Pendekar Hina Kelana Bab 37 - Kawin Paksa

      << Bab Sebelumnya - Halaman Utama Pendekar Hina Kelana - Bab Selanjutnya >>

Terjemahan Cersil Pendekar Hina Kelana

oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Jin Yong (Chin Yung / Louis Cha)
Berdasarkan novel edisi ketiga.

[Kedua sosok dalam pantulan air tampak persis sama, keduanya mengenakan jubah wanita longgar, bahkan sanggul rambutnya pun tidak berbeda. Seperti salinan persis dirinya. Linghu Chong sangat ketakutan hingga jantungnya hampir berhenti berdetak.]

Smiling Proud Wanderer Jilid 4

Bab XXXVII - Kawin Paksa

Bagian Pertama

Linghu Chong dan Yingying meninggalkan lembah, setelah berjalan separuh hari, mereka tiba di sebuah kota kecil, disana mereka pergi ke sebuah warung mi dan makan mi.

Linghu Chong menjepit beberapa helai mi dengan sumpitnya, sambil tersenyum menawan ia berkata, "Aku dan kau belum menikah......" Yingying merasa jengah sehingga wajahnya memerah, ia berkata dengan kesal, "Siapa yang mau menikah denganmu?" Sembari tersenyum Linghu Chong berkata, "Kelak kita toh harus kawin. Kalau kau tak mau, aku akan menangkap dan menikahimu". Yingying seakan tersenyum tapi tak tersenyum, katanya, "Di lembah kau bersikap manis, tapi begitu keluar langsung bicara angin-anginan tak keruan lagi". Linghu Chong tertawa dan berkata, "Peristiwa penting yang hanya terjadi seumur hidup adalah hal yang sangat serius. Yingying, hari itu di lembah, mendadak terpikir olehku, kelak jika aku dan kau sudah menjadi suami istri, sebaiknya kita punya berapa orang putra?" Yingying bangkit, alisnya yang cantik sedikit berkerut, katanya, "Kalau kau bicara seperti ini lagi, aku tak mau ikut kau ke Hengshan". Linghu Chong berkata sembari tertawa, "Baiklah, baiklah, aku tak akan bicara lagi, aku tak akan bicara lagi. Karena di lembah itu banyak pohon persik, sepertinya lembah itu adalah sebuah lembah persik, kalau ada enam setan kecil yang berlarian di dalamnya, bukankah mereka akan menjadi Taogu Liuxian kecil?"

Yingying duduk dan bertanya, "Dari mana datangnya enam setan kecil itu?" Begitu perkataan itu terucap, ia langsung sadar, ia memelototi Linghu Chong, lalu menunduk dan makan mi, tapi dalam hati ia merasa amat bahagia. 

Linghu Chong berkata, "Kalau kita pergi ke Hengshan bersama, akan ada beberapa orang yang berpikiran kotor, dan ada juga yang mengira bahwa kita sudah menikah, kalau ada orang yang diam-diam bicara sembarangan, aku khawatir kau tak akan senang". Perkataan itu mencerminkan apa yang ada dalam pikiran Yingying, katanya, "Benar sekali. Untung saja saat ini aku dan kau memakai pakaian petani sehingga belum tentu dikenali orang". Linghu Chong berkata, "Kau begitu cantik, tak perduli mau berdandan bagaimana, selalu akan membuat bumi berguncang. Kalau orang lain melihat kita, mereka akan diam-diam bersorak memuji, 'Hei, ada seorang nona besar petani yang jelita, kenapa dia mengikuti bocah tolol ini, bukankah seperti setangkai bunga segar yang ditancapkan di setumpuk tahi kerbau?' Setelah memperhatikan dengan seksama, mau tak mau mereka akan mengenali setangkai bunga segar itu sebagai Ren Da Xiaojie dari Riyue Shenjiao, sedangkan setumpuk tahi kerbau itu adalah si bodoh Linghu Chong yang disukai Ren Da Xiaojie". Yingying berkata sembari tertawa, "Yang mulia tak usah begitu merendahkan diri". 

Linghu Chong berkata, "Menurutku, kali ini kita naik ke Hengshan, aku harus  menyamar dahulu sebagai seseorang yang sama sekali tak menarik perhatian orang, lalu diam-diam menyelidiki apa yang terjadi. Kalau semuanya baik-baik saja, aku akan menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya, menyerahkan kedudukan ketua pada orang lain, lalu bertemu denganmu di sebuah tempat rahasia dan turun gunung bersama, sehingga dewa dan setanpun tak tahu, bagus bukan?" 

Mendengarnya berbicara seperti itu, Yingying tahu bahwa ia sangat memikirkan dirinya sehingga ia merasa sangat senang, ia tersenyum dan berkata, "Itu bagus sekali, tapi  kau naik ke Hengshan karena ingin menemui para shitai, paling baik kalau kau sendiri mencukur kepalamu, lalu berdandan sebagai seorang shitai sehingga orang lain tak curiga. Chong ge, kemarilah, aku akan membantumu menyamar, kalau kau berdandan sebagai seorang biksuni kecil, jangan-jangan kau akan jadi biksuni yang sangat cantik dan menawan". Linghu Chong menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tak bisa, tak bisa. Begitu melihat biksuni, aku pasti kalah judi. Kalau Linghu Chong menyamar sebagai biksuni, nanti aku akan sial selamanya, jelas tak bisa". Yingying tertawa dan berkata, "Asalkan kau tak bercermin, kau tak akan melihat dirimu sendiri. Seorang lelaki sejati harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, begitu naik ke Hengshan, kau pasti sudah melihat biksuni, tapi ternyata kau masih percaya takhayul begini. Aku harus mencukur kepalamu". 

Linghu Chong berkata sembari tertawa, "Aku tak perlu menyamar menjadi biksuni, tapi untuk naik ke Puncak Jianxing, aku harus menyamar menjadi seorang wanita. Tapi begitu aku bicara, orang yang mendengar akan langsung tahu bahwa aku seorang lelaki. Aku punya ide, kau ingat seseorang di Kuil Xuankong di Bukit Cuiping?" Yingying mengumam, lalu bertepuk tangan seraya berkata, "Bagus sekali, bagus sekali! Di Kuil Xuankong ada seorang babu tua yang bisu dan tuli, ketika kita membuat keributan besar di Kuil Xuankong, dia sama sekali tak mendengar apa-apa. Kalau kita menanyainya, ia cuma tertegun saja sambil memandangimu. Kau ingin menyamar sebagai orang ini?" Linghu Chong berkata, "Tepat sekali". Yingying berkata sembari tertawa, "Baik. Ayo kita beli pakaian untuk penyamaranmu".

Yingying mengurai rambut Linghu Chong yang panjang, dengan teliti menyisirnya dan membuat sebuah konde, menancapkan sebuah tusuk konde di atasnya, lalu membantunya bertukar pakaian seorang wanita petani tua, sehingga ia persis seperti seorang perempuan. Setelah itu ia memakaikan bedak kuning di wajahnya, mengambarinya dengan tujuh atau delapan tahi lalat hitam, lalu menempelkan selembar koyo di pipi kanannya. Ketika Linghu Chong bercermin, ia tak mengenali dirinya sendiri. Yingying tertawa dan berkata, "Penampilan luarmu sudah mirip, tapi ekspresimu belum. Ekspresimu harus bodoh dan ketolol-tololan". Linghu Chong berkata sembari tertawa, "Berekspresi bodoh itu gampang sekali, aku tak usah berpura-pura, sedangkan ketolol-tololan memang sifat asli Linghu Chong". Yingying berkata, "Yang paling penting ialah kalau ada orang yang tiba-tiba berteriak mengejutkanmu dari belakang, kau sama sekali tak boleh bersuara". 

Di sepanjang jalan, Linghu Chong berlatih menyamar sebagai babu tua yang bisu tuli itu. Mereka tak lagi menginap di penginapan, tapi bermalam di sebuah kuil rusak. Yingying sesekali mengejutkannya dari belakang, tapi Linghu Chong berlagak tak mendengar. Tak sampai sehari kemudian, mereka tiba di kaki Hengshan. Mereka berjanji akan bertemu tiga hari kemudian di samping Kuil Xuankong. Linghu Chong sendirian naik ke Puncak Jianxing untuk menyelidiki keadaaan, sedangkan Yingying berpesiar di sekitarnya. 

* * * 

Ketika ia tiba di Puncak Jianxing, hari sudah menjelang senja, Linghu Chong berpikir, "Yiqing, Zheng E dan Yilin Shimei sangat waspada, kalau aku langsung masuk ke dalam biara, setelah memperhatikanku, mereka pasti akan curiga, lebih baik aku diam-diam melihat keadaan dahulu". Ia segera mencari sebuah gua yang terpencil untuk tidur, ketika terbangun, bulan sudah tinggi di atas langit, maka ia segera berlari ke Biara Wuse di Puncak Jianxing. 

Ketika sedang melangkah mendekati biara, ia mendengar bunyi dentang denting pedang beradu, hati Linghu Chong terkesiap, "Bagaimana sampai bisa ada musuh datang kemari?" Ia meraba pedang pendek yang tersembunyi di sisi tubuhnya, lalu melompat dan berlari ke tempat suara pedang berasal. Suara senjata beradu itu berasal dari sebuah rumah kecil beratap genting yang berjarak beberapa zhang dari Biara Wuse, sinar lentera memancar keluar dari jendela rumah itu. Linghu Chong berlari ke samping rumah itu, namun suara senjata beradu kedengaran makin santer, ia mengintip dari sela-sela jendela dan langsung merasa lega, ternyata dua saudari seperguruan yaitu Yihe dan Yilin sedang berlatih pedang, sedangkan Yiqing dan Zheng E menonton mereka. 

Ilmu pedang yang dipakai Yihe dan Yilin memang ilmu yang sebelumnya diajarkannya pada mereka, yaitu ilmu pedang Hengshan yang dipelajarinya dari dinding gua belakang Siguoya di Huashan. Mereka berdua sudah cukup mahir ilmu pedang itu. Setelah berlatih untuk beberapa lama, gerakan pedang Yihe makin cepat, namun Yilin kurang berkonsentrasi, Yihe menikam ke arah leher Yilin, Yilin hendak menangkis serangan itu, namun sudah terlambat, "Ah!", serunya pelan. Pedang Yihe telah menuding ulu hatinya, sambil tersenyum simpul ia berkata, "Shimei, kau sudah kalah". 

Yilin amat malu, dengan lirih ia berkata, "Shimei sudah berlatih terus menerus, tapi sama sekali tak ada kemajuan". Yihe berkata, "Kalau dibandingkan dengan sebelumnya, sudah ada kemajuan. Ayo kita coba lagi". Pedangnya menebas di udara kosong. Yiqing berkata, "Xiao shimei sudah lelah, pergilah tidur dengan Zheng Shimei, besok kita berlatih lagi". Yilin berkata, "Baik". Ia menyarungkan pedangnya, menghormat pada Yihe dan Yiqing, menarik tangan Zheng E, lalu mendorong pintu dan keluar. Saat ia berpaling, Linghu Chong melihat bahwa wajahnya tirus dan pucat, pikirnya, "Hati xiao shimei ini selalu tak bahagia". 

Yihe menutup pintu lalu saling berpandangan dengan Yiqing sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ia menunggu sampai suara langkah kaki Yilin dan Zheng E menjauh, lalu berkata, "Kulihat hati Yilin Shimei selalu tak tenang. Pikirannya galau, hal ini adalah pantangan besar bagi kita orang beragama, aku tak tahu lagi bagaimana sebaiknya menasehatinya". Yiqing berkata, "Menasehatinya amat sukar, ia sendirilah yang harus sadar". Yihe berkata, "Aku tahu kenapa hatinya selalu tak tenang, dalam hati ia selalu memikirkan....." Yiqing mengoyang-goyangkan tangannya seraya berkata, "Tempat ini adalah tempat Buddha yang tenang, mohon shizi jangan berbicara seperti itu. Kalau kita tak harus buru-buru membalas dendam kesumat guru, kita dapat membiarkannya perlahan-lahan sadar sendiri". 

Yihe berkata, "Guru sering berkata bahwa semua di dunia ini sudah ditakdirkan, tak boleh dipaksakan; terlebih lagi dalam memusatkan pikiran, yang harus dilakukan selangkah demi selangkah, kalau dipaksakan seseorang akan mudah jatuh ke dalam kesesatan. Menurutku Yilin Shimei di luarnya kelihatan tenang namun hatinya penuh gairah, orang berwatak seperti ini tak cocok masuk ke agama Buddha". Yiqing menghela napas, lalu berkata, "Aku sama sekali tak menduganya, tapi......tapi.....pada akhirnya perguruan kita harus diketuai oleh seorang beragama Buddha, Linghu Shixiong pernah berkata bahwa ia menjabat sebagai ketua hanya untuk sementara saja; yang lebih penting lagi, si keparat Yue Buqun itu telah membunuh kedua paman guru kita......" 

Ketika mendengarkan sampai disini, Linghu Chong amat terkejut, "Kenapa shifuku bisa membunuh kedua paman guru mereka?" 

Terdengar Yiqing meneruskan berbicara, "Kalau kita tak membalaskan dendam kesumat ini, sebagai murid kita tak bisa makan dan tidur dengan tenang". Yihe berkata, "Aku lebih tak sabaran lagi dibandingkan denganmu, baiklah, mulai besok pagi, aku akan mempercepat latihan pedangnya". Yiqing berkata, "Kata pepatah, buru-buru tak akan membawa hasil, jangan terlalu memaksa dia. Kulihat beberapa hari belakangan ini 
semangatnya makin lama makin lemah". Yihe berkata, "Benar". Kedua kakak beradik seperguruan itu membereskan senjata, meniup lentera hingga padam, lalu masuk ke kamar untuk tidur. 

Linghu Chong berdiri diam-diam di depan kamar, pikirannya penuh rasa sangsi, "Kenapa mereka bisa berkata bahwa shifuku telah membunuh paman guru mereka? Dan untuk apa demi membalas dendam guru harus ada orang yang menjabat sebagai ketua dahulu, dan harus mengawasi Yilin Xiao Shimei berlatih pedang siang dan malam?" Untuk beberapa saat ia termenung-menung, namun tak dapat mengerti alasannya, maka ia perlahan-lahan melangkah pergi sambil berpikir, "Nanti akan kutanyakan saja pada Yihe dan Yiqing Shizi". Mendadak ia melihat bahwa bayangannya sendiri di atas tanah nampak bergoyang-goyang, ia mendongak dan memandang bulan, terlihat cahaya rembulan seakan tergantung miring di atas pucuk-pucuk pohon, mendadak dalam benaknya berkelebat sebuah ide, ia hampir saja berteriak, pikirnya, "Seharusnya aku sudah mengerti tentang hal ini. Kenapa mereka sudah tahu, tapi aku tidak?" 

Ia berjalan sampai ke sebuah rumah kecil, bersandar di tembok luarnya supaya orang-orang Hengshan Pai tak bisa melihat sosoknya, lalu berpikir dengan penuh konsentrasi, ia mengingat keadaan hari itu di Biara Shaolin ketika Dingxian dan Dingyi Shitai tewas terbunuh:

"Saat itu Dingyi Shitai sudah tewas, setelah Dingxian Shitai memintaku untuk menjadi ketua Hengshan Pai, ia segera meninggal dunia, beliau sama sekali tak menyebutkan siapa yang mencelakai mereka. Ketika diperiksa, di tubuh kedua shitai itu sama sekali tak ada bekas luka, mereka sama sekali tak terluka dalam, apalagi terkena racun, penyebab kematian mereka sungguh aneh, namun tak patut bagiku untuk membuka pakaian mereka untuk menyelidiki luka mereka dengan seksama.

Setelah meninggalkan Biara Shaolin, dalam gua di tengah belantara bersalju itu, Yingying berkata bahwa di Biara Shaolin ia telah membuka baju kedua shitai itu untuk memeriksa luka mereka, dan melihat bahwa di jantung kedua shitai itu terdapat titik merah yang sebesar lubang tusukan jarum, yang dipergunakan seseorang untuk menusuk mereka hingga mati. Saat itu aku melompat sambil berkata, 'Jarum beracun? Di dunia persilatan, siapa yang memakai jarum beracun?" Yingying berkata, "Ayah dan Paman Xiang sangat berpengalaman, tapi mereka sendiri juga tak tahu. Kata ayah, jarum itu sama sekali bukan jarum beracun, melainkan sebuah senjata, begitu ditusukkan ke bagian penting tubuh, orang itu akan mati. Tapi jarum yang menusuk jantung Dingxian Shitai itu agak miring'. Aku berkata, 'Benar, saat aku melihat Dingxian Shitai, ia belum berhenti bernapas. Kalau jarum ini bisa ditusukkan ke dadanya, ia tidak disergap, tapi mereka bertarung dengan terang-terangan. Orang yang membunuh kedua shitai itu adalah seorang jago kelas wahid'. Yingying berkata, 'Ayahku juga berkata demikian, karena sudah punya petunjuk ini, tak sulit untuk mencari orang itu'. 

