Pendekar Hina Kelana - Bab 4: Bertarung Sambil Duduk

 <<  Bab Sebelumnya - Halaman Indeks - Bab Selanjutnya >>

Terjemahan Cersil Balada Kaum Kelana

oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Jin Yong (Chin Yung / Louis Cha)
Berdasarkan novel edisi ketiga.

Smiling Proud Wanderer Jilid 1

smiling proud wanderer 4
[Linghu Chong tertawa keras. "Biarawati kecil," katanya, "Apakah kamu ingin aku menang atau kalah?", “Tentu saja saya ingin kamu menang” kata Yilin, “Saat kamu bertarung sambil duduk, kamu adalah yang terbaik kedua di dunia, kamu tidak akan kalah darinya.”. "Bagus!" kata Linghu Chong. “Kalau begitu, silakan pergi! Semakin cepat semakin baik, semakin jauh semakin mantap!”]


Bab 4: Bertarung Sambil Duduk

Bagian 1

Liu Zhengfeng tersenyum dan berkata, "Biksuni, mengapa harus marah? Demi menolong muridmu, Keponakan Linghu bicara sembarangan dengan Tian Boguang, memberikan pujian kosong, bagaimana kau bisa menganggapnya sungguhan?" Dingjing berkata, "Menurutmu, ia mengucapkan perkataan itu untuk menolong Yilin?" Liu Zhengfeng berkata, "Aku kira begitu. Keponakan Yilin, benar tidak?" 

Yilin menundukkan kepalanya, "Kakak Linghu adalah orang yang sangat baik, hanya saja......hanya saja kalau berbicara terlalu kasar. Guru marah, aku tak berani menyampaikannya!" Dingjing berkata dengan lantang, "Bicaralah! Satu kata pun tak boleh ketinggalan. Aku ingin tahu apa ia bermaksud baik atau jahat. Kalau ternyata ia seorang bajingan, walaupun dia sudah mati, aku akan buat perhitungan dengan si tua Yue". Yilin mengucapkan beberapa kata dengan terbata-bata, lalu tak berani meneruskan. Dingjing berkata, "Ayo bicara. Kau tak boleh menghindari berbicara tentang dia, apakah dia baik atau jahat, masa kita tak bisa membedakannya?"

Yilin berkata, "Baik! Kakak Linghu berkata lagi, "Kakak Tian, kita orang yang mempelajari ilmu silat, seumur hidup selalu mencari makan di ujung pedang, kalau ilmu silat kita tinggi, tentunya segala sesuatu akan menjadi mudah, tapi pada akhirnya, semua tergantung pada nasib, menurutmu benar tidak? Kalau kita bertemu lawan yang ilmu silatnya hampir sama tingginya dengan kita, mati atau hidup hanya tergantung pada keberuntungan saja. Apalagi biksuni yang begitu kurus kering seperti ayam ini, yang kalau diangkat beratnya paling hanya tiga liang, kalaupun ia benar-benar dewi yang turun dari kahyangan, aku Linghu Chong juga tak akan memandang dia. Pada akhirnya, hidup seseoranglah yang paling penting. Menempatkan cinta diatas persahabatan memang tidak benar, tapi meletakkan cinta diatas hidup adalah suatu kebodohan. Biksuni kecil ini sama sekali tak boleh disentuh" '.

"Tian Boguang tersenyum, 'Saudara Linghu, aku kira kau adalah lelaki sejati yang tak takut langit dan bumi, kenapa begitu bertemu biksuni, lantas banyak pantangan seperti ini?' Kakak Linghu berkata, 'Hei, seumur hidupku, setelah melihat biksuni, aku selalu sial, mau tak mau aku jadi percaya. Coba kau pikir, kemarin malam aku masih baik-baik saja, lalu walaupun aku tidak melihat wajah biksuni ini, hanya mendengar suaranya, aku lantas kena bacok tiga kali olehmu hingga hampir-hampir nyawaku melayang. Kalau ini bukan dianggap nasib buruk, apa yang disebut nasib buruk?' Tian Boguang tertawa terbahak-bahak, 'Perkataanmu itu benar' ".

