pedang tertentu, ketika ia melihat musuh melindungi bagian bawah tubuhnya, ujung pedangnya bergetar dengan lembut dan menikam ke arah pinggang Feng Buping. Feng Buping tak menyangka perubahan jurusnya begitu aneh, ia sangat terkejut dan melompat ke belakang tiga langkah. Linghu Chong tak punya tenaga untuk mengikutinya melompat, setelah bertarung beberapa lama, walaupun ia sama sekali tak menggunakan tenaga dalamnya, namun mengerakkan pedang memakan tenaganya, mau tak mau ia mengelus dadanya sambil terengah-engah.

Ketika Feng Buping melihat bahwa Linghu Chong tidak balas menyerang, ia tidak mau pertarungan tersebut berakhir begitu saja. Ia segera melompat dan menyerang empat kali ke dada, perut, pinggang dan bahu Linghu Chong berturut-turut. Pergelangan tangan Linghu Chong bergetar dan ia menusuk ke arah mata kirinya. Feng Buping berteriak kaget dan melompat mundur tiga langkah.

Pendeta Perguruan Taishan itu berkata lagi, "Aneh sekali, aneh sekali! ilmu pedang orang ini memang benar-benar mengagumkan". Para penonton juga berpendapat sama, mereka semua tahu bahwa "ilmu pedang orang ini" yang dikaguminya bukan ilmu pedang Feng Buping melainkan ilmu pedang Linghu Chong.

Feng Buping mendengar perkataan itu, pikirnya, "Aku adalah ketua Faksi Pedang yang ingin menjadi ketua Perguruan Huashan, kalau ilmu pedangku kalah dari murid Faksi Tenaga Dalam, tentunya rencana besarku untuk menjadi ketua Perguruan Huashan akan buyar, dan aku akan harus jadi pertapa, tak berani menunjukkan mukaku di dunia persilatan lagi". Ketika ia memikirkan hal ini, ia berseru dalam hati, "Dalam keadaan seperti ini, apa lagi yang harus kusembunyikan?" Ia mendongak dan bersuit, lalu menerjang ke depan dengan miring sambil menebas melintang dengan sangat cepat, sebelum lima atau enam jurus berlalu, pedangnya telah mengeluarkan suara berdesir yang sayup-sayup. Makin lama gerakan pedangnya makin cepat, suara pedangnyapun makin keras. 'Ilmu Pedang Topan Badai' ini diciptakan oleh Feng Buping selama ia hidup dalam pertapaan selama lima belas tahun dan sangat dibanggakannya. Setiap jurusnya lebih cepat dari jurus sebelumnya dan suara berdesirnya juga makin lama makin keras. Ambisinya sangat besar, ia tak hanya ingin merebut jabatan ketua Perguruan Huashan, namun setelah menjadi ketua Perguruan Huashan, ia juga ingin menjadi ketua perserikatan Perguruan Pedang Lima Puncak. Dan untuk mencapai tujuan itu ia mengandalkan 'Ilmu Pedang Topan Badai' yang terdiri dari seratus delapan jurus ini. Ia tak mau sembarangan mempertunjukkan ilmu andalannya ini, karena begitu dipertunjukkan, seluk beluknya akan terlihat. Kalau setelah itu ia bertarung dengan para jago kelas satu, musuh sudah akan bersiap-siap, sehingga ia akan sulit menang dengan membuat lawan terkejut. Namun saat ini ia bagai menunggang harimau, kalau ia tak bisa mengalahkan Linghu Chong, ia akan kehilangan muka, oleh karena itu ia terpaksa mengerahkan ilmu simpanannya itu.

'Ilmu Pedang Topan Badai' ini memang sangat kuat, ujung pedang mengeluarkan tenaga sedikit demi sedikit, para penonton hanya merasakan hawa dingin yang meliputi mereka, wajah dan tangan seperti terkena hembusan angin kencang hingga samar-samar terasa nyeri, mau tak mau mereka mundur, lingkaran yang melingkari kedua petarung itu melebar hingga garis tengahnya empat atau lima zhang.

Saat ini para jago dari Perguruan Songshan dan Hengshan, serta suami istri Yue Buqun  tak lagi berani memandang remeh Feng Buping, semua merasa bahwa ilmu pedangnya tak cuma hebat dan aneh, namun tenaga pedangnya juga sangat sebat dan ganas. Ia tak hanya mengandalkan ilmu pedangnya untuk meraih kemenangan. Nama orang ini tidak berkibar di dunia persilatan, tak nyana ilmu pedangnya begitu hebat.

