Pendekar Hina Kelana - Bab 5: Menyembuhkan Luka

 <<  Bab Sebelumnya - Halaman Indeks - Bab Selanjutnya >>

Terjemahan Cersil Balada Kaum Kelana

oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Jin Yong (Chin Yung / Louis Cha)
Berdasarkan novel edisi ketiga.

Smiling Proud Wanderer Jilid 1

Smiling proud wanderer 5
[Linghu Chong perlahan menutup matanya. Napasnya berangsur-angsur melambat dan segera dia tertidur. Yilin tetap berada di sisi Linghu Chong, dan dengan lembut mengayunkan dahan daun untuk mengusir nyamuk dan serangga lain untuknya.]


Bab 5: Menyembuhkan Luka

Bagian 1

Ketika Yilin dan gadis kecil itu telah berada di luar aula, Yilin bertanya, "Nona, siapa namamu yang terhormat?" Gadis kecil itu tertawa cekikikan dan berkata, "Margaku terdiri dari dua kata, yaitu Linghu, sedangkan nama panggilanku hanya satu kata saja, yaitu Chong". Jantung Yilin berdebar-debar, wajahnya berubah masam, "Aku tanya kau baik-baik, tapi kenapa kau malah mempermainkan aku?" Gadis kecil itu tersenyum, "Mempermainkanmu bagaimana? Memangnya cuma temanmu yang namanya Linghu Chong?" Yilin menghela napas, hatinya terasa pilu, ia tak bisa menahan air matanya berjatuhan, katanya, "Kakak Linghu ini telah menyelamatkan nyawaku, akhirnya ia tewas demi aku, aku......aku tak pantas jadi temannya".

Ketika mereka sedang berbicara tentang hal itu, nampak dua orang bongkok buru-buru keluar dari aula, mereka adalah Si Bongkok Dari Utara Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi. Si gadis kecil tertawa cekikikan dan berkata, "Di kolong langit ini benar-benar ada hal yang aneh seperti ini, ada seorang bongkok tua bermuka seram dan juga ada seorang pemuda bongkok". Ketika Yilin mendengar ia mengejek orang lain, ia diam-diam merasa kesal, katanya, "Nona, kau cari ayah ibumu sendiri, ya. Kepalaku sangat pusing dan badanku tak enak".

Si gadis kecil berkata, "Aku tahu kau cuma pura-pura sakit kepala dan masuk angin, aku tahu, waktu aku pura-pura jadi Linghu Chong, kau tak senang. Kakak yang baik, gurumu menyuruhmu menemaniku, bagaimana kau bisa meninggalkan aku begitu saja? Kalau aku sampai dianiaya orang jahat, gurumu akan menyalahkanmu habis-habisan". Yilin berkata, "Ilmumu jauh lebih tinggi dari aku, kau juga cerdas, bahkan seorang tokoh yang ternama di kolong langit ini seperti Ketua Yu juga tumbang di tanganmu. Kalau kau tidak menganiaya orang saja, orang itu akan berterima kasih pada langit dan bumi, siapa yang berani menganiayamu?" Gadis kecil itu tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Jangan menggoda aku. Barusan ini kalau gurumu tidak melindungiku, belum-belum aku sudah akan kena pukul si hidung kerbau itu. Kakak, aku marga Qu, nama panggilanku Feiyan. Kakekku memanggilku Fei Fei, kau juga boleh memanggil aku Fei Fei juga".

Ketika mendengar ia mengatakan nama aslinya, Yilin merasa lebih tenang, ia hanya merasa heran, bagaimana ia tahu bahwa ia selalu memikirkan Linghu Chong, sehingga ia memakai namanya untuk menggoda dirinya? Kemungkinan besar, ketika ia bercerita kepada guru dan orang-orang lain di ruang tamu, nona yang pintar dan aneh ini bersembunyi di balik jendela dan mencuri dengar. Ia berkata, "Baiklah, Nona Qu, ayo kita cari ayah dan ibumu, kira-kira kau tahu tidak dimana mereka berada?"

Qu Feiyan berkata, "Aku tahu mereka ada di mana. Kalau kau ingin mencari mereka, pergilah sendiri, aku tak ikut". Yilin merasa heran, "Kenapa kau sendiri tak ikut?" Qu Feiyan berkata, "Umurku masih terlalu muda, bagaimana aku bisa pergi ke sana? Tapi kau lain, kau sangat sedih, mungkin kau sangat ingin cepat-cepat pergi kesana". Yilin merasa cemas dan berkata, "Katamu ayah dan ibumu......" Qu Feiyan berkata, "Ayah ibuku sudah lama dibunuh orang. Kalau kau mau cari mereka, kau harus pergi ke akherat". Yilin merasa kesal, "Kalau ayah ibumu sudah tiada, bagaimana kau bisa bercanda tentang mereka? Aku tak mau menemanimu". Qu Feiyan mengenggam tangan kirinya, lalu berkata sambil merengek-rengek, "Kakak yang baik, aku anak yatim piatu yang tak punya siapa-siapa lagi, tak ada orang yang menemani aku bermain. Temani aku sebentar saja".

Ketika Yilin mendengar ia berbicara dengan begitu sedih, ia berkata, "Baiklah, aku akan menemanimu sebentar, tapi kau tak boleh membuat lelucon tolol. Aku adalah orang yang hidup membiara, kau tak boleh memanggilku kakak". Qu Feiyan tersenyum, "Menurutmu aku bicara tak keruan, tapi menurut aku tidak, pikiran setiap orang memang berbeda-beda. Kau lebih tua dari aku, maka aku memanggilmu kakak, kenapa tidak boleh? Masa aku harus memanggilmu adik? Kakak Yilin, kau tak usah jadi biksuni saja, ya?"

Mau tak mau Yilin tertegun, ia mundur selangkah, Qu Feiyan menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan tangannya, ia tersenyum lalu berkata, "Apa enaknya jadi biksuni? Tak bisa makan ikan, udang, ayam dan bebek, daging sapi dan daging kambing juga tak boleh dimakan. Kakak, kau begitu cantik, tapi karena kau mencukur gundul kepalamu penampilanmu jadi tak menarik, kalau kau memanjangkan rambutmu, kau akan jadi cantik". Ketika Yilin mendengar perkataannya yang naif itu, ia tertawa, "Aku adalah pengikut sang Buddha, kami percaya bahwa semua adalah maya, apa gunanya memperdulikan apakah rupa tubuh yang fana ini cantik atau jelek?"

Qu Feiyan menelengkan kepalanya, ia menatap wajah Yilin, saat itu hujan mulai reda, mendung telah tersibak, sinar bulan yang pucat bersinar dari balik awan dan menyinari wajahnya hingga berpendar-pendar keperakan, ia nampak makin cantik. Qu Feiyan menghela napas, lalu berkata dengan lirih, "Kakak, kau benar-benar cantik. Tak heran orang begitu merindukanmu". Rona merah muncul di wajah Yilin, ia berkata dengan gusar, "Kau bicara apa? Kalau kau menggodaku, aku akan pergi". Qu Feiyan tertawa, "Baiklah, aku tak akan bicara lagi. Kakak, beri aku Perekat Penyambung Langit Harum untuk menolong seseorang". Yilin berkata dengan heran, "Kau mau menolong siapa?" Qu Feiyan tersenyum, "Orang ini sangat penting, saat ini aku tak bisa mengatakannya padamu". Yilin berkata, "Kalau kau ingin minta obat luka untuk menyelamatkan nyawa seseorang, tentunya aku bisa memberikannya. Tapi guru secara tegas mengajarkan bahwa karena Perekat Penyambung Langit Harum ini sulit dibuat, kalau yang terluka adalah seorang jahat, kami tak boleh menolongnya".

Qu Feiyan berkata, "Kakak, kalau ada seseorang yang kurang ajar dan memakai kata-kata kasar untuk memaki guru dan Perguruan Hengshanmu, menurutmu dia orang jahat bukan?" Yilin berkata, "Kalau orang itu memaki guruku, memaki Perguruan Hengshan kami, tentunya ia adalah orang jahat, bukankah begitu?" Qu Feiyan tertawa, "Ini sungguh aneh. Ada seseorang yang berulang-ulang mengatakan bahwa setiap melihat biksuni dia sial, kalau berjudi pasti kalah. Kalau penjahat besar seperti itu yang terluka......"

Sebelum ia menyelesaikan perkataannya, air muka Yilin berubah, ia berpaling lalu melangkah pergi. Qu Feiyan cepat-cepat menghadang di depannya, ia mementang kedua tangannya sambil tersenyum, tapi tak membiarkannya pergi. Tiba-tiba Yilin teringat akan sesuatu, "Di loteng Huiyan kemarin, ia duduk bersama seorang lelaki lain. Sampai saat Kakak Linghu tewas dan aku membopong jasadnya sambil berlari menuruni tangga kedai arak, sepertinya dia juga ada disana. Ia telah menyaksikan semua yang terjadi dengan mata kepalanya sendiri, tak perlu mencuri dengar perkataanku. Apakah dia mengikutiku dari belakang?" Ia ingin menanyainya, namun wajahnya memerah dan ia tak bisa membuka mulutnya.

Qu Feiyan berkata, "Kakak, aku tahu kau ingin bertanya padaku, kemana perginya jasad Kakak Linghu, benar tidak?" Yilin berkata, "Memang benar, kalau nona bisa memberitahu aku, aku......aku......akan sangat berterima kasih sekali".

Qu Feiyan berkata, "Aku tak tahu, tapi ada seseorang yang tahu. Orang ini terluka parah, hidupnya berada di ujung tanduk. Kalau kakak bisa memakai Perekat Penyambung Langit Harum untuk menyelamatkan nyawanya, ia akan bisa memberitahumu dimana jasad Kakak Linghu berada". Yilin berkata, "Kau sendiri benar-benar tak tahu?" Qu Feiyan berkata, "Aku Qu Feiyan kalau tahu dimana jasad Kakak Linghu berada, biar aku mati di tangan Yu Canghai besok, biar pedangnya membuat tujuh atau delapan puluh lubang di tubuhku". Yilin cepat-cepat berkata, "Aku percaya, kau tak usah bersumpah. Orang ini siapa?"

Qu Feiyan berkata, "Terserah padamu apa kau mau menolong orang ini atau tidak. Tempat yang akan kita datangi juga bukan tempat yang baik".

Demi untuk menemukan jasad Linghu Chong, mendaki gunung golok dan rimba pedang pun ia rela, apalagi cuma pergi ke tempat yang tidak baik, Yilin mengangguk dan berkata, "Ayo kita pergi kesana".

Kedua orang itu berjalan menuju ke gerbang utama, mereka melihat bahwa di luar gerbang hujan masih turun. Di samping gerbang ada beberapa payung dari kertas berminyak, Yilin dan Qu Feiyan masing-masing mengambil sebuah, lalu keluar gerbang dan berjalan menuju ke timur laut. Saat itu sudah larut malam, orang yang berlalu lalang di jalanan sudah jarang. Ketika mereka berdua lewat, jauh di dalam sebuah lorong dua ekor anjing mengonggong. Yilin memperhatikan bahwa di sepanjang jalan Qu Feiyan selalu melewati jalan-jalan kecil yang sempit dan jauh dari keramaian, namun karena ia sangat ingin tahu dimana jasad Linghu Chong berada, ia tidak memperhatikan kemana Qu Feiyan membawanya pergi.

* * *

Setelah berjalan beberapa lamanya, Qu Feiyan menyelinap ke sebuah gang yang sangat sempit. Di sebelah kiri jalan, sebuah lentera merah kecil tergantung dari pintu sebuah rumah. Qu Feiyan mengetuk pintunya tiga kali. Seseorang keluar dari rumah itu, ia membuka pintu dan melongok keluar. Qu Feiyan membisikkan beberapa kalimat ke telinga orang itu, dan juga menyelipkan sesuatu ke dalam tangannya. Orang itu berkata, "Baik, baik. Nona silahkan masuk".

Qu Feiyan berpaling dan melambaikan tangannya. Yilin mengikutinya masuk lewat pintu. Di wajah orang itu muncul ekspresi rasa heran yang amat sangat, ia bergegas menunjukkan jalan, setelah melewati sebuah taman kecil, ia membuka tirai yang menutupi pintu sebuah kamar di sayap timur rumah, lalu berkata, "Nona, Biksuni, silahkan duduk disini". Ketika tirai dibuka tercium bau bedak dan wewangian yang menyengat hidung.

Setelah Yilin memasuki ruangan itu, ia melihat bahwa di ruangan itu terdapat sebuah ranjang besar, di atas ranjang itu terdapat selimut dan bantal brokat yang disulam. Sulaman Xiang[1] terkenal di mana-mana, di atas selimut brokat merah yang besar itu terdapat sulaman sepasang bebek Mandarin yang sedang berenang di air, warna warninya sungguh cemerlang, sulamannya begitu halus sehingga mereka seakan hidup. Sejak kecil Yilin hidup membiara di Biara Awan Putih, ia terbiasa memakai selimut dari kain hitam yang kasar. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat perangkat tidur yag begitu indah. Ia memandangnya sejenak, lalu berpaling. Ia melihat bahwa diatas sebuah meja kecil terdapat sebatang lilin merah besar, di samping lilin itu terdapat sebuah cermin yang berkilauan dan sebuah kotak riasan. Di depan ranjang diatas lantai tergeletak dua pasang sandal bersulam, yang sepasang milik pria, sedangkan yang sepasang lagi milik wanita, yang diletakkan berjejeran. Tiba-tiba jantung Yilin berdebat-debar, ia mengangkat kepalanya dan melihat sebuah wajah bulat telur yang cantik dan anggun sedang malu-malu kucing, ekspresinya setengah rikuh dan setengah heran, itulah pantulan wajahnya sendiri yang muncul di cermin.

Dari belakang punggungnya terdengar suara langkah kaki, seorang pelayan wanita tua datang membawakan secawan teh harum sambil tersenyum lebar, pakaian pelayan tua itu sangat ketat dan gayanya sangat centil. Makin lama Yilin makin takut, ia bertanya dengan suara pelan pada Qu Feiyan, "Ini tempat apa?" Qu Feiyan tersenyum, ia membungkuk dan membisikkan beberapa kalimat di telinga pelayan itu, pelayan tua itu menjawab, "Baik". Ia mengerucutkan bibirnya, tertawa cekikikan, lalu melenggang dengan genit keluar ruangan. Yilin berpikir, "Perempuan ini tingkahnya dibuat-buat, pasti bukan orang baik-baik". Lagi-lagi ia bertanya pda Qu Feiyan, "Buat apa kau ajak aku kesini?" Qu Feiyan tersenyum kecil, "Tempat ini sangat terkenal di Kota Hengshan, namanya Wisma Kumala". Yilin bertanya lagi, "Apa itu Wisma Kumala?" Qu Feiyan berkata, "Wisma Kumala adalah rumah pelacuran nomor satu di Kota Hengshan".

Ketika Yilin mendengar dua kata 'rumah pelacuran' itu, jantungnya langsung berdebar-debar dan ia hampir pingsan. Ia melihat bahwa rumah itu dihias dengan sangat mewah, dari tadi ia sudah merasa tak enak, tapi ia sama sekali tak mengira bahwa tempat itu adalah sebuah rumah pelacuran. Walaupun ia tak sepenuhnya memahami apa itu rumah pelacuran, tapi ia pernah mendengar para kakak seperguruan dari kaum awam berkata bahwa pelacur adalah wanita yang paling cabul dan hina di kolong langit, lelaki siapa saja yang mempunyai uang bisa memanggil pelacur untuk menemaninya. Apakah Qu Feiyan mengajaknya ke rumah pelacuran untuk menjadikan dirinya seorang pelacur? Ia merasa cemas dan hampir menangis.

Tepat pada saat itu, dari kamar sebelah terdengar suara seorang lelaki tertawa terbahak-bahak. Suara tertawa itu sudah akrab di telinganya, itulah suara si penjahat 'Kelana Tunggal Selaksa Li' Tian Boguang. Sepasang lutut Yilin menjadi lemas. "Bruk!" Ia terduduk di kursi, wajahnya pucat pasi.

Qu Feiyan terkejut, ia bergegas menghampirinya dan bertanya, "Ada apa?" Yilin berbisik, "Itu adalah si Tian......Tian Boguang!" Qu Feiyan tertawa dengan riang, "Benar. Aku mengenali suaranya, dia adalah muridmu yang manis, Tian Boguang".

Di kamar sebelah, Tian Boguang berkata keras-keras, "Siapa yang menyebut-sebut namaku?"

Qu Feiyan berkata, "Hei! Tian Boguang, gurumu ada disini, ayo cepat datang bersujud!" Tian Boguang berkata dengan gusar, "Guru apa? Pelacur kecil, kau bicara sembarangan, akan kucabik-cabik mulutmu yang bau". Qu Feiyan berkata, "Bukankah di kedai arak Huiyan di Hengshan kau telah mengangkat biksuni kecil Yilin sebagai guru? Sekarang dia ada disini, cepat datang!"

Tian Boguang berkata, "Bagaimana dia bisa berada di tempat seperti ini? Eh, bagaimana kau......kau bisa tahu? Siapa kau? Kubunuh kau!" Suaranya terdengar agak panik.

Qu Feiyan tertawa, "Kau datang kesini dan bersujud pada gurumu dulu, nanti kuberitahu". Yilin cepat-cepat berkata, "Jangan, jangan panggil dia kesini!"

"Ah!" Tian Boguang berteriak kaget, lalu, "Bruk!" Jelas bahwa ia telah melompat dari ranjang ke lantai. Terdengar suara seorang wanita berkata, "Tuan besar, kau sedang apa?"

Qu Feiyan berseru, "Tian Boguang, kau cepat lari! Gurumu datang kesini untuk membuat perhitungan denganmu". Tian Boguang memaki, "Guru dan murid apa, bapakmu ini ditipu oleh si bocah Linghu Chong itu! Begitu biksuni kecil itu datang, akan langsung kubunuh". Yilin berkata dengan suara gemetar, "Benar, aku tak akan datang kesana, kau jangan kesini". Qu Feiyan berkata, "Tian Boguang, kau terhitung seorang tokoh di dunia persilatan, kenapa kata-katamu tak bisa dipegang? Kau tak mengakui mengangkat dia sebagai guru? Ayo cepat kemari bersujud". Tian Boguang mendengus dan tak menjawab.

Yilin berkata, "Aku tak mau dia bersujud padaku, juga tak mau melihat dia, dia......dia bukan muridku". Tian Boguang cepat-cepat berkata, "Betul. Biksuni kecil ini memang tidak ingin bertemu denganku". Qu Feiyan berkata, "Baiklah, terserah. Aku beritahu kau, kami baru saja datang, ada dua maling kecil yang sembunyi-sembunyi mengikuti kami, cepat hajar mereka. Aku dan gurumu akan istirahat disini, kau berjaga di luar, siapapun tak boleh masuk menganggu kami berdua. Kalau kau melakukan beberapa hal ini dengan baik, tentang kau mengangkat biksuni kecil ini sebagai guru, setelah ini tak akan kusebut-sebut lagi. Kalau tidak, aku akan mengumumkannya supaya semua orang di kolong langit ini tahu".

Tiba- tiba Tian Boguang berteriak keras-keras, "Maling kecil, kau punya nyali!". Terdengar suara kisi-kisi jendela didobrak, di atas atap terdengar dua kali dentang senjata beradu, lalu dua buah senjata terjatuh di genting. Disusul suara seseorang yang berteriak kesakitan, juga terdengar suara langkah kaki, lalu seseorang melayang turun dan melarikan diri.

Terdengar lagi suara gedubrakan dari kisi-kisi jendela, rupanya Tian Boguang telah melompat kembali ke kamarnya. Ia berkata, "Yang satu sudah kubunuh, dia maling kecil dari Perguruan Qingcheng, yang satunya lagi lari". Qu Feiyan berkata, "Kau memang tak berguna, bagaimana kau bisa biarkan dia lari?"

Tian Boguang berkata, "Aku tak bisa membunuh orang itu, dia......dia adalah biksuni Perguruan Hengshan. Qu Feiyan tertawa, "Ternyata paman gurumu, tentu saja tak boleh kau bunuh". Yilin terkejut, ia berbisik, "Dia adalah kakak seperguruanku? Sekarang bagaimana?"

Tian Boguang bertanya, "Nona kecil, kau siapa?" Qu Feiyan tertawa, "Kau tak usah tanya. Kau diam saja dan menurut. Gurumu selamanya tak akan mencarimu untuk membuat perhitungan denganmu". Tian Boguang benar-benar tak bersuara lagi.

Yilin berkata, "Nona Qu, ayo cepat pergi dari sini!" Qu Feiyan berkata, "Tapi kau belum melihat orang yang terluka itu. Bukankah kau mau bicara dengan dia? Kalau kau takut gurumu marah, dan mau pulang sekarang juga, bagiku tidak apa-apa". Yilin bergumam pada dirinya sendiri, "Karena kita sudah terlanjur datang, kita......kita lihat saja orang itu". Qu Feiyan tersenyum, ia berjalan ke sisi ranjang, lalu menjulurkan tangannya untuk mendorong tembok sebelah timur, sebuah pintu perlahan membuka, ternyata di tembok itu ada sebuah pintu rahasia. Qu Feiyang melambaikan tangannya kepada Yilin dan masuk ke dalamnya.

Yilin merasa bahwa rumah pelacuran ini menyembunyikan banyak rahasia, untungnya Tian Boguang berada di dalam kamar sebelah barat, ia berpikir bahwa makin jauh dirinya dari Tian Boguang makin baik, maka ia segera memberanikan diri untuk ikut masuk. Di dalam ada sebuah kamar, tapi tanpa sinar lentera, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang menerobos masuk dari balik pintu rahasia. Ia melihat bahwa kamar itu sangat kecil, namun di dalamnya ada sebuah ranjang yang kelambunya mengantung rendah, samar-samar sepertinya ditiduri seseorang. Yilin berhenti di ambang pintu, tak berani masuk.