"Kakak Linghu berkata, 'Kakak Tian, aku tak mau bicara dengan biksuni. Kita berdua laki-laki sejati, ayo bersenang-senang minum arak. Suruh biksuni ini pergi. Aku beri kau nasehat yang baik, begitu kau menyentuh dia, kau akan bertemu dengan bintang kemalangan. Setelah itu kau juga akan menemui halangan di dunia persilatan, kecuali kalau kau sendiri jadi biksu. Tiga racun dunia ini, apakah tak ingin kau hindari?' "

"Tian Boguang bertanya, 'Apa itu tiga racun dunia?' Raut muka Kakak Linghu nampak heran, ia berkata, 'Kakak Tian sudah lama berkelana di dunia persilatan, pengalamanmu luas, bagaimana bisa tak tahu tentang tiga racun di kolong langit ini? Kata pepatah, "Biksuni, warangan dan ular bambu hijau, punya nyali atau tidak tak boleh disentuh!" Biksuni ini adalah racun, warangan juga racun, ular bambu hijau juga racun. Diantara ketiga racun di kolong langit ini, biksuni adalah yang nomor wahid. Semua saudara seperguruan di Perguruan Pedang Lima Puncak sering bicara tentang hal ini' ".

Dingyi murka, ia mengebrak meja teh keras-keras, lalu memaki, "Ken....." Pada saat-saat terakhir, ia berhasil menahan mengucapkan kata 'kentut' itu. Lao Denuo sudah merasakan amarahnya, maka ia menghindar jauh-jauh. Ketika ia melihat wajah Dingyi menjadi merah padam, ia mundur selangkah.

Liu Zhengfeng menghela napas, "Keponakan Linghu bermaksud baik, tapi bicaranya sembarangan, agak terlalu berlebihan. Tapi di sisi lain, kalau berurusan dengan penjahat besar macam Tian Boguang ini, kalau bicaranya tidak meyakinkan, memang benar-benar susah untuk membuat dia percaya".

Yilin bertanya, "Paman Liu, apa kau bermaksud mengatakan bahwa semua ini sengaja dikatakan Kakak Linghu untuk menipu si marga Tian itu?"

Liu Zhengfeng berkata, "Tentu saja. Di dalam Perguruan Pedang Lima Puncak, masa ada perkataan yang tolol dan kurang ajar seperti itu? Sehari lagi adalah hari besar cuci tangan di baskom emas si Liu ini. Bagaimanapun juga, aku ingin supaya keberuntungan menaungi kita. Kalau kami semua punya perasaan semacam itu terhadap perguruanmu yang terhormat, mana mungkin aku mengundang dengan hormat Biksuni Dingjing dan para keponakan untuk datang ke rumahku yang sederhana ini?"

Mendengar perkataan itu, air muka Dingyi menjadi agak adem, ia mendehem lalu memaki, "Si bocah Linghu Chong ini mulutnya kotor, entah siapa orang jahat yang mengajarinya". Maksud dari perkataannya ialah untuk memaki guru Linghu Chong, ketua Perguruan Huashan.

Liu Zhengfeng berkata, "Biksuni, jangan marah. Si penjahat Tian Boguang ini ilmu silatnya sangat lihai. Keponakan Linghu tidak bisa melawannya, untuk menolong Keponakan Yilin dari bahaya besar, ia harus membuat-buat perkataan seperti itu, dengan harapan agar bisa membebaskannya dari penjahat besar itu. Coba pikir, Tian Boguang sudah pernah mengembara di mana-mana, pengalamannya luas, bagaimana ia bisa gampang ditipu? Ada orang awam yang berprasangka terhadap biksuni, itu adalah suatu kenyataan, maka Keponakan Linghu menggunakan kesempatan ini untuk berbicara begitu. Bagi kita di dunia persilatan, kadang-kadang kita terpaksa melakukan  tindakan dan perkataan tertentu untuk menyelamatkan diri. Kalau Keponakan Linghu tidak menghargai Perguruan Hengshan, dan ketua Perguruan Huashan Tuan Yue juga begitu dan tidak sungguh-sungguh menghormati dan mengagumi ketiga biksuni Perguruan Hengshan, mengapa dia mati-matian berusaha menyelamatkan murid dari perguruanmu yang terhormat ini?"