Api obor yang dipegang para penunggang kuda bergoyang-goyang terkena hawa pedang, suara berdesir yang keluar dari pedang sedikit demi sedikit makin keras.

Di mata para penonton, Linghu Chong seakan sebuah perahu kecil yang terombang ambing diantara ombak setinggi seratus zhang. Topan berderu, ombak setinggi gunung, ombak putih yang setinggi langit satu demi satu menerjang perahu kecil itu, perahu kecil terombang ambing mengikuti ombak, namun tak pernah tenggelam ditelan ombak.

Semakin cepat serangan Feng Buping, Linghu Chong makin mengerti intisari ilmu pedang yang diajarkan Feng Qingyang, setiap kali bertarung, ia makin mengerti.  Semakin ia mengerti secara mendalam tentang berbagai macam jurus ilmu pedang itu, semakin kuat rasa percaya dirinya. Saat ini ia tak terburu-buru meraih kemenangan, ia hanya memperhatikan dengan seksama berbagai perubahan dalam ilmu pedang lawan. 

'Ilmu Pedang Topan Badai' itu memang amat sebat, dalam sekejap seratus delapan jurus ilmu pedang itu telah selesai dilancarkan, ketika Feng Buping melihat bahwa ia belum dapat mengalahkan Linghu Chong, ia merasa cemas, ia berulangkali berteriak, pedangnya membacok dengan miring dan menyerang dengan ganas untuk memaksa lawan menangkis serangannya. Ketika Linghu Chong melihat ia bertarung mati-matian, ia merasa agak jeri dan tak berani melawan secara langsung, pedangnya bergetar, "Wus,wus,wus,wus!", lengan kanan, lengan kiri, kaki kanan dan kaki kiri Feng Buping teriris pedang, "Trang!", pedang Feng Buping jatuh ke tanah. Tangan Linghu Chong tak bertenaga, empat serangan itu sangat lemah.

Dalam sekejap wajah Feng Buping menjadi pucat pasi, ia berkata, "Sudah, sudahlah!" Ia berbalik dan menjura ke arah Ding Mian, Lu Bai dan Tang Yinge bertiga seraya berkata, "Tiga kakak dari Perguruan Songshan, mohon sampaikan pada Ketua Perserikatan Zuo bahwa aku sangat berterimakasih atas kemurahan hatinya. Tapi......tapi kepandaianku tak sanggup menandingi orang, tak punya muka......tak punya muka......" Ia menjura sekali lagi, lalu berlari keluar, setelah berlari sepuluh zhang lebih, tiba-tiba ia berhenti dan berkata, "Anak muda, ilmu pedangmu sangat hebat, aku sangat mengagumimu. Namun dengan ilmu pedang semacam ini, kurasa Yue Buqun juga bukan tandinganmu. Mohon beritahukan marga dan namamu yang mulia, siapakah jago yang mengajarimu, supaya Feng Buping tahu siapa yang mengalahkannya".

Linghu Chong berkata, "Aku Linghu Chong, murid tertua guruku yang terhormat, Tuan Yue. Karena kemurahan hati sesepuhlah aku kebetulan menang, tak ada artinya".

Feng Buping menghela napas panjang, dalam helaan napas itu terkandung perasaan masygul dan putus asa, lalu ia berjalan dengan perlahan memasuki kegelapan. Tangan kanan Cong Buqi menekan bahunya yang luka, ia mengikuti di belakangnya.

Ding Mian, Lu Bai dan Tang Yinge bertiga saling berpandangan, mereka sama-sama berpikir, "Kalau bicara ilmu pedang, kepandaianku kemungkinan besar tidak melebihi Feng Buping, tentunya aku juga bukan tandingan Linghu Chong, kalau kita mengeroyoknya barulah kita dapat membunuhnya dengan mudah. Tetapi saat ini banyak jago dari perguruan terkemuka disini, bagaimanapun juga kita tak dapat melakukannya". Pikiran ketiga orang itu sama, mereka mengangguk-angguk. Ding Mian berkata dengan lantang, "Keponakan Linghu, ilmu pedangmu cemerlang, membuka mata kami semua, sampai berjumpa lagi!"

Tang Yinge berkata, "Kita pergi sekarang!" Ia melambaikan tangan kirinya, menarik kekang kuda, menjepitkan kedua lututnya ke tubuh kuda, berbalik dan mencongklang pergi. Orang-orang lainnya juga mengikuti di belakangnya, dalam sekejap mereka telah melarikan kudanya ke dalam kegelapan malam, suara derap kuda terdengar makin lama makin jauh, hanya tinggal orang-orang berkedok di tempat itu.