Qu Feiyan berkata, "Kakak, pakailah Perekat Penyambung Langit Harum untuk menyembuhkan lukanya!" Yilin ragu-ragu, ia berkata, "Apakah dia......dia benar-benar tahu dimana jasad Kakak Linghu?" Qu Feiyan berkata, "Mungkin dia tahu, mungkin juga ia tak tahu, aku tak bisa bilang". Yilin berkata dengan khawatir, "Barusan ini kau bilang dia tahu". Qu Feiyan berkata, "Aku bukan lelaki sejati, perkataanku tak bisa dipegang, betul tidak? Kalau kau ingin mencobanya, tak ada jeleknya kalau kau obati lukanya. Kalau tidak, kau sekarang pergi saja, tak ada yang menghalangimu". Yilin berpikir, "Bagaimanapun juga, aku harus mencari jasad Kakak Linghu, kalaupun cuma ada satu kesempatan kecil, tak boleh kulepaskan". Ia berkata, "Baiklah, akan kuobati lukanya". Ia berbalik keluar ruangan dan mengambil sebatang lilin, lalu masuk kembali ke dalam ruang rahasia dan berdiri di samping ranjang. Ia membuka kelambu dan melihat seseorang terlentang di atas ranjang, wajahnya ditutupi dengan sapu tangan brokat hijau, setiap kali ia bernapas, sapu tangan hijau itu ikut bergerak-gerak dengan perlahan. Karena Yilin tak bisa melihat wajahnya, hatinya terasa agak tenang, ia berpaling dan bertanya, "Dimana ia terluka?"

Qu Feiyang berkata, "Di dada, lukanya parah, hampir mengenai jantungnya".

Dengan hati-hati Yilin membuka selimut tipis yang menyelubungi tubuh orang itu, ia melihat bahwa dada orang itu telanjang, ia seorang lelaki, di dadanya nampak luka yang besar, darah telah berhenti mengalir, namun lukanya amat dalam, jelas sangat berbahaya. Yilin menenangkan dirinya sendiri, ia berkata dalam hati, "Bagaimanapun juga, aku harus menyelamatkan nyawanya". Ia memberikan lilin yang dipegangnya kepada Qu Feiyan, dari saku dadanya ia mengeluarkan kotak kayu tempat Perekat Penyambung Langit Harum. Ia membuka kotak kayu itu, menaruhnya di atas meja kecil di sebelah ranjang, lalu menekan-nekan dengan lembut di sekeliling luka orang itu. Qu Feiyan berbisik, "Untuk menghentikan aliran darah, titik-titik jalan darahnya sudah terlebih dahulu ditotok, kalau tidak bagaimana ia masih tetap hidup sampai sekarang?"

Yilin mengangguk, ternyata titik-titik darah di sekitar lukanya sudah ditutup, cara menotoknya sungguh lihai pula, jauh melebihi dari apa yang dapat dilakukannya, oleh karena itu ia perlahan-lahan membuka perban yang menutupi lukanya, begitu perban dibuka, darah segar langsung menyembur keluar. Sebelumnya Yilin telah belajar cara menyembuhkan luka dari guru-gurunya, tangan kirinya menekan mulut luka, sedangkan tangan kanannya mengoleskan Perekat Penyambung Langit Harum di luka itu. Setelah itu ia memasang perban kembali. Perekat Penyambung Langit Harum ini adalah obat penyembuh luka yang ampuh milik Perguruan Hengshan, begitu dioleskan di luka, tak lama kemudian darah akan berhenti mengalir. Yilin mendengar orang itu bernapas dengan terengah-engah, ia tak tahu apakah orang itu bisa tetap hidup, mau tak mau ia berkata, "Tuan pendekar, biksuni ini ingin minta petunjuk, aku harap tuan pendekar bersedia memberikannya".

Tiba-tiba Qu Feiyan memiringkan tubuhnya, tempat lilin yang dipegangnya ikut miring sehingga api lilin langsung padam dan ruangan itu menjadi gelap gulita. "Aiyo!", teriak Qu Feiyan, "Lilinnya mati".

Yilin menjulurkan tangannya namun tak bisa melihat kelima jari tangannya sendiri, ia merasa bingung, pikirnya, "Tempat seperti ini apa boleh didatangi orang yang hidup membiara? Aku harus cepat-cepat bertanya dimana jasad Kakak Linghu berada, lalu segera meninggalkan tempat ini". Dengan suara gemetar ia berkata, "Tuan pendekar, apakah rasa sakitmu sudah agak berkurang?" Orang itu hanya mendehem, sama sekali tak menjawab.

Qu Feiyan berkata, "Dia sedang demam, rabalah dahinya, demamnya sangat tinggi". Yilin tak mejawab, tangan kanannya menangkap tangan Qu Feiyan dan menaruhnya di dahi orang itu. Ternyata sapu tangan brokat yang menutupi wajahnya telah diambil oleh Qu Feiyan, ketika menyentuh dahi orang itu, Yilin merasakan panas yang seperti bara, mau tak mau timbul rasa kasihan dalam hatinya. Ia berkata, "Aku masih punya obat luka untuk diminum, lebih baik aku meminumkannya sekarang. Nona Qu, tolong nyalakan lilin". Qu Feiyang berkata, "Baik, kau tunggu disini, aku akan pergi mencari pemantik untuk menyalakan lilin". Ketika Yilin mendengar bahwa ia akan pergi, ia merasa cemas, ia cepat-cepat menarik lengan bajunya dan berkata, "Jangan, jangan, kau jangan pergi. Temani aku disini sebentar lagi, nanti aku bagaimana?" Qu Feiyan tertawa pelan dan berkata, "Ambillah obat luka yang untuk diminum itu".

Yilin mengeluarkan sebuah botol porselen dari saku dadanya, membuka tutupnya, lalu mengeluarkan tiga butir pil obat. Ia menaruhnya di telapak tangannya dan berkata, "Aku sudah mengeluarkan obat luka, berikanlah kepadanya". Qu Feiyan berkata, "Jangan sampai obat jatuh di tengah kegelapan, ini menyangkut nyawa orang, kita tak boleh main-main. Kakak, kau tak berani ditinggal disini, aku saja yang menunggu disini, kau keluar cari pemantik". Ketika Yilin mendengar bahwa Qu Feiyan ingin dirinya berkeliaran sendirian di rumah pelacuran itu, ia menjadi makin takut. Ia cepat-cepat berkata, "Jangan, jangan! Aku tak mau pergi". Qu Feiyan berkata, "Menolong orang harus sampai tuntas. Tempelkan botol obat luka itu di mulutnya, lalu beri dia minum teh, bisa bukan? Di tengah kegelapan ini dia juga tak tahu kau siapa, kau takut apa? Eh, ini dia cawan tehnya, hati-hati memegangnya, jangan sampai jatuh".

Perlahan-lahan Yilin menjulurkan tangannya, memegang cawan teh, untuk sesaat ia ragu-ragu, pikirnya, "Guru sering berkata, orang yang hidup membiara harus bersikap welas asih, menyelamatkan nyawa seseorang lebih baik daripada membangun pagoda bertingkat tujuh. Kalaupun orang ini tak tahu dimana jasad Kakak Linghu, hidupnya dalam bahaya dan aku harus menyelamatkannya". Maka dengan perlahan-lahan ia menjulurkan tangan kanannya hingga punggung tangannya menyentuh dahi orang itu. Ia membalikkan tangannya, lalu memasukkan tiga butir obat minum penyembuh luka yang bernama 'Pil Empedu Beruang Awan Putih' ke mulut orang itu. Orang itu membuka mulutnya dan menelan pil-pil itu, lalu minum beberapa teguk dari cawan teh yang dibawakan Yilin ke dekat mulutnya. Ia mengumamkan sesuatu yang sepertinya "Banyak terima kasih".

Yilin berkata, "Tuan pendekar, kau menderita luka parah, kau harus beristirahat dengan tenang, tapi aku ingin bertanya mengenai suatu hal yang mendesak kepadamu. Linghu Chong, pendekar Linghu dibunuh orang, jasadnya......" Orang itu berkata, "Kau......kau tanya tentang Linghu Chong....." Yilin berkata, "Betul! Apa tuan tahu dimana jasad pendekar Linghu Chong berada?" Orang itu berkata dengan bingung, "Jasad......jasad apa?"

Yilin berkata, "Betul. Apa tuan tahu dimana jasad Linghu Chong, pendekar Linghu, berada?" Orang itu mengumamkan beberapa kata, namun suaranya amat lirih, sama sekali tak terdengar. Yilin bertanya sekali lagi, ia mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, namun ia hanya bisa memdengar napas pendek-pendek orang itu, kelihatannya ia ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa.

Tiba-tiba Yilin ingat, "Perekat Penyambung Langit Harum dan Pil Empedu Beruang Awan Putih milik perguruan kami sangat ampuh, namun efeknya juga sangat kuat, terutama Pil Empedu Beruang Awan Putih, orang yang meminumnya sering pingsan selama setengah hari. Ini adalah saat-saat kritis dalam penyembuhan luka, bagaimana aku bisa memaksanya menjawab pertanyaanku?" Ia menghembuskan napas perlahan-lahan, bertumpu pada kursi yang ada di depan ranjang, lalu langsung terduduk, ia berbisik, "Aku akan tunggu dia agak baikan, baru bertanya". Qu Feiyan berkata, "Kakak, apa orang ini akan selamat?" Yilin berkata, "Aku harap ia bisa sembuh sepenuhnya, tapi luka di dadanya sangat dalam. Nona Qu, dia.......dia ini siapa?"

Qu Feiyan tidak menjawab, setelah beberapa saat, ia berkata, "Kata kakekku kau masih tak bisa membebaskan dirimu dari banyak hal, seharusnya kau tak jadi biksuni". Yilin berkata dengan heran, "Kakekmu kenal aku? Bagaimana beliau tahu bahwa aku masih tak bisa membebaskan diriku dari banyak hal?" Qu Feiyan berkata, "Kemarin di loteng Huiyan, kakek dan aku melihat kalian berkelahi dengan Tian Boguang". "Ah!", ujar Yilin, ia bertanya, "Kemarin kau bersama kakekmu?" Qu Feiyan berkata, "Benar. Kakak Linghumu itu benar-benar pintar omong, ketika ia berkata bahwa kalau bertarung sambil duduk ia nomor dua di kolong langit, saat itu kakekku sempat agak percaya bahwa ia benar-benar punya ilmu pedang yang dilatih di kakus, dan juga percaya bahwa Tian Boguang tak bisa melawannya, hihihi!" Dalam kegelapan, Yilin tak bisa melihat wajahnya, tapi ia menduga bahwa ia pasti sedang tertawa cekikikan. Semakin riang tawanya, semakin sedih hati Yilin.

Qu Feiyan meneruskan ceritanya, "Setelah Tian Boguang kabur, kakek berkata bahwa bocah itu tak punya nyali. Karena ia sudah berjanji bahwa kalau kalah ia akan mengangkatmu jadi guru, seharusnya dia bersujud padamu, bagaimana ia bisa tak menepati janjinya?" Yilin berkata, "Demi untuk menyelamatkanku, Kakak Linghu memakai akal-akalan, tapi ia tak benar-benar mengalahkannya". Qu Feiyan berkata, "Kakak, hati nuranimu amat lembut, si Tian Boguang itu menganiayamu, tapi kau masih berbicara yang baik-baik tentang dia. Setelah Kakak Linghu dibunuh orang, kau membopong jasadnya sambil berjalan tak tentu arah. Kakekku berkata, 'Biksuni kecil ini termasuk jenis orang yang penuh cinta, kali ini jangan-jangan ia akan jadi gila. Kita lihat saja'. Oleh karena itu kami berdua mengikutimu dari belakang, kami menyaksikan kau membopong orang mati itu dan sama sekali tak mau melepaskannya. Kakekku berkata, 'Feifei, kau lihat betapa sedihnya biksuni kecil itu, kalau si bocah Linghu Chong itu tidak mati, si biksuni kecil pasti akan menikah dengannya' ". Yilin begitu malu hingga wajahnya merah padam, di tengah kegelapan ia hanya bisa merasakan telinga dan lehernya menjadi panas.

Qu Feiyan berkata, "Kakak, betul tidak perkataan kakekku?" Yilin berkata, "Aku membuat orang lain terbunuh. Aku benar-benar berharap bahwa akulah yang mati, bukan dia. Kalau Bodhisatwa mengasihaniku, aku ingin mohon supaya aku saja yang mati untuk ditukar dengan jiwa Kakak Linghu, aku......aku......akan masuk ke neraka kedelapan belas dan sama sekali tak bisa menitis kembali dengan senang hati". Ia mengatakan beberapa kalimat itu dengan amat tulus.

Saat itu, tiba-tiba orang yang ada di atas ranjang mengerang pelan. Yilin berkata dengan gembira, "Kau......kau sudah sadar. Nona Qu, tolong tanya dia apa dia merasa sudah agak baikan". Qu Feiyang berkata, "Kenapa aku yang harus tanya? Kau sendiri tidak mau buka mulut!"

Yilin ragu-ragu sejenak, lalu melangkah ke samping ranjang, membuka kelambu dan berkata, "Tuan pendekar, apa kau bisa......" Sebelum perkataan itu selesai, terdengar orang itu mengerang beberapa kali. Yilin berpikir, "Sekarang ia sedang kesakitan luar biasa, bagaimana aku bisa menganggu dia?" Tak lama kemudian, terdengar napas orang itu mulai teratur, rupanya obat sudah mulai bekerja dan ia tertidur.

Qu Feiyan berbisik, "Kakak, kenapa kau ingin mati demi Linghu Chong? Apa kau benar-benar sangat menyukainya?" Yilin berkata, "Tidak, tidak! Nona Qu, aku seorang yang hidup membiara, kau tak boleh mengucapkan kata-kata yang menghujat sang Buddha seperti itu lagi. Linghu Chong dan aku belum pernah bertemu, tapi ia tewas demi menolong aku. Aku......aku cuma merasa sangat berterima kasih padanya". Qu Feiyan berkata, "Kalau dia bisa hidup kembali, apa kau sudi melakukan apapun untuknya?" Yilin berkata, "Benar. Kalau aku harus mati seribu kali pun demi dia, aku tak akan mengeluh".

Tiba-tiba Qu Feiyan tertawa lalu berkata dengan suara nyaring, "Kakak Linghu, kau dengar, Kakak Yilin sendiri berkata......" Yilin berkata dengan gusar, "Kau sedang membuat lelucon apa?" Qu Feiyan terus berkata dengan suara nyaring, "Katanya, kalau kau tidak mati, dia akan melakukan apapun untukmu". Yilin merasa bahwa nada suaranya bukan seperti sedang bercanda, kepalanya menjadi pusing, jantungnya berdebar-debar, ia hanya berkata, "Kau......kau......"

Terdengar suara tawa dua kali, lalu suasana menjadi terang benderang, Qu Feiyan telah menyalakan lilin, lalu membuka kelambu sambil melambaikan tangan ke arah Yilin. Yilin perlahan-lahan berjalan mendekat, tiba-tiba matanya berkunang-kunang dan hampir terjatuh ke belakang. Qu Feiyan menjulurkan tangan untuk menyangga punggungnya supaya ia tidak terjatuh. Ia tersenyum dan berkata, "Dari tadi aku sudah tahu bahwa kau pasti akan kaget, menurutmu dia itu siapa?" Yilin berkata, "Dia......dia......" Suaranya begitu lemah sehingga ia hampir tak bisa bernapas.

Walaupun sepasang mata orang di atas ranjang itu tertutup rapat, akan tetapi melihat wajahnya yang berbentuk persegi panjang, alisnya yang mengarah ke atas dan bibirnya yang tipis, jelas bahwa dia adalah Linghu Chong yang kemarin bertarung di loteng Huiyan.

Yilin mencengkeram lengan Qu Feiyan erat-erat dan berkata dengan gemetar, "Dia belum mati?" Qu Feiyan tersenyum, "Sampai sekarang dia belum mati, tapi kalau obat lukamu tidak manjur, dia akan segera mati". Yilin berkata dengan cemas, "Tak bisa mati, dia tak bisa mati. Dia......tidak akan mati!" Ia terkejut sekaligus gembira, ia pun menangis. Qu Feiyan berkata dengan heran, "Eh, dia tidak mati, tapi kenapa kau malah menangis?" Yilin tak bisa menahan diri lagi, ia bersandar di samping ranjang dan berkata sambil menangis tersedu-sedu, "Aku sangat bahagia. Nona Qu, terima kasih banyak. Ternyata, ternyata kaulah yang......yang menolong Kakak Linghu".

Qu Feiyan berkata, "Kau sendiri yang menyelamatkan dia, aku tak punya kemampuan untuk melakukannya. Aku tak punya Perekat Penyambung Langit Harum".

Tiba-tiba Yilin sadar, ia berdiri perlahan-lahan, ia menarik tangan Qu Feiyan dan berkata, "Kakekmulah yang menolongnya, kakekmulah yang menolongnya".

* * *

Sekonyong-konyong dari luar terdengar teriakan nyaring, "Yilin, Yilin!" Itu adalah suara Biksuni Dingyi.

Yilin terkejut, ia hendak menjawab. Qu Feiyan meniup lilin yang ada di tangannya, ia membalik tangan kirinya, membekap mulut Yilin dan berbisik di telinganya, "Ini tempat apa? Jangan jawab". Yilin langsung kebingungan, dirinya berada di rumah pelacuran, keadaannya sangat memalukan, tapi seumur hidupnya ia belum pernah tak menjawab kalau gurunya memanggil.

Terdengar Dingjing berteriak lagi, "Tian Boguang, cepat keluar! Bebaskan Yilin".

Terdengar Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dari kamar sebelah barat, setelah puas tertawa, ia baru berkata, "Apakah ini sesepuh dari Biara Awan Putih Biksuni Dingyi? Seharusnya aku keluar menyambut sesepuh, tapi di sisiku ada beberapa wanita cantik yang sedang menemaniku, maka aku terpaksa berbuat agak tidak sopan. Hahaha! Hahaha!" Suaranya diikuti oleh tawa empat atau lima orang wanita, suara tawa mereka sangat genit. Rupanya mereka adalah perempuan pelacur dari rumah pelacuran itu. Mereka berseru dengan kenes, "Suamiku yang baik. Tak usah perdulikan dia, cium aku saja. Hihihi, hihihi!" Suara beberapa pelacur itu makin lama makin keras, jelas bahwa mereka disuruh Tian Boguang untuk membuat Dingyi naik pitam. 

Dingyi murka, ia berseru, "Tian Boguang, kalau kau tidak keluar, akan kucabik-cabik tubuhmu!"

Tian Boguang tertawa, "Kalau aku tidak keluar, kau akan mencabik-cabik tubuhku. Kalau aku keluar, kau juga akan tetap mencabik-cabik tubuhku. Lebih baik aku tidak keluar saja! Biksuni Dingyi, tempat semacam ini tidak boleh dimasuki orang yang hidup membiara. Lebih baik kau cepat-cepat pulang ke biaramu saja. Muridmu yang pintar tidak ada disini, ia adalah biksuni kecil yang selalu ketat menjaga pantangan, bagaimana ia bisa datang ke tempat ini? Apa tidak aneh kalau kau datang ke tempat ini untuk mencari muridmu?"

Dingyi berkata dengan murka, "Bakar, bakar, bakar kandang anjing ini, coba lihat dia keluar atau tidak?" Tian Boguang tertawa, "Biksuni Dingyi, tempat ini adalah tempat yang paling terkenal di Kota Hengshan, namanya 'Wisma Kumala'. Kalau kau mau membakar tempat ini, gampang saja. Tapi nanti orang-orang di dunia persilatan akan ribut, mereka semua akan berpikir bahwa rumah pelacuran 'Wisma Kumala' yang terkenal di Hunan telah dibakar oleh Biksuni Dingjing dari Biara Awan Putih milik Perguruan Hengshan. Orang-orang tentu akan bertanya, 'Biksuni Dingjing adalah seorang biksuni tua yang bermoral tinggi, bagaimana ia bisa datang ke tempat semacam ini?' Orang yang lainnya akan berkata, 'Dia datang untuk mencari muridnya!' Ada orang lain lagi yang bertanya, 'Bagaimana muridnya bisa berada di Wisma Kumala?' Hal semacam ini tidak baik bagi reputasi perguruanmu yang terhormat. Aku katakan kepadamu, si Kelana Tunggal Selaksa Li Tian Boguang tidak takut pada langit dan bumi, di kolong langit ini aku cuma takut pada muridmu seorang. Begitu melihat dia, aku akan langsung menghindar. Bagaimana aku bisa berani menganggu dia?"

Dingyi berpikir bahwa perkataan itu ada benarnya juga, tapi menurut laporan seorang muridnya, Yilin jelas-jelas telah masuk ke rumah itu. Murid ini juga dilukai oleh Tian Boguang, bagaimana mungkin ia bisa berbohong? Ia begitu marah sehingga asap seakan keluar dari kelima lubang di kepalanya, ia menginjak-injak ubin rumah hingga hancur berkeping-keping, namun ia sudah kehabisan akal dan tak tahu harus berbuat apa.

Sekonyong-konyong dari depan rumah terdengar suara tawa dingin, "Tian Boguang, muridku Peng Renqi, bukankah kau yang membunuhnya?" Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng telah tiba.

Tian Boguang berkata, "Maaf, maaf! Bahkan ketua Perguruan Qingcheng sendiri datang berkunjung. Sejak saat ini Wisma Kumala akan sangat termasyur di kolong langit ini, dagangannya akan sangat laris, tamu-tamunya akan membeludak. Bocah yang kubunuh, ilmu silatnya biasa-biasa saja, agak mirip dengan ilmu silat Perguruan Qingcheng. Apakah dia bernama Peng Renqi atau tidak, aku tak sempat menanyainya".

Terdengar suara berdesir, Yu Canghai telah masuk ke dalam kamar, diikuti dengan dentang denting suara senjata beradu yang begitu sengit sehingga terdengar seperti mutiara yang berjatuhan. Tian Boguang dan Yu Canghai telah mulai bertarung di dalam ruangan itu.

Biksuni Dingyi berdiri diatas atap sambil mendengarkan suara senjata kedua orang itu beradu, diam-diam ia merasa kagum, "Kungfu si Tian Boguang ini benar-benar tak bisa diremehkan, ia bisa melayani setiap tebasan pedang ketua Perguruan Qingcheng dengan tebasan goloknya. Mereka berdua seimbang".