Sepasang tangan Linghu Chong berbalik menekan dinding itu, tanpa terasa tubuhnya gemetar, pikirnya, "Jago yang menggunakan jarum untuk membunuh kedua shitai itu kalau bukan seseorang yang telah mempelajari Kuihoa Baodian adalah orang yang telah mempelajari Pixie Jianfa. Dongfang Bubai selalu menyulam di kamar rias di Heimuya, ia tak mungkin datang ke Biara Shaolin untuk membunuh orang, dengan ilmu silatnya yang seperti itu, tak mungkin ia tak dapat membunuh Dingxian Shitai dengan sekali tusuk. Pixie Jianfa yang dipelajari Zuo Lengchan palsu. Saat itu Lin Shidi belum lama mulai mempelajari Pixie Jianfa, ia belum tentu telah mahir menggunakannya, atau mungkin ia bahkan belum mendapatkan kitab pedang itu......" Ia mengingat kejadian saat ia berjumpa dengan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di tempat bersalju itu, pikirnya, "Benar. Saat itu suara Lin Pingzhi belum berubah seperti suara perempuan, tak perduli apakah saat itu ia telah mendapatkan kitab pedang itu atau belum, ia pasti belum mahir memainkan Pixie Jianfa". 

Ketika berpikir sampai disitu, keringat dingin bercucuran di dahinya. Saat itu jago yang bisa bertarung secara terang-terangan dengan kedua shitai itu dan membunuh mereka dengan jarum, serta yang ilmu silatnya tak banyak lebih unggul dari Dingxian Shitai sehingga tusukan jarumnya tak bisa langsung membunuhnya, hanya Yue Buqun seorang. Ia juga teringat bagaimana Yue Buqun terus menerus bermuslihat untuk merebut kedudukan ketua Wuyue Pai, sehingga ia dapat membiarkan Lao Denuo selama belasan tahun menyusup ke dalam perguruan sendiri tanpa membuka kedoknya, dan akhirnya membiarkannya mencuri sebuah kitab pedang palsu sehingga ia dapat dengan mudah menusuk mata Zuo Lengchan hingga buta. Dingxian dan Dingyi Shitai berusaha dengan sekuat tenaga untuk menentang peleburan perguruan, maka Yue Buqun mengambil kesempatan untuk membinasakan mereka, guna mengurangi halangan terhadap peleburan perguruan, hal ini sangat masuk akal. Kenapa Dingxian Shitai tak mau mengatakan siapa yang mencelakai dirinya? Tentunya karena Yue Buqun adalah gurunya. Kalau si pembunuh adalah Zuo Lengchan atau Dongfang Bubai, mana mungkin Dingxian Shitai tak mengatakannya?" 

Linghu Chong kembali mengingat percakapannya dengan Yingying di gua bersalju itu. Ketika ia ditendang keras-keras oleh Yue Buqun di Biara Shaolin, tak nyana ia sama sekali tak terluka, justru tulang kaki Yue Buqunlah yang patah, sehingga Yingying merasa amat heran. Ia berkata bahwa ayahnya memikirkan hal ini selama setengah hari, namun tak mengerti sebabnya. Linghu Chong telah menghisap tenaga dalam banyak orang, yang tentunya sudah cukup untuk melindungi tubuhnya, namun ia harus mengerahkan tenaga untuk melukai orang lain, tak seperti ilmu tenaga dalam yang telah dipelajari Ren Woxing, yang tanpa harus mengerahkan tenaga dalam dapat membuat tenaga musuh yang menyerang berbalik sendiri. Ketika memikirkan hal ini, ia sadar bahwa Yue Buqun tentunya sengaja berpura-pura untuk menipu Zuo Lengchan, kalau kakinya itu tak benar-benar patah, ia tentunya telah mengguncangnya sendiri hingga patah dengan tenaga dalamnya, supaya Zuo Lengchan dapat melihatnya dan mengira bahwa ilmu silatnya biasa-biasa saja dan tak perlu dikhawatirkan, dan terus menjalankan rencananya untuk melebur perguruan. Zuo Lengchan telah berusaha sekuat tenaga untuk melebur perguruan, namun ketika peleburan perguruan akhirnya terjadi, Yue Buqun menjulurkan tangannya dan dengan mudah merebut hasil jerih payahnya. 

Pemikiran ini tak sulit untuk dimengerti, hanya saja ia tak pernah bisa mencurigai sang guru, barangkali dalam lubuk harinya yang terdalam ia telah samar-samar memikirkannya, tapi begitu berpikir ke arah itu, ia langsung menghindar dan tak mau memikirkannya lagi. Ia tak berani berpikir tentang hal itu lagi sampai ia mendengar perkataan Yihe dan Yiqing, saat itu ia tak lagi dapat menghindarinya. 

Seumur hidupnya ia mengasihi dan menghormati sang guru, namun tak nyana sang guru ternyata orang semacam itu. Ia merasa hidupnya tak berarti, untuk sesaat ia merasa tak punya semangat untuk pergi ke Halaman Lain Hengshan untuk menyelidik, ia ingin berbaring saja di sebuah lembah terpencil dan pergi tidur. 

* * * 

Pagi-pagi keesokan harinya, ketika Linghu Chong tiba di Lembah Tongyuan, hari sudah terang benderang. Ia pergi ke tepi sebuah kali kecil dan bercermin di permukaan air kali itu untuk memeriksa penampilannya setelah menyamar, juga untuk memperhatikan apakah ada yang salah dalam pakaian dan sepatunya, setelah itu ia baru berjalan ke Halaman Lain. Ia memutari gerbang utama dan bermaksud untuk masuk dari pintu samping, namun begitu ia sampai di pintu samping, terdengar suara ribut. 

Terdengar banyak orang berteriak-teriak dengan riuh rendah di halaman itu, "Aneh sekali! Sialan, perbuatan siapa ini?" "Kapan ia berbuat? Bagaimana dewa dan setan tak tahu, tapi ia dapat melakukannya dengan begitu rapi jali?" "Ilmu silat orang-orang ini tak jelek, kenapa mereka bisa dikerjai orang tanpa sempat bersuara seperti ini?" Linghu Chong tahu dengan jelas bahwa telah terjadi suatu keanehan, ia masuk dari pintu samping dan melihat bahwa halaman dan serambi penuh orang, mereka semua sedang memandangi pucuk sebatang pohon gingko. 

Linghu Chong mendongak dan merasa amat heran, pikirannya tak berbeda dengan orang-orang yang berteriak-teriak dengan ribut itu, ia melihat delapan orang tergantung tinggi-tinggi di pucuk pohon itu, yaitu Chou Songnian, Nyonya Zhang, Biksu Sibao, Pendeta Yuling dan yang lainnya bertujuh, sedangkan seorang lainnya ialah si 'Licin Yang Tak Dapat Dipegang' You Xun. Kedelapan orang itu jelas telah ditotok jalan darahnya, keempat anggota tubuh mereka terikat erat, dan mereka tergantung sambil terayun-ayun di cabang pohon itu sekitar satu zhang di atas permukaan tanah, selain terayun-ayun ditiup angin, mereka sama sekali tak dapat berkutik. Raut wajah kedelapan orang itu amat jengah, benar-benar jarang terlihat di dunia ini. Dua ekor ular hitam mengeliat-geliat diantara tubuh kedelapan orang itu, yaitu senjata rahasia yang dibawa si 'Pengemis Jahat Sepasang Ular' Yan Sanxing. Kalau ular-ular itu membelit tubuh Yan Sanxing, tidaklah jadi soal, namun kalau mereka berkeliaran di tubuh orang-orang lainnya, di tengah ekspresi wajah mereka yang gusar dan malu, muncul rasa jeri dan jijik. 

Dari tengah kerumunan orang itu seseorang melompat, ia adalah sang burung hantu malam, si 'Kehabisan Akal' Ji Wushi. Tangannya mengenggam sebilah pisau, ia melompat ke batang pohon, lalu memotong tali tambang yang menggantung 'Sepasang Orang Aneh Tongbai'. Kedua orang itu terjatuh dari udara, Lao Touzi yang bertubuh buntak menjulurkan tangannya untuk menyambut mereka, lalu menaruh mereka di atas tanah. Dalam sekejap, Ji Wushi telah membantu kedelapan orang itu hingga dapat turun dari pohon dan membuka jalan darah mereka yang tertotok.

Begitu Chou Songnian dan yang lainnya bebas, mereka langsung memaki-maki tak keruan dengan kata-kata kotor. Mereka melihat para penonton menatap mereka, ada yang tersenyum-senyum dan ada pula yang terheran-heran. Seseorang berkata, "Telah!" Seseorang berkata, "Persekongkolan!" Seseorang berkata, "Awas!" Seseorang berkata, "Jiwa!" Nyonya Zhang berpaling dan melihat bahwa di dahi Chou Songnian bertujuh masing-masing tertera sebuah huruf yang ditulis dengan tinta merah, ada yang berbunyi 'Telah', dan ada yang berbunyi 'Rahasia', ia menduga bahwa di dahinya sendiri tentunya juga tertera sebuah huruf, maka ia cepat-cepat menghapusnya. 

Zu Qianqiu telah berhasil menebak bunyi delapan huruf yang tertera di dahi kedelapan orang itu, katanya, "Persekongkolan telah dibongkar, awas jiwa anjingmu!" Biksu Sibao memaki keras-keras, "Persekongkolan apa yang telah dibongkar, nenekmu, awas jiwa anjing siapa?" Pendeta Yuling mengoyang-goyangkan tangannya untuk menghalanginya, ia meludah ke telapak tangannya, lalu menghapus tulisan di dahinya. Zu Qianqiu berkata, "Saudara You, entah bagaimana kalian berdelapan bisa disergap orang, apa kau dapat menceritakannya pada kami?". You Xun tersenyum kecil, lalu berkata, "Sungguh memalukan, kemarin malam caixia tertidur nyenyak, entah bagaimana, tiba-tiba terkena totokan orang, lalu digantung di pohon yang tinggi ini. Keparat yang turun tangan, kemungkinan besar menggunakan obat bius semacam 'Dupa Peredam Kokok Ayam Subuh', kalau adik yang kepandaiannya rendah terkena sergapan orang memang sudah lumrah, tapi tokoh-tokoh yang waspada dan pemberani seperti Pendeta Yuling dan Nyonya Zhang ini kenapa bisa ikut terkena sergapan orang?" Nyonya Zhang mendengus dan berkata, "Tentu begitulah kejadiannya". Ia tak ingin banyak bicara dengan orang lain dan cepat-cepat masuk ke dalam untuk bercermin dan mencuci muka, Pendeta Yuling dan yang lainnya juga ikut masuk. 

Para pendekar tak henti-hentinya berbicara, banyak yang berdecak karena merasa kejadian itu aneh, mereka semua berkata, "Perkataan You Xun itu tidak benar". Seseorang berkata, "Kita berpuluh-puluh orang tidur di dalam aula, kalau ada yang melepaskan obat bius, seharusnya puluhan diantara kita juga terkena, kenapa hanya membius mereka saja?" Mereka berpikir tentang persekongkolan yang dimaksudkan dalam perkataan 'persekongkolan telah dibongkar' itu, karena mereka tak tahu apa yang dimaksud, timbul berbagai macam dugaan dan mereka tak dapat menentukan dugaan mana yang benar. Seseorang berkata, "Entah siapa jago yang mengantung mereka berdelapan di pucuk pohon itu?" 

Seseorang berkata, "Untung saja saat ini si enam orang aneh lembah persik belum datang, kalau tidak keadaan akan menjadi ramai". Seseorang lain berkata, "Darimana kau tahu kalau ini bukan perbuatan Taogu Liuxian? Keenam bersaudara itu aneh bin ajaib, kemungkinan besar ini adalah perbuatan mereka". Ji Wushi mengeleng-geleng seraya berkata, "Tak mungkin, tak mungkin, sama sekali tak mungkin". Orang yang sebelumnya berbicara berkata, "Dari mana Saudara Ji tahu?" Ji Wushi berkata sembari tertawa, "Walaupun ilmu silat Taogu Liuxian tinggi, namun mereka tak pernah makan sekolahan, kujamin mereka tak bisa menulis kata 'persekongkolan' itu. Kalaupun mereka bisa menulisnya, tulisan mereka pasti tak benar". Para pendekar tertawa terbahak-bahak, mereka semua berkata bahwa perkataannya itu masuk akal. Semua orang sibuk membicarakan peristiwa yang menarik itu, tak ada seorangpun yang memandang Linghu Chong yang sedang menyamar sebagai babu tua yang ketolol-tololan. 

Linghu Chong berpikir, "Mereka berdelapan bersekongkol untuk melakukan apa? Kemungkinan besar mereka bermaksud jelek terhadap Hengshan Pai kami". 

Siang itu, mendadak terdengar seseorang berteriak keras-keras di luar, "Aneh, aneh, kalian semua lihatlah!" Para pendekar berbondong-bondong keluar, Linghu Chong perlahan-lahan mengikuti dari belakang, ia melihat bahwa di sebelah kanan Halaman Lain, puluhan orang sedang mengerumuni sesuatu, para pendekar cepat-cepat berlari mendekat. Linghu Chong berjalan menghampiri mereka dan mendengar bahwa semua orang sedang berbicara dengan ribut. Belasan orang nampak sedang duduk di kaki bukit sambil menghadap puncak gunung, jelas bahwa mereka telah kena totok sehingga sama sekali tak bisa berkutik. Di tebing gunung tertulis delapan kata dengan lumpur kuning, yaitu lagi-lagi 'Persekongkolan telah dibongkar, awas jiwa anjingmu'. 

Beberapa orang segera membalikkan belasan orang yang terduduk itu, ternyata diantara mereka terdapat 'Sepasang Beruang Gurun Utara' yang gemar makan daging manusia. 

Ji Wushi maju ke depan, memijat punggung Sepasang Beruang Gurun Utara untuk membuka titik bisu mereka, namun tak membuka titik jalan darah lain mereka, sehingga mereka masih tak bisa berkutik, katanya, "Ada suatu hal yang masih caixia tak mengerti, mohon petunjuk dari kalian". Mohon beritahu kami, kalian terlibat dalam persekongkolan apa? Kami semua ingin tahu". Para pendekar berkata, "Benar, benar! Ada persekongkolan apa, kalian bicaralah supaya semua orang dapat mendengarnya". 

Beruang Hitam memaki-maki, "Terkutuklah delapan belas generasi leluhur sialannya, mana ada persengkokolan? Persengkokolan anak bulusmu". Zu Qianqiu berkata, "Siapa yang menotok kalian? Beritahukanlah kepada kami". Beruang Putih berkata, "Coba kalau aku tahu. Aku sedang berjalan-jalan dengan tenang di sisi gunung, lalu punggungku terasa kesemutan, ternyata aku telah ditotok oleh si haram jadah cucu bulus itu. Seorang lelaki sejati seharusnya berkelahi dengan terang-terangan, orang macam apa yang membokong orang dari belakang?" 

Zu Qianqiu berkata, "Kalau kalian berdua tak mau bicara, tak apa-apa. Tapi karena masalah ini sudah terbongkar, kurasa rencana mereka tak akan berhasil, hanya saja kita semua harus waspada". Seseorang berseru keras-keras, "Saudara Zu, kalau mereka tak mau bicara, biarkan mereka kelaparan di sisi gunung ini selama tiga hari tiga malam". Seseorang lain berkata, "Benar, orang yang memasang bel harus melepaskannya pula. Karena kau melepaskan mereka, jago itu tentunya akan menyalahkanmu, menotokmu dan mengantungmu, pasti tak menyenangkan". Ji Wushi berkata, "Perkataan itu tak salah. Saudara-saudara, aku sama sekali bukan sedang enak-enak menonton saja, sebenarnya aku merasa agak jeri". 

Beruang Hitam dan Beruang Putih saling berpandangan, lalu memaki-maki tak keruan, namun makian mereka tak jelas sasarannya, dan mereka juga tak berani memaki leluhur-leluhur Ji Wushi. Kalau tidak, karena mereka masih tak bisa berkutik, seandainya lawan hendak berbuat kasar, mereka akan tak berdaya membalas. 

Ji Wushi tertawa sambil merangkap tangan, lalu berkata, "Saudara-saudara, aku pergi dulu". Ia berbalik dan melangkah pergi. Orang-orang yang masih berkerumun masih bergunjing sejenak, lalu perlahan-lahan bubar.