* * *

Orang tua berkedok itu tertawa dua kali dan berkata, "Pendekar muda Linghu, ilmu pedangmu cemerlang, kami semua sangat mengagumimu. Kungfu Yue Buqun jauh berada dibawahmu, seharusnya ia sudah memberikan jabatan ketua Perguruan Huashan kepadamu". Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Malam ini mataku telah terbuka melihat ilmu pedangmu yang luar biasa, seharusnya kami mundur karena tak bisa mengalahkanmu, akan tetapi kami telah menyinggung perguruanmu yang terhormat. Di kemudian hari kami akan tertimpa bencana yang tak berkesudahan, oleh karena itu hari ini kami harus mencabut rumput sampai ke akar-akarnya. Walaupun kau sudah terluka, kami terpaksa menganiayamu, menggunakan jumlah kami yang lebih banyak untuk meraih kemenangan".

Saat Ding Mian dan yang lain-lain pergi, obor telah telah dilemparkan ke tanah dengan sembarangan, untuk beberapa saat, nyala apinya belum mati sehingga bagian bawah tubuh orang-orang masih diteranginya, namun dari pinggang ke atas tak dapat terlihat dengan jelas. Senjata kelima belas orang itu berkilauan, selangkah demi selangkah mereka mendesak ke arah Linghu Chong.

Ketika Linghu Chong bertarung melawan Feng Buping barusan ini, walaupun ia tidak memakai tenaga dalamnya, sekujur tubuhnya bermandi keringat. Ia dapat mengalahkan jago Faksi Pedang Perguruan Huashan itu hanya karena ia telah mempelajari Sembilan Pedang Dugu sehingga ia bisa mengatasi berbagai jurus Feng Buping. Namun kelima belas orang berkedok ini masing-masing membawa senjata yang berbeda-beda, dan juga menggunakan jurus yang berbeda-beda, kalau mereka serentak menyerang, bagaimana ia dapat melayani mereka satu persatu? Ia sama sekali tak mempunyai tenaga dalam, ia berpikir hendak mundur tiga langkah, namun melompat setengah zhang pun ia tak sanggup, bagaimana ia bisa meloloskan diri dari kepungan lima belas jago ini?

Ia menghela napas dan memandang ke arah Yue Lingshan, ia sadar bahwa ini adalah pandangan terakhirnya sebelum maut menjemput, ia berharap memperoleh penghiburan dari ekspresi Yue Lingshan, sepasang matanya yang indah memang sedang menatapnya tanpa berkedip, sinar matanya memperlihatkan rasa khawatir yang amat sangat. Linghu Chong amat bahagia, namun dibawah cahaya obor ia melihat tangannya yang putih dan lembut tergantung di sisi tubuhnya, tak nyana sedang mengengam tangan seorang lelaki, dalam sekejap, ia melihat bahwa lelaki itu adalah Lin Pingzhi. Dada Linghu Chong terasa perih, ia makin tak punya semangat bertarung, saat itu juga ia ingin melempar pedangnya dan membiarkan musuh membunuhnya.

Kelima belas orang berkedok itu jeri akan kekuatan yang ditunjukannya ketika ia barusan ini bertarung dengan Feng Buping, mereka semua tak ada yang berani menyerang terlebih dahulu, maka mereka melangkah ke depan perlahan-lahan untuk mengepungnya.

Linghu Chong pelahan-lahan berbalik, ia melihat tiga puluh mata kelima belas orang berkedok itu berkilat-kilat dari lubang kedok mereka seperti mata binatang buas, penuh keganasan dan kekejaman. Tiba-tiba, seperti kilat dalam benaknya berkelebat sebuah pikiran, “Jurus kedelapan Sembilan Pedang Dugu yaitu ‘Jurus Pemecah Panah’ digunakan untuk mematahkan senjata rahasia. Kalaupun musuh menembakkan seribu atau selaksa anak panah, atau puluhan orang serentak melontarkan segala macam senjata rahasia, dengan menggunakan jurus ini, aku akan dapat menjatuhkan seribu satu macam senjata rahasia itu pada waktu yang sama”.

Terdengar orang tua berkedok itu berkata, “Semua serang dan cincang dia!”

Linghu Chong tak punya waktu untuk berpikir lagi, tiba-tiba ia menggerakkan pedangnya menggunakan ‘Jurus Pemecah Panah’ dari Sembilan Pedang Dugu, ujung pedang bergetar dan menikam ke mata kelima belas orang itu.