"Brak!" Sekonyong-konyong suara senjata beradu langsung berhenti.

Yilin mengengam tangan Qu Feiyan, telapak tangan mengeluarkan keringat dingin, ia tak tahu siapa yang akan menang atau kalah dalam pertarungan diantara Tian dan Yu, semestinya, setelah Tian Boguang menganiayanya, ia seharusnya berharap agar Tian Boguang dikalahkan oleh Yu Canghai, tapi secara mengejutkan dia malah berharap agar Yu Canghailah yang dikalahkan oleh Tian Boguang. Yang paling baik adalah kalau Yu Canghai cepat-cepat pergi dan guru juga cepat-cepat pergi, supaya Linghu Chong bisa menyembuhkan lukanya dengan tenang disini. Ia sekarang sedang berada di titik kritis diantara hidup dan mati, kalau ia melihat Yu Canghai masuk ke kamar, ia akan menjadi terkejut, lalu lukanya akan terbuka lagi dan ia pasti akan mati.

Terdengar suara Tian Boguang berseru dari kejauhan, "Ketua Yu, kamar ini sangat kecil, kaki dan tangan kita tidak leluasa bergerak. Mari kita pergi ke tempat yang lapang dan bertarung dua atau tiga ratus ronde, kita lihat pada akhirnya siapa yang lebih lihai. Kalau kau menang, aku akan memberikan pelacur tua yang molek, si Yu Baoer ini padamu, kalau kau kalah, si Yu Baoer ini jadi milikku".

Yu Canghai begitu marah hingga dadanya seakan meledak, perkataan si maling cabul itu mengandung arti bahwa ia dan dia berkelahi demi memperebutkan cinta Yu Baoer, seorang pelacur dari "Wisma Kumala". Barusan ini ketika mereka bertarung di dalam kamar, mereka telah bertukar lima puluh jurus lebih, ilmu golok Tian Boguang luar biasa, mengandung gerakan menyerang dan bertahan secara bersamaan. Yu Canghai menduga bahwa ilmu silat lawan tidak berada di bawahnya. Kalaupun mereka bertarung tiga atau empat ratus jurus lagi, belum tentu ia akan dapat meraih kemenangan.

Dalam sekejap mata, keempat penjuru menjadi sunyi senyap. Yilin seakan-akan bisa mendengar bunyi dag dig dug dari jantungnya sendiri yang melonjak-lonjak, ia mendekatkan kepalanya ke telinga Qu Feiyan dan bertanya dengan suara pelan, "Mereka......mereka bisa masuk atau tidak?" Sebenarnya usia Qu Feiyan lebih muda darinya beberapa tahun, namun dalam keadaan gawat seperti saat ini, Yilin sama sekali  tak berdaya. Qu Feiyan sama sekali tak menjawab, tangannya membekap mulut Yilin.

Tiba-tiba terdengar suara Liu Zhengfeng berkata, "Ketua Yu, si Tian Boguang ini telah banyak melakukan kejahatan, di hari kemudian pasti tak akan mati baik-baik. Kita harus membuat perhitungan dengannya, tapi tak usah sekarang juga. Rumah pelacuran ini menjadi sarang penjahat dan tempat melakukan perbuatan yang tak bermoral, dari dahulu adik sudah bermaksud untuk menghancurkannya, biar adik yang membereskan hal ini. Danian, Weiyi, ayo kita masuk dan mencari dia, orang itu tidak boleh dibiarkan lari". Murid-murid Liu, Xiang Danian dan Mi Weiyi serentak menjawab. Setelah itu terdengar Biksuni Dingjing memberikan perintah dengan cepat, memerintahkan sekalian muridnya untuk mengepung tempat itu dari segala penjuru.

Yilin merasa takut dan cemas, ia hanya mendengar murid-murid Liu berteriak-teriak sambil memeriksa semua ruangan satu demi satu. Liu Zhengfeng dan Yu Canghai memimpin mereka, Xiang Danian, Mi Weiyi dan kawan-kawannya memukuli para mucikari sampai mereka menjerit-jerit seperti babi yang mau disembelih. Para murid Qingcheng menghancurkan perabot dan perkakas seperti cawan teh dan poci arak sampai hancur berkeping-keping.

Dalam sekejap mata terdengar para murid Liu mendatangi, Yilin begitu cemas hingga ia hampir pingsan, pikirnya, "Guru datang menolong aku, tapi aku sama sekali tak menjawab panggilannya. Aku berada di rumah pelacuran, bersama Kakak Linghu di satu kamar malam-malam begini. Walaupun ia terluka parah, tapi kalau begitu banyak lelaki dari Perguruan Heng Shan dan Qingcheng datang dan masuk kesini, kalau aku punya seratus mulut pun aku tak bisa membela diriku. Aku......aku bagaimana bisa tidak membuat malu guru dan saudari-saudari seperguruan?" Ia menghunus pedangnya, hendak mengayunkannya ke lehernya sendiri.

Begitu mendengar suara pedang ditarik dari sarungnya, Qu Feiyan sudah menduga apa yang akan terjadi, di tengah kegelapan ia membalikkan tangan kirinya dan mencengkeram pergelangan tangan Yilin, ia berseru, "Jangan! Kau dan aku lari keluar saja".

Tiba-tiba terdengar suara gemerisik, ternyata Linghu Chong telah duduk di atas ranjang, ia berbisik, "Nyalakan lilin!" Qu Feiyan berkata, "Buat apa?" Linghu Chong berkata, "Aku suruh kau nyalakan lilin!" Suaranya terdengar sangat tegas. Qu Feiyan tak bertanya lagi, ia mengambil pemantik dan batunya, membuat api, lalu menyalakan lilin.

Dibawah cahaya lilin, Yilin melihat wajah Linghu Chong pucat pasi bagai mayat, ia tak bisa menahan diri dan berseru kaget.

Linghu Chong menunjuk ke arah mantel besarnya yang tergantung di samping ranjang dan berkata, "Selimuti......selimuti tubuhku". Sekujur tubuh Yilin gemetar, ia membungkuk untuk mengambilnya, lalu menyampirkannya di bahunya. Linghu Chong menarik bagian depan mantel itu untuk menutupi bercak darah dan luka di dadanya. Ia berkata, "Kalian berdua, tidurlah di atas ranjang". Qu Feiyan tertawa cekikikan dan berkata, "Asyik, asyik!" Ia menarik tangan Yilin, lalu menyusup ke bawah selimut.

Saat itu orang-orang diluar sudah melihat nyala lilin di kamar itu, mereka berteriak-teriak dengan ramai, "Cari di sebelah sini". Mereka pun datang mengerubungi kamar itu. Linghu Chong menarik napas panjang, lalu bergegas menutup pintu dan memasang palang pintu. Ia berbalik ke arah ranjang, membuka kelambu dan berkata, "Sembunyi di bawah selimut!"

Yilin berkata, "Kau......kau jangan bergerak, awas lukamu". Linghu Chong menjulurkan tangan kirinya dan menekan kepalanya masuk ke balik selimut, akan tetapi tangan kanannya malah menarik keluar rambut Qu Feiyan yang panjang dan menebarkannya di atas bantal. Gerakan tarik ulur itu membuat darah segar mengalir tanpa henti dari lukanya lagi, kedua lututnya terasa lemas, ia duduk di tepi ranjang.

Saat itu ada seseorang yang mengedor-gedor pintu kamar, seseorang berkata, "Bangsat, buka pintu!" "Bruk!" Seseorang menendang pintu sampai terbuka, lalu tiga atau empat orang serentak menerjang masuk.

Yang berada paling depan ialah murid Qingcheng Hong Renxiong. Ia terkejut melihat Linghu Chong dan berkata, "Linghu......ia adalah Linghu Chong". Ia cepat-cepat mundur dua langkah. Xiang Danian dan Mi Weiyi tidak kenal Linghu Chong, tapi mereka tahu bahwa ia telah dibunuh Luo Renjie. Ketika mendengar Hong Renxiong meneriakkan namanya, pikiran mereka terguncang, tanpa berpikir lagi, mereka ikut mundur. Mereka membuka mata lebar-lebar dan menatap Linghu Chong tanpa berkedip.

Linghu Chong perlahan-lahan bangkit dan berkata, "Kalian......begitu banyak orang......" Hong Renxiong berkata, "Linghu......Linghu Chong, ternyata......ternyata kau tidak mati". Linghu Chong berkata dengan dingin, "Memangnya aku segampang itu mati?"

Yu Canghai melangkah maju dari kerumunan orang dan berseru, "Kau Linghu Chong? Bagus, bagus!" Linghu Chong meliriknya, sama sekali tak menjawab. Yu Canghai berkata, "Apa yang kau lakukan di rumah pelacuran ini?" Linghu Chong tertawa terbahak-bahak, "Ini namanya sudah tahu jawabannya tapi masih bertanya. Di rumah pelacuran, memangnya orang berbuat apa?" Yu Canghai tertawa dingin, "Katanya peraturan Perguruan Huashan sangat ketat, kau adalah murid tertua ketua Perguruan Huashan, pewaris dan murid yang dididik sendiri oleh 'Pedang Ksatria' Tuan Yue, tapi malah mencuri-curi tidur dengan pelacur, lucu sekali!" Linghu Chong berkata, "Peraturan Perguruan Huashan adalah urusan Perguruan Huashan kami sendiri, tak perlu dicampuri orang lain".

Yu Canghai sudah berpengalaman luas, ia melihat bahwa wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetar, jelas bahwa ia telah menderita luka parah, mungkinkah ia hanya berpura-pura? Sebuah ide muncul dalam pikirannya, "Kata biksuni kecil dari Perguruan Hengshan itu, ia telah dibunuh oleh Renjie, tapi sebenarnya ia belum mati. Jelas bahwa biksuni kecil itu telah berbohong untuk menipu orang. Aku dengar dia memanggilnya Kakak Linghu begini, Kakak Linghu begitu dengan begitu mesra, mungkin mereka berdua punya hubungan khusus. Ada orang yang melihat biksuni kecil itu datang ke rumah pelacuran ini, namun sekarang sama sekali tak ada jejaknya, kemungkinan besar ia telah disembunyikan olehnya. Hah, Perguruan Pedang Lima Puncak menyebut dirinya perguruan aliran lurus terkemuka, dan memandang rendah Perguruan Qingcheng kami. Kalau aku berhasil menyeret biksuni kecil itu keluar, aku tak hanya akan mempermalukan Perguruan Huashan dan Hengshan, tapi seluruh Perguruan Pedang Lima Puncak juga akan kehilangan muka, sehingga mereka tak akan lagi bisa bersikap sombong di dunia persilatan". Pandangannya beralih, ia tak melihat ada orang lain di kamar itu, pikirnya, "Kelihatannya, biksuni kecil itu disembunyikan di atas ranjang". Ia berkata pada Hong Renxiong, "Renxiong, buka kelambu, lihat ada permainan apa di ranjang".

Hong Renxiong berkata, "Baik!" Ia maju dua langkah ke depan, ia pernah menelan pil pahit dari Linghu Chong, mau tak mau pandangan matanya mengarah ke lantai, untuk sesaat ia tak berani melangkah ke depan. Linghu Chong berkata, "Kau sudah bosan hidup, ya?" Hong Renxiong berhenti, namun karena merasa didukung oleh gurunya, ia tak takut. "Sret!" Ia menghunus pedangnya.

Linghu Chong berkata pada Yu Canghai, "Kau mau apa?" Yu Canghai berkata, "Perguruan Hengshan kehilangan seorang muridnya, ada orang yang melihat ia datang ke rumah pelacuran ini, kami ingin mencarinya". Linghu Chong berkata, "Urusan Perguruan Pedang Lima Puncak, kenapa harus dicampuri Perguruan Qingcheng kalian?" Yu Canghai berkata, "Urusan hari ini harus diselidiki sampai tuntas. Renxiong, mulailah!" Hong Renxiong menjawab, "Baik!" Ia menjulurkan pedangnya untuk menyibak kelambu.

Yilin dan Qu Feiyan saling berpelukan, meringkuk di balik selimut, mereka mendengar dengan jelas setiap kalimat yang diucapkan dalam pembicaraan diantara Linghu Chong dan Yu Canghai itu, dalam hati mereka mengeluh, sekujur tubuh mereka gemetar. Ketika mereka mendengar Hong Renxiong menyibak kelambu, mereka begitu takut sampai nyawa mereka seakan terbang ke langit.

Setelah kelambu dibuka, pandangan mata semua orang tertuju ke atas ranjang, mereka melihat bahwa ada orang dibalik selimut brokat merah besar yang bersulamkan sepasang bebek mandarin itu. Di atas bantal berhelai-helai rambut hitam yang panjang tampak tergerai, selimut itu sendiri bergerak-gerak, jelas bahwa orang yang ada di balik selimut itu ketakutan. 

Begitu Yu Canghai melihat rambut panjang yang ada di atas bantal, ia kehilangan harapan, jelas bahwa orang yang ada di balik selimut bukan biksuni kecil yang botak itu, ternyata Linghu Chong benar-benar sedang tidur dengan pelacur.

Linghu Chong tertawa sinis, "Ketua Yu, walaupun kau adalah orang yang hidup membiara, tapi kabarnya pendeta Tao Perguruan Qingcheng tak bisa menahan diri untuk mengambil istri, istri tua dan mudamu tidak sedikit jumlahnya. Karena kau sudah mencintai paras cantik seperti hidupmu sendiri, kalau kau ingin melihat tubuh telanjang perempuan dari rumah pelacuran, kenapa kau tak cepat-cepat saja buka selimut ini? Buat apa pura-pura pakai alasan mencari murid Perguruan Hengshan segala?"

Yu Canghai berseru, "Kentut anjing!" "Wus!" Tangan kanannya memukul ke arah Linghu Chong. Linghu Chong mengegos ke samping, menghindari angin pukulan tapaknya, tapi karena ia sedang menderita luka parah, gerakannya tidak cepat. Pukulan Yu Canghai itu cepat dan ganas, tepian angin pukulan itu menyapunya, ia tak bisa berdiri tegak dan terjatuh ke atas ranjang. Ia berusaha untuk bangkit, namun setelah bisa berdiri, darah segar pun menyembur dari mulutnya, tubuhnya bergoyang-goyang dua kali, lalu ia lagi-lagi memuntahkan darah segar.

Yu Canghai ingin turun tangan lagi, namun dari balik jendela tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, "Tua menganiaya muda, benar-benar tak tahu malu!" Sebelum suara teriakan itu hilang, Yu Canghai sudah memukul ke arah jendela dengan tangan kanannya, tubuhnya mengikuti gerakan tangannya, ia keluar dari jendela. Diterangi cahaya lilin dari dalam kamar, ia melihat seorang bongkok buruk rupa sedang berlari di sudut rumah. Yu Canghai berseru, "Berhenti!"

* * *

Si bongkok itu memang adalah Lin Pingzhi yang sedang menyamar. Setelah ia bertemu dengan Yu Canghai di Wisma Liu, ia memanfaatkan kemunculan Qu Feiyan untuk diam-diam menyelinap pergi saat perhatian Yu Canghai sedang terpusat pada gadis kecil itu.

Ia bersembunyi di sebuah sudut rumah, untuk sesaat ia tak tahu apa yang harus dilakukannya, ia benar-benar tak tahu bagaimana ia dapat menolong ayah ibunya. Ia mengumam pada dirinya sendiri untuk beberapa saat sambil berpikir, "Samaranku sebagai orang bongkok ini sudah dilihat semua orang di aula, kalau bertemu dengan orang Perguruan Qingcheng, aku bisa terbunuh. Apa sebaiknya aku kembali ke penampilan asliku saja?" Ia mengingat kembali bagaimana sekujur tubuhnya terasa nyeri dan lemas ketika Yu Canghai mencengkeramnya, ia sama sekali tak berdaya untuk melepaskan diri. Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang yang ilmu silatnya begitu tinggi? Pikirannya galau dan ia termenung-menung.

Ia tak tahu berapa lama waktu yang telah berlalu, tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang menepuk punggung bongkoknya dengan pelan. Lin Pingzhi kaget setengah mati, ia cepat-cepat berbalik, ia melihat seseorang yang punuknya sangat besar, dialah si bongkok yang asli, yaitu 'Si Bongkok Dari Utara' Mu Gaofeng. Ia mendengar dia tertawa dan berkata, "Bongkok palsu, buat apa kau berpura-pura jadi cucuku?"

Lin Pingzhi tahu jelas bahwa perangai orang ini ganas dan brutal, ilmu silatnya pun tinggi, kalau ia salah menjawab sedikit saja, ia bisa terbunuh. Namun barusan ini di aula  besar ia telah bersujud kepadanya dan menyebutnya seorang pendekar pembela keadilan. Ia belum pernah sekalipun membuatnya tersinggung. Ia hanya perlu terus berbicara seperti itu dan minta maaf dengan cara yang tidak membuatnya marah, maka ia berkata, "Sesepuh tentunya sudah mendengar banyak orang berkata, 'Nama besar pendekar besar Mu 'Si Bongkok Dari Utara' termasyur, ia suka menolong orang yang kesusahan'. Dari dulu aku mengagumi sesepuh, oleh karena itu aku yang bodoh ini berdandan seperti pendekar besar Mu. Mohon maafkan aku".

Mu Gaofeng tertawa terbahak-bahak, "Menolong orang yang kesusahan apa? Benar-benar omong kosong!" Ia jelas tahu bahwa Lin Pingzhi berbohong, akan tetapi perkataannya itu sangat enak didengar, ia bertanya, "Siapa namamu? Kau murid siapa?"

Lin Pingzhi berkata, "Sebenarnya aku marga Lin, aku tidak bermaksud untuk memakai marga sesepuh". Mu Gaofeng tertawa dingin, "Tidak bermaksud memakai namaku? Kau cuma ingin memakai nama kakekmu untuk menipu orang. Yu Canghai adalah ketua Perguruan Qingcheng, ia tinggal menyentuh kau dengan jarinya saja dan kau akan mati. Kau bocah kecil seperti ini berani menyinggung dia, nyalimu memang sungguh tidak kecil". Begitu Lin Pingzhi mendengar nama Yu Canghai disebut, darah panas langsung bergolak di dadanya, ia berkata dengan suara keras, "Selama aku masih bernapas, aku pasti akan membunuh penghianat itu dengan tanganku sendiri".

Mu Gaofeng berkata dengan heran, "Ada dendam apa diantara kau dan Yu Canghai?" Lin Pingzhi agak ragu-ragu, ia berpikir, "Kalau hanya mengandalkan kekuatanku saja, sulit untuk menolong ayah ibu, lebih baik aku mohon pertolongannya saja". Ia segera berlutut dan bersujud, "Ayah ibuku jatuh ke tangan pengkhianat itu, aku mohon sesepuh sudi membela keadilan dan menolong mereka". Mu Gaofeng mengerutkan dahinya dan menggeleng berkali-kali, ia berkata, "Kalau tak ada keuntungan yang bagus, Mu si bongkok tak mau mengerjakannya. Siapa ayahmu? Keuntungan apa yang akan kudapat kalau aku menolong dia?"

Ketika mereka berbicara tentang hal ini, dari samping gerbang terdengar seseorang berkata dengan suara rendah, nada suaranya sangat cemas, "Cepat lapor guru, di rumah pelacuran Wisma Kumala, satu orang Perguruan Qingcheng terbunuh, dan satu orang Perguruan Hengshan terluka dan lari pulang".

Mu Gaofeng berbisik, "Urusanmu kita tunda dulu, saat ini ada keramaian yang enak ditonton, kalau kau ingin menambah pengalamanmu, ikuti aku". Lin Pingzhi berpikir, "Aku harus menemaninya, supaya punya kesempatan untuk memohon bantuannya". Ia segera berkata, "Ya, ya. Kemanapun sesepuh pergi, aku akan ikut". Mu Gaofeng berkata," Sebelumnya kita harus bicara dulu, tak perduli dalam urusan apa, si bongkok Mu harus untung. Kalau kau pikir hanya dengan sedikit pujian, kau lantas bisa menyuruh kakekmu untuk cari masalah, perkara ini tak usah disebut-sebut lagi".

Lin Pingzhi hanya mengangguk tapi tak menjawab secara jelas. Tiba-tiba terdengar Mu Gaofeng berkata, "Mereka sudah pergi, ikut aku". Ia merasa pergelangan tangan kanannya dipegang erat-erat, lalu ia melayang, seakan berlari tanpa menyentuh tanah di jalanan Kota Hengshan.

Setelah tiba di Wisma Kumala, Mu Gaofeng dan dia bersembunyi di balik sebuah pohon  dan mengintip kegiatan orang-orang di sana. Bagaimana Yu Canghai dan Tian Boguang bertarung, bagaimana Liu Zhengfeng memimpin orang-orangnya mengeledah tempat itu, dan bagaimana Linghu Chong menampakkan dirinya dengan berani, semua kejadian itu didengar oleh kedua orang itu. Ketika Yu Canghai lagi-lagi hendak memukul Linghu Chong, Lin Pingzhi tak sanggup menahan diri lagi, sehingga ia meneriakkan tujuh kata itu, yaitu "tua menganiaya muda, benar-benar tak tahu malu!"

Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, Lin Pingzhi sadar bahwa ia telah berbuat gegabah, ia berbalik hendak bersembunyi, namun ternyata Yu Canghai datang dengan begitu cepat. Begitu ia berteriak, "Berhenti!", kekuatan tangannya telah mengungkung tubuh Lin Pingzhi. Kalau ia menggunakan tenaganya, ia bisa menguncang kelima organ tubuh Lin Pingzhi hingga hancur dan mematahkan tulang-tulangnya, namun ketika melihat penampilannya, ia menahan pukulannya, ia berkata dengan dingin, "Rupanya kau!" Pandangan matanya beralih ke arah Mu Gaofeng yang berdiri satu zhang di belakang Lin Pingzhi. Ia berkata, "Si bongkok Mu, kenapa kau terus-terusan menghasut 
anak-anak muda ini untuk membuatku susah? Apa maksudmu?"