Dingyi mengangguk, "Terima kasih atas kebaikanmu, Tuan Ketiga Liu". Ia menoleh ke arah Yilin, "Apakah oleh karena itu Tian Boguang lantas membebaskanmu?"

Yilin menggeleng, "Tidak. Kakak Linghu berkata lagi, 'Kakak Tian, walaupun ilmu ringan tubuhmu tak tertandingi di kolong langit ini, akan tetapi kalau kau bernasib sial, ilmu ringan tubuhmu boleh tinggi, tapi kau tetap tak bisa melarikan diri'. Untuk sesaat, Tian Boguang terlihat tak bisa menentukan sikapnya, ia melirik ke arahku dan menggeleng, 'Aku Tian Boguang datang dan pergi sesuka hatiku, membuat kekacauan di seluruh kolong langit, kenapa harus ambil pusing? Karena kita sudah terlanjur melihat biksuni kecil ini, biar saja dia menemani kita disini' ".

"Tepat pada saat itu, di meja sebelah ada seorang pemuda yang tiba-tiba menghunus pedang dan menerjang ke hadapan Tian Boguang sambil berseru, 'Kau......kau adalah Tian Boguang bukan?' Tian Boguang berkata, 'Betul, memangnya kenapa?' Pemuda itu berkata, 'Aku akan membunuhmu, maling cabul! Semua orang di dunia persilatan siap membunuhmu, tapi kau malah membual disini, apa kau sudah bosan hidup?' Ia menikamkan pedangnya ke arah Tian Boguang. Ilmu pedangnya adalah ilmu pedang Perguruan Taishan, dia adalah kakak itu". Seraya berbicara ia menunjuk ke arah mayat yang tergeletak di atas daun pintu.

Pendeta Tianmen mengangguk, "Si bocah Chi Baicheng, bagus sekali, bagus sekali!"

Yilin meneruskan ceritanya, "Tubuh Tian Boguang berkelebat, tangannya mengengam sebilah golok bergagang pendek, ia tertawa lalu berkata, 'Silahkan duduk, silahkan duduk! Mari minum, mari minum!' Ia menyarungkan goloknya. Entah bagaimana, dada kakak dari Perguruan Taishan itu telah kena sabet golok. Darah segar mengucur, ia melotot ke arah Tian Boguang, tubuhnya bergoyang-goyang, lalu ambruk ke lantai".

Pandangan matanya beralih ke arah Pendeta Tiansong, katanya, "Paman guru dari Perguruan Taishan ini melompat ke depan Tian Boguang, sambil berteriak keras, ia mencabut pedang dan menyerang. Jurus pedang paman guru ini hebat, tapi Tian Boguang tidak lagi berdiri, ia hanya duduk di kursi dan menangkis serangan dengan goloknya. Paman guru ini menyerang dua atau tiga puluh kali, Tian Boguang pun menangkis dua atau tiga puluh jurus. Ia terus duduk, sama sekali tak pernah berdiri".

Wajah Pendeta Tianmen menjadi masam, ia memandang ke arah adik seperguruannya yang tergeletak di atas daun pintu itu, lalu bertanya, "Adik, apa ilmu silat penjahat itu benar-benar begitu hebat?" Pendeta Tiansong menghela napas panjang, lalu perlahan-lahan berpaling.

Yilin meneruskan ceritanya, "Pada saat itu, Kakak Linghu telah menghunus pedang dan dengan cepat menusuk ke arah Tian Boguang. Tian Boguang menarik kembali goloknya untuk menangkis dan berdiri.