* * * 

Linghu Chong perlahan-lahan berjalan kembali, ketika ia baru tiba di luar halaman, ia mendengar orang-orang berteriak-teriak dan tertawa-tawa di dalam, ia mendongak dan melihat dua orang lagi-lagi tergantung di pohon gingko, yang seorang adalah si Buke Bujie Tian Boguang, sedangkan yang seorang lagi ialah Biksu Bujie. Linghu Chong merasa amat heran, "Bujie Dashi adalah ayah Yilin Xiao Shimei, sedangkan Tian Boguang adalah murid xiao shimei. Bagaimanapun juga mereka tak mungkin membuat susah Hengshan Pai. Kalau Hengshan Pai mengalami kesulitan, mereka berdua justru akan sekuat tenaga menolong. Kenapa mereka juga digantung di atas pohon?" Sebelumnya ia merasa sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun mendadak semua pemikirannya seakan dijungkirbalikkan, dalam benaknya muncul sebuah pikiran, "Bujie Dashi sifatnya polos dan ia tak bermusuhan dengan siapapun, kenapa dia sampai digantung di atas pohon? Tentunya ada orang yang sedang mengerjainya. Untuk menangkap Biksu Bujie tak cukup seorang saja, kemungkinan besar Taogu Liuxian yang melakukannya". Namun ia ingat bahwa sebelumnya Ji Wushi berkata bahwa Taogu Liuxian tak mampu menulis kata 'persengkokolan', perkataannya itu sangat masuk akal. 

Berbagai kecurigaan berkecamuk dalam benaknya selagi ia perlahan-lahan berjalan memasuki halaman, ia melihat bahwa pita-pita kain kuning tergantung dari tubuh Biksu Bujie dan Tian Boguang, pita-pita itu penuh tulisan. Pita di tubuh Biksu Bujie berbunyi, 'Lelaki paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini'. Pita di tubuh Tian Boguang berbunyi, 'Orang yang paling semberono dan tak becus di kolong langit ini'. Pikiran pertama yang muncul di benak Linghu Chong adalah, "Kedua pita itu salah tempat, masa Biksu Bujie adalah 'lelaki yang paling doyan main perempuan'? Seharusnya tulisan itu digantung di tubuh Tian Boguang, sedangkan tulisan 'paling semberono' itu seharusnya cocok dengan Biksu Bujie, ia tak berpantang membunuh, tak berpantang makan daging, dan berani menikahi seorang biksuni selagi menjadi biksu, tentu saja semua ini adalah perbuatan yang semberono, tapi entah darimana datangnya gelar 'tak becus' itu?" Tapi kedua helai pita itu nampak terikat dengan rapi di leher mereka berdua, sepertinya tak digantung dengan tergesa-gesa. 

Para pendekar menunjuk-tunjuk dan bergunjing sambil tertawa-tawa, mereka semua berkata, "Tian Boguang paling doyan main perempuan, seluruh dunia memang sudah tahu, mana mungkin biksu besar ini lebih mesum dari pada dia?"  

Ji Wushi dan Zu Qianqiu berunding dengan suara pelan, mereka berdua merasa ada sesuatu yang aneh, mereka tahu bahwa Biksu Bujie sangat akrab dengan Linghu Chong, oleh karenanya mereka harus terlebih dahulu menolong mereka berdua. Ji Wushi segera melompat ke atas pohon dan memotong tali tambang yang mengikat tangan dan kaki mereka berdua, lalu membuka titik-titik jalan darah mereka yang tertotok. Bujie dan Tian Boguang merasa amat malu, sama sekali tak seperti Chou Songnian, Sepasang Beruang Gurun Utara dan orang-orang lain yang memaki-maki dengan sengit. Ji Wushi bertanya dengan suara pelan, "Kenapa dashi bisa ikut dikerjai orang?" 

Biksu Bujie menggeleng-geleng, dengan perlahan ia membuka pita itu, setelah membaca perkataan yang tertulis di atasnya untuk beberapa lama, mendadak ia menghentakkan kakinya dan menangis keras-keras. 

Kejadian ini sama sekali tak diduga oleh para pendekar, mereka berhenti berbicara dan memandanginya dengan tertegun. Terlihat sepasang tangannya memukuli dadanya, sedangkan tangisnya makin lama makin pilu. 

Tian Boguang membujuknya, "Taishifu, kau tak usah sedih. Kita tak sengaja jatuh ke dalam perangkap orang, kita pasti akan mencari orang itu mencabik-cabiknya....." Sebelum ia selesai berbicara, Biksu Bujie menampar ke belakang dan memukulnya hingga ia terlempar lebih dari satu zhang jauhnya, ia terhuyung-huyung dan hampir terjatuh, separuh pipinya langsung membengkak. Biksu Bujie memaki, "Keparat bau! Kita benar-benar pantas digantung disini, kau.....kau.....kau berani-beraninya hendak membunuh orang!" Tian Boguang tak mengerti apa alasan sang guru besar berkata demikian, orang yang menangkap mereka tentunya seseorang yang sangat berpengaruh, sehingga bahkan sang guru besar tak berani menyinggungnya sedikitpun, maka ia hanya bisa mengiyakan saja. 

Biksu Bujie tertegun, lalu kembali menangis sambil memukuli dadanya, sekonyong-konyong ia memukul ke belakang lagi ke arah Tian Boguang. Namun gerakan tubuh Tian Boguang amat cepat, ia berkelit seraya berseru, "Tai Shifu!" 

Setelah tak berhasil memukulnya, Biksu Bujie tak lagi mengejarnya, dengan enteng ia menarik tangannya, "Bruk!", ia memukul sebuah bangku batu yang terletak di tengah halaman itu sehingga serpihan batu berterbangan kemana-mana. Tangan kirinya memukul, disusul tangan kanannya, ia menangis sambil berteriak, semakin lama tenaga pukulannya semakin kuat, sepuluh pukulan kemudian, kedua telapak tangannya berlumuran darah segar, sedangkan bangku batu itu telah hancur berantakan dipukulnya, mendadak, "Krek!", bangku batu itu pecah menjadi empat bagian. 

Para pendekar terheran-heran, tak seorangpun berani bersuara, khawatir kalau ia melampiaskan kemurkaannya pada mereka, kalau kepala mereka sampai kena pukul, memangnya kepala siapa yang kerasnya seperti bangku batu itu? Zu Qianqiu, Lao Touzi dan Ji Wushi bertiga saling memandang, untuk beberapa saat mereka tak tahu harus berbuat apa. 

Tian Boguang tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres, maka ia berkata, "Mohon kalian semua awasi tai shifu. Aku akan minta shifu datang kemari". 

Linghu Chong berpikir, "Walaupun aku sudah menyamar, namun Yilin Xiao Shimei sangat teliti, jangan sampai ia mengetahui penyamaranku". Ia pernah menyamar sebagai seorang jenderal dan seorang petani, namun semua penyamaran itu adalah sebagai lelaki, kali ini ia menyamar sebagai seorang wanita dan merasa sangat canggung, ia sama sekali tak percaya diri dan sangat khawatir akan ketahuan. Maka ia segera menyembunyikan diri di kamar penyimpanan kayu bakar di halaman belakang, pikirnya, "Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lainnya masih tertotok, rupanya Ji Wushi, Zu Qianqiu dan yang lainnya bermaksud untuk menguping pembicaraan diantara mereka malam ini. Sebaiknya aku tidur nyenyak dulu, lalu di tengah malam nanti ikut mendengarkan". Ia mendengar bahwa Biksu Bujie masih menangis meraung-raung tanpa henti, ia merasa amat heran sekaligus geli, lalu perlahan-lahan tertidur pulas. 

* * * 
Saat ia terbangun, hari sudah senja, ia pergi ke dapur untuk mencari nasi dingin dan sayur untuk dimakan. Setelah menunggu beberapa lama, ia mendengar bahwa suara orang makin sepi, maka ia memutar lewat belakang gunung dan dengan perlahan menuju tempat Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lainnya yang sedang tak bisa berkutik karena tertotok berada. Dari kejauhan ia berjongkok di tengah rerumputan sambil memasang telinga untuk mendengarkan dengan seksama. 

Tak lama kemudian, ia mendengar suara napas orang-orang lain di sekitarnya, paling tidak ada dua puluh orang lebih tersebar di tengah rerumputan dan pepohonan di segala penjuru penjuru, diam-diam Linghu Chong merasa geli, "Ji Wushi dan yang lainnya ingin menguping, tapi orang lain juga punya pikiran yang sama, orang-orang yang pintar memang tidak sedikit jumlahnya". Ia kembali berpikir, "Ji Wushi memang pintar, ia membuka titik bisu Sepasang Beruang Gurun Utara yang doyan daging manusia ini, tapi tak membuka titik bisu orang-orang yang lain, kalau tidak, begitu Sepasang Beruang Gurun Utara membuka mulut, teman-teman mereka yang cerdas akan langsung menghentikan mereka". 

Terdengar Beruang Putih tak henti-hentinya memaki, "Nenekmu, di sisi gunung ini nyamuknya banyak sekali, mereka ingin menghisap darah si tua ini sampai puas, terkutuklah delapan belas generasi leluhurmu, nyamuk!" Beruang Hitam berkata sembari tertawa, "Nyamuk hanya mengigitmu, tapi tak mengigitku, entah kenapa". Beruang Putih memaki, "Darahmu bau sih, sampai nyamukpun tak mau menghisapnya". Beruang Hitam tertawa dan berkata, "Aku lebih suka punya darah bau daripada digigit ratusan nyamuk. Delapan belas generasi leluhur nyamuk itu nyamuk juga, kau mana bisa mengutuk mereka?" Beruang Putih kembali memaki-maki.

Beruang Putih memaki-maki untuk beberapa lama, lalu berkata, "Setelah totokan terbuka, pertama-tama si tua ini akan mencari si burung hantu malam untuk membuat perhitungan, akan kutotok si telur bulus itu, lalu daging kakinya akan kumakan segigit demi segigit". Beruang Hitam tertawa dan berkata, "Tapi aku lebih suka makan biksuni-biksuni itu, kulit mereka halus dan putih, jauh lebih empuk". Beruang Putih berkata, "Tuan Yue memerintahkan kita untuk membawa biksuni-biksuni itu ke Huashan, tak boleh dimakan". Beruang Hitam berkata sembari tertawa, "Biksuni-biksuni itu ada ratusan jumlahnya, kalau kita makan tiga atau empat orang, Tuan Yue tak akan tahu". 

Linghu Chong amat terkejut, "Kenapa bisa shifu yang menyuruh mereka? Kenapa ia ingin mereka menangkap murid-murid Hengshan dan membawa mereka ke Huashan? Tentunya inilah 'persengkongkolan besar' itu. Tapi kenapa mereka mau mematuhi perintah shifuku?" 

Mendadak terdengar Beruang Putih memaki dengan nyaring, "Telur busuk haram jadah!" Beruang Hitam berkata, "Kalau kau tak bisa makan biksuni, ya sudah, untuk apa memaki-maki seperti itu?" Beruang Putih berkata, "Aku memaki nyamuk, bukan memakimu". Berbagai pikiran berkecamuk dalam benak Linghu Chong, namun tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki dari tengah rerumputan di belakangnya, dua orang berjalan mendekat dengan perlahan, pikirnya, "Mudah-mudahan mereka tak menginjak tubuhku". Orang itu menuju ke arahnya, namun setelah sampai di belakangnya, orang itu berjongkok, lalu dengan pelan menarik lengan bajunya. Linghu Chong agak terkejut, "Siapa dia? Apa dia mengenaliku?" Ia berpaling, di bawah cahaya bulan yang temaram, ia melihat seraut wajah yang cantik dan anggun, ialah Yilin. Ia terkejut sekaligus girang, pikirnya, "Ternyata dia telah menemukan jejakku. Aku ingin menyamar sebagai perempuan, tapi sama sekali tak mirip". Yilin menelengkan kepalanya, bibirnya yang mungil bergerak ke samping, lalu ia perlahan-lahan berdiri sambil menarik lengan bajunya untuk memberi isyarat bahwa ia ingin berbicara dengannya di tempat yang jauh. 

Linghu Chong melihat bahwa ia berjalan ke arah barat dan segera mengikuti di belakangnya. Mereka berdua diam seribu bahasa dan terus berjalan ke barat. Yilin menyusuri sebuah jalan setapak yang sempit dan keluar dari Lembah Tongyuan, mendadak ia berkata, "Kau tak bisa mendengar, untuk apa kau berdesakan di tempat itu, sungguh berbahaya". Ia sepertinya tak berbicara kepadanya, tapi hanya berbicara pada dirinya sendiri. Linghu Chong tertegun, pikirnya, "Ia berkata bahwa aku tak bisa mendengar, apa maksudnya? Apakah ia menyindirku atau apakah ia benar-benar tak mengenaliku?" Ia kembali berpikir bahwa sejak tadi Yilin sama sekali tak pernah berbicara padanya, kemungkinan besar ia memang tak mengenali dirinya. Ia mengikuti Yilin berbelok ke utara, perlahan-lahan menuju ke Lembah Ciyao, setelah berbelok melewati sebuah lembah, mereka tiba di tepi sebuah kali kecil. 

Yilin berkata dengan lembut, "Kita selalu berbicara disini, apakah kau bosan mendengarkanku?" Lalu ia tertawa pelan dan berkata, "Kau tak pernah bisa mendengar  
perkataanku, Nenek Bisu, kalau kau bisa mendengar perkataanku, aku tak mungkin berbicara padamu". 

Linghu Chong mendengar bahwa Yilin berbicara dengan tulus, maka ia tahu bahwa ia benar-benar mengira dirinya adalah babu tua yang bisu tuli dari Kuil Xuankong itu. Sifat kekanak-kanakkannya muncul, katanya di dalam hati, "Untuk sementara ini aku tak akan mengungkapkan siapa diriku sebenarnya, supaya aku bisa mendengar apa yang akan dikatakannya". Yilin menarik lengan bajunya, berjalan ke samping sebuah batu besar di bawah sebatang pohon liu besar, lalu duduk di atas batu itu. Linghu Chong ikut duduk dan mengeser tubuhnya sehingga ia membelakangi sinar rembulan, supaya Yilin tak dapat melihat wajahnya, pikirnya, "Apakah samaranku begitu mirip sehingga bahkan Yilin juga tertipu? Aku tahu, di tengah kegelapan malam tentunya lumayan mirip, sehingga ia sukar mengenaliku. Ternyata kepandaian menyamar Yingying memang hebat". 

Yilin memandang bulan sabit di angkasa sambil menghela napas dengan pelan. Linghu Chong hampir tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Kau masih begitu belia, kenapa begitu banyak pikiran?" Namun akhirnya ia tak berkata apa-apa. Yilin berkata dengan lembut, "Nenek Bisu, kau sunguh baik hati, aku sering menarikmu kemari dan memberitahukan isi hatiku padamu, tapi kau tak pernah bosan mendengarkanku, selalu menunggu dengan sabar dan membiarkanku mengatakan apa yang hendak kukatakan. Seharusnya aku tak merepotkanmu seperti ini, tapi kau selalu amat baik padaku, seperti ibu kandungku sendiri saja. Aku tak punya ibu, tapi kalaupun aku punya mama, aku mana berani bicara seperti ini padanya?" 

Ketika Linghu Chong mendengar bahwa ia hendak mengungkapkan isi hatinya, ia merasa bahwa ia tak patut mendengarnya, maka ia segera bangkit. Namun Yilin menarik lengan bajunya seraya berkata, "Nenek Bisu, kau.....kau ingin pergi?" Suaranya penuh rasa putus asa. Linghu Chong melirik ke arahnya, wajahnya nampak sedih, sinar matanya memohon-mohon, mau tak mau hatinya melunak, pikirnya, "Xiao shimei ini nampak tirus dan pucat, dibebani berbagai pikiran, kalau ia tak bisa mengeluarkan isi hatinya dan selalu sedih, cepat atau lambat ia akan sakit parah. Sementara ini kudengarkan saja perkataannya, asalkan ia tak tahu bahwa ini adalah diriku, ia tak akan merasa jengah". Ia perlahan-lahan kembali duduk. 

Yilin memeluk lehernya seraya berkata, "Nenek Bisu, kau sungguh baik mau menemaniku sebentar. Kau tak tahu aku punya banyak hal yang membebani pikiranku". Linghu Chong berpikir, "Dalam kehidupan ini Linghu Chong ditakdirkan selalu bertemu nenek-nenek, dahulu aku salah mengira Yingying seorang nenek, sekarang aku justru dikira Yilin seorang nenek. Aku pernah ratusan kali memanggil orang nenek, sekarang ia memanggilku nenek, akhirnya seorang baik mendapatkan ganjaran yang setimpal". 

Yilin berkata, "Hari ini ayahku hampir gantung diri, kau tahu tidak? Ia digantung orang di 
atas pohon dan digantungi secarik kain yang bertuliskan 'Lelaki paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini'. Seumur hidupnya, dalam hati ayahku hanya ada ibuku seorang, masa dia doyan main perempuan? Dari mana perkataan itu? Orang itu pasti kacau pikirannya, secarik kain yang tadinya hendak digantung di tubuh Tian Boguang, malah salah digantung di tubuh ayah. Sebenarnya kalau salah digantung, tinggal ditukar saja, untuk apa gantung diri segala". 