Mu Gaofeng tertawa terbahak-bahak, "Orang ini yang mengaku sebagai cucuku, tapi si bongkok Mu tak kenal dia. Dia bermarga Lin, aku bermarga Mu, apa hubunganku dengannya? Ketua Yu, aku tak takut padamu, tapi aku tak mau melindungi seorang pemuda yang tak punya nama. Kalau dengan memberi perlindungan aku bisa mendapat untung besar, seperti emas perak atau harta yang melimpah, barulah si bongkok Mu mempertimbangkannya, kalau menguntungkan, akan kulakukan. Tapi masalah ini sama sekali tak ada untungnya untuk aku, malah merugikan, maka aku sudah memutuskan untuk tidak melakukannya".

Begitu mendengarnya, Yu Canghai merasa senang, ia berkata, "Karena orang ini tak ada hubungannya dengan saudara Mu dan cuma pura-pura menyaru sebagai muridmu, aku tak usah sungkan-sungkan lagi". Ia mengumpulkan tenaga di telapaknya dan bersiap untuk menyerang, namun tiba-tiba dari balik jendela terdengar seseorang berkata, "Tua menganiaya muda, benar-benar tak tahu malu!" Yu Canghai berpaling, ia melihat seseorang bersandar di jendela, dialah Linghu Chong.

Yu Canghai bertambah marah, akan tetapi tujuh kata itu, yaitu "tua menganiaya anak muda, benar-benar tak tahu malu!" benar-benar tepat sasaran. Ilmu silat kedua orang yang berada di depannya ini jelas kalah jauh darinya, kalau ingin membunuh mereka, bukanlah hal yang sulit, tapi kelima kata itu yaitu "tua menganiaya muda" akan selalu menghantuinya. Dan kalau perkataan "tua menganiaya muda" itu benar, maka kelima kata berikutnya, yaitu "benar-benar tak tahu malu" tentunya juga benar. Tapi kalau ia begitu mudah memberi ampun kepada kedua orang itu, bagaimana ia bisa melampiaskan amarahnya? Ia tertawa sinis, lalu berkata pada Linghu Chong, "Mengenai masalahmu, nanti aku akan cari gurumu untuk membuat perhitungan". Ia berpaling ke arah Lin Pingzhi, "Anak muda, kau sebenarnya dari perguruan apa?"

Lin Pingzhi berkata dengan geram, "Anjing, kau telah mencerai beraikan keluargaku, sekarang kau masih bertanya padaku?"

Yu Canghai merasa heran, "Kapan aku pernah bertemu wajahmu yang jelek itu? Apa maksudmu aku telah mencerai beraikan keluargamu?" Tapi di sekitarnya banyak mata dan telinga orang lain, maka ia tidak mau bertanya secara terperinci. Ia berpaling ke arah Hong Renxiong dan berkata, "Renxiong, bunuh bocah ini dulu, nanti baru kita tangkap Linghu Chong". Kalau murid Perguruan Qingcheng yang turun tangan, maka tak dapat dikatakan bahwa "tua menganiaya muda". Hong Renxiong menjawab, "Baik!" Ia menghunus pedangnya dan maju ke depan.

Lin Pingzhi hendak menghunus pedangnya, tapi sebelum ia sempat melakukannya, pedang Hong Renxiong yang berkilauan telah menempel di dadanya. Lin Pingzhi berteriak, "Yu Canghai, aku adalah Lin Pingzhi......" Yu Canghai terkejut, tangan kirinya cepat-cepat memukul, angin pukulan itu menguncang pedang Hong Renxiong hingga lewat di samping lengan kanan Lin Pingzhi. Yu Canghai berkata, "Apa katamu?" Lin Pingzhi berkata, "Aku Lin Pingzhi walaupun sudah jadi setan penasaran, juga akan mencarimu untuk mencabut nyawamu!" Yu Canghai berkata, "Kau......kau adalah Lin Pingzhi dari Biro Pengawalan Fu Wei?"

Karena Lin Pingzhi tahu bahwa sudah tak ada gunanya lagi menyembunyikan jati dirinya, lebih baik ia terang-terangan saja dan mati dengan cepat. Sepasang tangannya mengoyak koyo yang menempel di wajahnya, lalu ia berkata dengan lantang, "Benar. Aku memang Lin Pingzhi dari Biro Pengawalan Fu Wei di Fuzhou. Putramu yang melecehkan nona dari keluarga baik-baik, akulah yang membunuhnya. Kau telah mencerai beraikan keluargaku, ayah ibuku, kau......kau......dimana kau menawan mereka?"

Berita mengenai bagaimana Perguruan Qingcheng telah mengalahkan Biro Pengawalan Fu Wei dalam sekali gebrak telah tersebar dan membuat geger dunia persilatan. Di dunia persilatan, tak semua orang tahu bahwa bertahun-tahun yang lalu, Zhang Qingzi telah kalah di bawah pedang Lin Yuantu, semua orang mengira bahwa Perguruan Qingcheng bermaksud untuk merampas kitab Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan milik keluarga Lin. Linghu Chong juga sudah mendengar berita itu, oleh karena itu di loteng Huiyan ia memakainya untuk memancing Luo Renjie supaya menghampirinya, lalu membunuhnya dengan pedangnya. Mu Gaofeng juga sudah tahu tentang hal itu. Saat ia mendengar bahwa si bongkok palsu yang ada di hadapannya ini adalah "Lin Pingzhi dari Biro Pengawalan Fu Wei", dan menyaksikan bagaimana Yu Canghai begitu mendengar ia memberitahukan namanya cepat-cepat menangkis pedang Hong Renxiong dengan wajah tegang, ia yakin bahwa Yu Canghai ingin mencari kitab Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan melalui pemuda itu.

Saat itu, lengan kiri Yu Canghai menjulur, jari-jarinya mencengkeram pergelangan tangan kanan Lin Pingzhi, lalu ia menarik kembali lengannya untuk menyeret pemuda itu ke sisinya. Mu Gaofeng berkata dengan lantang, "Tunggu dulu!" Tubuhnya melesat dan tangannya menjulur mencengkeram pergelangan tangan kiri Lin Pingzhi, lalu menariknya ke belakang.

Kedua lengan Lin Pingzhi masing-masing ditarik ke depan dan ke belakang dengan kuat, seluruh tulang belulangnya langsung bergemeretakan, begitu sakitnya sampai ia hampir pingsan.

Yu Canghai tahu bahwa kalau ia terus menggunakan tenaga untuk menarik, Lin Pingzhi akan mati, maka ia segera mengambil pedang dengan tangan kirinya dan menusuk Mu Gaofeng seraya berseru, "Saudara Mu, lepaskan!"

Tangan kiri Mu Gaofeng berayun. "Trang!" Ia menangkis tebasan pedang itu, di tangannya nampak sebilah golok bulan sabit yang memancarkan sinar hijau berkilauan.

Yu Canghai memainkan ilmu pedangnya. "Trang! Trang! Trang!" Dalam sekejap ia telah menikam delapan atau sembilan kali. Ia berkata, "Saudara Mu, diantara kita tak ada permusuhan, untuk apa kita merusak persahabatan diantara kita demi bocah ini?" Tangan kirinya masih mencengkeram pergelangan tangan kanan Lin Pingzhi erat-erat.

Mu Gaofeng mengayunkan golok bulan sabitnya dan menangkis setiap tebasan pedang, ia berkata, "Baru-baru ini di hadapan umum, bocah ini telah bersujud padaku dan memanggilku 'kakek'. Ini adalah kejadian yang telah disaksikan dan didengar oleh orang banyak. Dahulu aku dan Ketua Yu memang tak bermusuhan, sekarang juga tidak, tapi kalau kau menangkap dan membunuh orang yang sudah memanggilku kakek, ini berarti bahwa kau sama sekali tak memberi muka padaku. Kalau kakek ini tidak bisa melindungi cucunya, nanti siapa yang akan memanggil aku kakek?" Selagi mereka berdua bercakap-cakap, suara denting senjata beradu terdengar tak putus-putusnya, semakin lama semakin cepat.

Yu Canghai berkata dengan geram, "Saudara Mu, orang ini membunuh putra kandungku, dendam putraku, kenapa tak boleh dibalas?" Mu Gaofeng tertawa terbahak-bahak, "Baik, dengan memandang muka emas Ketua Yu, aku akan mewakilimu membalas dendam. Ayo, ayo, ayo, kau tarik ke depan, aku tarik kebelakang, satu, dua, tiga! Kita beset bocah ini menjadi dua!" Setelah ia selesai mengucapkan kalimat itu, lagi-lagi ia berkata, "Satu, dua, tiga!" Begitu ia mengucapkan kata "tiga" itu, ia menambah tenaga di telapaknya, tulang-tulang di sekujur tubuh Lin Pingzhi pun bergemeretakan makin keras.

Yu Canghai terkejut, balas dendam tak harus dilakukan saat itu juga, kitab pedang masih belum berada di tangan, maka ia sama sekali belum bisa mencabut nyawa Lin Pingzhi. Ia segera melepaskan tangannya sehingga Lin Pingzhi langsung bisa ditarik oleh Mu Gaofeng.

Mu Gaofeng tertawa terbahak-bahak, "Banyak terima kasih, banyak terima kasih! Ketua Yu memang pantas disebut sahabat yang baik, untuk memberi muka pada si bongkok Mu, kau rela tak membalaskan dendammu. Di dunia persilatan, orang yang begitu setia kawan benar-benar tiada duanya!" Yu Canghai tertawa sinis, "Saudara Mu tahu benar, saat ini aku mundur selangkah, tapi setelah ini aku tak akan mengalah lagi untuk kedua kalinya". Mu Gaofeng menyeringai, "Belum tentu. Mungkin Ketua Yu budinya setinggi langit, dan akan sudi mengalah lagi untuk kedua kalinya".

Yu Canghai mendengus, tangan kirinya melambai, ia berkata, "Ayo kita pergi!" Ia memimpin murid-murid perguruannya pergi dari tempat itu.

Saat itu Biksuni Dingjing sedang mencari Yilin dengan khawatir, sebelumnya ia telah mencari ke arah barat bersama para biksuni Perguruan Hengshan lainnya. Liu Zhengfeng memimpin para muridnya mencari ke arah tenggara. Setelah orang-orang Perguruan Qingcheng pergi, di luar Wisma Kumala hanya tinggal Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi berdua.

* * *

Catatan Kaki

[1] Nama lain dari Propinsi Hunan.

Bagian 2

Mu Gaofeng menyengir dan berkata, "Kau bukan saja tidak bongkok, tapi juga ternyata seorang pemuda yang tampan. Anak muda, kau tak usah panggil aku kakek. Si bongkok ini sangat suka padamu, bagaimana kalau kau aku terima jadi muridku saja?"
 
Lin Pingzhi baru saja ditarik ulur oleh dua orang yang tenaga dalamnya luar biasa kuatnya, seluruh tubuhnya amat sakit, ia masih sulit bernapas, ketika ia mendengar Mu Gaofeng berkata demikian, ia berpikir, "Ilmu silat si bongkok ini sepuluh kali lipat lebih tinggi dari ayahku, Yu Canghai juga agak jeri padanya. Kalau aku ingin membalas dendam, dengan mengangkat dia sebagai guru berarti aku punya peluang. Tapi ketika ia melihat aku akan dibunuh oleh murid Qingcheng itu, ia sedikit pun tidak perduli. Begitu ia mendengar tentang asal-usulku, barulah dia bertarung dengan Yu Canghai. Sekarang dia mau menerima aku sebagai murid, tentunya ia punya maksud yang tidak baik".
 
Ketika Mu Gaofeng melihat rasa bimbang tercermin di wajahnya, ia berkata lagi, "Kau sudah tahu bahwa ilmu silat Si Bongkok Dari Utara terkenal. Sampai saat ini, aku belum pernah menerima murid seorang pun. Kalau kau mengangkatku sebagai guru, aku akan mengajarkan semua ilmu silatku padamu. Saat itu, tak cuma bocah-bocah Qingcheng yang tak bisa lagi menandingimu, dalam beberapa tahun, bahkan mengalahkan Yu Canghai juga tidak sulit. Nak, kenapa kau belum bersujud dan mengangkat aku sebagai
guru?"
 
Semakin berapi-api bicaranya, Lin Pingzhi semakin curiga, "Kalau ia benar-benar menghargaiku, ketika barusan ini ia menarik tanganku, kenapa ia menggunakan seluruh tenaganya tanpa sedikit pun berusaha menahan diri? Si bandit jahat Yu Canghai, setelah tahu bahwa aku telah membunuh putranya, malah tak mau menarik aku sampai mati, tentunya demi Kitab Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan. Di Perguruan Lima Puncak banyak pendekar berilmu tinggi yang jujur dan adil. Kalau aku ingin guru yang baik, aku harus mencari sesepuh yang berilmu tinggi seperti itu. Si bongkok ini berhati jahat, walaupun ilmu silatnya tinggi, aku sudah memutuskan untuk tidak mengangkat dia sebagai guru".
 
Ketika Mu Gaofeng melihat dia masih bimbang, ia menjadi gusar, tapi ia masih menyengir dan berkata, "Bagaimana? Kau kira ilmu silat si bongkok ini terlalu rendah, tak pantas jadi gurumu?"
 
Lin Pingzhi melihat bahwa untuk sesaat wajah Mu Gaofeng penuh awan gelap, roman mukanya bengis dan menyeramkan, tapi dalam sekejap ekspresi marah itu telah disembunyikan, saat ini lagi-lagi terlihat ramah tamah. Ia tahu dengan jelas bahwa ia dalam keadaan bahaya, maka ia segera berkata, "Pendekar besar Mu, hal kau sudi untuk menerimaku menjadi muridmu, adalah sesuatu yang menjadi idam-idamanku. Hanya saja aku telah belajar ilmu silat warisan keluarga, kalau aku ingin mengangkat guru lain, aku harus minta izin ayahku dulu. Pertama, ini adalah peraturan keluarga, kedua, ini juga peraturan dunia persilatan".
 
Mu Gaofeng mengangguk dan berkata, "Perkataanmu ini masuk akal. Tapi permainanmu ini tak pantas disebut kungfu, sepertinya kungfu ayahmu juga terbatas. Hari ini aku tiba-tiba ingin menerimamu sebagai murid, lain kali belum tentu aku mau melakukannya. Nasib baik hanya bisa ditemukan tak bisa dicari. Kau sepertinya adalah seorang anak muda yang pintar, kenapa jadi bingung begini? Begini saja, kau sekarang bersujud dan angkat aku sebagai guru, nanti aku bicara pada ayahmu, aku rasa ia tak akan berani menolak".
 
Di benak Lin Pingzhi timbul suatu gagasan, ia berkata, "Pendekar besar Mu, ayah ibuku jatuh ke tangan Perguruan Qingcheng, hidup matinya tak diketahui, mohon agar pendekar besar Mu bersedia menolong mereka. Aku akan berusaha untuk membalas budi pendekar besar Mu, apapun yang kau suruh, aku pasti akan mematuhinya".
 
Mu Gaofeng berkata dengan gusar, "Apa? Kau mau tawar menawar denganku? Apa istimewanya bocah sepertimu? Kenapa aku harus menerimamu sebagai murid? Kau berani menekan aku? Kurang ajar, kurang ajar!" Namun ia segera ingat bagaimana Yu Canghai sudi mengalah di depan umum, tidak membiarkan orang yang membunuh putranya dibeset menjadi dua, tentunya ia punya rencana lain yang lebih besar. Orang semacam Yu Canghai, bagaimana bisa dikelabui dengan mudah? Kemungkinan besar kabar yang beredar di dunia persilatan itu benar, kitab Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan keluarga Lin itu bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Kalau ia menerima anak muda ini sebagai muridnya, cepat atau lambat kitab ilmu silat yang tak ternilai harganya itu akan jatuh ke tangannya. Ia berkata, "Ayo cepat bersujud. Begitu kau bersujud tiga kali, kau akan jadi muridku. Orang tua murid bagaimana bisa tak diperdulikan oleh guru? Yu Canghai telah menangkap orang tua muridku, tapi kalau aku minta padanya, bagaimana ia berani tak membebaskan mereka?"
 
Lin Pingzhi tak sabar untuk segera membebaskan orang tuanya, ia berpikir, "Ayah dan ibu jatuh ke tangan orang jahat, sehari seperti setahun lamanya, bagaimanapun juga aku harus cepat-cepat menolong mereka. Hal yang sesukar apapun akan kulakukan, asalkan dia bisa menolong ayah ibu, apalagi kalau cuma untuk sementara ini harus mengangkat dia menjadi guru". Ia segera berlutut, hendak bersujud. Mu Gaofeng khawatir dia akan berubah pikiran, maka ia menjulurkan tangannya ke ubun-ubunnya dan menekan kepalanya ke bawah.
 
Tadinya Lin Pingzhi bermaksud untuk bersujud, akan tetapi karena ditekan keras-keras, tiba-tiba ia merasa muak, ia malah menegakkan lehernya, tak membiarkan Mu Gaofeng menekannya. Mu Gaofeng berkata dengan marah, "Hei, kau tak mau bersujud?" Ia menambah tenaga di tangannya. Lin Pingzhi aslinya bersifat ambisius dan angkuh, ia sudah biasa dimanja sebagai tuan muda biro pengawalan, seumur hidupnya ia biasa menerima puja puji orang, tak pernah menerima penghinaan. Namun demi menolong orang tuanya, ia sudah memutuskan untuk bersujud. Namun karena Mu Gaofeng menekannya dengan begitu licik dan kasar, sifat keras kepalanya malah timbul kembali, dengan suara lantang, ia berkata, "Kau berjanji akan menolong ayah ibuku, baru aku akan berjanji untuk mengangkatmu menjadi guru, tapi sekarang ini aku sama sekali tak mau bersujud". Mu Gaofeng berkata, "Sama sekali tak mau bersujud? Ayo kita lihat apakah kau benar-benar tak mau bersujud". Ia menambah tenaga di tangannya. Lin Pingzhi menegakkan pinggangnya, hendak berdiri, namun ubun-ubunnya seperti ditindihi batu seberat seribu jin, bagaimana ia bisa berdiri? Kedua tangannya menekan tanah, ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk bangkit. Mu Gaofeng lagi-lagi menambah kekuatan di tangannya. Lin Pingzhi mendengar tulang-tulang di lehernya bergemeratakan. Mu Gaofeng tertawa terbahak-bahak, "Kau mau sujud atau tidak? Kalau aku menambah tenaga di tanganku, lehermu akan putus".
 
Kepala Lin Pingzhi ditekan olehnya ke bawah satu cun demi satu cun, hingga dari tanah hanya tinggal berjarak setengah chi saja, dengan sekuat tenaga ia berteriak, "Aku tak mau sujud, tak akan mau sujud!" Mu Gaofeng berkata, "Ayo kita lihat kau mau sujud tidak?" Tangannya terus menekan ke bawah, leher Lin Pingzhi sudah tertekan ke bawah dua cunlagi.
 
Tepat pada saat itu, Lin Pingzhi samar-samar merasakan panas di punggungnya, sebuah tenaga yang lembut memasuki tubuhnya, tekanan di ubun-ubunnya tiba-tiba menjadi ringan. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menekan tanah dan ia pun bisa bangkit dengan mudah.
 
Tentu saja hal ini adalah sesuatu yang sama sekali tak disangka oleh Lin Pingzhi, Mu Gaofeng juga terkejut, tenaga dalam yang baru saja mengalahkannya mirip seperti 'Ilmu Awan Lembayung' Perguruan Huashan yang terkenal di dunia persilatan. Kabarnya, tenaga dalam ini ketika pertama kali dikeluarkan seperti ada dan tiada bagai awan, tapi tenaganya bertahan lama, lalu pada akhirnya menjadi tak terbendung seperti topan badai yang mengobrak-abrik langit dan bumi. Dari sinilah dua kata 'Awan Lembayung' itu berasal.
 
Mu Gaofeng tercengang, tangannya segera menekan leher Lin Pingzhi, telapaknya menekan ubun-ubunnya. Dari ubun-ubun itu muncul sebuah tenaga dalam yang ulet namun luwes, lengan Mu Gaofeng kesemutan, dadanya terasa agak ngilu. Ia mundur dua langkah ke belakang, tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Apakah ini Saudara Yue dari Perguruan Huashan? Kenapa kau diam-diam sembunyi di sudut tembok, menertawakan si bongkok ini?"
 
Dari balik sebuah sudut tembok terdengar seseorang tertawa keras, seorang sastrawan berjubah hijau ringan melangkah menghampiri mereka, tangan kanannya melambai-lambaikan kipas lipat, penampilannya santai namun anggun, ia tersenyum dan berkata, "Saudara Mu, bertahun-tahun tak berjumpa, namun kau masih gagah seperti dahulu, luar biasa".
 
Mu Gaofeng melihat bahwa orang itu memang ketua Perguruan Huashan si 'Pedang Budiman[1]' Yue Buqun, di dalam hatinya ia selalu merasa agak jeri kepadanya. Saat ini ia kebetulan terpergok sedang menganiaya seorang anak muda yang ilmu silatnya biasa-biasa saja, apalagi Yue Buqun juga telah turun tangan menolongnya, mau tak mau ia merasa malu. Ia segera menyengir dan berkata, "Saudara Yue, makin lama kau makin muda saja, si bongkok ini benar-benar ingin berguru padamu untuk mempelajari ilmu 'Memetik YinMenambah Yang'[2]". "Bah!", Yue Buqun tertawa, "Bongkok, makin lama kau makin konyol saja. Kawan lama bertemu, bukannya mengobrol tentang berbagai hal, malah beromong kosong. Adik mana tahu tentang kungfu yang menyimpang seperti itu?" Mu Gaofeng tersenyum, "Kau bilang kau tak tahu kungfu memetik yin, semua orang tak percaya, kau sudah hampir berusia enam puluh tahun tapi tiba-tiba kau jadi muda kembali, seperti cucu si bongkok ini saja".
 