Dingjing berkata, "Ini tidak benar. Pendeta Tiansong menyerang dia dua atau tiga puluh kali, namun dia tak usah berdiri, Linghu Chong cuma menusuk dia sekali, tapi Tian Boguang harus berdiri. Bagaimana ilmu silat Linghu Chong bisa lebih tinggi dari Pendeta Tiansong?"

Yilin berkata, "Tian Boguang punya alasan tersendiri. Ia berkata, 'Saudara Linghu, aku menganggap kau sebagai teman, kalau kau menghunus senjata dan menyerang aku, tapi aku masih duduk tanpa bergerak, ini artinya aku memandang rendah padamu. Walaupun ilmu silatku lebih tinggi darimu, tapi aku menghargai pribadimu, oleh karena itu, tak perduli menang atau kalah, aku harus berdiri untuk bertarung denganmu. Untuk menghadapi si hidung......hidung kerbau ini, tidak sama caranya'. Kakak Linghu mendengus, 'Terima kasih atas kebaikanmu, muka Linghu Chong sekarang berkilauan seperti emas'. Dengan suara berdesir, ia melancarkan tiga buah serangan yang saling susul menyusul ke arahnya. Guru, tiga serangan itu begitu cepat dan ganas, sinar pedang menyelimuti bagian atas tubuh Tian Boguang......"

Dingyi menangguk, "Ini adalah jurus yang dibanggakan si tua Yue, namanya 'Gunung Tinggi Tiga Puncak Hijau', kabarnya jurus keduanya lebih kuat dari jurus pertama, jurus ketiganya lebih hebat dari jurus kedua. Bagaimana Tian Boguang memecahkannya?"

Yilin berkata, "Tian Boguang menangkis satu jurus, lalu mundur selangkah, lalu mundur tiga langkah lagi sambil berseru memuji, 'Ilmu pedang yang hebat!' Ia menoleh ke arah Paman Guru Tiansong dan berkata, 'Hidung kerbau, kenapa kau tak ikut menyerang?' Begitu Kakak Linghu menghunus pedang, Paman Guru Tiansong langsung mundur dan berdiri di samping. Paman Guru Tiansong berkata dengan sinis, 'Aku adalah seorang ksatria dari Perguruan Taishan, bagaimana aku bisa bersekutu dengan seorang penjahat cabul?' Aku tak bisa menahan diri dan berkata, 'Kau tidak adil terhadap Kakak Linghu, ia orang yang baik!' Paman Guru Tiansong tertawa dingin, 'Dia orang yang baik? Dia adalah orang baik yang bergaul dengan Tian Boguang!' Tiba-tiba, "Ah!", Paman Guru Tiansong berteriak keras, kedua tangannya menekan dadanya, wajahnya nampak sangat heran. Tian Boguang menyarungkan goloknya seraya berseru, 'Silahkan duduk, silahkan duduk! Mari minum, mari minum!'.

Dari sela-sela jari tangan Paman Guru Tiansong darah segar mengalir tanpa henti. Entah ilmu golok hebat apa yang dipakai oleh Tian Boguang, aku sama sekali tak melihat dia mengayunkan lengannya, tapi dada Paman Guru Tiansong sudah kena sabet golok. Sabetan golok itu benar-benar sangat cepat. Aku takut dan berteriak, 'Jangan......jangan bunuh dia!' Tian Boguang tertawa, 'Si cantik kecil bilang tak boleh membunuh, maka aku tak akan membunuh!' Paman Guru Tiansong menekan dadanya, lalu cepat-cepat turun tangga".