Linghu Chong terkejut sekaligus geli, "Kenapa Bujie Dashi bisa sampai hendak bunuh diri? Katanya dia hampir gantung diri, artinya ia belum mati. Perkataan yang tertulis di kedua carik kain itu bukan perkataan yang baik, setelah diturunkan, untuk apa dipasang lagi? Xiao shimei ini lugu dan polos, ia benar-benar tak mengerti urusan dunia".

Yilin berkata, "Tian Boguang mendahului naik ke Puncak Jianxing karena hendak berbicara denganku, tapi malah bertemu dengan Yihe Shizhi, ia berkata bahwa Tian Boguang telah sembarangan naik ke Puncak Jianxing, tanpa ba-bi-bu lagi, ia langsung menyerangnya dan hampir mencabut nyawanya, sungguh berbahaya". 

Linghu Chong berkata, "Aku pernah berkata bahwa lelaki-lelaki yang ada di Halaman Lain tidak boleh naik ke Puncak Jianxing tanpa seizinku. Reputasi Saudara Tian tidak baik, Yihe Shizhi juga orangnya berangasan, begitu bertemu, tak ayal lagi mereka pasti berkelahi. Tapi ilmu silat Saudara Tian jauh lebih tinggi dibandingkan dengannya, Yihe tak bisa membunuhnya". Ia hendak mengangguk setuju, tapi segera teringat, "Tak perduli apa yang dikatakannya, apakah aku setuju atau tidak setuju, aku tak boleh mengangguk atau menggeleng". Nenek Bisu itu sama sekali tak bisa mendengar perkataan Yilin. 

Yilin meneruskan berbicara, "Ketika Tian Boguang menjelaskan semuanya, Yihe Shizhi telah menyerangnya tujuh atau delapan kali, untungnya ia bermurah hati dan tak benar-benar membunuhnya. Begitu mendengar berita itu, aku cepat-cepat pergi ke Lembah Tongyuan, tapi aku tak menemukan ayah. Aku bertanya pada orang-orang lain dan mereka berkata bahwa ia menangis dan membuat keributan di tengah halaman, ia murka dan tak ada yang berani berbicara kepadanya, setelah itu ia tak terlihat lagi. Aku mencarinya di seluruh penjuru Lembah Tongyuan dan akhirnya menemukannya di sebuah lembah di belakang gunung, kulihat ia tergantung dari sebuah pohon tinggi. Aku sangat cemas dan cepat-cepat melompat ke atas pohon, kulihat seutas tali melilit lehernya dengan kencang sehingga ia tak bisa bernapas. Bodhisatwa benar-benar melindungiku sehingga aku datang tepat pada waktunya. Setelah aku menolongnya dan ia sadar, ia memelukku sambil menangis keras-keras. Kulihat di lehernya tergantung secarik kain yang bertuliskan 'Lelaki paling tak setia di kolong langit' atau semacam itu. Aku berkata, "Ayah, orang ini memang jahat, ia sudah mengantungmu, lalu mengantungmu lagi. Ia juga salah mengantung kain itu dan tidak menukarnya". 

Ayah berbicara sambil menangis, 'Bukan orang yang mengantungku, melainkan aku sendiri yang gantung diri. Aku.....aku tak ingin hidup lagi'. Aku menasehatinya, 'Ayah, orang itu tentunya tiba-tiba menyergapmu, kau tak waspada dan jatuh dalam perangkapnya, tak usah bersedih. Mari kita cari dia dan minta dia mengatakan apa maksudnya. Kalau dia berbohong, kita gantung dia dan kita gantung juga secarik kain ini di lehernya'. Ayah berkata, 'Secarik kain ini adalah milikku, mana bisa digantung di leher orang lain? Lelaki yang paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini memang Biksu Bujielah orangnya. Mana ada orang yang melebihiku? Nak, kau jangan bicara sembarangan'. Nenek Bisu, ketika aku mendengarnya berkata demikian, aku sangat heran, maka aku bertanya, 'Ayah, jadi secarik kain ini tak salah digantung?' Ayah berkata, 'Tentu saja tak salah digantung. Aku......aku telah mengecewakan ibumu, oleh karenanya aku gantung diri, kau tak usah urusi diriku, aku benar-benar tak ingin hidup lagi' ".

Linghu Chong ingat Biksu Bujie pernah berkata kepadanya bahwa ia jatuh cinta pada ibu Yilin karena ia adalah seorang biksuni, sehingga demi dirinya ia menjadi seorang biksu. Biksu menikahi biksuni adalah sesuatu yang aneh bin ajaib. Ia berkata bahwa ia telah mengecewakan ibu Yilin, tentunya karena setelah itu ia mengalihkan cintanya pada perempuan lain, oleh karenanya ia rela disebut 'lelaki paling doyan main perempuan dan tak setia', setelah memikirkan hal ini, ia sedikit demi sedikit mulai mengerti duduk perkaranya. 

Yilin berkata, "Kulihat ayah menangis dengan sedih, maka aku juga ikut menangis. Tapi ayah malah balik membujukku, 'Anak manis, jangan menangis, jangan menangis. Kalau ayah mati, kau akan menjadi yatim piatu yang sebatang kara di dunia ini, siapa yang akan mengurusmu?' Ketika ia berbicara begitu, tangisku makin menjadi-jadi". Ketika ia berbicara sampai disini, butir-butir air mata di rongga matanya nampak berkilauan, roman mukanya nampak merana, ia kembali berkata, "Ayah berkata, 'Baiklah, baiklah. Aku tak akan mati, tapi aku sungguh menyesali perbuatanku terhadap ibumu'. Aku bertanya, 'Sebenarnya bagaimana kau mengecewakan ibuku?' Ayah menghela napas, lalu berkata, 'Ibumu adalah seorang biksuni, kau sudah tahu akan hal ini. Begitu melihat ibumu, aku langsung tergila-gila padanya, tak perduli bagaimana, aku ingin menikahinya. Ia berkata, 'Amituofo, perbuatan ini akan dihukum oleh bodhisatwa'. Aku berkata, 'Kalau bodhisatwa hendak menyalahkan kita, biar aku seorang saja yang dihukum'. Ibumu berkata, 'Kau adalah orang biasa, kalau kau menikah dan mempunyai anak, memang sudah sepantasnya. Aku telah masuk agama Buddha, keenam sumber[1] sudah tenang, kalau setelah itu kembali tergoda, bodhisatwa tentu akan menyalahkanku, mana bisa menyalahkanmu?' Kupikir perkataannya benar, akulah yang ingin menikahinya, bukan ibumu yang ingin menikahiku. Aku mana bisa membiarkan bodhisatwa menyalahkannya dan membuatnya masuk neraka? Oleh karenanya aku menjadi biksu. Bodhisatwa tentu saja akan menyalahkanku lebih dulu, kalaupun masuk neraka, kami suami istri akan pergi ke tempat yang sama' ". 

Linghu Chong berpikir, "Bujie Dashi benar-benar orang yang romantis, untuk menanggung amarah bodhisatwa, ia rela menjadi biksu, kalau begitu kenapa ia lalu menyeleweng?"

Yilin meneruskan berbicara, "Aku bertanya pada ayah, 'Apakah setelah itu kau menikahi mama?' Ayah berkata, 'Tentu saja, kalau tidak mana ada kau? Seharusnya aku tak melakukannya, seribu kali tak boleh melakukannya, hari itu kau berumur tiga bulan dan aku sedang mengendongmu di mulut pintu untuk berjemur di bawah sinar matahari'. Aku berkata, 'Apa salahnya berjemur di bahwa sinar matahari?' Ayah berkata, 'Kebetulan saat itu ada seorang nyonya muda berwajah cantik yang berkuda melewati pintu itu, ketika ia melihatku yang seorang biksu besar memondong bayi perempuan, ia merasa heran dan melirik-lirik kita berdua, lalu memuji, 'Bayi perempuan yang cantik sekali!' Hatiku senang, untuk membalas pujiannya, aku memuji, 'Kau juga sangat cantik'. Nyonya muda itu memandangiku, lalu bertanya, 'Dari mana kau mencuri bayi perempuan ini?'Aku berkata, 'Mencuri dari mana? Bapaknya adalah aku si biksu ini'. Nyonya muda itu marah, ia menegurku, 'Aku menanyaimu baik-baik, tapi kau malah mengolok-olokku, kau sudah bosan hidup, ya?' Aku berkata, 'Mengolok-olok bagaimana? Memangnya biksu bukan manusia dan tak bisa mempunyai anak? Kalau kau tak percaya, akan kuperlihatkan padamu'. Ternyata perempuan muda itu sangat galak, dari punggungnya ia menghunus pedang dan menikamku, bukankah perbuatannya itu sangat tak masuk akal?' "

Linghu Chong berpikir, "Bujie Dashi selalu berbicara terang-terangan, ia tak pernah berbohong, namun di telinga lawan perkataannya kedengaran seperti olok-olok yang konyol. Setelah menikah dan punya anak, kenapa ia tak kembali menjadi orang biasa? Biksu besar mengendong bayi perempuan, benar-benar aneh bin ajaib". 

Yilin meneruskan berbicara, "Aku berkata, 'Nyonya ini memang terlalu galak. Aku jelas-jelas anakmu, kau tak membohonginya, untuk apa ia tiba-tiba menghunus pedang dan menikam orang?' Ayah berkata, 'Benar. Aku segera menghindar sambil berkata, 'Kenapa kau tiba-tiba mengajakku berkelahi? Kalau bayi perempuan ini bukan anakku, memangnya ia anakmu?' Perempuan itu makin marah, ia kembali menyerangku tiga kali berturut-turut. Setelah beberapa kali tak bisa mengenaiku, gerakan pedangnya bertambah cepat. Tentu saja aku tak takut padanya, tapi aku takut ia melukaimu, ketika ia menyerang untuk yang kedelapan kalinya, aku melayangkan kakiku dan menendangnya sampai terguling-guling. Ia bangkit dan memakiku keras-keras, "Biksu yang tak tahu malu, kotor dan rendah, suka melecehkan perempuan'. 

Tepat pada saat itu, ibumu pulang dari mencuci pakaian di tepi sungai, ia berdiri di samping sambil mendengarkan. Perempuan itu memaki-maki beberapa kali lagi, lalu memacu kudanya pergi, pedangnya yang tergeletak di tanah dibiarkannya saja. Aku berpaling dan berbicara kepada ibumu. Ia sama sekali tak berkata sepatah katapun dan cuma menangis saja. Aku bertanya kenapa ia begitu, tapi ia tak menghiraukanku. Keesokan harinya, ibumu tak terlihat lagi. Di atas meja ada sepucuk surat, di dalamnya tertulis dua belas huruf. Apa kau bisa menebak apa bunyinya? Dua belas huruf itu berbunyi 'Lelaki paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini'. Aku mengendongmu dan mencarinya, tapi tak bisa menemukannya' ". 

"Aku berkata, 'Mama mendengar perkataan perempuan itu dan mengira bahwa kau benar-benar telah melecehkannya'. Ayah berkata, 'Benar. Bukankah itu sangat tak adil? Namun setelah itu aku memikirkannya kembali, sebenarnya tak sepenuhnya tak adil juga, karena saat aku berjumpa dengan perempuan itu, dalam hati aku berpikir, 'Perempuan ini sangat cantik'. Coba kau pikir, aku sudah menikahi ibumu, tapi aku diam-diam memuji kecantikan wanita lain, dan tak hanya dalam hati, tapi juga mengucapkannya, bukankah aku pantas disebut lelaki paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini?' "

Linghu Chong berpikir, "Ternyata ibu Yilin Shimei sangat cemburuan. Tentu saja semua ini cuma salah paham besar, tapi kalau ia mau bertanya sampai jelas, bukankah masalah ini akan terpecahkan?" Yilin berkata, "Setelah itu aku bertanya, 'Apakah kau berhasil menemukan mama?' Ayah berkata, 'Aku mencarinya kemana-mana, tapi dimana aku bisa menemukannya? Kupikir ibumu adalah seorang biksuni, maka ia pasti pergi ke sebuah biara. Pada suatu hari, sambil mengendongmu, aku mencarinya di Biara Baiyun milik Hengshan Pai, ketika gurumu Dingyi Shitai melihat bahwa kau begitu lucu, hatinya senang, saat itu kau juga sedang sakit, maka ia minta supaya aku menitipkanmu padanya untuk dibesarkan di biara, supaya aku tak usah membawamu kemana-mana dan membahayakan jiwamu' ". 

Ketika mendengarnya menyebut nama Dingyi Shitai, tak terasa air mata Yilin bercucuran, katanya, "Sejak kecil aku tak punya mama dan sepenuhnya tergantung pada shifu untuk membesarkanku, tapi shifu dibunuh orang, dan orang yang membunuhnya ialah guru Linghu Shixiong, kau lihat, betapa sukarnya hal ini. Linghu Shixiong sama denganku, sejak kecil tak punya mama dan dibesarkan oleh gurunya. Tapi ia sedikit lebih menderita dariku, ia tak cuma tak punya mama, ayahpun dia tak punya. Tentu saja ia sangat mengasihi dan menghormati gurunya, kalau aku membunuh gurunya untuk membalaskan dendam shifuku, entah bagaimana sedihnya Linghu Shixiong. Ayah kembali berkata bahwa setelah ia menitipkanku di Biara Baiyun, ia mencari ke seluruh biara di kolong langit ini, belakangan ia bahkan pergi ke Mongolia, Tibet, daerah di luar Tembok Besar dan Daerah Barat. Ia mencari di tempat-tempat yang paling terpencil, tapi tak pernah mendengar kabar sedikitpun tentang ibuku. Sepertinya, setelah mendengar ayahku melecehkan perempuan lain, keesokan harinya ibuku langsung bunuh diri. Nenek Bisu, ketika ibuku menjadi orang beragama, ia bersumpah di hadapan bodhisatwa, bahwa setelah ia masuk agama Buddha, ia tak lagi boleh terlibat asmara, tapi akhirnya karena ia tak bisa menolak ayah, ia menikahinya. Tak lama setelah melahirkanku, ia melihatnya melecehkan perempuan lain, dan dimaki orang sebagai 'orang rendah yang tak tahu malu', tentu saja ibuku menjadi marah. Dia adalah seorang wanita yang berwatak keras dan terus terang, apa yang salah tetap salah, maka ia membunuh dirinya sendiri". 

Yilin menghela napas panjang, lalu terus berbicara, "Setelah ayah menjelaskan perkara ini, aku baru tahu kenapa setelah ia melihat secarik kain yang bertuliskan 'lelaki paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini' itu, ia begitu sedih. Aku berkata, 'Surat yang berisi makian ibu ini apakah pernah kau tunjukkan pada orang lain? Kalau tidak, bagaimana orang lain bisa tahu?' Ayah berkata, "Tentu saja tak pernah! Aku tak pernah bercerita tentangnya pada siapapun. Kalau perkara seperti ini sampai bocor keluar mau ditaruh dimana mukaku? Ada sesuatu yang aneh dalam hal ini, pasti hantu ibumu yang mencariku, hendak membalas dendam, ia benci padaku karena aku menodai nama baiknya dengan melecehkan perempuan milik orang lain. Kalau tidak, kenapa di atas secarik kain itu tak tertulis kata-kata lain, kenapa hanya tertulis dua belas kata itu saja? Aku tahu ia hendak mencabut nyawaku, baiklah, aku akan ikut pergi dengannya' ". 

"Ayah kembali berkata, 'Karena aku tak bisa mencarinya, kalau aku bisa bertemu dengannya di alam baka, hal ini adalah sesuatu yang kuidam-idamkan. Sayang tubuhku terlalu berat, setelah tergantung sebentar, talinya putus, ketika aku menggantung diri untuk kedua kalinya, talinya putus juga. Aku ingin mengambil pisau untuk mengorok leher sendiri, tapi pisau yang jelas-jelas kubawa itu tiba-tiba tak dapat kutemukan, memang mau mati itu tidak mudah'. Aku berkata, 'Ayah, kau salah, bodhisatwa melindungi kita, ia menyuruhmu supaya jangan bunuh diri, oleh karenanya tali itu putus dan pisaumu menghilang. Kalau tidak, sebelum aku menemukanmu, kau sudah lama mati'. Ayah berkata, 'Itu benar, sepertinya bodhisatwa menghukumku untuk menderita lebih lama lagi di dunia ini, dan tak mengizinkanku langsung pergi ke alam baka untuk menjumpai ibumu'. Aku berkata, 'Tadinya kupikir secarik kain yang tergantung di lehermu dan Tian Boguang tertukar, dan oleh karenanya kau jadi murka begini'. Ayah berkata, 'Kenapa bisa tertukar? Buke Bujie memang pernah berbuat kurang ajar padamu, bukankah ia berbuat 'semberono'? Ketika aku menyuruhnya jadi mak comblang supaya si bocah Linghu Chong itu menikahimu, ia menolak dengan seribu satu alasan dan selalu tak berhasil melaksanakan tugasnya, itu bukannya 'tak becus'? Kata-kata yang digantung di tubuhnya itu memang sesuai dengannya'. Aku berkata, 'Ayah, kalau kau menyuruh Tian Boguang melakukan perbuatan yang konyol seperti itu lagi, aku akan marah. Dahulu Linghu Shixiong menyukai xiao shimeinya, setelah itu ia menyukai Ren Da Xiaojie dari Mo Jiao. Walaupun ia memperlakukanku dengan amat baik, namun ia tak pernah menyimpanku di dalam hatinya' ". 