Begitu bebas dari cengkeraman Mu Gaofeng, Lin Pingzhi langsung melompat beberapa langkah ke belakang. Ia melihat bahwa dagu sastrawan itu ditumbuhi jenggot panjang bercabang lima, wajahnya bersinar bagai kumala dan penuh wibawa, rasa kagum pun muncul dalam hatinya, ia tahu bahwa barusan ini ialah yang telah turun tangan menyelamatkannya. Ketika ia mendengar Mu Gaofeng memanggilnya "Saudara Yue dari Perguruan Huashan", sebuah ide muncul di benaknya, "Orang ini adalah seorang tokoh yang seperti dewa, mungkinkah dia ketua Perguruan Huashan Tuan Yue? Tapi kalau melihat umurnya yang baru empat puluhan tahun kelihatannya bukan. Si Lao Denuo itu muridnya, tapi dibandingkan dengan dia jauh lebih tua". Ketika ia mendengar Mu Gaofeng memuji Yue Buqun awet muda, ia segera ingat bahwa ia pernah mendengar ibunya berkata bahwa apabila seorang jago papan atas di dunia persilatan telah mencapai taraf yang sangat tinggi, ia tak hanya bisa awet muda dan berumur panjang, tapi juga bisa muda kembali. Kemungkinan besar kungfu Tuan Yue ini telah mencapai taraf ini, mau tak mau ia bertambah kagum.
 
Yue Buqun tersenyum kecil, ia berkata, "Saudara Mu, begitu bertemu kau langsung bercanda saja. Saudara Mu, pemuda ini seorang putra yang berbakti, dan cukup memiliki jiwa ksatria, berbakat menjadi murid yang baik, tak heran Saudara Mu menyukainya. Semua kemalangan yang dideritanya hari ini seluruhnya disebabkan karena pada hari itu di Fuzhou ia menyelamatkan putriku Lingshan, oleh karena itu adik tak bisa berpangku tangan, aku harap dengan memandang mukaku yang rendah ini, Saudara Mu sudi membebaskannya".
 
Di wajah Mu Gaofeng muncul ekspresi heran, "Apa? Dengan mengandalkan kemampuan bocah ini yang tidak ada apa-apanya, ia bisa menolong Keponakan Lingshan? Perkataan ini sepertinya terbalik, Keponakan Lingshanlah yang menemukan pacar ganteng....."
 
* * *
 
Yue Buqun tahu bahwa si bongkok ini sangat kasar, begitu bertemu langsung berbicara tak keruan, maka ia langsung memotong perkataannya, "Di dunia persilatan, kalau ada yang mengalami kesusahan, siapapun harus menolong. Menolong bisa dengan cara mempertaruhkan nyawa, bisa juga dengan memberikan nasehat, tidak tergantung pada ketinggian ilmu silat seseorang. Saudara Mu, kalau kau sudah memutuskan untuk menerima dia sebagai murid, tak ada jeleknya kalau kau biarkan dia melapor pada orang tuanya dulu, lalu baru masuk ke perguruanmu yang terhormat, bukankah dengan demikian kedua belah pihak sama-sama puas?"
 
Mu Gaofeng sadar bahwa begitu Yue Buqun mencampuri urusannya, urusan hari ini sukar untuk diatur sesuai dengan keinginannya, maka ia mengeleng dan berkata, "Tadi si bongkok ingin menerima dia sebagai murid, tapi sekarang sudah tak tertarik lagi. Kalau bocah ini bersujud selaksa kali kepadaku pun aku tak mau menerima dia sebagai murid". Sambil berbicara ia mengangkat kaki kirinya, "Buk!", ia menendang Lin Pingzhi hingga terguling-guling beberapa zhang jauhnya. Hal ini sama sekali diluar dugaan Yue Buqun. Ia sama sekali tak menyangka bahwa ketika Mu Gaofeng mengangkat kakinya ia bermaksud untuk menendang. Sama sekali tak ada tanda-tanda bahwa ia akan melakukan hal itu, sehingga ia tak sempat mencegahnya. Untungnya setelah ia terjatuh, Lin Pingzhi langsung melompat, sepertinya ia sama sekali tak terluka.
 
Yue Buqun berkata, "Saudara Mu, kenapa kau bersikap seperti anak-anak begini? Menurut aku sekarang malah kau yang menjadi muda kembali". Mu Gaofeng tertawa, "Saudara Yue, jangan khawatir. Walaupun aku punya nyali setinggi langit, aku tak akan  berani menyinggung......menyinggung......hahaha......aku juga tak tahu dia apamu, selamat tinggal, selamat tinggal, aku benar-benar tak menyangka bahwa Perguruan Huashan yang namanya begitu termasyur, juga begitu tamak ingin memiliki Kitab Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan". Seraya berbicara, ia menjura dan melangkah mundur.
 
Yue Buqun bergegas maju selangkah dan berkata keras-keras, "Saudara Mu, kau bicara apa?" Tiba-tiba wajahnya berubah menjadi keunguan, namun rona keunguan itu hanya nampak sesaat saja lalu hilang, dalam sekejap wajahnya kembali ke warnanya semula yang putih bersih.
 
Ketika Mu Gaofeng melihat rona keunguan di wajahnya, hatinya tergetar, pikirnya, "Itulah Ilmu Awan Lembayung milik Perguruan Huashan! Ilmu pedang Yue Buqun sendiri sudah tinggi, selain itu ia juga berlatih ilmu pernapasan sakti ini, si bongkok tak boleh menyinggung dia". Ia segera menyengir, "Si bongkok tak tahu Kitab Ilmu Penakluk Kejahatan itu barang apa, aku hanya melihat Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng rela mempertaruhkan nyawanya untuk merebutnya, aku cuma bicara sembarangan, Saudara Yue tak usah masukkan dalam hati". Sambil berbicara ia berbalik dan melangkah pergi dengan jumawa. 
 
Yue Buqun memandang punggungnya menghilang di tengah kegelapan, ia menghela napas dan berkata pada dirinya sendiri, "Di dunia persilatan orang punya kungfu seperti dia sungguh jarang, tapi dia sayang dia tetap ingin melakukan......dua kata "perbuatan jahat" tidak diucapkannya, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
 
Tiba-tiba Lin Pinzhi lari menghampiri, menekuk lututnya dan berlutut di tanah, ia berkali-kali bersujud seraya berkata, "Mohon guru menerimaku ke dalam perguruan, murid akan dengan penuh hormat mematuhi ajaranmu, menaati peraturan perguruan, sama sekali tak akan berani menentang perintah guru".
 
Yue Buqun tersenyum kecil dan berkata, "Kalau aku menerimamu sebagai murid, si bongkok itu akan membual di belakang punggungku bahwa aku mencuri muridnya". Lin Pingzhi bersujud dan berkata, "Murid begitu melihat guru, langsung sangat mengagumi guru, oleh karena itu murid memohon dengan sungguh-sungguh". Sambil berkata ia terus menerus bersujud. Yue Buqun tersenyum, "Baiklah, tidak sukar bagiku untuk menerimamu, tapi kau belum melapor pada orang tuamu, kita tak tahu apa mereka mengizinkan atau tidak". Lin Pingzhi berkata, "Kalau guru berbaik budi menerima murid, ayah ibu akan sangat gembira dan pasti akan mengizinkan. Ayah ibuku ditangkap oleh bandit jahat Perguruan Qingcheng, aku mohon guru sudi menolong mereka". Yue Buqun mengangguk-angguk, "Berdirilah! Baik, kita akan segera mencari ayah ibumu". Ia menoleh ke belakang dan berkata, "Denuo, A Fa, Shan er, kalian semua keluar!"
 
Dari balik tembok muncul serombongan orang, mereka adalah murid-murid Huashan. Ternyata orang-orang ini sudah datang terlebih dahulu, Yue Buqun memerintahkan mereka untuk bersembunyi di balik tembok, sampai Mu Gaofeng pergi, baru mereka boleh menunjukkan diri untuk menghindari si bongkok itu dipermalukan di hadapan orang banyak. Lao Denuo dan yang lain-lain memberi selamat dengan gembira, "Guru, selamat menerima murid baru". Yue Buqun tersenyum dan berkata, "Pingzhi, kau sudah pernah bertemu dengan beberapa kakak seperguruan ini di kedai teh itu, berilah penghormatan pada kakak-kakak seperguruan ini".
 
Si orang tua adalah Kakak Kedua Lao Denuo, lelaki yang bertubuh tinggi besar adalah Kakak Ketiga Liang Fa, yang berpenampilan seperti kuli adalah Kakak Keempat Shi Daizi, yang membawa sempoa di tangannya ialah Kakak Kelima Gao Genming, Kakak Keenam ialah Monyet Keenam Lu Dayou, mereka adalah tokoh-tokoh yang sekali dilihat tak dapat dilupakan, selain itu masih ada Kakak Ketujuh Tao Jun dan Kakak Kedelapan Ying Bailuo, dua orang murid yang berusia muda. Lin Pingzhi memberi hormat kepada mereka satu persatu.
 
Tiba-tiba dari balik tubuh Yue Buqun terdengar suara tawa lembut, sebuah suara yang jernih berkata, "Ayah, sekarang aku terhitung kakak seperguruan, atau masih adik seperguruan?"
 
Lin Pingzhi menjadi panik, ia mengenali suara itu sebagai suara si gadis penjual arak, semua murid Huashan memanggilnya 'adik kecil'. Ternyata dia memang putri sang guru.  Separuh wajahnya yang seputih salju nampak di balik tubuh Yue Buqun yang terbalut jubah hijau. Ia meliriknya dengan mata kirinya yang menari-nari, memandanginya dari telapak kaki sampai ke ubun-ubun, lalu bersembunyi lagi di belakang Yue Buqun. Lin Pingzhi berkata dalam hati, "Wajah gadis penjual arak itu buruk, seluruh wajahnya bopeng-bopeng, bagaimana bisa berubah menjadi seperti ini?" Ketika ia pertama kalinya melonggok, lalu bersembunyi lagi, cahaya bulan remang-remang, sehingga ia tak bisa melihatnya dengan jelas, namun wajah gadis itu cantik, hal itu tak usah dipertanyakan lagi. Lagi-lagi ia berpikir, "Ia berkata bahwa ia menyamar ketika menjual arak di luar kota Fuzhou, Biksuni Dingyi juga berkata bahwa penampilannya aneh. Tentunya wajahnya yang jelek itu adalah bagian dari penyamarannya".
 
Yue Buqun tertawa dan berkata, "Semua orang disini masuk perguruan lebih lambat darimu, tapi semua memanggilmu adik kecil, nama adik kecil itu memang sudah ditakdirkan untuk melekat padamu, tentu saja kau sekarang juga masih disebut adik kecil". Gadis itu tersenyum, "Tak bisa. Sejak saat ini aku akan jadi kakak seperguruan. Ayah, Adik Lin harus memanggilku kakak seperguruan, kalau di kemudian hari kau menerima seratus atau dua ratus murid lagi, aku juga harus tetap dipanggil kakak seperguruan".
 
Ia berbicara sambil tertawa, lalu keluar dari balik tubuh Yue Buqun. Di bawah sinar bulan yang temaram, Lin Pingzhi bisa melihat dengan samar-samar sebuah wajah bulat telur yang cantik, sepasang matanya yang jeli menatap wajahnya. Lin Pingzhi menyoja dalam-dalam dan berkata, "Kakak Seperguruan Yue, berkat kebaikan guru hari ini adik diterima di perguruan. Yang lebih dahulu masuk perguruan adalah yang lebih senior, tentu saja adik akan menjadi adik seperguruan".
 
Yue Lingshan sangat senang, ia berpaling ke arah ayahnya dan berkata, "Ayah, dia sendiri yang mau memanggil aku kakak seperguruan, bukan aku yang memaksa dia". Yue Buqun tertawa, "Dia baru masuk perguruan kita, kau sudah menyebut kata "memaksa" itu. Ia pasti berpikir bahwa semua orang di perguruan ini seperti kau, yang senior menekan yang junior, bukankah ini akan membuat dia ketakutan?" Setelah ia berbicara, semua murid tertawa.
 
Yue Lingshan berkata, "Ayah, kakak pertama bersembunyi di tempat ini untuk menyembuhkan lukanya, dan ia juga telah kena pukul tapak si pendeta Tao bau itu, jangan-jangan ia dalam bahaya, cepat cari dia". Dahi Yue Buqun agak berkerut, ia mengeleng dan berkata, "Daizi, Genming, kalian berdua bawa keluar kakak pertama". Shi Daizi dan Gao Genming serentak menyahut, lalu masuk ke kamar melalui jendela, namun kemudian terdengar mereka berdua berkata, "Guru, kakak pertama tak ada disini, di dalam kamar ini tidak ada orang". Setelah itu nampak sinar menembus keluar dari jendela, mereka berdua telah menyalakan lilin.
 
Dahi Yue Buqun makin berkerut, ia enggan masuk ke tempat pelacuran yang kotor seperti ini. Ia berkata pada Lao Denuo, "Kau masuk dan lihat". Lao Denuo berkata, "Baik!" Ia pun masuk lewat jendela.
 
Yue Lingshan berkata, "Aku juga mau melihat". Yue Buqun membalikkan tangannya, memegang pergelangan tangan putrinya dan berkata, "Macam-macam saja. Tempat seperti ini tak boleh kau masuki". Yue Lingshan begitu cemas sehingga ia hampir menangis, katanya, "Tapi......tapi kakak pertama menderita luka parah......jangan-jangan nyawanya terancam". Yue Buqun berkata dengan pelan, "Jangan khawatir. Dia sudah diolesi Perekat Penyambung Langit Harum Perguruan Hengshan, dia tak akan mati". Yue Lingshan terkejut sekaligus senang, ia berkata, "Ayah, kau......kau bagaimana bisa tahu?" Yue Buqun berkata, "Hus, jangan cerewet!"
 
* * *
 
Linghu Chong sudah terluka parah ketika ia terkena angin pukulan tapak Yu Canghai, lukanya terasa amat sakit, lagi-lagi ia memuntahkan darah, namun ia masih sadar. Ia mendengar pertengkaran diantara Yu Canghai dan Mu Gaofeng, dan bagaimana setelah itu semua orang satu persatu pergi, dan juga mendengar sang guru tiba. Ia selamanya tak pernah takut pada langit dan bumi, hanya takut pada sang guru seorang. Ketika ia mendengar gurunya dan Mu Gaofeng berbicara, ia langsung berpikir bahwa ia telah berbuat onar, entah hukuman apa yang akan dijatuhkan kepadanya begitu mereka tiba di rumah. Untuk sesaat ia lupa akan rasa sakit dari lukanya, ia kembali ke ranjang, lalu berbisik, "Gawat, guruku sudah datang, kita harus cepat lari". Ia berpegangan pada tembok, lalu keluar dari kamar itu.
 
Qu Feiyan menarik Yilin keluar dari balik selimut dan ikut keluar dari kamar. Ia melihat Linghu Chong terhuyung-huyung, tak bisa berdiri tegak, mereka berdua cepat-cepat maju untuk memapahnya. Linghu Chong mengertakkan giginya, setelah melewati sebuah lorong, ia berpikir bahwa mata dan telinga sang guru sangat tajam, kalau ia keluar, ia akan langsung tahu. Ia melihat bahwa di sebelah kanan ada sebuah kamar besar, ia segera memasukinya dan berkata, "Tutup......tutup pintu dan jendela". Qu Feiyan menuruti perkataannya dan mengunci pintu, juga menutup jendela. Linghu Chong tak sanggup bertahan, ia ambruk di atas ranjang sambil terengah-engah.
 
Mereka bertiga sama sekali tak bersuara, setelah beberapa waktu, terdengar suara Yue Buqun berbicara dari kejauhan, "Mereka tak ada disini, ayo kita pergi!" Linghu Chong menghela napas, hatinya terasa lega.
 
Setelah beberapa waktu lagi, terdengar suara seseorang berjingkat-jingkat memasuki halaman sembari berbisik, "Kakak pertama, kakak pertama". Dia adalah Lu Dayou. Linghu Chong berpikir, "Lu si Monyet Keenam adalah orang yang paling dekat denganku". Ia baru saja akan menjawab ketika ia merasakan kelambu ranjang bergetar, ternyata Yilin yang telah mendengar ada orang yang datang mencari mereka, menjadi ketakutan. Linghu Chong berpikir, "Kalau aku menjawab, aku akan menodai nama baik biksuni kecil ini". Ia tetap tak bersuara, telinganya mendengar Lu Dayou masuk melalui jendela sambil terus memanggil, "Kakak pertama, kakak pertama". Sedikit demi sedikit ia menjauh dan suaranya tak kedengaran lagi.
 
Sekonyong-konyong Qu Feiyan berkata, "Eh, Linghu Chong, apa kau bisa mati?" Linghu Chong berkata, "Bagaimana aku bisa mati? Kalau aku mati, reputasi Perguruan Hengshan akan rusak, dan membuat orang kecewa". Qu Feiyan berkata dengan heran, "Kenapa?" Linghu Chong berkata, "Obat ampuh penyembuh luka Perguruan Hengshan sudah dioleskan dan diminumkan kepadaku, kalau masih tak sembuh juga, bagaimana Linghu Chong bisa tidak membuat kecewa......membuat kecewa adik dari Perguruan Hengshan ini?" Qu Feiyan tersenyum, "Betul. Kalau kau sampai mati, kau akan membuat dia kecewa".
 
Yilin melihat bahwa walaupun lukanya parah, ia masih bercanda, ia mengagumi keberaniannya dan juga merasa agak lega, katanya, "Ketua Yu memukulmu dengan telapaknya, aku akan periksa lukamu". Linghu Chong mencoba untuk duduk. Qu Feiyan berkata, "Tak usah sungkan, kau berbaring saja". Seluruh tubuh Linghu Chong tak bertenaga, ia tak bisa duduk, maka ia hanya berbaring saja.
 
Qu Feiyan menyalakan lilin. Yilin melihat bahwa bagian depan bajunya bersimbah darah segar, maka ia tak lagi memperdulikan aturan kesopanan dan segera membuka jubah panjang Linghu Chong dengan hati-hati, lalu mengambil sebuah handuk yang tergantung di atas tempat baskom cuci muka, mengelap bersih bercak-bercak darah di atas lukanya, dan mengoleskan seluruh Perekat Penyambung Langit Harum yang tersimpan di saku dadanya ke atas lukanya. Linghu Chong berkata sembari tersenyum, "Sayang sekali, obat mujarab yang begitu berharga ini dihabiskan untuk aku".
 
Yilin berkata, "Kakak Linghu menderita luka parah ini demi aku, jangankan obat ini, kalau.......kalau......" Ketika berbicara sampai disini, ia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat, untuk sesaat, ia berbicara dengan terbata-bata, lalu meneruskan, "Bahkan guruku sendiri juga memujimu sebagai seorang pendekar muda pembela keadilan, sampai ia bertengkar dengan Ketua Yu". Linghu Chong tertawa, "Tak usah memujiku, asal beliau tidak memakiku, aku sudah akan sangat berterima kasih". Yilin berkata, "Guruku bagaimana......bagaimana bisa memakimu? Kakak Linghu, kau harus beristirahat dengan tenang selama dua belas shichen, kalau setelah itu lukamu tak terbuka lagi, kau akan baik-baik saja". Ia mengambil tiga butir Pil Empedu Beruang Awan Putih dan menyuapkannya kepadanya.
 
Qu Feiyan berkata, "Kakak, kau temani dia disini, hati-hati terhadap orang jahat yang ingin mencelakainya. Kakekku menungguku, aku harus pergi". Yilin berkata dengan cemas, "Jangan! Kau jangan pergi. Bagaimana aku bisa berada disini sendirian?" Qu Feiyan tertawa, "Bukankah Linghu Chong ada disini? Kau tidak sendirian". Sembari berbicara ia berbalik dan melangkah pergi. Yilin sangat cemas, ia melompat ke depan dan mencengkeram lengannya. Dalam keadaan terburu-buru, ia menggunakan ilmu menangkap Perguruan Hengshan dan berhasil memegang lengannya erat-erat. Ia berkata, "Kau jangan pergi!" Qu Feiyan tertawa, "Aiyo, sekarang main keras, ya?" Rona merah muncul di wajah Yilin, ia melepaskan tangannya dan memohon, "Nona yang baik, mohon temani aku". Qu Feiyan tertawa, "Baik, baik! Aku temani kau sebentar lagi. Linghu Chong bukan orang jahat, kenapa kau begitu takut padanya?"
 
Yilin merasa agak lega, ia berkata, "Maafkan aku, Nona Qu, apa aku menyakitimu?" Qu Feiyan berkata, "Aku tak merasa sakit. Tapi Linghu Chong kelihatannya sangat kesakitan". Yilin terkejut, saat ia membuka kelambu, ia hanya melihat sepasang mata Linghu Chong tertutup rapat, rupanya ia sudah tertidur nyenyak. Ia mejulurkan tangannya untuk merasakan hembusan napasnya, napasnya teratur, sehingga ia merasa lega. Tiba-tiba ia mendengar Qu Feiyan tertawa dan daun jendela berderit. Yilin cepat-cepat berbalik, namun ia hanya bisa memandangnya melompat keluar dari jendela.
 
Yilin menjadi pusat pasi karena ketakutan, untuk sesaat ia tak tahu harus berbuat apa. Ia menghampiri ranjang dan berkata, "Kakak Linghu, Kakak Linghu, dia......dia sudah pergi". Namun saat itu obat sedang bekerja dengan kuat, Linghu Chong sedang dalam keadaan sepenuhnya tak sadar, maka ia sama sekali tak bisa menjawab. Sekujur tubuh  Yilin gemetar, rasa takutnya tak terkatakan, setelah beberapa saat, ia menarik daun jendela hingga terbuka, ia berpikir, "Aku harus cepat-cepat pergi dari sini, kalau Kakak Linghu sadar dan berbicara denganku, nanti bagaimana?" Lalu ia mempertimbangkan hal itu kembali, "Ia menderita luka yang begitu parah, saat ini seorang anak kecil pun dapat menusuk dia sampai mati dengan mudah. Bagaimana aku bisa tak merawat dia dan malah melarikan diri?" Di tengah kegelapan malam, dari lorong yang jauh sekali-kali terdengar suara lolongan anjing, selain itu keadaan sunyi senyap. Semua orang lain di rumah pelacuran itu sudah lama lari tunggang langgang, seakan di muka bumi ini selain Linghu Chong yang berada di balik kelambu, sama sekali tiada orang lain.
 
Ia duduk di atas kursi, tak berani bergerak, setelah beberapa saat lamanya, kokok ayam terdengar dari berbagai penjuru, fajar telah menyingsing. Yilin lagi-lagi cemas, "Hari sudah terang, bagaimana kalau ada orang datang?"
 