Terdengar berbagai jeritan pilu tanpa henti, “Ah!, Aiyo!”, disusul dentang denting senjata yang terjatuh ke tanah dengan kacau. Dalam sekejap, ketiga puluh mata lima belas orang berkedok itu telah terkena tusukan pedang Linghu Chong yang luar biasa cepat tanpa tanding.

‘Jurus Pemecah Panah’ dapat memukul jatuh ribuan senjata rahasia, dalam menjatuhkan begitu banyak senjata rahasia, tentunya ada yang terpukul lebih dahulu dan ada yang belakangan, namun gerakan pedang begitu cepat sehingga seakan memukul jatuh semuanya dengan serentak.  Jurus ini harus bisa menjatuhkan semua sasaran dalam sekali gerak. Kalau ada satu saja yang lolos, senjata rahasia musuh tentu akan menembus tubuh sendiri. Linghu Chong sebenarnya belum menguasai jurus ini, namun menusuk mata manusia yang perlahan-lahan mendekat tentunya lebih mudah daripada memukul jatuh senjata rahasia yang melayang dari kejauhan. Ia menusuk tiga puluh kali dan ia berhasil menusuk ketiga puluh mata itu.

Setelah ia selesai menusuk, ia menerjang keluar dari kerumunan orang itu, tangan kirinya berpegangan pada ambang pintu, wajahnya pucat pasi, tubuhnya bergoyang-goyang, “Trang!”, pedang di tangannya pun terjatuh ke tanah.

Terlihat kelima belas orang itu semua memegangi mata mereka dengan sepasang tangan mereka, darah segar mengalir tak putus-putusnya dari sela-sela jari jemari mereka. Ada yang berjongkok di tanah, ada yang meraung keras-keras, ada juga yang berguling-guling di lumpur.

Mendadak pandangan kelima belas orang itu menjadi gelap gulita, mata mereka nyeri tak tertahankan, mereka panik dan hanya bisa memegangi mata mereka sambil menjerit pilu. Kalau mereka bisa agak tenang dan meneruskan serangan berkelompok mereka, Linghu Chong tentunya sudah dicincang habis oleh kelima belas orang itu. Namun walaupun ilmu silat mereka tinggi, kalau kedua mata mereka tiba-tiba dibutakan orang, bagaimana mereka dapat tetap tenang? Dan bagaimana mereka bisa terus menyerang musuh? Kelima belas orang ini seperti lalat yang kehilangan kepalanya, menerjang kesana kemari dengan kacau, tak tahu harus berbuat apa.

Linghu Chong berada di ujung tanduk, namun tak nyana dengan sebuah serangan meraih kemenangan. Ia sangat girang, namun melihat keadaan kelima belas orang itu yang mengenaskan, mau tak mau ia merasa jeri, dan juga kasihan.

Yue Buqun terkejut sekaligus girang, ia berseru dengan lantang, “Chong er, putuskan urat kaki mereka, supaya kita bisa perlahan-lahan menanyai mereka sambil menyiksa mereka”.

Linghu Chong menjawab, “Baik……baik……” Ia membungkuk dan memungut pedangnya, namun ternyata jurus yang dilancarkannya barusan ini membuat tenaga dalamnya bergolak, sekujur tubuhnya gemetar, bagaimanapun juga ia tak sanggup mengangkat pedangnya, kedua kakinya lemas dan ia terduduk di tanah.

Orang tua berkedok itu berseru, “Semua pegang senjata dengan tangan kanan, tangan kiri tarik ikat pinggang teman, ikut aku pergi!”

Keempat belas orang berkedok lainnya tak tahu harus berbuat apa, ketika mereka mendengar teriakan orang tua itu, mereka membungkuk untuk meraba-raba tanah, tak perduli mereka mendapatkan senjata apa, mereka langsung mengambilnya, ada orang yang berhasil mendapatkan dua buah senjata, namun ada juga yang tak dapat menemukan satu senjatapun. Setiap orang memegangi ikat pinggang temannya hingga mereka membentuk sebuah barisan dan mengikuti orang tua itu pergi di tengah hujan dan lumpur.

Semua anggota Perguruan Huashan kecuali Nyonya Yue dan Linghu Chong terkena totokan dan tak bisa berkutik. Kedua kaki Nyonya Yue terluka, ia sukar melangkah. Sekujur tubuh Linghu Chong tak mampu bergerak, ia tergeletak lumpuh di tanah. Semua orang menatap dengan nanar kelima belas orang berkedok yang telah tak berdaya itu, namun tak ada seorangpun yang mampu menahan mereka.


No Comment
Add Comment
comment url