Ketika Linghu Chong mendengar Yilin berkata demikian, dalam hati ia merasa agak menyesal. Ia begitu tergila-gila pada dirinya, pada mulanya ia tak menyadarinya, lalu belakangan ia baru sedikit demi sedikit mengetahuinya, namun perasaannya yang sebenarnya memang seperti yang dikatakan oleh Yilin itu, dahulu ia menyukai sang xiao shimei dari keluarga Yue, lalu cintanya sepenuhnya beralih ke Yingying. Selama mengembara di dunia persilatan, ia jarang memikirkan Yilin. 

Yilin berkata, "Ketika ayah mendengarku berkata demikian, tiba-tiba ia marah dan memaki-maki Linghu Shixiong, katanya,'Si bocah Linghu Chong itu punya mata tapi tak bisa melihat, bahkan lebih bodoh dibandingkan dengan Buke Bujie. Buke Bujie tahu anak gadisku cantik, tapi Linghu Chong adalah orang paling bodoh di kolong langit ini'. Dia memaki-maki dengan kasar, sungguh tak enak didengar, aku juga tak bisa menirukannya. Ia berkata, 'Siapa orang yang paling buta matanya di dunia ini? Bukan Zuo Lengchan, tapi Linghu Chong. Walaupun mata Zuo Lengchan ditusuk orang sampai buta, tapi Linghu Chong masih jauh lebih buta dibandingkan dengannya'. Nenek Bisu, perkataan ayah ini sangat tak benar, bagaimana ia bisa memaki Linghu Shixiong seperti itu? Aku berkata, 'Ayah, Nona Yue dan Ren Da Xiaojie seratus kali lipat lebih cantik dibandingkan dengan putrimu ini, anak mana bisa melebihi mereka? Lagipula, anak telah masuk agama Buddha, anak hanya merasa berterima kasih atas jasa Linghu Shixiong yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menolongku, dan kebaikannya terhadap guruku, maka anak kadang-kadang memikirkannya. Kata ibuku benar, setelah masuk agama Buddha, kita harus menenangkan keenam sumber dan kalau sampai terlibat masalah asmara lagi, bodhisatwa akan menyalahkan kita' ". 

Ayah berkata, 'Setelah masuk agama Buddha, kenapa tak boleh menikah? Kalau semua perempuan di dunia ini masuk agama Buddha, tak menikah dan punya anak, di dunia ini tak ada orang lagi. Ibumu adalah seorang biksuni, kalau ia tidak menikah denganmu, ia mana bisa melahirkanmu?' Aku berkata, 'Ayah, kita jangan membicarakan hal ini, aku......aku merasa lebih baik kalau mama tak pernah melahirkanku' ". 

Ketika ia berbicara sampai disini, suaranya agak tersedu sedan, setelah beberapa saat, 
Ia baru kembali berbicara, "Kata ayah, ia pasti akan mencari Linghu Shixiong dan menyuruhnya menikahiku. Aku cemas dan berkata padanya, bahwa kalau ia berkata begitu pada Linghu Shixiong, aku selamanya tak akan berbicara dengannya, kalau ia datang ke Puncak Jianxing, aku juga tak akan menemuinya. Kalau Tian Boguang mengucapkan perkataan yang konyol seperti itu pada Linghu Shixiong, aku akan minta Yihe dan Yiqing Shizi supaya melarangnya menginjakkan kaki di Hengshan. Ayah tahu bahwa aku bisa melaksanakan ancamanku itu, ia tertegun untuk beberapa saat, lalu ia menghela napas panjang, menyeka air matanya dan pergi seorang diri. Nenek Bisu, ayah pergi seperti itu, entah kapan ia akan datang menjenggukku lagi? Dan apakah ia akan mencoba bunuh diri lagi? Benar-benar membuat orang khawatir. Setelah itu, aku mencari Tian Boguang dan menyuruhnya mengikuti ayah dan mengurusnya baik-baik, setelah selesai berbicara, aku melihat banyak orang sembunyi-sembunyi pergi ke luar Lembah Tongyuan dan bersembunyi di balik rerumputan, entah sedang berbuat apa. Aku diam-diam ikut melihat, lalu melihatmu. Nenek Bisu, kau tak bisa ilmu silat, kau juga tak bisa mendengar, tapi kau bersembunyi disini, kalau sampai ketahuan, akan sangat berbahaya. Sejak ini kau tak boleh ikut orang bersembunyi di balik rerumputan. Apa kau kira mereka sedang main petak umpet?"

Linghu Chong hampir kelepasan tertawa, pikirnya, "Xiao shimei ini sangat kekanak-kanakkan, ia mengira orang lain juga seperti anak-anak". 

Yilin berkata, "Beberapa hari belakangan ini, Yihe dan Yiqing Shizi selalu mengawasi aku berlatih pedang. Qin Juan Shimei berkata padaku, bahwa ia pernah beberapa kali mendengar Yihe dan Yiqing Shizi berunding. Kata mereka, Linghu Shixiong pasti tak mau lama-lama menjadi ketua Hengshan Pai. Yue Buqun adalah musuh besar pembunuh guru kami, kami tak mungkin bisa bergabung dengan Wuyue Pai dan menerimanya sebagai ketua, oleh karena itu semua orang memintaku menjadi ketua. Nenek Bisu, aku sama sekali tak percaya. Tapi Qin Shimei bersumpah bahwa apa yang dikatakannya itu bukan dusta. Katanya, beberapa shizi senior berkata bahwa diantara para biksuni generasi sekarang, Linghu Shiziong paling baik padaku, kalau aku menjadi ketua, hal ini pasti paling sesuai dengan keinginan Linghu Shixiong. Mereka memutuskan untuk memilihku demi Linghu Shixiong. Mereka menyuruhku berlatih pedang dengan tekun dan membunuh Yue Buqun, seandainya aku tak bisa mengalahkan Yue Buqun, mereka akan mengepungnya dengan formasi pedang, kalau aku bisa membunuhnya, siapapun tak akan berkeberatan aku menjadi ketua Hengshan Pai. Setelah ia memberi penjelasan, aku baru percaya. Tapi aku mana bisa menjadi ketua Hengshan Pai? Setelah berlatih selama sepuluh tahun lagipun ilmu pedangku masih tak akan dapat mengungguli Yihe atau Yiqing Shizi, apalagi membunuh Yue Buqun. Pikiranku memang sudah galau, tapi kalau memikirkan hal ini, pikiranku bertambah galau lagi. Nenek Bisu, menurutmu aku harus bagaimana?" 

Mendadak Linghu Chong sadar, "Mereka mengawasinya berlatih pedang siang dan malam karena mereka berharap ia akan dapat mengantikan kedudukanku sebagai ketua Hengshan Pai, mereka benar-benar telah memikirkan hal ini dengan masak, mereka juga bermaksud baik padaku". 

Yilin berkata dengan lirih, "Nenek Bisu, aku sering berkata padamu, aku siang malam memikirkan Linghu Shixiong, bahkan dalam mimpi akupun memimpikannya. Aku mengenang saat ia menyelamatkanku tanpa sama sekali memperdulikan nyawanya sendiri; teringat saat setelah ia terluka, aku melarikan diri sambil mengendongnya; teringat saat ia bergurau denganku, dan minta aku bercerita untuknya; teringat ketika di Wisma Kumala atau apa itu di Kota Heng Shan, aku......aku......tidur seranjang dengannya dibawah satu selimut. Nenek Bisu, aku tahu kau tak bisa mendengarku, oleh karenanya aku tak malu berbicara seperti ini padamu. Kalau aku tak berbicara dan terus memendamnya seharian dalam hatiku, aku benar-benar akan jadi gila. Asalkan aku bisa mengatakan semua ini padamu, dan memanggil nama Linghu Shixiong pelan-pelan, aku akan merasa tenteram untuk beberapa hari". Ia berhenti sejenak, lalu memanggil dengan pelan, "Linghu Shixiong, Linghu Shixiong!" 

Suara panggilan itu begitu mesra dan menyentuh, sungguh mengandung rasa cinta yang terukir sampai di tulang, sehingga tak terasa tubuh Linghu Chong terguncang. Ia sudah lama tahu bahwa xiao shimei ini sangat baik padanya, tapi ia sama sekali tak menduga bahwa dalam hatinya tersembunyi perasaan cinta mendalam yang begitu menggetarkan sukma, dalam hati ia berkata, "Cintanya padaku begitu mendalam, dalam kehidupan ini, bagaimana Linghu Chong dapat membalasnya?" 

Yilin menghela napas dengan pelan, lalu berkata, "Nenek Bisu, ayah tak paham diriku, Yihe dan Yiqing Shizhi juga tak memahami diriku. Aku merindukan Linghu Shixiong karena aku tak bisa melupakannya, aku tahu bahwa aku tak boleh melakukannya. Aku adalah seorang biksuni yang telah menyerahkan hidupku untuk Sang Buddha, mana boleh merindukan seorang lelaki siang dan malam, apalagi dia adalah ketua perguruan kami? Setiap hari aku memohon Bodhisatwa Guanyin untuk menolongku, supaya beliau dapat membantuku melupakan Linghu Shixiong. Pagi hari ini ketika aku membaca kitab suci, aku membaca nama Bodhisatwa Guanyin sang penolong orang yang kesusahan dan dalam hati aku mohon agar beliau memberkati Linghu Shixiong dan menjauhkan segala bencana dan kesusahan darinya, supaya kemalangan berubah menjadi keberuntungan, supaya ia dan Ren Da Xiaojie dapat menjadi pasangan yang berbahagia, dan dapat bersama hingga tua, dan selalu riang gembira seumur hidupnya.  Tiba-tiba aku berpikir, kenapa aku minta begini begitu pada beliau, tentunya beliau kesal mendengarku. Mulai hari ini aku hanya akan mohon beliau memberkati Linghu Shixiong supaya ia selalu gembira dan bebas merdeka. Ia paling suka kegembiraan dan kebebasan, tak terikat pada apapun, aku berharap kelak Ren Da Xiaojie tak mengekangnya". 

Ia berkonsentrasi sejenak, lalu kembali berdoa, "Namo Bodhisatwa Guanyin Penolong Orang Yang Kesusahan, Namo Bodhisatwa Guanyin Penolong Orang Yang Kesusahan". 

Ia kembali berdoa, lalu memandangi bulan purnama seraya berkata, "Aku akan kembali, kau kembalilah juga". Dari saku dadanya ia mengeluarkan dua buah mantou[2], menjejalkannya ke tangan Linghu Chong, lalu berkata, "Nenek Bisu, kenapa hari ini kau tak memandangku, apa kau sakit?" Ia menunggu sejenak, setelah melihat bahwa Linghu Chong tak menjawab, ia berkata pada dirinya sendiri, "Kau tak bisa mendengar, tapi aku malah menanyaimu, benar-benar bodoh". 

Ia perlahan-lahan berbalik dan melangkah pergi. Linghu Chong duduk di atas batu sambil memandangi sosoknya menghilang di tengah kegelapan malam. Setiap perkataan yang diucapkannya masih mengalir dalam hatinya, menggetarkan jiwanya, ia benar-benar sukar menguasai dirinya dan mau tak mau menjadi termangu-mangu untuk beberapa lama. 

* * * 

Catatan Kaki Penerjemah

[1] Dalam Agama Buddha, enam sumber perasaan ialah mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran.

[2] Semacam bakpao yang tak ada isinya. 


Bagian Kedua

Entah sudah berapa lama ia duduk di tempat itu, tanpa sengaja ia memandang ke kali kecil itu dan menjadi kaget setengah mati, di permukaan air terlihat dua bayangan terbalik sedang duduk berendeng di atas batu. Ia mengira bahwa pandangannya kabur, atau hal itu disebabkan karena riak air yang membuat permukaan air bergoyang-goyang, maka ia memusatkan pandangannya, namun kedua bayangan itu masih nampak dengan jelas. Seketika itu juga keringat dingin bercucuran di punggungnya, sekujur tubuhnya terasa kaku, mana berani ia berpaling?

Dari bayangan yang nampak di permukaan air kali, nampaknya orang itu berada tak sampai dua chi di belakangnya, ia tinggal mengasurkan tangannya saja dan nyawanya akan melayang, namun karena saking kaget dan ketakutannya, tak terpikir olehnya untuk maju ke depan. Orang itu tanpa bersuara sampai di belakang dirinya, dan ia sama sekali tak merasakan kehadirannya, ilmu silat orang itu sukar dibayangkan seberapa tingginya, seketika itu juga muncul sebuah pikiran dalam benaknya, "Setan!" Karena berpikir tentang setan, ia merasa makin ngeri, setelah terpana untuk beberapa saat, ia kembali melirik ke air kali. Di permukaan air yang mengalir, bayangan terbalik itu tak dapat dilihat dengan jelas, namun ia melihat bahwa kedua bayangan itu persis sama, keduanya memakai pakaian perempuan yang longgar dan lengan bajunya besar, konde diatas kepala mereka dihiasi sisir, mereka berdua sukar dibedakan, ternyata bayangan itu adalah penjelmaan dirinya sendiri.

Linghu Chong begitu takut hingga jantungnya seakan berhenti berdetak, namun tiba-tiba, entah dari mana datangnya keberaniannya, ia mendadak berpaling dan bertatap muka dengan 'setan' itu, ia mengenalinya sebagai si babu tua bisu tuli dari Kuil Xuankong itu, tapi entah bagaimana babu tua itu bisa sampai di belakangnya tanpa diketahuinya, benar-benar sangat aneh. Rasa takutnya berkurang banyak, namun rasa herannya sama sekali tak berkurang sedikitpun, katanya, "Nenek Bisu, ternyata.....ternyata ini kau, kau......kau membuatku ketakutan setengah mati". Suaranya terdengar bergetar dan parau. Ia melihat bahwa di konde Nenek Bisu itu tertancap sebuah tusuk konde, dan bahwa sang nenek memakai atasan berwarna biru muda, tak nyana persis sama dengan pakaian yang dikenakannya. Ia menenangkan diri, lalu memaksakan diri untuk tertawa dan berkata, "Kau jangan tersinggung, ya. Ingatan Ren Da Xiaojie sungguh bagus, ia ingat dandananmu, dan menyamarkanku seperti ini, sehingga kita seperti kakak beradik kembar saja". 

Dilihatnya bahwa ekspresi sang nenek nampak kaku, ia tak nampak marah dan juga tak nampak senang, entah apa yang dipikirkannya, pikirnya, "Orang ini sangat aneh, ia sudah melihat bahwa aku menyamar sebagai dirinya, lebih baik aku tak berlama-lama tinggal disini". Ia bangkit dan menjura ke arah sang Nenek Bisu seraya berkata, "Malam sudah larut, aku minta diri dahulu". Ia berbalik dan melangkah pergi. 

Ia baru saja berjalan tujuh atau delapan langkah ketika sekonyong-konyong ia berhadapan muka dengan seseorang yang menghalangi jalannya, ia adalah si Nenek Bisu. Entah ilmu apa yang digunakannya sehingga ia bisa bergerak dengan begitu sebat tanpa bayangan dan tanpa suara. Ketika ia bertarung dengan Dongfang Bubai, lawan bergerak secepat kilat, sebat tanpa tanding, namun ia selalu masih dapat melihat gerakannya, tapi nenek ini seakan muncul begitu saja dari bumi, walaupun gerakan tubuhnya tak secepat Dongfang Bubai, namun gerakannya yang tanpa suara dan tanpa bayangan itu seakan bukan gerakan seorang manusia. 

Linghu Chong terkejut, ia sadar bahwa malam ini ia telah bertemu dengan seorang jago, dan ia justru telah menyamar sebagai orang itu, tentunya ia pasti telah memancing amarahnya, maka ia segera menjura dalam-dalam seraya berkata, "Nenek, aku telah menyinggungmu, aku akan segera berganti pakaian, lalu datang ke Kuil Xuankong untuk minta maaf". Wajah nenek itu masih nampak tak berekspresi, sama sekali tak menunjukkan rasa marah atau senang. Linghu Chong berkata, "Ah, aku tahu. Kau tak bisa mendengar perkataanku". Ia membungkuk dan menulis di tanah dengan jarinya, "Mohon maaf, aku tak akan berani mengulanginya". Ia berdiri dan melihat bahwa sang nenek masih berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, dan sama sekali tak memandang huruf-huruf yang ditulisnya. Linghu Chong menunjuk huruf-huruf besar di atas tanah itu sambil berkata keras-keras, "Mohon maaf, aku tak akan berani mengulanginya!" Nenek itu tak bergeming. Linghu Chong berkali-kali menjura, memberi isyarat seakan hendak membuka pakaian, dan sekali lagi merangkap tangan untuk minta maaf, namun nenek itu masih sama sekali tak bergeming. Linghu Chong sudah kehabisan akal, ia bergeser, lalu memutar lewat samping tubuh sang nenek. 