Dari kecil ia hidup membiara, seumur hidupnya ia diurus oleh Biksuni Dingjing, ia sama sekali tak punya pengalaman untuk mengatasi masalah dalam kehidupan nyata, saat ini selain merasa cemas, ia sama sekali tak bisa memikirkan jalan keluar. Saat ia sedang kebingungan, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki, rupanya ada tiga atau empat orang yang datang dari lorong. Karena di sekitarnya sunyi senyap, suara langkah kaki itu terdengar makin jelas. Beberapa orang itu tiba di depan pintu rumah pelacuran, lalu berhenti sejenak, terdengar suara seseorang berkata, "Kalian berdua cari di sebelah timur, kami berdua cari di sebelah barat, kalau kalian melihat Linghu Chong kalian harus menangkapnya hidup-hidup. Ia terluka parah, tak akan bisa melawan".
 
Ketika Yilin untuk pertama kalinya mendengar suara orang, ia sangat ketakutan, ketika ia mendengar orang itu berkata bahwa ia ingin menangkap Linghu Chong, ia membuat sebuah keputusan, "Bagaimanapun juga aku harus sepenuhnya melindungi Kakak Linghu, aku tak boleh membiarkannya jatuh ke tangan orang jahat". Begitu ia mengambil keputusan itu, rasa takutnya berkurang, pikirannya langsung menjadi terang. Ia bergegas pergi ke samping ranjang, mengangkat seprai yang ada di atas kasur, membungkus tubuh Linghu Chong, membopongnya, meniup lilin hingga padam, pelan-pelan mendorong pintu kamar, lalu menyelinap keluar.
 
Saat itu ia tak perduli apakah ia menuju ke timur, barat, utara atau selatan, ia hanya berjalan ke arah yang sebaliknya dari tempat suara-suara itu terdengar. Tak lama kemudian, ia melewati sebuah kebun sayur, lalu tiba di pintu belakang. Ia melihat bahwa pintu itu setengah terbuka, rupanya ketika orang-orang Wisma Kumala buru-buru melarikan diri lewat pintu itu, pintu belakang dibiarkan terbuka tanpa ditutup kembali. Ia membopong Linghu Chong keluar dari pintu belakang, lalu lari keluar dari gang kecil. Sesaat kemudian dia tiba di sisi tembok kota, ia berpikir, "Lebih baik keluar kota, musuh-musuh Kakak Linghu di Kota Hengshan terlalu banyak". Dengan cepat ia menyusuri tembok kota, ketika ia tiba di gerbang kota, fajar telah menyingsing dan pintu gerbang telah dibuka, maka ia bergegas menuju keluar.
 
* * *
 
Ia berlari tanpa henti sejauh tujuh atau delapan li, ia hanya menuju ke bukit-bukit yang tandus, setelah tak ada jalan lagi, ia tiba di sebuah lembah yang keempat penjurunya sepi dari manusia. Pikirannya terasa agak tenang, ketika ia menundukkan kepala untuk melihat Linghu Chong, nampak bahwa ia sudah sadar. Senyum mengembang di wajah pemuda itu dan ia sedang memandangi dirinya.
 
Ketika ia tiba-tiba melihat wajah Linghu Chong yang tersenyum, hatinya terguncang, sepasang tangannya gemetar, ia tak bisa mengendalikan tangannya sehingga tubuh Linghu Chong hampir jatuh ke tanah. "Aiyo!", ujarnya, lalu cepat-cepat melancarkan jurus 'Membawa Kitab Suci', tubuhnya membungkuk dan lengannya menjulur menyangga tubuh pemuda itu. Ia melancarkan jurus itu dengan sangat cepat, sehingga Linghu Chong  tidak terjatuh ke tanah, namun pijakan kakinya sendiri menjadi goyah sehingga ia terhuyung-huyung. Ia maju ke depan beberapa langkah, lalu berhenti dan berkata, "Maafkan aku, apa lukamu sakit?"
 
Linghu Chong tersenyum kecil dan berkata, "Aku tak apa-apa! Kau istirahatlah dulu".
 
Barusan ini ketika Yilin melarikan diri dari kejaran murid-murid Qingcheng, ia bertekad untuk dengan cara bagaimanapun menghindarkan Linghu Chong dari tangan jahat para musuhnya. Ia sama sekali tak perduli bahwa ia sangat lelah, sekarang ia merasa bahwa  sekujur tubuhnya seperti akan hancur lebur, ia berusaha sekuat tenaga untuk meletakkan Linghu Chong dengan lembut di atas tanah berumput, setelah itu ia tak bisa lagi berdiri dan jatuh terduduk dengan napas terengah-engah.
 
Linghu Chong tersenyum kecil dan berkata, "Kau tadi cuma ingin cepat-cepat lari saja, sehingga kau lupa mengatur napasmu, ini adalah......ini adalah pantangan besar bagi orang yang belajar ilmu silat. Kalau seperti itu akan mudah......akan mudah terluka". Rona merah bersemu di wajah Yilin, ia berkata, "Banyak terima kasih atas petunjuk Kakak Linghu. Guru juga pernah mengajariku, tapi saat itu karena cemas aku lupa". Setelah diam sejenak, ia bertanya, "Apa lukamu masih sakit?" Linghu Chong berkata, "Sudah tidak terlalu sakit, cuma agak kebas dan gatal". Yilin sangat gembira, ia berkata, "Bagus, bagus, kalau luka terasa kebas dan gatal itu artinya akan sembuh, tak nyana bisa sembuh dengan begitu cepat".
 
Ketika Linghu Chong melihat ia begitu bahagia tak terperi, hatinya merasa tersentuh, sembari tersenyum ia berkata, "Ini adalah berkat obat mujarab perguruanmu yang mulia". Tiba-tiba ia menghela napas dan berkata dengan penuh kebencian, "Sayang sekali aku terluka parah, sehingga kita bisa dianiaya oleh bajingan-bajingan itu. Barusan ini kalau kita jatuh ke tangan beberapa bocah Perguruan Qingcheng itu, mati pun tak apa-apa, tapi kukira mereka pasti akan menghina kita dulu".
 
Yilin berkata, "Jadi kau sudah mendengar semuanya?" Ia berpikir bahwa ketika ia membawanya lari sebegitu lamanya, ia tak tahu sejak kapan ia membuka matanya dan memandangi dirinya, mau tak mau wajahnya berubah bagai lembayung senja.
 
Linghu Chong tak tahu bahwa ia tiba-tiba merasa rikuh, ia hanya mengira bahwa setelah lari begitu lama, tenaganya telah terlalu banyak terkuras, maka ia berkata, "Adik, duduklah dan aturlah napasmu sesuai dengan ilmu perguruanmu yang terhormat, supaya kau tak menderita luka dalam".
 
Yilin berkata, "Baik". Ia segera duduk bersila dan mengatur napasnya dengan ilmu yang diajarkan gurunya, namun suasana hatinya tak tenteram, ia tak pernah berhasil menenangkan diri, tak lama kemudian, matanya melirik ke arah Linghu Chong untuk melihat bagaimana keadaan lukanya, lalu lagi-lagi melihat apakah ia sedang memandanginya. Setelah melirik empat kali, kebetulan pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Linghu Chong. Ia terkejut dan cepat-cepat memejamkan matanya, tapi Linghu Chong hanya tertawa terbahak-bahak.
 
Kedua pipi Yilin memerah, dengan malu-malu ia berkata, "Kenapa......kenapa kau tertawa?" Linghu Chong berkata, "Tidak apa-apa. Kau masih muda, tak betah bersemedi, kalau kau tak bisa tenang, tak usah dipaksakan. Paman Guru Dingjing pasti telah mengajarimu bahwa kalau kau terlalu keras berlatih, kau malah akan menemui halangan. Latihan pernapasan semacam ini harus dilakukan dalam keadaan tenang". Ia beristirahat sejenak, lalu berkata lagi, "Kau jangan khawatir, tenagaku sedikit demi sedikit sudah mulai pulih, kalau anak-anak Qingcheng itu datang mengejar lagi, kita tak usah takut, kita suruh saja mereka menunjukkan.......menunjukkan pantat menghadap belakang......menghadap belakang......" Yilin tersenyum, "Menunjukkan jurus 'Angsa Mendarat Di Pasir' Perguruan Qingcheng". Linghu Chong tertawa, "Benar. Bagus sekali! Pantat menghadap belakang apa, kedengarannya tidak enak. Kita seharusnya menyebutnya 'Jurus Angsa Mendarat......Di Pasir Perguruan Qingcheng'!" Ketika mengucapkan beberapa kata terakhir itu ia hampir tak bisa bernapas.
 
Yilin berkata, "Kau jangan banyak bicara, lebih baik kau tidur saja dulu".
 
Linghu Chong berkata, "Guruku sudah tiba di Kota Hengshan. Aku ingin sekali bangun dan pergi ke rumah Paman Guru Liu untuk melihat keramaian".
 
Begitu Yilin melihat bibirnya pecah-pecah dan rongga matanya kering, ia tahu bahwa ia telah kehilangan darah yang tidak sedikit, ia harus banyak minum air, maka ia berkata, "Aku akan pergi mencari air untuk kau minum. Kau pasti haus, benar tidak?" Linghu Chong berkata, "Di jalan tadi, aku lihat di sebelah kiri ada kebun yang banyak buah semangkanya. Pergilah kesana untuk memetik beberapa buah". Yilin berkata, "Baik". Ia berdiri dan meraba-raba tubuhnya, tapi uang sekepeng pun ia tak punya, maka ia berkata, "Kakak Linghu, kau punya uang atau tidak?" Linghu Chong berkata, "Untuk apa?" Yilin berkata, "Untuk beli semangka!" Linghu Chong berkata, "Untuk apa beli? Langsung petik saja. Di sekitar sini tak ada orang. Orang yang punya semangka pasti tinggalnya sangat jauh dari sini, kau mau beli semangka dari siapa?" Yilin berkata dengan terbata-bata, "Tidak diberi tapi mengambil, itu namanya......namanya mencuri. Ini adalah larangan kedua dari kelima larangan, aku tak bisa melakukannya. Kalau tak punya uang, harus minta sedekah, mohon diberi sebuah semangka, mungkin mereka sudi memberikannya". Linghu Chong merasa agak tak sabar, ia berkata, "Kau biksuni kecil......" Tadinya ia hendak memakinya 'biksuni kecil yang linglung', tapi ia sadar bahwa Yilin sekarang sedang berusaha menolongnya, begitu ia mengucapkan kata "kecil" itu ia segera berhenti bicara.
 
Yilin melihat raut wajahnya tidak senang, maka ia tak berani bicara lagi, ia menuruti perkataannya dan pergi ke sebelah kiri jalan untuk mencari semangka. Setelah berjalan dua li lebih, ia melihat beberapa mu[3] kebun yang penuh semangka, dari pepohonan ramai terdengar suara tonggeret, namun di segala penjuru tak nampak seorang manusia pun. Ia berpikir, "Kakak Linghu ingin makan semangka, tapi semangka ini ada yang punya. Bagaimana aku bisa seenaknya mencuri milik orang lain?" Setelah berjalan dengan cepat sejauh sekitar satu li lagi, ia tiba di sebuah bukit tinggi. Ia memandang ke segala penjuru, namun sama sekali tak terlihat ada orang, bahkan rumah atau gubuk petani pun juga tidak terlihat. Ia terpaksa kembali ke kebun semangka, setelah cukup lama ragu-ragu, ia menjulurkan tangan untuk memetik sebuah semangka, namun ia menarik tangannya kembali karena teringat ajaran gurunya yang disampaikan dengan sungguh-sungguh tentang larangan agama. Ia memutuskan bahwa ia tak bisa mencuri milik orang lain dan hendak pergi, tapi di benaknya muncul wajah Linghu Chong yang bibirnya kering. Ia mengertakkan gigi dan menangkupkan kedua telapaknya, lalu diam-diam berdoa, "Bodhisatwa, murid tak berani sengaja mencuri. Sebenarnya ini karena Kakak Linghu......Kakak Linghu ingin makan semangka". Ia memikirkan hal itu lagi, dan merasa bahwa lima kata itu, yaitu
"Kakak Linghu ingin makan semangka" bukanlah alasan yang kuat, hatinya menjadi cemas dan air matanya pun bercucuran. Sepasang tangannya memegang sebuah semangka dan mengangkatnya, tangkainya langsung putus, ia berkata dalam hati, "Ia menyelamatkan nyawamu, kalau kau harus masuk neraka demi dia, selamanya menderita samsara[4], memangnya kenapa? Kalau seseorang melakukan suatu perbuatan, ia sendiri yang akan menanggung akibatnya. Aku sendiri,Yilin, yang melanggar larangan, tidak ada hubungannya dengan Kakak Linghu". Ia membawa semangka itu kembali ke tempat Linghu Chong berada.
 
Linghu Chong tak pernah memperdulikan adat istiadat dan dogma yang umum berlaku di dunia ini, ketika ia mendengar Yilin bermaksud untuk minta sedekah sebuah semangka, ia berpikir bahwa biksuni ini masih muda dan tak mengerti seluk beluk kehidupan manusia, ia sama sekali tak menyangka bahwa demi memetik buah semangka itu, perang telah berkecamuk dalam batin Yilin. Melakukan hal itu adalah sesuatu yang sangat sulit baginya. Ketika ia melihatnya membawa pulang semangka, ia sangat senang dan memuji, "Adik yang baik, nona kecil yang manis".
 
Ketika Yilin mendengar ia tiba-tiba memanggilnya seperti itu, hatinya terguncang, hampir saja semangka yang dibawanya jatuh ke tanah, ia cepat-cepat membungkusnya dengan bagian depan jubahnya. Linghu Chong tertawa dan berkata, "Kenapa kau begitu gugup seperti ini? Habis curi semangka, apa ada orang yang mengejarmu?" Wajah Yilin memerah, "Tidak, tidak ada orang yang mengejarku". Perlahan-lahan, ia duduk di tanah.
 
Hari itu adalah hari yang cerah, sang mentari telah terbit dari timur, Linghu Chong dan ia duduk di sisi bukit yang terlindung dari sinar matahari, pepohonan di bukit itu nampak hijau dan segar karena telah dicuci oleh hujan, hawa pegunungan yang bersih dan segar bertiup ke wajah mereka.
 
Yilin menenangkan dirinya sendiri, ia menghunus pedang patah yang tergantung di pinggangnya. Ketika ia memandang ujung pedang yang patah, ia berpikir, "Ilmu silat penjahat Tian Boguang itu sungguh hebat, kalau hari itu Kakak Linghu tidak mempertaruhkan nyawanya untuk menolong aku, bagaimana saat ini aku bisa tenang-tenang duduk disini?" Ia melirik Linghu Chong dan melihat bahwa rongga matanya cekung, wajahnya sama sekali tak ada rona merahnya, pikirnya, "Demi dia, walaupun aku harus melanggar lebih banyak lagi larangan, aku tak akan menyesal, aku telah mencuri sebuah semangka, memangnya kenapa?" Karena pikiran itu, rasa tak tenang di hatinya yang timbul karena melanggar larangan langsung hilang tanpa bekas, dengan bagian depan jubahnya ia mengelap pedang patah sampai bersih, lalu membelah semangka itu. Aroma harum yang samar-samar pun merebak.
 
Linghu Chong mencium-cium udara beberapa kali dan berseru, "Semangka bagus!" Ia berkata lagi, "Adik, aku ingat sebuah lelucon. Saat yuanxiao[5] tahun ini, kami para saudara seperguruan minum-minum arak bersama. Adik Lingshan membuat sebuah teka teki yang ditulis di lentera yang bunyinya begini, 'Di sebelah kiri ada anjing kecil, di sebelah kanan ada si dungu, tebak hurufnya'. Waktu itu yang duduk di sebelah kirinya adalah adik keenam kami Lu Dayou, ia adalah adik seperguruan yang kemarin malam masuk rumah mencariku. Aku duduk di sebelah kanannya". Yilin tersenyum, "Ia membuat teka-teki seperti itu untuk mengolok-olok kau dan Saudara Lu itu". Linghu Chong berkata, "Benar. Teka-teki ini tidak sukar diterka. Dalam namaku Linghu Chong ada huruf 'hu'. Lelucon yang dibuatnya ini adalah lelucon kuno yang dibacanya dari sebuah buku. Kebetulan adik keenam duduk di sisi kirinya, dan aku duduk di sisi kanannya. Kebetulan saat ini di sisiku ada seekor anjing kecil, dan di sisi lainnya ada sebuah semangka besar". Sambil berbicara, ia menunjuk-nunjuk semangka, lalu menunjuk-nunjuk Yilin, mimik lucu muncul di wajahnya[6].
 
Yilin tersenyum, "Baiklah, kau sembunyi-sembunyi mengataiku seekor anjing kecil". Ia mengiris-iris semangka itu, membuang bijinya dan memberikan seiris padanya. Linghu Chong mengigit semangka itu, rasanya harum dan manis, dengan beberapa gigitan saja ia telah menghabiskannya. Ketika Yilin melihat betapa ia menikmati semangka itu, hatinya amat senang. Ia melihat lagi bahwa karena ia makan semangka sambil berbaring, bagian depan jubahnya basah kena air semangka, maka ia memotong-motong irisan semangka yang kedua menjadi kecil-kecil, lalu memberikan potongan-potongan kecil itu kepadanya sehingga air semangka tak lagi mengotori bajunya. Ia memperhatikan bahwa setiap kali ia mengambil potongan semangka, mau tak mau ia harus menjulurkan lengannya sehingga lukanya terasa sakit. Ia merasa tak tega, maka ia lantas menyuapkan potongan-potongan semangka kecil itu kepadanya.
 
Linghu Chong telah menghabiskan hampir separuh semangka itu, ketika ia sadar bahwa Yilin sama sekali belum makan sepotong pun. Ia berkata, "Kau makanlah juga". Yilin berkata, "Kau makan dulu sampai kenyang, baru aku makan". Linghu Chong berkata, "Aku sudah kenyang, kau makanlah!"
 
Dari tadi Yilin merasa haus, setelah menyuapkan beberapa potong semangka kepada Linghu Chong, ia mengambil sepotong kecil dan memasukkannya ke dalam mulutnya sendiri. Ia melihat bahwa Linghu Chong sedang menatapnya tanpa berkedip, rasa jengahnya timbul, ia berbalik memunggunginya.
 
Sekonyong-konyong Linghu Chong memuji, "Ah, cantik sekali!" Nada suaranya penuh rasa kagum. Yilin merasa sangat rikuh, pikirnya, bagaimana ia bisa tiba-tiba memuji bahwa aku sangat cantik? Ia langsung ingin kabur, namun saat itu ia belum bisa mengambil keputusan, ia hanya merasa sekujur tubuhnya panas dingin, ia begitu malu hingga lehernya pun memerah.
 
Terdengar Linghu Chong berkata lagi, "Lihat, indah sekali! Apa kau sudah lihat?" Yilin sedikit mengeser tubuhnya, ia melihat Linghu Chong menunjuk ke arah barat, ia memandang ke arah yang sama dan melihat seberkas pelangi di kejauhan. Pelangi itu membentang dari balik pepohonan, tujuh warnanya berselang-seling, sungguh sangat indah. Sekarang ia baru sadar bahwa tadi ketika ia berkata "ah, cantik sekali!", ia sedang berkata tentang pelangi itu. Ia sendirilah yang salah tanggap, mau tak mau ia merasa malu. Namun di dalam rasa malu yang saat ini dirasakannya ada juga sedikit rasa kecewa, sedangkan rasa malu yang dirasakannya sebelumnya bercampur dengan rasa jengah, perasaan bahagia yang disimpan di dalam lubuk hatinya juga tak sama.
 
Linghu Chong berkata, "Dengar baik-baik, apa yang kau dengar?" Yilin mendengarkan dengan seksama, dari tempat pelangi itu berada sayup-sayup terdengar bunyi air mengalir, ia berkata, "Sepertinya sebuah air terjun".
 
Linghu Chong berkata, "Benar. Beberapa hari ini turun hujan, di pegunungan ini tentunya muncul air terjun dimana-mana, ayo kita lihat". Yilin berkata, "Kau......kau harus berbaring dengan tenang dulu". Linghu Chong berkata, "Tempat ini cuma bukit berbatu yang tandus, sama sekali tak ada pemandangannya yang indah, lebih baik kita pergi melihat air terjun itu".
 
Yilin tak tega menentang keinginannya, ia memapahnya supaya bisa berdiri, seberkas rona merah muncul di wajahnya untuk sekejap, pikirnya, "Aku sudah dua kali membopong dia, kali pertama ketika aku mengira dia sudah mati, kali kedua ketika melarikan diri dari bahaya. Kali ini walaupun tubuhnya terluka parah, namun ia masih sadar, bagaimana aku bisa membopong dia? Ia ingin pergi ke air terjun di sana, mungkinkah......mungkinkah ia mau aku......"
 
Ketika ia sedang ragu-ragu, ia melihat bahwa Linghu Chong telah mengambil sebatang dahan patah, dengan bertumpu pada dahan itu, ia perlahan-lahan melangkah maju, ternyata lagi-lagi ia salah sangka.
 
Yilin cepat-cepat ikut melangkah dan menjulurkan tangannya untuk menyangga lengan Linghu Chong, diam-diam ia menyalahkan dirinya sendiri, "Kenapa sih aku ini? Kakak Linghu jelas-jelas adalah seorang ksatria yang terhormat, kenapa hari ini pikiranku kacau, selalu memikirkan yang tidak-tidak?" Mungkin karena aku selalu sendirian bersama seorang lelaki, sehingga aku merasa perlu berjaga-jaga. Sebenarnya, walaupun dia dan Tian Boguang sama-sama lelaki, namun bedanya bagai langit dan bumi, bagaimana bisa dipersamakan?"
 
Walaupun Linghu Chong berjalan dengan terhuyung-huyung, namun ia selalu bisa bertahan hingga tak terjatuh. Setelah berjalan beberapa saat, ia melihat sebuah batu besar. Yilin memapahnya ke batu itu supaya ia bisa duduk dan beristirahat. Ia berkata, "Disini juga lumayan. Kau benar-benar ingin melihat air terjun itu, ya?" Linghu Chong tersenyum, "Kau bilang tempat ini bagus, kalau begitu aku akan menemanimu di sini sebentar". Yilin berkata, "Baiklah. Pemandangan disana bagus. Kalau hatimu senang, lukamu juga akan cepat sembuh". Linghu Chong tersenyum kecil, lalu berdiri.
 
Kedua orang itu perlahan-lahan melintasi lembah dan mendengar suara air, setelah berjalan sedikit lebih jauh lagi, suara air menjadi makin keras. Setelah melewati sebuah hutan cemara, mereka melihat sebuah air terjun yang meliuk-liuk seperti seekor naga putih, berdebur turun dari tebing gunung. Linghu Chong berkata dengan gembira, "Di sisi Puncak Putri Kumala di Gunung Huashan kami juga ada sebuah air terjun, dibandingkan dengan yang ini lebih besar, tapi bentuknya kurang lebih sama. Adik Lingshan dan aku sering pergi ke air terjun itu untuk berlatih pedang. Kadang-kadang kalau sifat nakalnya timbul, ia berjalan menembus air terjun".
 
Ketika Yilin mendengar ia menyebut "Adik Lingshan" untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba ia sadar, "Ia sedang terluka parah, ia ingin mendatangi air terjun ini tentunya bukan karena ingin melihat pemandangan, melainkan karena rindu pada adik Lingshannya". Bagaimanapun juga, hatinya terasa nyeri, seakan dipukul oleh seseorang. Linghu Chong terdengar berbicara lagi, "Suatu kali ketika kami sedang berlatih pedang di tepi air terjun, ia terpeleset dan hampir tercebur ke dalam kolam dalam yang berada di bawahnya, untungnya aku berhasil menariknya keluar, sekali itu sungguh berbahaya".
 
Yilin bertanya dengan dingin, "Apa kau punya banyak adik seperguruan perempuan?" Linghu Chong berkata, "Di Perguruan Huashan kami semuanya ada tujuh murid perempuan, Adik Lingshan adalah putri guru, kami semua memanggilnya adik kecil. Enam murid lainnya adalah murid ibu guru". Yilin berkata, "Ternyata dia adalah nonanya Paman Guru Yue. Dia......dia......dia apakah baik kepadamu?" Linghu Chong perlahan-lahan duduk dan berkata, "Aku ini anak yatim piatu, lima belas tahun yang lalu, guru dan ibu guru berbaik hati menerimaku dalam perguruan, saat itu adik kecil baru berusia tiga tahun, aku jauh lebih tua dari dia. Aku sering mengendong dia pergi memetik buah-buahan liar dan menangkap kelinci. Sejak kecil, aku dan dia dibesarkan bersama-sama. Guru dan ibu guru tak punya anak lelaki, mereka memperlakukan aku seperti anak kandung sendiri, adik kecil juga seperti adikku sendiri". Yilin menjawab, "Hmm". Setelah beberapa saat, ia berkata, "Aku juga seorang yatim piatu. Sejak kecil guruku berbaik hati mengasuhku, dari kecil aku sudah hidup membiara".
 
Linghu Chong berkata, "Sayang sekali, sayang sekali!" Yilin berpaling ke arahnya, raut mukanya menunjukkan rasa heran. Linghu Chong berkata, "Kalau kau belum menjadi murid Paman Guru Dingjing, aku akan minta ibu guru untuk menerimamu sebagai murid. Saudara saudari seperguruan kami amat banyak, lebih dari dua puluh orang, suasananya sangat ramai. Kalau pelajaran sudah selesai, setiap orang boleh jalan-jalan atau bermain, guru dan ibu guru tidak terlalu keras dalam menjalankan disiplin. Kalau kau bertemu dengan adik kecilku, kau pasti akan suka dia dan kalian bisa jadi sahabat baik". Yilin berkata, "Sayang aku tak seberuntung itu. Tapi di Biara Awan Putih, guru dan
kakak-kakak seperguruan semua sangat baik kepadaku, aku......aku......hidupku sangat bahagia". Linghu Chong berkata, "Baik, baik. Aku salah omong. Ilmu pedang Biksuni Dingjing sangat hebat, waktu guru dan ibu guruku membicarakan tentang ilmu pedang dari berbagai perguruan, mereka selalu mengagumi gurumu. Perguruan Hengshan sama sekali tak kalah dengan Perguruan Huashan".
 
Yilin berkata, "Kakak Linghu, pada hari itu kau berkata pada Tian Boguang, bahwa kalau berkelahi sambil berdiri, Tian Boguang adalah nomor empat belas di kolong langit, Paman Guru Yue adalah nomor delapan, kalau begitu guruku nomor berapa?" Linghu Chong tertawa, "Aku cuma sedang membohongi Tian Boguang, mana ada hal seperti itu? Taraf ilmu silat semua orang tiap hari berubah-ubah, ada orang yang bertambah maju, ada juga orang yang tenaganya berkurang karena sudah tua, mana bisa benar-benar membuat peringkat seperti itu?" Yilin berkata, "Oh, begitu rupanya". Linghu Chong tersenyum, "Tapi kalau mau benar-benar membuat peringkat, kalau guruku adalah nomor delapan di kolong langit, gurumu adalah nomor enam". Yilin berkata dengan heran, "Masa guruku lebih menang dari gurumu?" Linghu Chong berkata, "Ibu guruku pernah berkata, walaupun para paman guru dari Perguruan Hengshan adalah kaum hawa, tapi jangan-jangan ilmu pedangnya bisa mengalahkan guruku". Yilin sangat senang, ia berkata, "Nanti aku akan bilang pada guru". Linghu Chong berkata, "Ilmu silat Tian Boguang memang tinggi, tapi kalau dibilang bahwa dia nomor empat belas di kolong langit ini, sepertinya tidak mungkin. Aku sengaja menempatkan dia di peringkat yang lebih tinggi, supaya dia senang".
 
Yilin berkata, "Ternyata kau menipu dia". Ia termangu-mangu memandangi air terjun, lalu bertanya, "Kau sering menipu orang, ya?" Linghu Chong tertawa terkekeh-kekeh, "Tergantung keadaannya, tak bisa sering-sering, lah! Ada orang yang bisa dibohongi, ada yang tidak bisa. Kalau guru atau ibu guru tanya tentang suatu masalah, tentu saja aku tak berani bohong".
 
Yilin mendehem, lalu berkata, "Bagaimana dengan saudara saudari seperguruanmu?" Tadinya ia ingin bertanya, "Apa kau membohongi adik Lingshanmu?" Tapi entah kenapa, ia tak berani menanyakan pertanyaan itu. Linghu Chong tersenyum, "Itu tergantung siapa orangnya dan juga apa masalahnya. Kami para saudara seperguruan biasanya suka bercanda, kalau tidak pernah menipu orang, apa asyiknya?" Yilin akhirnya bertanya, "Kau juga membohongi adik Lingshanmu?"
 
Linghu Chong belum pernah memikirkan hal semacam ini, ia mengerutkan dahinya, lalu mengumam untuk beberapa saat, ia ingat bahwa seumur hidupnya, apabila menyangkut masalah yang penting, ia belum pernah membohonginya, maka ia berkata, "Kalau menyangkut masalah yang penting, tentu saja aku tak boleh membohonginya. Waktu bercanda, untuk mengoda dia, tentunya aku pernah main tipu-tipuan".
 
Di Biara Awan Putih, guru Yilin bersikap serius dan tegas dalam menjalankan peraturan agama, para kakak seperguruan semua berwajah dan berbicara dengan dingin. Walaupun mereka semua saling memperhatikan, namun hampir tidak ada orang yang bergurau, hal yang bisa dibuat bercanda juga tidak ada. Paman Guru Dingjing dan Dingxian keduanya memiliki murid-murid dari kaum awam yang masih muda dan periang, tapi mereka juga sangat jarang bergurau dengan mereka yang hidup membiara. Seluruh masa kecilnya dilewatkan dalam suasana sunyi dan sepi. Kalau tidak bermeditasi atau berlatih silat, mereka menabuh muyu[7] dan membaca kitab suci. Saat ini ia mendengar Linghu Chong berbicara tentang bagaimana ramainya para saudara perguruan di Perguruan Huashan, mau tak mau ia terpesona, pikirnya, "Kalau aku bisa ikut dia ke Huashan untuk bermain-main, bukankah itu sangat menyenangkan?" Namun ia segera berpikir kembali, "Aku keluar biara kali ini, menimbulkan berbagai masalah, sepertinya setelah pulang nanti, guru tak akan mengizinkan aku keluar lagi. Bagaimana aku bisa pergi ke Huashan untuk bermain-main, bukankah ini cuma impian di siang bolong?" Ia juga berpikir, "Kalaupun aku bisa pergi ke Huashan, dia akan menemani adik kecilnya seharian, aku sama sekali tak kenal siapa-siapa, lalu siapa yang akan menemani aku bermain?" Tiba-tiba ia merasa nelangsa, rongga matanya memerah, hampir-hampir meneteskan air mata.
 
Akan tetapi Linghu Chong sama sekali tak memperhatikannya, ia memandangi air terjun sambil berkata, "Aku dan adik kecil sama-sama sedang menekuni sebuah ilmu pedang yang jurus-jurusnya meminjam kekuatan air terjun. Adik, apa kau tahu untuk apa?" Yilin menggeleng dan berkata, "Aku tak tahu". Suaranya bercampur sedu sedan, Linghu Chong masih tak merasakan apa-apa, ia terus berbicara, "Jika kita bertarung dengan orang, kalau tenaga dalam musuh sangat kuat, permainan senjata dan tangan kosongnya sering disertai dengan tenaga dalam yang lihai, tenaga ini tidak kasat mata, namun bisa menjatuhkan pedang kita. Ketika aku dan adik kecil berlatih pedang di air terjun, kami menganggap kekuatan air terjun itu sebagai tenaga dalam lawan, kami tak hanya harus menangkis tenaga dalam lawan, namun juga meminjam tenaga untuk melawan tenaga, menggunakan tenaga musuh untuk melawan dirinya sendiri".
 
Yilin melihat bahwa ia berbicara mengenai semua itu dengan bersemangat, maka ia bertanya, "Apakah kalian sudah selesai melatihnya?" Linghu Chong menggeleng, "Belum, belum! Menciptakan ilmu silat baru, lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Lagipula, kami berdua tak bisa menciptakan ilmu baru, kami hanya mengotak-atik ilmu pedang perguruan sendiri yang diajarkan guru, lalu memakainya untuk menusuk dan menikam di bawah air terjun. Kalaupun kami punya jurus baru, itu hanya untuk bercanda saja, saat menghadapi musuh sama sekali tak ada gunanya. Kalau tidak, bagaimana aku bisa sama sekali tak berdaya melawan Tian Boguang?" Ia berhenti bicara sejenak sambil perlahan-lahan menggerak-gerakkan tangannya di udara, lalu berkata dengan gembira, "Aku sedang memikirkan sebuah jurus, setelah lukaku sembuh, aku dan adik kecil akan mencobanya".
 
Yilin berkata dengan lembut, "Ilmu pedang kalian ini apa namanya?" Linghu Chong tersenyum, "Tadinya aku berkata bahwa tidak perlu diberi nama. Tapi adik kecil berkeras untuk memberinya nama, kata dia namanya adalah 'Ilmu Pedang Chong Ling', karena ilmu itu ciptaan kami berdua bersama-sama".
 
Yilin berkata dengan lembut, "Ilmu Pedang Chong Ling, Ilmu Pedang Chong Ling. Hmm, di dalam nama ilmu pedang ini ada namamu, dan ada juga namanya, kelak kalau ilmu itu diwariskan kepada generasi mendatang, semua orang akan tahu bahwa kalian......kalian berdualah yang menciptakannya". Linghu Chong tersenyum, "Adik kecilku sifatnya seperti anak kecil, dengan mengandalkan kemampuan kami yang cuma  begini saja, bagaimana kami bisa menciptakan ilmu pedang baru? Kau sama sekali tak boleh membicarakannya dengan orang lain, kalau ketahuan orang, apa mereka tidak tertawa sampai gigi mereka rontok?"
 
Yilin berkata, "Baik, aku tak akan mengatakannya pada orang lain". Ia berhenti sejenak, lalu berkata sembari tersenyum kecil, "Orang lain sudah tahu dulu bahwa kau telah menciptakan ilmu pedang baru". Linghu Chong terkejut, ia bertanya, "Benarkah? Apa Adik Lingshan yang bicara kepada orang lain?" Yilin tertawa, "Kau sendiri yang mengatakannya pada Tian Boguang. Bukankah kau berkata bahwa kau telah menciptakan ilmu pedang menusuk lalat sambil duduk?" Linghu Chong tertawa terbahak-bahak, "Aku cuma membual padanya, tapi kau mengingat-ingatnya".
 
Karena ia tertawa keras-keras, lukanya terasa sakit lagi, dahinya berkerut. Yilin berkata, "Aiyo, ini semua salahku. Aku membuatmu capek sehingga lukamu sakit. Sudah, jangan bicara lagi. Tidurlah dengan tenang sebentar".
 
Linghu Chong memejamkan matanya, tapi tak lama kemudian, ia membuka matanya kembali dan berkata, "Aku kira pemandangan disini bagus, tapi ternyata di sisi air terjun ini aku tak bisa melihat pelangi". Yilin berkata, "Air terjun punya keindahannya sendiri, pelangi pun juga sama". Linghu Chong mengangguk-angguk, "Perkataanmu itu benar. Di dunia ini mana ada sesuatu yang sempurna? Orang bersusah payah untuk mengejar sesuatu, namun setelah ia mendapatkannya, ternyata sesuatu itu cuma biasa-biasa saja, sesuatu yang sudah ada di gengamannya sebelumnya malah terlepas". Yilin tertawa kecil, "Kakak Linghu, perkataanmu ini mirip dengan perumpamaan Buddha. Sayang sekali pengertianku masih dangkal, tak bisa menangkap kebenaran yang ada di dalamnya. Kalau guru mendengarnya, ia tentu bisa menjelaskan artinya". Linghu Chong menghela napas dan berkata, "Perumpamaan apa, memangnya aku tahu apa? Ai, capeknya!" Perlahan-lahan, ia memejamkan matanya, sedikit demi sedikit napasnya menjadi teratur, dan masuklah ia ke dalam alam mimpi.
 
* * *
 
 
Catatan Kaki
 
 [1] 'Budiman' disini adalah terjemahan dari kata junzi (君子), yaitu orang yang berakhlak mulia, berasal dari istilah Konghucu yang berarti manusia ideal yang bajik dan adil.
 
[2] Cai yin bu yang  (采阴补阳) adalah sebuah praktek seksual Taois dimana seorang lelaki menambah energi yang miliknya melalui hubungan seksual dengan wanita. Metode ini dipercayai bisa menjadikan seseorang (laki-laki) awet muda.
 
[3] Satu mu sama dengan 6,6 are.
 
[4] Kelahiran kembali yang berulang-ulang dalam agama Buddha.
 
[5] Tanggal 15 bulan pertama penanggalan Imlek (capgomeh dalam Bahasa Hokkian). Hari itu adalah hari pesta lentera.
 
[6] Kata 'dungu' (sha gua) ditulis dengan dua karakter yaitu 傻瓜, karakter keduanya adalah 瓜 (gua) yang berarti 'semangka'. Karakter 'hu' (狐) yang ada di nama Linghu Chong terdiri dari dua karakter, yaitu 狗 (gou) yang berarti 'anjing' dan 瓜 (gua) yang berarti 'semangka'.
 
[7] Ikan-ikanan dari kayu yang ditabuh oleh biksu dan biksuni untuk mengatur irama saat membaca kitab suci.

Yilin berjaga di sampingnya,  ia mematahkan sebuah cabang pohon yang masih berdaun, lalu dengan lembut ia mengipasi Linghu Chong untuk menghalau nyamuk, lalat dan serangga kecil lainnya. Setelah duduk selama satu shichen, ia pun merasa agak lelah, ia mengantuk dan memejamkan matanya, namun tiba-tiba ia berpikir, "Kalau dia bangun nanti, pasti dia lapar. Disini tak ada sesuatu untuk dimakan, aku akan memetik beberapa buah semangka lagi untuk menghilangkan haus dan menganjal perut". Maka ia cepat-cepat berlari ke kebun semangka, lalu memetik dua buah semangka lagi. Ia khawatir bahwa selama ia meninggalkannya, ada orang atau binatang liar yang menganggu Linghu Chong, maka ia bergegas kembali. Begitu melihat bahwa ia masih tidur dengan tenang, barulah hatinya lega, dengan perlahan-lahan ia duduk kembali di sisinya.
 
Linghu Chong membuka matanya dan berkata sembari tersenyum kecil, "Kukira kau telah pergi". Yilin berkata dengan heran, "Aku pergi?" Linghu Chong berkata, "Guru dan para saudari seperguruanmu bukannya sedang mencarimu? Mereka pasti sangat khawatir". Yilin belum pernah memikirkan hal ini, ketika mendengar ia berbicara, langsung timbul rasa khawatir di hatinya, lagi-lagi ia berpikir, "Kalau aku bertemu guru nanti, entah dia akan menyalahkanku atau tidak?"
 
Linghu Chong berkata, "Adik, banyak terima kasih karena telah menemaniku begitu lama, kau telah menyelamatkan nyawaku, kau lebih baik pulang dulu". Yilin menggeleng, "Tidak, kau sendirian di tengah bukit tandus dan hutan belantara ini, tak ada orang yang mengurusmu, bagaimana aku bisa pergi?" Linghu Chong berkata, "Pergilah ke rumah Paman Guru Liu di Kota Hengshan, diam-diam bicaralah dengan adik-adik seperguruanku, mereka pasti akan datang kesini untuk mengurusku".
 
Hati Yilin terasa pilu, diam-diam ia berpikir, "Ternyata ia ingin ditemani adik kecilnya, ia hanya ingin supaya aku cepat pergi untuk memanggil dia". Ia tak bisa menahan diri lagi, air matanya pun bercucuran.
 
Ketika Linghu Chong melihat air matanya bercucuran, ia merasa amat heran dan bertanya, "Kau......kau......kenapa kau menangis? Takut kalau kau pulang akan dimarahi gurumu, ya?" Yilin mengeleng-gelengkan kepalanya. Linghu Chong berkata lagi, "Ah, aku tahu. Kau takut bertemu Tian Boguang lagi di jalan. Tak usah takut, sejak saat ini, begitu melihatmu dia akan langsung kabur, setelah itu ia tak berani melihat mukamu lagi". Yilin mengeleng-gelengkan kepalanya, air matanya bercucuran makin deras.
 
Linghu Chong melihat bahwa sedu sedannya makin keras, ia sangat bingung, "Baik, baik, aku salah bicara. Aku minta maaf. Adik, kau jangan marah".
 
Ketika Yilin mendengarnya berbicara dengan lembut, ia agak terhibur, namun setelah mempertimbangkannya lagi, ia berpikir, "Ia bicara begini cuma untuk mengambil hatiku, jelas bahwa ia sudah biasa minta maaf pada adik kecilnya, sekarang ini ia cuma asal bicara saja". "Huhuhu!" Sekonyong-konyong tangisnya meledak, ia menghentakkan kakinya dan berkata, "Aku bukan adik kecilmu, kau......kau......kau cuma ingat adik kecilmu saja". Begitu ia mengucapkan kata-kata itu, ia langsung ingat bahwa ia adalah orang yang hidup membiara, bagaimana ia bisa berbicara seperti ini kepadanya? Benar-benar tak pantas. Mau tak mau wajahnya menjadi merah padam, ia cepat-cepat memalingkan wajahnya.
 
Linghu Chong melihat bahwa wajahnya menjadi merah padam, air matanya mengalir tiada putus-putusnya, bagai kelopak bunga merah yang terpercik tetesan air terjun, wajahnya lembut dan menawan tak terlukiskan. Ia berpikir, "Ternyata ia begitu cantik, sepertinya lebih cantik dari adik Lingshan. Ai, dia seorang yang hidup membiara, bagaimana aku bisa membandingkan kecantikannya dengan adik kecil? Linghu Chong, kau jadi orang kenapa begitu bodoh......" Ia merasa cemas, katanya dengan lembut, "Kau jauh lebih muda dariku, kita Perguruan Pedang Lima Puncak, adalah cabang dari pohon yang sama, kita semua adalah kakak beradik seperguruan, tentu saja kau juga adalah adik kecilku. Bagaimana aku telah membuatmu tersinggung, katakan padaku, ya?"
 
Yilin berkata, "Kau tak membuat aku tersinggung. Aku tahu, kau ingin aku cepat-cepat pergi supaya kau tak melihatku, lalu jadi marah dan bernasib sial. Kau kan pernah bilang, begitu lihat biksuni, pasti......" Ketika ia berbicara sampai disini, tangisnya kontan meledak lagi.
 
Linghu Chong tak bisa menahan tawa, ia berpikir, "Ternyata dia mau membuat perhitungan denganku untuk peristiwa di loteng Huiyan itu. Memang aku benar-benar harus minta maaf". Ia berkata, "Linghu Chong memang pantas mati, bicaranya tak keruan. Hari itu di loteng Huiyan aku bicara sembarangan, aku sudah menyinggung seluruh perguruanmu yang terhormat, aku pantas dipukul, pantas dipukul!" Ia mengangkat tangannya, "Plak, plak!", ia menampar pipinya sendiri dua kali.
 
Yilin cepat-cepat berbalik dan berkata, "Jangan......jangan pukul......aku......aku tak menyalahkanmu. Aku......aku cuma khawatir membuat kau sial".
 
Linghu Chong berkata, "Benar-benar pantas dipukul!" "Plak!" Lagi-lagi ia menampar dirinya sendiri.
 
Yilin berkata dengan cemas, "Aku sudah tidak marah, Kakak Linghu, kau......kau jangan pukul lagi". Linghu Chong berkata, "Kau bilang kau sudah tidak marah?" Yilin menggeleng. Linghu Chong berkata, "Kau masih tak mau tersenyum, bukankah itu berarti kau masih marah?"
 
Yilin memaksakan dirinya untuk tersenyum, tiba-tiba, entah kenapa, hatinya terasa remuk redam dan nelangsa, perasaan sedihnya muncul, ia tak bisa lagi menahan diri, air mata pun bercucuran melalui kedua belah pipinya, lalu ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya.
 