Begitu kaki kirinya bergerak, tubuh nenek itu berkelebat dan menghadang di hadapannya. Linghu Chong diam-diam mengambil napas dan berkata, "Mohon maaf!" Ia melangkah ke kanan, namun tiba-tiba tubuhnya melayang, ia melompat ke sebelah kiri. Namun begitu kaki kirinya menjejak tanah, nenek itu sudah kembali menghadang di hadapannya. Ia kembali melompat beberapa kali, makin lama makin cepat, namun ternyata nenek itu selalu berhasil menghadang di hadapannya. Linghu Chong merasa cemas, ia mengangsurkan tangannya dan mendorong bahu nenek itu, namun nenek itu menebas dengan telapak tangan kanannya ke arah pergelangan tangan Linghu Chong. 

Linghu Chong cepat-cepat menarik kembali tangannya, ia tahu bahwa ia bersalah dan tak berani berkelahi dengannya, ia hanya berharap dapat meloloskan diri secepatnya, ia menunduk, bermaksud untuk mengegos menghindari sang nenek, namun begitu tubuhnya bergerak, ia merasakan kesiuran angin, sang nenek telah mengayunkan tangannya untuk memukul ubun-ubunnya. Linghu Chong mengegos menghindar, namun pukulan itu sangat cepat, "Plak!", bahunya terkena pukulan. Tubuh nenek itu bergoyang-goyang, ternyata Xixing Dafa dalam tubuh Linghu Chong bereaksi dan menghisap tenaga pukulan itu. Nenek itu mendadak mengangsurkan tangannya, jari-jarinya yang kurus dan runcing seperti cakar ayam menusuk ke matanya. 

Linghu Chong terperanjat, ia menunduk untuk menghindar, namun kali ini bagian belakang bajunya tercabik, untungnya sang nenek takut pada Xixing Dafanya, sehingga ia tak berani mengambil kesempatan untuk memukul, tangan kanannya menyungkit ke atas dan masih berusaha mencungkil bola mata Linghu Chong. Jelas bahwa ia bermaksud untuk mencungkil bola matanya, tak perduli seberapa lihainya Xixing Dafanya, begitu jari sang nenek menyentuh matanya, ia kontan akan buta, bola mata yang lunak tak dapat menghisap tenaga orang lain. Linghu Chong mengangkat lengannya untuk menangkis serangan, telapak tangan nenek itu berbalik, kelima jarinya membentuk sebuah cakar dan mencakar ke arah mata kirinya. Linghu Chong cepat-cepat mengasurkan tangan kirinya untuk menghalanginya, namun jari-jari tangan kanan  nenek itu menjulur, hendak mencengkeram telinga kanan Linghu Chong. Beberapa gerakan ini amat sebat, setiap jurusnya sangat aneh, seperti jurus-jurus yang digunakan oleh seorang perempuan petani untuk berkelahi, namun lebih ganas dan cepat. dalam beberapa jurus, ia telah berhasil memaksa Linghu Chong terus mundur. Sebenarnya ilmu silat nenek itu juga tak terlalu tinggi, kelebihannya ialah pada gerakannya yang tak bersuara dan kemampuannya menyergap dengan cepat, namun sesungguhnya kungfunya jauh di bawah Yue Buqun atau Zuo Lengchan, bahkan Yingyingpun jauh lebih hebat darinya. Namun ilmu silat tangan kosong Linghu Chong memang sangat kurang, kalau si nenek tak jeri pada Xixing Dafanya dan tak berani menyentuh tangan atau kakinya, Linghu Chong sudah akan berkali-kali kena pukul. 

Setelah bertukar beberapa jurus, Linghu Chong sadar bahwa kalau ia tak menghunus pedang, malam ini ia akan sukar meloloskan diri, maka ia segera merogoh saku dadanya untuk mengeluarkan pedang pendeknya. 

Tangan kanannya baru saja menyentuh gagang pedang, namun gerakan nenek itu secepat kilat, ia menyerang tujuh atau delapan kali berturut-turut, karena kedua tangan Linghu Chong sibuk menangkis serangan, ia tak punya kesempatan untuk mencabut pedang. Semakin lama jurus yang dilancarkan nenek itu makin ganas, jelas bahwa tak ada permusuhan diantara mereka, namun ia berkeras ingin mencungkil matanya. Linghu Chong berteriak keras-keras, tangan kirinya melindungi sepasang matanya, sedangkan tangan kanannya sekali lagi merogoh saku dadanya, ia tak menghiraukan pukulan tangan dan tendangan kaki nenek itu, asalkan ia berhasil mengeluarkan pedangnya. Tepat pada saat itu, mendadak kepalanya terasa kencang, rambutnya telah kena dijambak, menyusul sepasang kakinya terangkat, lalu bumi dan langit seakan terbalik, tubuhnya berputar-putar dengan cepat di udara, ternyata sang nenek telah menjambak rambutnya, lalu mengayun-ayunkannya di udara hingga setengah melayang, tubuhnya berputar-putar dengan cepat, makin lama makin cepat. Linghu Chong berseru keras-keras, "Hei, hei, apa yang kau lakukan?" Tangannya mencengkeram dengan serabutan, hendak mencengkeram lengan nenek itu, namun mendadak iga kiri dan kanannya terasa kesemutan terkena totokan sang nenek, menyusul titik-titik jalan darah di punggung, pinggang belakang, dada dan lehernya ikut tertotok, sekujur tubuhnya menjadi lemas dan ia tak bisa berkutik lagi. Tapi nenek itu masih terus beraksi, memutar-mutar tubuhnya di udara tanpa henti, Linghu Chong merasakan desiran angin di telinganya, pikirnya, "Seumur hidupku aku sudah mengalami kejadian aneh yang tak terhitung banyaknya, namun nasib sial seperti ini, dijadikan gasingan, sama sekali belum pernah kualami". 

Nenek itu terus memutarnya hingga matanya berkunang-kunang, setelah ia beberapa kali hampir pingsan, nenek itu baru berhenti dan membantingnya dengan keras ke tanah. 

Sebenarnya Linghu Chong sadar bahwa ia bersalah, dan ia juga sama sekali tak bermusuhan dengan nenek itu, namun karena dipermainkan oleh nenek itu sampai setengah mati, ia merasa amat gusar dan memaki, "Perempuan bau tak tahu aturan, kalau aku bisa menghunus pedang, dari tadi tubuhmu sudah bolong-bolong". 

Nenek itu memandanginya dengan dingin, wajahnya masih tanpa ekspresi, sama sekali tak terlihat marah atau senang. 

Linghu Chong berkata dalam hati, "Aku tak bisa mengalahkannya, tapi kalau aku tak memaki-makinya dengan sengit, rasanya aku akan terlalu rugi. Tapi sekarang aku telah ditawan olehnya, kalau ia tahu aku sedang memaki-makinya, ia pasti akan membuatku menelan pil pahit". Ia segera memikirkan sebuah ide, ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu memaki, "Perempuan keparat, perempuan bau, langit tahu hatimu jahat, oleh karenanya kau dijadikan bisu tuli, tak bisa tertawa, tak bisa menangis, seperti orang idiot, bahkan jadi anjing atau babipun lebih baik daripada jadi seperti kau ini". Semakin lama makiannya semakin sengit, wajahnyapun makin nampak girang. Tadinya ia hanya berpura-pura tersenyum saja supaya sang nenek tak curiga bahwa ia sedang memaki-makinya, akan tetap setelah memaki-maki untuk beberapa saat dan melihat bahwa nenek itu sama sekali tak bereaksi, ia merasa bahwa akalnya telah berhasil dan ia justru sengaja tertawa terbahak-bahak.

Nenek itu perlahan-lahan melangkah ke sisinya, menjambak rambutnya, lalu menariknya. Makin lama langkahnya makin cepat, Linghu Chong masih tertotok, namun ia masih sadar, tubuhnya terbentur-bentur tanah hingga ia merasa kesakitan, makiannya masih belum berhenti, namun ia tak bisa tertawa-tawa lagi. Nenek itu menyeretnya naik gunung, Linghu Chong berpaling dan melihat keadaan di sekitarnya, ia melihat bahwa sang nenek berbalik menuju ke barat, yaitu ke Kuil Xuankong.

Saat ini Linghu Chong sadar bahwa Biksu Bujie, Tian Boguang, Sepasang Beruang Gurun Utara, Chen Songnian dan yang lainnya kemungkinan besar telah terkena muslihat nenek ini, tanpa diketahui dewa maupun setan, mereka tiba-tiba disergap, kecuali sang nenek yang gerakannya aneh, orang lain sukar untuk melakukan hal itu. Ia sudah pernah datang ke Kuil Xuankong dan melihat bahwa nenek bisu tuli ini tak mengerti apa-apa dan boleh dikatakan sangat bodoh. Bahkan para jago seperti Fang Zheng Dashi, Pendeta Chong Xu, Yingying dan Shangguan Yun sama sekali tak curiga ketika melihatnya, kepandaian berpura-pura nenek bisu ini memang luar biasa. Ia kembali berpikir, "Kalau nenek bisu ini mengantungku tinggi-tinggi di atas pohon gingko di tengah Lembah Tongyuan, lalu mengantungkan secarik kain di tubuhku yang mengatakan bahwa aku adalah lelaki paling doyan main perempuan sedunia atau yang semacam itu, sedangkan aku sebagai ketua Hengshan Pai sedang mengenakan pakaian perempuan yang tak keruan seperti ini, aku akan sangat kehilangan muka. Untung saja ia menarikku ke Kuil Xuankong, kalau ia menggantung dan mengebukiku di dalam kuil, tapi tak mempermalukanku di depan umum, apa boleh buat". Ia berpikir bahwa walaupun malam ini ia bernasib sial, paling tidak ia tak digantung tinggi-tinggi dan dipermalukan di depan umum di Halaman Lain Hengshan, hal ini boleh dianggap suatu keberuntungan dalam kesialan, ia kembali berpikir, "Apa ia tahu siapa aku sebenarnya? Apakah karena tahu kalau aku adalah ketua Hengshan Pai, ia sedikit memberi layanan istimewa padaku?" 

Di sepanjang jalan, luka di tubuhnya tak terhitung karena terbentur batu-batu gunung, untung saja wajahnya menghadap ke atas, sehingga kelima inderanya tak terluka. Sesampainya di Kuil Xuankong, nenek itu menyeretnya ke paviliun melayang, lalu menyeretnya ke kamar teratas di Paviliun Linggui yang berada di sebelah kiri. Linghu Chong berseru, "Aiyo, celaka!" Di luar Paviliun Linggui terdapat jembatan melayang yang mengapung di atas jurang yang tak berdasar, jangan-jangan nenek itu ingin mengantungnya di atas jembatan melayang itu. Kuil Xuankong itu kosong melompong, dalam sepuluh hari sampai setengah bulan, jarang didatangi orang, kalau nenek itu hendak mengantungnya disini, ia akan mati kelaparan, rasanya pasti tak enak. Tapi kalau tak bisa minum atau makan, mana bisa merasakan apa-apa?

Nenek itu menaruhnya di tengah paviliun, lalu langsung keluar tanpa berpamitan lagi. Linghu Chong berbaring di atas lantai sambil menduga-duga apa motif perempuan jahat itu, namun ia sama sekali tak bisa menebaknya, ia menduga bahwa ia tentunya adalah seorang qianbei terkenal Hengshan Pai, seseorang seperti Yu Sao yang dulunya melayani guru-guru seperti Dingjing dan Dingxian. Ketika berpikir sampai disini, hatinya terasa agak lega, pikirnya, "Karena aku adalah ketua Hengshan Pai, tentunya ia akan sedikit hormat padaku dan tak akan membuat susah diriku". Namun ia kembali berpikir, "Tapi karena aku berdandan seperti ini, jangan-jangan ia tak mengenali diriku. Kalau ia mengira bahwa aku seperti Nyonya Zhang, dan sengaja berdandan seperti dirinya untuk menjadi mata-mata, serta bermaksud buruk terhadap Hengshan Pai, jangan-jangan ia akan memperlakukanku secara istimewa dan membuatku menderita, celaka sekali kalau begitu". 

Tak terdengar suara langkah kaki menaiki tangga loteng, namun nenek itu sudah kembali, ia membawa sebuah tali tambang. ia lalu menelikung dan mengikat kaki dan tangan Linghu Chong erat-erat, selain itu ia juga mengeluarkan secarik kain kuning dari saku dadanya dan mengantungnya di leher Linghu Chong. Linghu Chong sangat penasaran ingin melihat apa yang tertulis di secarik kain itu, namun tepat pada saat itu, pandangan matanya menjadi gelap karena sepasang matanya ditutupi kain hitam oleh nenek itu. Linghu Chong berpikir, "Nenek itu sangat waspada, ia tahu aku ingin melihat tulisan di kain itu, tapi ia tak memperbolehkanku melihatnya". Ia kembali berpikir, "Linghu Chong adalah seorang berandalan yang tingkahnya kurang baik, semua orang tahu, perkataan yang tertulis di atas kain ini pasti bukan sesuatu yang baik, lebih baik aku tak usah tahu saja". 

Pergelangan tangan dan kakinya terasa ketat, tubuhnya melayang di udara, rupanya ia telah digantung tinggi-tinggi dari balok penyangga atap. Amarah Linghu Chong memuncak dan ia memaki-maki dengan sengit, walaupun ia suka berbuat onar, namun ia juga hati-hati, pikirnya, "Walaupun aku memaki-makinya seperti ini, aku tetap sukar meloloskan diri, aku harus perlahan-lahan mengerahkan tenaga dan membuka totokan, setelah pedang berada di tangan, aku akan bisa menghentikannya. Aku akan mengantungnya tinggi-tinggi dan mengantung sehelai kain kuning di lehernya, enaknya kain itu kutulisi apa, ya? Nenek jahat nomor satu di kolong langit! Tidak, kalau aku menyebutnya nomor satu, jangan-jangan ia malah kesenangan. Aku akan menulis 'Nenek jahat nomor delapan belas di kolong langit' saja, supaya kepalanya pecah memikirkan siapa saja ketujuh belas nenek-nenek jahat yang peringkatnya berada diatasnya". Ia mendengarkan dengan seksama, namun tak mendengar suara apapun, rupanya nenek itu telah turun dari loteng. 

* * * 

Setelah tergantung selama dua shichen, perut Linghu Chong sudah keroncongan, namun setelah mengerahkan tenaga, titik-titik jalan darahnya sedikit demi sedikit terbuka sehingga hatinya girang. Mendadak tubuhnya bergoyang-goyang, "Bruk!", ia terjatuh dengan keras ke lantai, ternyata nenek itu telah melepaskan tali tambang yang mengikatnya. Kapan nenek itu kembali, ia sama sekali tak tahu. Nenek itu menarik kain hitam yang menutupi matanya hingga terlepas, namun karena titik jalan darah di leher Linghu Chong belum terbuka, ia tak bisa menunduk untuk melihat kain yang tergantung si lehernya, ia hanya bisa melihat bahwa huruf terakhir dalam tulisan itu adalah huruf 'niang'[1]. 

Diam-diam Linghu Chong menjerit, "Celaka!" Ia berpikir bahwa nenek itu menulis kata 'niang' itu karena mengira dirinya seorang wanita, tak apa kalau ia menulis bahwa dirinya adalah seorang lelaki cabul atau berandalan, tapi celaka sekali kalau ia menganggapnya sebagai seorang perempuan. 

Ia melihat sang nenek mengambil sebuah mangkuk dari atas meja, pikirnya, "Ia mau memberiku minum air atau sup? Paling bagus kalau ia memberiku minum arak!" Mendadak kepalanya terasa amat panas tersiram air mendidih, ia berteriak keras-keras, "Aiyo!" Ternyata mangkuk itu berisi air panas, yang sekarang jatuh bercucuran dari kepalanya. 

Linghu Chong memaki dengan sengit, "Perempuan jahat, kau mau apa?" Ia melihatnya mengeluarkan sebuah pisau cukur dari saku dadanya, Linghu Chong terkejut, lalu terdengar suara "Kres, kres", kepalanya terasa agak nyeri, ternyata sang nenek sedang mencukur kepalanya. Linghu Chong kaget sekaligus gusar, ia tak tahu apa maksud perempuan tua yang gila ini, tak seberapa lama kemudian, kepalanya sudah tercukur pelontos, pikirnya, "Baiklah. Hari ini Linghu Chong sudah jadi biksu. Aiyo, salah, aku sedang memakai pakaian perempuan, jadi aku sekarang menjadi biksuni". Hatinya terkesiap, "Yingying pernah bercanda, katanya aku seharusnya menyamar jadi biksuni, kalau ramalan itu menjadi kenyataan, jangan-jangan keadaan akan jadi runyam. Mungkin perempuan ini sudah tahu siapa aku sebenarnya, dan merasa bahwa aku yang seorang lelaki dewasa tak pantas jadi ketua Hengshan Pai, dan tak cuma mencukur kepalaku, tapi juga......tapi juga mengebiriku sehingga aku menjadi seperti Buke Bujie, supaya aku tak bisa menodai tempat suci Buddha. Perempuan jahat ini sangat setia pada Hengshan Pai, ia dapat melakukan apa saja. Aiyo, hari ini Linghu Chong terkena bencana besar, 'Kalau ingin merajai dunia persilatan, ayunkan pisau dan kebirilah dirimu sendiri', jangan sampai aku terpaksa belajar Pixie Jianfa". 

Nenek itu mencopot kain yang tergantung di lehernya dan menaruhnya di sampingnya, saat itu Linghu Chong baru dapat membacanya, di atas kain itu tertulis 'orang buta nomor satu di dunia, perempuan jahat yang bukan lelaki dan bukan perempuan'. Ia langsung mengeluh dalam hati, "Ternyata perempuan ini pura-pura bisu tuli, ia bisa mendengar perkataan orang, kalau tidak, ketika Biksu Bujie berkata bahwa aku adalah orang buta nomor satu di dunia, bagaimana ia bisa tahu? Kalau ia tak mencuri dengar saat Biksu Bujie berbicara pada putrinya, ia tentunya mendengarkan saat Yilin berbicara padaku, atau mungkin ia menguping kedua percakapan itu". Ia segera berkata keras-keras, "Tak usah berpura-pura, kau tak tuli". Tapi nenek itu tak menghiraukannya dan langsung membuka bajunya. 

Linghu Chong amat terkejut, ia berseru keras-keras, "Kau mau apa?" "Sret!", nenek itu merobek pakaian perempuannya menjadi dua bagian, lalu melepaskannya. 

Linghu Chong berseru dengan cemas, "Kalau kau melukai seujung rambutku saja, aku akan mencincangmu". Ia berpikir sekali lagi, "Jangankan seujung rambutku, seluruh  kepalakupun sudah kau cukur sampai pelontos". 

Nenek itu mengambil sebuah batu asah yang sangat kecil, membasahinya dengan sedikit air, lalu mengasah pisau cukurnya, ia merasakan ketajamannya, setelah puas, ia menaruh pisau itu di sampingnya. Dari saku dadanya ia mengambil sebuah botol porselen, di botol itu tertulis 'Perekat Penyambung Langit Harum', selama beberapa kali terluka, Linghu Chong telah memakai obat mujarab penyembuh luka Hengshan Pai ini, begitu ia melihat botolnya, tanpa membaca tulisan diatasnya, ia sudah tahu bahwa isinya adalah obat luka itu, sedangkan obat satunya lagi, yaitu 'Pil Empedu Beruang Awan Putih', adalah untuk diminum. Benar saja, sang nenek kembali mengeluarkan sebuah botol porselen dari saku dadanya, yaitu 'Pil Empedu Beruang Awan Putih'. Nenek itu juga mengeluarkan beberapa lembar kain putih dari saku dadanya, yaitu perban untuk membalut luka. Luka lama Linghu Chong sudah sembuh, dan ia tak punya luka baru, melihat cara sang nenek mengatur semuanya, jelas bahwa ia hendak membuat satu atau dua luka baru di tubuhnya, maka diam-diam ia berseru mengeluh. 

Setelah nenek itu mempersiapkan semuanya, ia menatap Linghu Chong tanpa berkedip, setelah beberapa saat, ia mengangkat tubuhnya dan menaruhnya di atas sebuah meja kayu sambil memandanginya dengan wajah tanpa ekspresi. Linghu Chong sudah ratusan kali bertarung, bahkan kalau ia terluka parah dan dikepung musuh, ia tak pernah merasa jeri, namun sekarang ketika menghadapi seorang nenek tua seperti ini, ia amat ketakutan. Nenek itu perkahan-lahan mengangkat pisau cukur, di bawah cahaya lilin, pisau itu nampak berkilat-kilat, keringat dingin bercucuran dari dahi Linghu Chong dan membasahi bagian depan bajunya. 

Sekonyong-konyong, sebuah ide muncul dalam benaknya, tanpa berpikir panjang, ia berseru, "Kau adalah istri Biksu Bujie!" 

Tubuh nenek itu terguncang, ia mundur selangkah seraya berkata, "Dari --- mana --- kau --- tahu?" Suaranya terputus-putus, setiap mengucapkan sepatah kata ia berhenti, seperti seorang anak yang baru belajar bicara saja. 

Ketika Linghu Chong mengucapkan perkataan itu, ia tak berpikir panjang mengenai ucapannya itu, ketika sang nenek bertanya demikian, ia baru bertanya pada dirinya sendiri, bagaimana ia bisa tahu akan hal itu? Sambil tertawa dingin, ia berkata, "Tentu saja aku tahu, dari dulu aku sudah tahu". Namun diam-diam ia berpikir keras, "Dari mana aku tahu? Dari mana kau tahu? Ah, aku tahu, di secarik kain yang digantungkannya di leher Biksu Bujie, ia menulis 'lelaki paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini', di dunia ini, perkataan 'lelaki paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini' selain Biksu Bujie hanya diketahui oleh istrinya". Ia berkata keras-keras, "Dalam hati kau tak bisa melupakan lelaki yang paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini itu, kalau tidak kenapa ketika ia gantung diri, kau memotong tali pengantungnya? Ketika ia mau mengorok leher sendiri, kenapa kau menyembunyikan pisaunya? Bukankah lelaki yang paling doyan main perempuan dan tak setia di kolong langit ini lebih baik mati saja?" 

Nenek itu berkata dengan sinis, "Kalau aku --- membiarkan dia --- mati dengan mudah --- seperti itu, bukankah --- terlalu enak baginya?" Linghu Chong berkata, "Benar, kau membuatnya khawatir selama belasan tahun, ia mencarimu sampai daerah di luar Tembok Besar, dari Gurun Utara sampai Tibet, mencarimu di setiap biara, tapi kau malah enak-enakan bersembunyi disini, masa itu terlalu enak baginya?" Sang nenek berkata, "Ia --- pantas menerimanya, ia sudah menikahiku, kenapa ia --- melecehkan perempuan lain?" Linghu Chong berkata, "Kata siapa ia melecehkan perempuan lain? Perempuan itu melihat putrimu, dan ia juga melihat perempuan itu, memangnya kenapa?" Sang nenek berkata, "Setelah punya istri, tak boleh melihat perempuan lain". 

Linghu Chong merasa bahwa perempuan ini sangat susah dipahami, katanya, "Kau sendiri wanita yang sudah menikah, tapi kenapa kau melihat lelaki lain?" Si nenek berkata dengan gusar, "Kapan aku melihat laki-laki lain? Ngawur!" Linghu Chong berkata, "Sekarang ini bukannya kau sedang memandangiku? Memangnya aku bukan seorang lelaki? Biksu Bujie cuma melirik perempuan lain, tapi kau justru menarik rambutku dan menyentuh kulit kepalaku. Kuberitahu ya, kita berdua pria dan wanita yang tak punya hubungan keluarga, kalau kau menyentuh tubuhku, kau sudah melanggar peraturan agama. Untung saja kau cuma menyentuh kulit kepalaku dan tak meraba wajahku, kalau tidak Bodhisatwa Guanyin pasti tak akan mengampunimu". Ia berpikir bahwa perempuan itu jarang berpergian ke dunia luar dan tak mengerti keadaan dunia, maka ia harus menakut-nakutinya supaya ia tak sembarangan membacoki tubuhnya, dan terlebih lagi supaya ia tak memaksanya belajar Pixie Jianfa. 

Nenek itu berkata, "Aku tak perlu menyentuhmu untuk memotong tangan, kaki dan kepalamu". Linghu Chong berkata, "Silahkan saja kalau kau ingin memotong kepalaku". Sembari tertawa sinis nenek itu berkata, "Kalau kau ingin aku membunuhmu, tak segampang itu. Sekarang ada dua jalan yang bisa kau pilih. Jalan pertama adalah kau segera menikahi Yilin, supaya ia tak terus bersedih sampai mati merana. Tapi kalau kau tak setuju, akan kukebiri kau, sehingga kau jadi monster yang lelakibukan perempuan bukan. Kalau kau tak mau menikahi Yilin, kau juga tak boleh menikahi perempuan jahat lain yang tak tahu malu". Ia sudah berpura-pura bisu tuli selama lebih dari sepuluh tahun, ia sudah lama tak pernah berbicara, maka lidahnya kelu, namun setelah berbicara selama beberapa saat, bicaranya sedikit lebih lancar. 

Linghu Chong berkata, "Yilin memang seorang gadis yang baik, tapi di dunia ini selain dia, apa semua gadis lain adalah perempuan jahat yang tak tahu malu?" Nenek itu berkata, "Begitulah, baikpun ada batasnya. Kau setuju atau tidak, cepat katakan". 

Linghu Chong berkata, "Yilin Xiao Shimei adalah teman baikku, kalau ia tahu kau memaksaku seperti ini, ia bisa marah". Sang nenek berkata, "Kalau kau menikahinya. Ia akan sangat bahagia, ia tak akan marah lagi". Linghu Chong berkata, "Ia adalah seorang biarawati, ia sudah bersumpah tak akan menikah. Kalau ia tergoda, bodhisatwa akan menyalahkannya". Si nenek berkata, "Kalau kau juga menjadi biksu, bodhisatwa tak akan menyalahkannya sendirian. Memangnya kenapa aku mencukur kepalamu?" 

Linghu Chong tak kuasa menahan diri untuk tak tertawa terbahak-bahak, katanya, "Ternyata kau mencukur kepalaku karena ingin aku menjadi biksu, supaya bisa menikahi seorang biksuni kecil. Dahulu suamimu berbuat seperti itu, maka kau ingin aku belajar darinya". Nenek itu berkata, "Tepat sekali". Linghu Chong berkata sembari tertawa, "Di dunia ini banyak sekali orang berkepala gundul, orang yang kepalanya gundul belum tentu seorang biksu". Sang nenek berkata, "Itu gampang, akan kubuat beberapa bekas bakaran dupa di kepalamu. Gundul belum tentu seorang biksu, tapi gundul dan punya bekas-bekas bakaran dupa di kepala pasti seorang biksu". Sambil berbicara ia langsung hendak beraksi. Linghu Chong cepat-cepat berkata, "Tunggu dulu, tunggu dulu. Jadi biksu harus dengan senang hati, mana bisa dipaksa?" Nenek itu berkata, "Kalau tak mau jadi biksu, kau harus jadi kasim". 

Linghu Chong berpikir, "Nenek ini sinting, segala sesuatu juga bisa dilakukannya, aku harus menggunakan akal untuk menanggulanginya, maka ia berkata, "Kalau kau menjadikanku kasim dan kemudian tiba-tiba aku berubah pikiran, hendak menikahi Yilin Xiao Shimei, lantas bagaimana? Bukankah kau akan merusak kehidupan kami berdua?" Nenek itu berkata dengan gusar, "Kita adalah pesilat, kalau melakukan sesuatu harus cepat dan terang-terangan, begitu berkata langsung mengambil keputusan, mana bisa masih plin-plan dan berubah pikiran? Kalau mau jadi biksu, ya jadi biksu, kalau mau jadi kasim, ya jadi kasim! Seorang lelaki sejati mana bisa plin-plan 
begini?" Linghu Chong berkata sembari tertawa, "Kalau jadi kasim tentunya bukan  seorang lelaki sejati lagi". Nenek itu berkata, "Kita sedang membicarakan masalah serius, siapa yang bergurau denganmu?" 

Linghu Chong berpikir, "Yilin Xiao Shimei lembut dan cantik, cintanya padaku juga sangat mendalam, namun hatiku sudah lama menjadi milik Yingying, aku mana bisa mengingkarinya? Nenek ini memaksaku dengan kasar, seorang lelaki sejati lebih baik mati daripada tunduk". Ia berkata, "Nenek, aku tanya padamu, seorang lelaki yang tak setia dan doyan main perempuan, baik tidak?" Sang nenek berkata, "Untuk apa ditanyakan lagi? Orang semacam itu dibandingkan anjing atau babipun tak pantas, tak ada gunanya jadi manusia". Linghu Chong berkata, "Benar. Yilin Xiao Shimei cantik dan baik padaku, tapi kenapa aku tak memperistrinya? Karena aku sudah berjanji untuk menikahi seorang nona lain. Budi nona ini kepadaku sebesar gunung, walaupun seluruh tubuh Linghu Chong dicincang habis olehmu, aku masih tak akan mengkhianatinya. Kalau aku mengecewakannya, bukankah aku akan jadi lelaki tak setia dan doyan main perempuan nomor satu di kolong langit? Gelar 'nomor satu di kolong langit' Bujie Dashi itu akan direbut olehku, Linghu Chong". 

Nenek itu berkata, "Nona ini adalah Ren Da Xiaojie dari Mo Jiao, ketika pengikut Mo Jiao mengepungmu disini tempo hari, ialah yang turun tangan menolongmu, benar tidak?" Linghu Chong berkata, "Tepat sekali. Kau sudah pernah melihat Ren Da Xiaojie ini dengan mata kepalamu sendiri". Sang nenek berkata, "Itu gampang sekali. Aku akan suruh Ren Da Xiaojie itu mencampakanmu, jadi bukan kau yang tak setia padanya, melainkan dialah yang tak setia padamu". Linghu Chong berkata, "Dia tak mungkin mencampakkanku. Ia rela mengorbankan nyawanya bagiku, akupun rela mengorbankan nyawaku baginya. Aku tak mungkin mengkhianatinya, dan diapun tak mungkin mengkhianatiku". 

Nenek itu berkata, "Sayang keadaan sudah mendesak, ia tak bisa berbuat apa-apa.  Di Halaman Lain Hengshan banyak sekali lelaki-lelaki bau, ambil saja salah seorang dari mereka untuk dijadikan suaminya". Linghu Chong berseru dengan gusar, "Ngawur!" 

Nenek itu berkata, "Kau pikir aku tak bisa melakukannya?" Ia keluar dari pintu, terdengar pintu ruangan lain terbuka, dan ia kembali masuk ke dalam kamar sambil membawa seorang wanita yang tangan dan kakinya terikat, ialah Yingying. 

Linghu Chong terkejut, ia tak menyangka bahwa Yingying juga telah jatuh ke tangan nenek itu, ketika melihat bahwa ia sama sekali tak terluka, hatinya sedikit terasa lega, panggilnya, "Yingying, kau juga ada disini". Yingying tersenyum kecil, lalu berkata, "Semua percakapan kalian telah kudengar. Ketika kau berkata bahwa kau tak mungkin mengkhinatiku, aku senang sekali". Si nenek berkata, "Di hadapanku, tak boleh mengucapkan perkataan yang memalukan seperti itu. Nona kecil, kau mau biksu atau kasim?" Yingying berkata, "Perkataanmu sungguh tak enak didengar". 

Nenek itu berkata, "Aku sudah memikirkannya dengan hati-hati, aku ingin si bocah Linghu Chong ini mencampakkanmu dan menikahi Yilin, tapi ia tak bersedia". Linghu Chong bersorak keras-keras, "Sejak pertama membuka mulut, perkataanmu ini paling masuk akal". Sang nenek berkata, "Aku akan berbuat sesuatu yang baik dan sedikit mengalah untuk mengenakkan si bocah Linghu Chong ini, ia boleh menikahi dua orang istri. Ia jadi biksu dan menikahi keduanya; kalau jadi kasim, seorangpun tak bisa ia nikahi. Tapi setelah menikah nanti, kau tak boleh menganiaya putriku yang manis. Kalian berdua sama kedudukannya, tak usah membeda-bedakan siapa istri tua dan muda. Kau beberapa tahun lebih tua, maka Yilin boleh memanggilmu kakak". 

Linghu Chong berkata, "Aku......" Begitu ia mengucapkan kata 'aku' itu, titik bisunya terasa kesemutan, nenek itu telah menotoknya sehingga ia tak bisa berbicara. Nenek itu lalu menotok titik bisu Yingying juga seraya berkata, "Aku sudah mengambil keputusan, kalian tak bisa seenaknya menyela lagi. Aku sudah membiarkan kau biksu cilik ini menikahi dua wanita cantik, mau apa lagi? Hah, si gundul Bujie itu apa gunanya? Ia tahu putrinya sakit rindu tapi cuma bingung saja dan tak bisa berbuat apa-apa, tapi begitu aku turun tangan semuanya langsung beres". Sambil berbicara ia melayang keluar kamar. 

* * * 

Linghu Chong dan Yingying saling berpandangan sambil tersenyum kecut, mereka tak bisa berbicara, bahkan memberi isyarat tanganpun mereka tak bisa. Linghu Chong memandanginya, saat itu matahari mulai terbit, sinar mentari menerobos masuk dari jendela, lilin merah di atas meja masih belum padam, apinya masih menari-nari, asap tipis melayang, menyelimuti wajah Yingying yang berseri-seri bagai kumala putih sehingga ia nampak makin jelita. 