Ketika Linghu Chong melihat ia terus-menerus menangis tersedu-sedu, ia segera menghela napas panjang. Yilin perlahan-lahan menghentikan tangisnya, lalu berkata dengan lirih, "Kau......kau kenapa menghela napas?"
 
Linghu Chong tertawa di dalam hati, "Bagaimanapun juga dia adalah seorang biksuni kecil, masih bisa aku kibuli". Dari kecil ia selalu menemani Yue Lingshan, kadangkala sifat kekanakan gadis itu muncul, ia mengambek dan tak memperdulikannya, apapun yang dikatakannya kepadanya, ia tetap tak mau memperdulikannya. Linghu Chong lantas berpura-berpura melakukan sesuatu untuk menarik perhatiannya, sehingga akhirnya ia mau datang karena ingin tahu. Dari kecil Yilin belum pernah berselisih dengan orang lain, tentu saja ia tidak waspada, maka ia pun masuk ke dalam perangkapnya. Linghu Chong menghela napas panjang, lalu memalingkan muka.
 
Yilin bertanya, "Kakak Linghu, apa kau masih marah? Barusan ini akulah yang membuatmu tersinggung, kau......kau jangan masukkan di hati". Linghu Chong berkata, "Tidak. Kau tidak membuat aku tersinggung". Yilin melihat bahwa wajahnya kelihatan masih muram, ia tak tahu bahwa ia diam-diam sedang tertawa terpingkal-pingkal. Air mukanya itu hanya bikin-bikinan saja. Dengan cemas, Yilin berdiri dan berkata, "Aku membuatmu memukul dirimu sendiri, aku......aku akan memukul diriku sebagai pembalasan". Sambil berbicara, ia mengangkat tangannya. "Plak!" Ia menampar pipi kanannya sendiri. Sebelum ia sempat menampar dirinya sendiri untuk yang kedua kalinya, Linghu Chong cepat-cepat duduk dan menangkap pergelangan tangannya, namun karena ia mengerahkan tenaga, lukanya menjadi nyeri, mau tak mau ia mengerang pelan. Yilin berkata dengan khawatir, "Aiyo! Cepat......cepat berbaring. Jangan sampai lukamu jadi makin sakit". Ia menyokongnya supaya ia bisa perlahan-lahan berbaring denagn penuh penyesalan, "Ai, aku memang bodoh. Semua hal yang kulakukan tidak ada yang beres. Kakak Linghu, kau......kau merasa sakit sekali, ya?"
 
Luka Linghu Chong memang terasa amat sakit, biasanya, ia tak akan mau mengakuinya, tapi saat ini sebuah akal muncul di benaknya, "Aku harus berbuat begini begitu, supaya bisa mengoda dia dan merubah air matanya menjadi senyuman". Ia lantas mengerutkan dahinya dan mengerang keras-keras. Yilin sangat cemas dan takut, ia berkata, "Jangan......jangan sampai berdarah lagi". Ia menjulurkan tangan untuk menyentuh dahi Linghu Chong, untung saja ia tidak demam, setelah beberapa lama, ia bertanya dengan lembut, "Sakitnya seperti apa?" Linghu Chong berkata, "Masih sakit sekali".
 
Wajah Yilin nampak khawatir, ia tak tahu harus berbuat apa. Linghu Chong menghela napas, "Ai, sakit sekali! Coba......coba kalau adik keenam ada disini". Yilin berkata, "Kenapa? Apa dia punya obat penghilang sakit?" Linghu Chong berkata, "Benar. Mulut dia itu obat penghilang sakit. Dulu aku juga pernah luka, sakitnya bukan main. Adik keenam paling pintar buat lelucon, aku kalau dengar jadi senang, sampai lupa pada rasa sakit. Coba kalau dia ada disini, tentunya akan sangat baik. Aduh......sakitnya......sakitnya......aduh, aduh!"
 
Yilin merasa sangat kebingungan, semua murid-murid Biksuni Dingjing membaca kitab suci dan merapalkan nama sang Buddha dengan wajah serius, serta bersemedi dan berlatih silat. Di Biara Awan Putih amat jarang terdengar suara tawa, tapi sekarang ia harus membuat sebuah lelucon, sesuatu yang baginya setengah mati susahnya. Ia berpikir, "Kakak Lu Dayou itu tidak ada disini, sedangkan Kakak Linghu ingin mendengar lelucon, cuma aku yang bisa melakukannya, tapi......tapi......satu lelucon pun aku tak tahu". Sekonyong-konyong, sebuah ide muncul di benaknya, ia teringat pada suatu hal dan berkata, "Kakak Linghu, aku tak bisa buat lelucon, tapi di ruang kitab aku pernah membaca sebuah kitab yang sepertinya sangat menarik, namanya 'Kitab Seratus Perumpamaan'. Kau sudah baca belum?"
 
Linghu Chong berkata, "Belum. Aku tak pernah baca buku, apalagi kitab agama Buddha". Rona merah samar-samar muncul di wajah Yilin, katanya, "Aku memang bodoh, menanyakan pertanyaan yang tolol seperti itu. Kau bukan murid Buddha, tentu saja tidak pernah membaca kitab agama". Ia berhenti sejenak, lalu meneruskan, "Kitab Seratus Perumpamaan ini ditulis oleh seorang pendeta agung dari India yang bernama Qiesina, di dalamnya banyak kisah-kisah yang menarik". Linghu Chong cepat-cepat berkata, "Aku paling senang mendengar cerita yang menarik. Ceritakanlah beberapa kisah untuk kudengar".
 
Yilin tertawa kecil, berbagai kisah yang tak terhitung banyaknya dalam Kitab Seratus Perumpamaan itu seakan mengalir di dalam pikirannya, ia berkata, "Baiklah, aku akan menceritakan 'Kisah Bajak Memecahkan Kepala'. Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang botak, di kepalanya tak ada selembar rambut pun, dia adalah seseorang yang sejak lahir gundul. Entah kenapa, si botak ini bertengkar dengan seorang petani. Petani itu membawa sebuah bajak, ia mengangkat bajaknya dan memukulkannya ke kepala si botak hingga berdarah-darah. Tapi si botak hanya diam saja, ia sama sekali tak menghindar, malah tertawa. Orang lain yang melihatnya merasa heran, mereka bertanya kenapa ia tak menghindar, malah tertawa. Si botak berkata sambil tersenyum, 'Petani itu orang bodoh, ketika ia melihat kepalaku tak ada rambutnya, ia mengiranya sebuah batu, oleh karena itu ia menggunakan bajak untuk memukul kepalaku. Kalau aku menghindar, bukankah itu berarti bahwa dia telah berubah menjadi pintar?"
 
Ketika ia berbicara sampai disini, Linghu Chong tertawa terpingkal-pingkal, pujinya, "Cerita yang bagus! Si botak itu memang benar-benar pintar, kalau ia dipukul orang sampai mati, bagaimanapun juga ia masih tak akan menghindar".
 
Ketika Yilin melihatnya tertawa dan kelihatan amat senang, hatinya merasa sangat bahagia. Ia berkata, "Sekarang aku akan bercerita tentang 'Sang Tabib Dan Obat Yang Membuat Putri Raja Tumbuh Besar'. Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang raja yang mempunyai  seorang putri. Raja ini sifatnya sangat tidak sabaran, ketika melihat putrinya yang masih bayi, ia ingin supaya ia cepat besar, maka ia memanggil tabib kerajaan untuk meramu obat mujarab untuk diberikan kepada sang putri, supaya dia cepat tumbuh besar. Tabib kerajaan itu menghadap sang raja dan berkata, 'Obat yang mujarab itu ada, tapi untuk mencari bahan-bahan dan meramunya memerlukan banyak waktu dan tenaga. Sekarang aku mohon agar aku boleh membawa pulang tuan putri untuk sekaligus mempercepat pembuatan obat, tapi mohon agar yang mulia tidak mendesakku'. Sang raja berkata, 'Baiklah, aku tak akan mendesakmu'. Maka sang tabib kerajaan mengendong sang putri dan membawanya pulang. Setiap hari ia melapor pada sang raja bahwa obat mujarab itu sedang dibuat. Setelah dua belas tahun berlalu, tabib itu melapor pada sang raja, 'Obat mujarab telah selesai dibuat, hari ini obat itu akan diberikan kepada tuan putri'. Setelah itu ia membawa sang putri ke hadapan raja. Ketika sang raja melihat bahwa sang putri yang dulu masih bayi sekarang telah berubah menjadi seorang gadis yang langsing dan anggun, ia sangat senang dan memuji kepandaian sang tabib kerajaan, 'Dengan sekali minum obat mujarab, ia bisa membuat putriku cepat tumbuh besar!' Sang raja lalu memerintahkan bawahannya untuk menganugrahkan emas, perak dan permata yang tak terkira jumlahnya kepada sang tabib".
 
Linghu Chong tertawa terbahak-bahak, "Katamu raja itu sifatnya tidak sabaran, sebenarnya ia sama sekali tidak bersifat seperti itu, bukankah ia telah menunggu dua belas tahun? Kalau aku jadi tabib kerajaan itu, dalam sehari, aku bisa membuat putri yang masih bayi itu berubah menjadi seorang gadis berumur tujuh atau delapan belas tahun yang langsing, anggun dan luar biasa cantiknya". Yilin membuka matanya lebar-lebar seraya bertanya, "Bagaimana caranya?" Linghu Chong tersenyum kecil, "Obat luarnya adalah Perekat Penyambung Langit Harum yang dioleskan, obat minumnya Pil Empedu Beruang Awan Putih". Yilin tersenyum, "Itu adalah obat untuk menyembuhkan luka, bagaimana bisa membuat seseorang cepat tumbuh besar?" Linghu Chong berkata, "Aku tak perduli obat itu bisa menyembuhkan luka atau tidak, tapi kau harus ikut membantu". Yilin tersenyum, "Aku harus membantu?" Linghu Chong berkata, "Benar. Setelah membawa pulang putri yang masih bayi itu, aku akan memanggil empat tukang jahit......" Yilin makin heran, ia bertanya, "Buat apa memanggil empat tukang jahit?"
 
Linghu Chong berkata, "Untuk buat baju baru. Aku ingin mereka mengukur tubuhmu, lalu malam itu juga aku suruh mereka membuat gaun untuk seorang putri raja. Pagi-pagi besoknya kau akan memakainya, di kepalamu kau pakai mahkota burung hong[1] yang indah, gaunmu terbuat dari brokat seratus bunga putih, kakimu memakai sepatu yang bersulam emas dan bertahtakan mutiara, dengan begitu cantik kau akan melenggang dengan anggun ke Aula Lonceng Emas[2], setelah mengucapkan panjang umur tiga kali, kau akan menjura dan bersujud, lalu berseru, "Ayahanda yang mulia, setelah ananda makan obat ajaib tabib kerajaan Linghu Chong, dalam semalam ananda telah tumbuh menjadi besar". Ketika sang raja melihat seorang putri yang begitu cantik molek, ia akan jungkir balik saking gembiranya dan tak akan bertanya apakah kau putri asli atau palsu. Dan aku Linghu Chong sang tabib kerajaan tentunya akan dianugrahi bertumpuk-tumpuk hadiah".
 
Yilin tertawa terpingkal-pingkal tanpa henti, setelah mendengarkan sampai Linghu Chong selesai berbicara, ia tertawa begitu keras sampai terbungkuk-bungkuk. Setelah beberapa saat, ia baru berkata, "Kau memang jauh lebih pintar dari tabib di Kitab Seratus Perumpamaan itu, cuma sayang sekali aku, aku......begitu jelek, sama sekali tak seperti seorang putri raja". Linghu Chong berkata, "Kalau kau jelek, di kolong langit ini tidak ada wanita cantik. Sejak dahulu kala, ada seribu satu putri raja, tapi mana ada yang secantik kau?" Ketika Yilin mendengar ia terang-terangan memujinya, hati gadisnya diam-diam merasa senang, ia berkata sembari tersenyum, "Apa kau sudah pernah melihat seribu satu putri raja itu?" Linghu Chong berkata, "Tentu saja. Aku sudah pernah melihat mereka semua satu persatu dalam mimpiku". Yilin tertawa dan berkata, "Kau ini orang macam apa, masa selalu mimpi tentang putri raja!" Linghu Chong tertawa terkekeh-kekeh, "Aku pikir......" Tapi ia segera ingat bahwa Yilin adalah seorang biksuni muda belia yang polos dan naif, menemaninya bercanda saja sudah melanggar larangan perguruannya, bagaimana ia bisa membual gila-gilaan dengan dia? Setelah ia berpikir tentang hal itu, wajahnya langsung berubah serius dan ia lantas pura-pura menguap.
 
Yilin berkata, "Ah, Kakak Linghu, kau sudah capek, pejamkanlah matamu dan tidurlah sejenak". Linghu Chong berkata, "Baiklah. Leluconmu itu benar-benar mujarab, lukaku sudah tak sakit lagi". Ia ingin Yilin membuat lelucon supaya air matanya berubah menjadi senyuman, sekarang setelah melihat ia tersenyum dan berbicara dengan riang, tujuannya telah tercapai, maka ia perlahan-lahan memejamkan matanya.
 
Yilin duduk di sisinya sambil melambai-lambaikan ranting pohon dengan lembut untuk mengusir lalat. Dari sebuah kali yang jauh di pegunungan itu, terdengar suara katak mendengkung bersahut-sahutan seperti sebuah lagu nina bobo. Saat itu, Yilin mulai merasa amat lelah, kelopak matanya terasa berat, ia tak lagi bisa membuka matanya, akhirnya ia pun masuk ke alam mimpi.
 
Dalam mimpinya, ia seakan mengenakan gaun indah sang putri, melangkah masuk ke dalam sebuah istana yang megah, di sisinya seorang pemuda tampan menggandeng  tangannya, samar-samar sepertinya ia adalah Linghu Chong, lalu mereka berdua berjalan di atas awan, melayang-layang di udara, bahagianya tak terkatakan. Tiba-tiba seorang biksuni tua berwajah bengis datang mengejar mereka sambil membawa sebilah pedang. Dialah sang guru. Yilin terkejut, ia mendengar sang guru berkata dengan lantang, 'Binatang kecil, kau telah melanggar larangan agama, berani-beraninya kau berpura-pura jadi putri raja dan main gila dengan berandalan ini!' Ia mencengkeram lengannya dan menariknya keras-keras. Pandangan matanya langsung menjadi gelap, Linghu Chong tak terlihat, sang guru pun tak terlihat, dirinya berulang-ulang jatuh ke dalam awan gelap. Yilin ketakutan dan berteriak, "Kakak Linghu, Kakak Linghu!" Ia merasa sekujur tubuhnya nyeri dan lemas, tangan dan kakinya tak punya daya untuk bergerak, sedikitpun tak bisa meronta.
 
Ia berteriak beberapa kali, lalu terbangun, ternyata semua itu hanya mimpi belaka. Ia menatap sepasang mata Linghu Chong yang terbuka lebar dan sedang memandangi dirinya.
 
Kedua pipi Yilin bersemu merah, dengan rikuh ia berkata, "Aku......aku....." Linghu Chong berkata, "Kau mimpi, ya?" Wajah Yilin menjadi merah padam, ia berkata, "Aku tak tahu". Dalam sekejap, ia melihat wajah Linghu Chong berubah menjadi sangat aneh, seakan sedang menahan rasa sakit yang hebat, ia cepat-cepat berkata, "Apa...... apakah lukamu sakit sekali?" Ia mendengar Linghu Chong berkata, "Tidak terlalu sakit!" Namun suaranya gemetar, setelah beberapa saat, butiran-butiran keringat sebesar biji kedelai muncul di dahinya, ia sangat kesakitan, tanpa bertanya pun ia sudah tahu.
 
Yilin sangat cemas, ia berkata, "Bagaimana sebaiknya? Bagaimana sebaiknya?" Dari saku dadanya ia mengambil sehelai sapu tangan katun untuk menyeka butiran-butiran keringat di dahi Linghu Chong. Ketika kelingkingnya menyentuh dahinya, ia seakan menyentuh bara. Ia pernah mendengar gurunya berkata bahwa setelah seseorang terluka karena pedang atau golok, kalau ia demam, keadaannya akan menjadi kritis. Di tengah kecemasannya, ia tak bisa menahan diri untuk merapalkan sebuah doa, "Apabila semua makhluk hidup yang tak terhitung jumlahnya menderita kesukaran, dan ia memanggil nama Bodhisatwa Guanyin dengan sepenuh hati, maka Bodhisatwa Guanyin akan segera mendengarkannya dan membebaskan dirinya. Kalau orang yang memanggil namanya masuk ke dalam api yang berkobar-kobar, api tak bisa membakarnya karena kekuatan Bodhisatwa Guanyin. Kalau ia tenggelam dalam air bah, dengan memanggil namanya, ia akan sampai ke tempat yang dangkal......"
 
Doa yang dibacanya berasal dari Kitab Bunga Teratai Guanyin. Ketika mulai berdoa, suaranya gemetar, namun setelah berdoa untuk beberapa saat, pikirannya sedikit demi sedikit menjadi tenang. Linghu Chong mendengar suara Yilin yang jernih dan merdu, semakin lama berdoa ia semakin tenang, jelas bahwa ia sungguh-sungguh percaya pada kekuatan kitab suci yang dibacanya. Ia mendengarnya melanjutkan doanya, "Apabila ada orang yang akan dicelakai dan ia memanggil nama Bodhisatwa Guanyin, golok dan tongkat yang dipegang musuhnya akan hancur berkeping-keping, sehingga ia akan selamat. Apabila selaksa yaksha dan raksasa akan menganggu seseorang, dengan memanggil nama Bodhisatwa Guanyin, semua roh jahat tak akan bisa melihatnya, apalagi mencelakainya. Apabila ada seseorang yang tubuhnya dirantai, baik yang bersalah maupun tak bersalah, memanggil nama Bodhisatwa Guanyin, maka seluruh rantainya akan putus sehingga ia akan bebas......"
 
Makin lama mendengarkan, Linghu Chong makin merasa geli, akhirnya ia pun tertawa. Yilin berkata dengan heran, "Apa......apanya yang lucu?" Linghu Chong berkata, "Kalau aku sudah tahu dari dulu, tak ada gunanya belajar ilmu silat segala, kalau ada orang jahat atau musuh yang ingin mencelakai atau membunuhku, aku......aku tinggal memanggil nama Bodhisatwa Guanyin, maka golok dan tongkat orang jahat itu akan hancur berkeping-keping, bukankah aku akan selamat......selamat dengan begitu mudah?"
 
Dengan wajah tegas Yilin berkata, "Kakak Linghu, berhentilah menghujat sang bodhisatwa. Kalau hati tak tulus, tak ada gunanya berdoa". Ia terus berdoa dengan lirih,
 
"Apabila binatang buas mengepung dengan gigi dan cakar mereka yang tajam, panggillah nama Guanyin, maka mereka akan berpencar. Apabila kau bertemu dengan ular sanca, kalajengking dan binatang beracun lain, panggillah nama Guanyin, maka mereka akan kembali ke sarangnya. Apabila guntur dan kilat mengelegar, hujan es dan hujan deras menimpa, panggillah nama Guanyin, maka cuaca buruk akan segera berlalu. Semua makhluk berada dalam marabahaya, menderita kesulitan yang tak tertahankan, namun kebijaksanaan dan kekuatan Guanyin dapat menyelamatkan dunia dari penderitaan......"
 
Linghu Chong mendengar bahwa ia berdoa dengan khusyuk, walaupun suaranya lirih, namun jelas bahwa ia memohon pertolongan Bodhisatwa Guanyin dengan sepenuh hati, seakan segenap jiwanya berseru memohon dengan tulus kepada sang bodhisatwa, mohon supaya sang bodhisatwa membebaskan dirinya dari penderitaan dengan kekuasaannya yang besar. Ia seakan berkata, "Bodhisatwa Guanyin, aku mohon dengan sangat supaya kau menghindarkan Kakak Linghu dari rasa sakit, pindahkanlah rasa sakitnya ke tubuhku. Walaupun aku harus berubah menjadi binatang, atau masuk ke neraka juga tak apa, tapi bebaskanlah Kakak Linghu dari penderitaan......" Setelah itu, Linghu Chong tak lagi bisa mengerti arti doanya, hanya bisa mendengar suaranya yang berdoa dengan khusyuk, begitu tulus, begitu sungguh-sungguh. Tanpa sadar, air mata Linghu Chong berlinangan. Sejak kecil, ia tak punya ayah ibu, walaupun guru dan ibu gurunya memperlakukannya dengan baik, namun ia terlalu keras kepala, sehingga ia lebih sering dihukum pukul daripada memperoleh kasih sayang; diantara para saudara dan saudari seperguruan, semua memperlakukannya sebagai kakak pertama yang dihormati, tak ada yang berani menentangnya; Adik Lingshan walaupun dekat dengannya, namun belum pernah menunjukkan perhatian yang begitu besar dan penuh kasih seperti ini; hanya Yilin, adik seperguruan dari Perguruan Hengshan inilah yang secara tak disangka-sangka rela menanggung segala penderitaan di dunia ini demi keselamatan dan kebahagiaannya.
 
Mau tak mau perasaan mengharu biru bergolak di dadanya, di matanya, cahaya yang suci murni seakan samar-samar terpancar dari tubuh biksuni kecil itu.
 
Suara Yilin yang merapalkan kitab suci makin lama makin lirih, di depan matanya, seakan benar-benar ada tangan yang melambaikan sebuah ranting menebarkan embun sejuk di mana-mana, yaitu tangan sang Bodhisatwa berbaju putih penolong orang yang kesusahan. Setiap kalimat 'namo Bodhisatwa Guanyin' begitu khusyuk diucapkannya untuk mendoakan Linghu Chong.
 
Linghu Chong merasa berterima kasih sekaligus terhibur, di tengah suara doa yang lembut dan khusyuk itu ia pun masuk ke alam mimpi.
 
 
Catatan Kaki
 
[1] Mahkota yang biasanya dipakai oleh ratu.
[2] Sebutan untuk aula tempat kaisar menerima tamu di istana.

No Comment
Add Comment
comment url