Ia memandang pisau cukur yang tergeletak di atas lantai, lalu pandangan matanya beralih memandang botol obat dan perban yang ditaruh di atas bangku, raut wajahnya nampak mengejek, jelas bahwa ia sedang menertawakannya, "Nyaris saja, nyaris saja!" 
Namun pandangan matanya segera beralih dan ia menunduk, wajahnya diselimuti rona merah, ia tahu bahwa hal seperti itu tak boleh dibicarakan, bahkan dipikirkanpun tak boleh. 

Ketika Linghu Chong melihatnya nampak malu-malu kucing dan polos, seakan ia telah melakukan sesuatu yang memalukan dan tertangkap basah olehnya, mau tak mau hatinya terguncang, pikirnya, "Kalau saja tubuhku bebas bergerak, aku ingin mendatanginya, lalu memeluk dan menciuminya".

Nampak pandangan matanya perlahan-lahan naik ke atas dan bertemu dengan pandangan mata Linghu Chong, namun ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya, rona merah di pipinya hampir menghilang, namun mendadak wajahnya kembali menjadi merah padam sampai ke telinganya. Linghu Chong berpikir, "Cintaku pada Yingying teguh dan tak mendua. Perempuan jahat ini memaksaku menikahi Yilin Xiao Shimei, untuk meloloskan diri, sementara ini aku harus menurutinya, tunggu sampai ia membuka totokanku, begitu pedang berada di tangan, untuk apa aku takut padanya lagi? Walaupun ilmu silat tangan kosong perempuan ini bagus, tapi masih kalau jauh kalau dibandingakan dengan Zuo Lengchan atau Ren Jiaozhu. Ilmu pedangnya pasti bukan tandinganku. Ia unggul dalam bergerak mengendap-endap tanpa suara untuk menyergap orang, sehingga orang tak sempat berjaga-jaga. Kalau benar-benar bertarung, Yingying masih sedikit lebih unggul, dan Bujie Dashi juga masih agak lebih kuat darinya". 

Ia termenung-menung, lalu pandangan matanya beralih, dilihatnya Yingying juga sedang memandangi dirinya, kali ini ia tak malu-malu lagi, tentunya ia sudah tak memikirkan perkara kasim lagi. Dilihatnya matanya melirik ke atas, bibirnya terangkat tersenyum-senyum, ia sedang menertawakan kepalanya yang pelontos, rupanya ia tak lagi memikirkan perkara kasim namun menertawakan dirinya yang dipaksa menjadi biksu. 

Linghu Chong tertawa, namun tak bisa mengeluarkan suara, senyum Yingying terlihat semakin lebar. Mendadak biji matanya berputar-putar, raut wajahnya nampak nakal, mata kirinya berkedip, lalu berkedip sekali lagi. Linghu Chong tak paham maksudnya, dilihatnya ia kembali berkedip dua kali, pikirnya, "Ia berkedip dua kali berturut-turut, apa maksudnya? Ah, aku tahu, ia menertawakan aku yang harus menikahi dua istri". Ia segera mengedipkan mata kirinya dan menghapus senyum di wajahnya, ekspresinya menjadi amat bersungguh-sungguh, maksudnya, "Aku hanya akan menikahi kau seorang, hatiku pasti tak akan mendua". Yingying sedikit mengangguk, mata kirinya kembali berkedip dua kali, maksudnya sepertinya, "Kalau menikahi dua orang kau akan punya dua istri!" 

Linghu Chong kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, mata kirinya mengedip sekali, ia ingin menggeleng lebih keras untuk menunjukkan tekadnya, namun karena titik jalan darahnya terlalu banyak yang tertotok, ia sukar bergerak, tapi air mukanya nampak amat tulus. Yingying sedikit mengangguk, matanya kembali memandang pisau cukur, lalu ia kembali menggeleng-geleng dengan pelan. Sepasang mata Linghu Chong memandanginya. Pandangan mata Yingying perlahan-lahan bergeser dan bertemu dengan pandangan matanya. 

Keduanya terpisah satu zhang lebih, namun keempat mata mereka saling bertemu, mendadak hati mereka menjadi satu, tanpa perlu mengucapkan sepatah katapun, mereka sudah memahami perasaan masing-masing. Menikahi Yilin atau tidak tidaklah penting, menjadi biksu atau menjadi kasim tidaklah penting. Mereka berdua mati tak apa, hiduppun tak apa, karena hati mereka telah bersatu seperti ini, mereka sudah merasa puas, saat ini akan kekal abadi, walaupun langit dan bumi terbelah, saat ini tak dapat direngut atau dilupakan. 

Mereka berdua berpandangan dengan mesra, entah sudah berapa lama waktu berlalu ketika tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menaiki tangga loteng, rupanya ada seseorang yang naik ke paviliun itu, saat itu mereka berdua baru tersadar dari lautan cinta dan kebahagiaan yang tak terperi itu. 

* * * 

Terdengar suara merdu seorang gadis berkata, "Nenek Bisu, untuk apa kau membawaku kesini?" Itulah suara Yilin. Terdengar ia memasuki sebuah kamar lain, lalu duduk, jelas bahwa nenek itu menemaninya, namun suara gerakannya sama sekali tak terdengar. Setelah beberapa lama, terdengar sang nenek berkata dengan perlahan-lahan, "Jangan panggil aku Nenek Bisu, aku tak bisu". 

Yilin menjerit dengan suara melengking, ia amat terkejut, dengan suara bergetar ia berkata, "Kau......kau......kau tidak bisu? Kau sudah sembuh?" Sang nenek berkata, "Aku tak pernah bisu". Yilin berkata, "Kalau begitu kau......kau tak pernah tuli, dan bisa mendengar......mendengar perkataanku?" Suaranya menunjukkan rasa cemas dan panik. Nenek itu berkata, "Anak baik, apa yang kau takutkan? Bukankah lebih baik kalau aku bisa mendengar perkataanmu?" Linghu Chong mendengar bahwa nada suaranya hangat dan lembut, seakan sedang berbicara pada putri kandungnya sendiri, akhirnya sang nenek menunjukkan kasih sayangnya. 

Namun Yilin masih sangat cemas, dengan suara bergetar ia berkata, "Tidak, tidak! Aku pergi dulu!" Nenek itu berkata, "Kau duduklah dulu sebentar, aku hendak membicarakan suatu hal yang penting denganmu". Yilin berkata, "Tidak, aku......aku tak mau mendengarnya. Kau menipuku, kukira kau tak bisa mendengar, sehingga aku.....aku berbicara padamu seperti itu, kau menipuku!" Suaranya tersedu sedan, ia begitu cemas sampai menangis. 

Nenek itu menepuk-nepuk bahunya dengan pelan seraya berkata dengan lembut, "Anak baik, jangan khawatir. Aku tak menipumu, aku khawatir kau begitu sedih sampai jatuh sakit, maka aku membiarkanmu bicara supaya hatimu sedikit lebih lega. Sejak aku datang ke Hengshan, aku berpura-pura bisu tuli, tak ada orang yang tahu, aku tak bermaksud menipumu". Yilin menangis tersedu-sedu. Nenek itu berkata dengan lembut, "Aku punya kabar yang sangat baik untukmu, kalau mendengarnya kau pasti sangat girang". Yilin berkata, "Apakah tentang ayahku?" Sang nenek berkata, "Ayahmu, hah, aku tak perduli padanya. Ini tentang Linghu Shixiongmu". Yilin berkata dengan suara bergetar, "Kau jangan.....jangan sebut-sebut dia. Aku......aku selamanya tak akan  menyinggung dia lagi di depanmu. Aku pergi membaca kitab suci dulu!" Nenek itu berkata. "Tidak, kau tunggulah sebentar, dengarkan aku bicara sampai selesai. Linghu Shixiongmu berkata padaku bahwa dalam hati ia sebenarnya amat mencintaimu, sepuluh kali lipat lebih mencintaimu dibandingkan terhadap Ren Da Xiaojie dari Mo Jiao itu". 

Linghu Chong melirik Yingying, diam-diam ia memaki, "Perempuan bau, pembohong besar!" 

Yilin menghela napas, lalu berkata dengan pelan, "Kau tak usah membohongiku. Ketika aku pertama mengenalnya, Linghu Shixiong hanya mencintai xiao shimeinya seorang, ia mencintainya dengan sepenuh hati, dalam hatinya hanya ada xiao shimei. Kemudian xiao shimeinya mengecewakannya dan menikah dengan orang lain, lalu ia hanya mencintai Ren Da Xiaojie seorang, ia juga mencintainya dengan sepenuh hati, dalam hatinya hanya ada Ren Da Xiaojie seorang". 

Pandangan mata Linghu Chong dan Yingying saling bertemu, dalam hati mereka berdua merasakan kebahagiaan yang tak terperi. 

Nenek itu berkata, "Sebenarnya ia sembunyi-sembunyi mencintaimu, tapi karena kau adalah seorang biarawati, dan dia juga ketua Hengshan Pai, ia tak bisa terang-terangan mengungkapkan maksudnya. Tapi sekarang ia telah bertekad bulat untuk menikahimu, oleh karenanya ia telah mencukur rambutnya dan menjadi seorang biksu". Yilin berseru kaget, lalu berkata, "Tak.....tak bisa, tak mungkin. Kau.....kau suruh ia jangan jadi biksu". Nenek itu menghela napas, lalu berkata, "Sudah terlambat, ia sudah menjadi biksu. Ia berkata, bagaimanapun juga, ia harus menikahimu. Kalau ia tak bisa menikahimu, ia akan bunuh diri, atau jadi seorang kasim". 

Yilin berkata, "Jadi kasim? Guruku pernah berkata bahwa itu adalah perkataan kasar, kami orang beragama tak boleh mengucapkannya". Sang nenek berkata, "Kasim bukan perkataan kasar, ia adalah orang yang melayani kaisar dan permaisuri". Yilin berkata, "Linghu Shixiong amat tinggi hati, ia tak mau dikekang, mana mungkin ia sudi melayani kaisar dan permaisuri? Menurutku, jadi kaisarpun ia tak sudi, apalagi menjadi pelayan kaisar. Ia pasti tak mungkin jadi seorang kasim". Nenek itu berkata, "Menjadi kasim bukan berarti sungguh-sungguh melayani kaisar dan permaisuri, itu cuma perumpamaan saja. Orang yang jadi kasim tak bisa punya anak". Yilin berkata, "Aku tak percaya. Kelak setelah Linghu Shixiong dan Ren Da Xiaojie menikah, mereka pasti akan dapat mempunyai beberapa bayi mungil. Mereka berdua begitu rupawan, anak-anak mereka pasti sangat lucu". 

Linghu Chong melirik Yingying, dilihatnya kedua pipinya merona merah, di tengah rasa jengahnya ia amat bahagia. Nenek itu marah, bentaknya, "Kalau aku bilang ia tak bisa punya anak, ya tak bisa punya anak. Jangankan punya anak, menikahpun ia tak bisa". Yilin berkata, "Aku tahu bahwa dalam hatinya hanya ada Ren Da Xiaojie seorang". 

Nenek itu berkata, "Ia menikahi Ren Da Xiaojie, dan juga menikahimu. Mengerti? Sekaligus menikahi dua orang istri. Di dunia ini, jangankan menikahi dua orang, ada lelaki yang punya tiga istri dan empat gundik". Yilin berkata, "Tak bisa. Kalau mencintai seseorang, ia hanya memikirkan orang itu, pagi memikirkannya, malam juga memikirkannya, saat makan atau tidur ia juga memikirkannya, mana bisa memikirkan orang lain? Seperti ayahku itu, sejak ibuku pergi, ia pergi ke seluruh penjuru dunia untuk mencarinya. Di dunia ini sangat banyak wanita, kalau ia bisa menikahi dua orang wanita, kenapa ayahku tak menikahi wanita lain?" Sang nenek terdiam untuk beberapa saat, lalu menghela napas dan berkata, "Dia......dia dahulu pernah bersalah, setelah itu ia menyesal, ada orang yang seperti itu". 

Yilin berkata, "Aku pergi dulu. Nenek, kalau kau terus menyinggung masalah Linghu Shixiong, tentang.....tentang dia mau menikahiku segala, aku tak bisa hidup lagi". Nenek itu berkata, "Memangnya kenapa? Ia berkata bahwa ia harus menikahimu, apa hatimu tak senang?" Yilin berkata, "Tidak, tidak! Aku kadang-kadang memikirkan dia, kadang-kadang mohon pada bodhisatwa supaya beliau memberkatinya, agar ia selalu bebas dan gembira. Aku berharap agar ia dijauhkan dari kemalangan dan kesukaran, dapat memperoleh apa yang diinginkannya, dan bisa menikah dengan Ren Da Xiaojie. Nenek, aku cuma berharap hatinya bahagia. Aku tak pernah mengharapkannya menikahiku". Sang nenek berkata, "Kalau ia tak bisa menikahimu, ia tak akan bahagia, bahkan jadi manusiapun tak ada artinya". Yilin berkata, "Ini semua salahku, kukira kau tak bisa mendengar, maka aku berbicara banyak hal tentang Linghu Shixiong padamu. Ia adalah pahlawan besar zaman ini, seorang pendekar besar, sedangkan aku cuma seorang biksuni kecil yang segala apa tak mengerti dan tak bisa apa-apa. Ia pernah berkata, 'Begitu lihat biksuni, pasti kalah judi', kalau melihatku ia akan sial, ia mana bisa menikahiku? Aku sudah menjadi pengikut sang Buddha, hatiku harus seperti air yang tenang dan tak boleh memikirkan hal-hal seperti ini lagi. Nenek, kalau kau menyinggung masalah ini lagi, aku......aku tak mau menemuimu lagi". 

Nenek itu merasa cemas, katanya, "Kau ini bocah tolol yang susah dimengerti. Linghu Chong telah menjadi biksu demi kau, dan berkata bahwa ia harus menikahimu, kalau bodhisatwa marah, beliau hanya akan menyalahkannya seorang". Yilin menghela napas dengan pelan, lalu berkata, "Dia berpikiran sama dengan ayahku? Tak mungkin. Ibuku cantik dan pintar, sifatnya lembut dan ramah, selalu memperlakukan orang lain dengan baik, ia adalah wanita terbaik di dunia ini. Kalau ayahku menjadi biksu demi dia, hal ini memang sudah sepantasnya, aku......aku sama sekali tak bisa sebaik ibuku". 

Diam-diam Linghu Chong tertawa, "Mamamu ini jelas tak pintar dan cantik, sifatnya lembut dan ramah, jelas tidak. Dibandingkan denganmu, ia sama sekali tak sebaik dirimu". 

Nenek itu berkata, "Dari mana kau tahu?" Yilin berkata, "Setiap kali ayah bertemu denganku, ia selalu menceritakan kebaikan ibuku, katanya mama lemah lembut dan anggun, tak pernah memaki orang, tak pernah marah, seumur hidupnya, bahkan semutpun tak pernah diinjaknya. Walaupun semua wanita yang paling baik di dunia ini dikumpulkan, mereka masih tak bisa mengungguli mamaku". Sang nenek berkata, "Dia......dia benar-benar berkata begitu? Jangan-jangan tak tulus atau cuma pura-pura saja". Ketika ia mengucapkan perkataan itu, suaranya agak bergetar, jelas bahwa hatinya tersentuh. Yilin berkata, "Tentu saja ia bersikap tulus! Pasti betul. Aku putrinya, mana mungkin ayah membohongiku?" 

Seketika itu juga, Paviliun Linggui menjadi sunyi senyap, nenek itu sepertinya sedang termenung-menung. 

Yilin berkata, "Nenek Bisu, aku pergi dulu. Sejak ini aku tak akan menemui Linghu Shixiong lagi, setiap hari aku hanya akan mohon Bodhisatwa Guanyin melindunginya". Terdengar suara langkah kaki menggema, dengan pelan ia turun dari loteng.

Setelah lama, nenek itu sepertinya baru terbangun dari mimpinya, dengan lirih ia berkata pada dirinya sendiri, "Ia berkata bahwa aku adalah wanita paling baik di dunia ini? Ia pergi ke segala penjuru dunia untuk mencariku? Jadi dia sama sekali bukan lelaki yang tak setia dan doyan main perempuan?" Mendadak ia berteriak dengan nyaring, "Yilin, Yilin, dimana kau?" Namun Yilin sudah lama pergi jauh.

Nenek itu berteriak dua kali lagi, namun tak ada jawaban, maka ia cepat-cepat turun dari loteng. Ia bergerak dengan amat cepat, namun langkah kakinya masih amat lembut seperti langkah kaki kucing sehingga hampir tak terdengar.

Catatan Kaki Penerjemah

[1] Akhiran yang berarti 'perempuan'. 


No Comment
Add Comment
comment url