"Kakak Linghu hendak mengejar untuk memberi pertolongan. Tian Boguang menariknya dan berkata, 'Saudara Linghu, hidung kerbau ini sangat angkuh, sampai mati pun dia tak mau kau bantu, untuk apa repot-repot mengurusnya?' Kakak Linghu tersenyum pahit sambil menggeleng, lalu minum dua cawan arak lagi. Guru, waktu itu aku berpikir, pantangan kelima diantara lima pantangan besar bagi kita umat Buddha adalah pantang minum arak. Walaupun Kakak Linghu bukan murid Buddha, namun ia minum arak tanpa henti, tentunya hal ini tidak baik. Tapi tentu saja murid tak berani menegur dia, khawatir ia memaki 'begitu lihat biksuni' dan yang semacam itu".

Dingjing berkata, "Omongan gila Linghu Chong itu, setelah ini tak boleh kau sebut-sebut lagi". Yilin berkata, "Baik". Dingjing berkata, "Setelah itu bagaimana?"

* * *

Yilin berkata, "Tian Boguang berkata, 'Ilmu silat hidung kerbau ini lumayan. Sabetan golokku tidak terhitung pelan, tapi tak nyana dia bisa mengkerut tiga cun, sehingga sabetan golok itu tidak membunuh dia. Ternyata dalam ilmu silat Perguruan Taishan ada keahlian seperti itu. Saudara Linghu, si hidung kerbau itu tidak mati, di kemudian hari kau kan mengalami banyak masalah. Barusan ini aku bermaksud untuk membunuh dia, supaya kau tak kena masalah, sayang ia tak mati kena sabetan golok itu' ".

"Kakak Linghu tertawa, 'Seumur hidupku, tiap hari aku kena masalah, tak usah urusi dia, kita minum-minum saja. Kakak Tian, kalau kau menyabet seperti itu ke dadaku, karena ilmu silatku tidak sebagus Paman Tiansong, aku pasti tak bisa menghindar'. Tian Boguang tersenyum, 'Barusan ini ketika aku bertarung denganmu, aku memang sengaja menahan diri untuk membalas kebaikanmu tidak membunuh aku di gua itu kemarin malam'. Ketika mendengarnya, aku merasa sangat heran, apakah kemarin ketika mereka berdua bertarung, Kakak Linghu berada diatas angin dan lalu mengampuninya?"

Raut wajah para hadirin ketika mendengar hal ini menunjukkan rasa tak setuju, mereka semua berpendapat bahwa Linghu Chong seharusnya tak bersahabat dengan maling cabul itu.

Yilin meneruskan ceritanya, "Kakak Linghu berkata, 'Kemarin malam di gua itu, aku sudah berusaha sebisaku, bagaimana aku bisa berani mengatakan bahwa akulah yang mengampunimu?' Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dan berkata, 'Waktu itu kau dan biksuni kecil ini sembunyi di dalam gua, biksuni kecil ini bersuara sehingga aku bisa menemukan kalian, tapi kau menahan napas, aku sama sekali tak mengira bahwa ada orang lain yang menunggu di sampingnya. Aku menarik biksuni kecil ini, hendak membuatnya melanggar semua pantangannya. Kau hanya tinggal menunggu sejenak saja, menunggu saat jiwaku terbang di langit, lalu menikam, pasti kau bisa mencabut nyawaku. Saudara Linghu, kau bukan anak berumur sebelas atau dua belas tahun, masa kau tak tahu apa yang terjadi saat itu? Aku tahu kau adalah seorang lelaki sejati, tak mau memakai cara-cara licik semacam itu, oleh karena itu, hehehe, kau cuma menusukku bahuku pelan-pelan' ".

"Kakak Linghu berkata, 'Kalau aku menunggu sejenak, biksuni kecil ini bukankah sudah  kau lecehkan? Aku berkata padamu, walaupun setiap melihat biksuni aku lantas marah, tapi Perguruan Hengshan adalah salah satu dari Perguruan Pedang Lima Puncak. Kau menganiaya salah satu anggotanya, aku tak bisa membiarkanmu melakukan hal ini'. Tian Boguang tersenyum, 'Ternyata begitu, tapi kalau tikamanmu lebih maju tiga cun ke depan saja, lenganku akan cacat, kenapa setelah kau menusukku, kau malah menarik pulang pedangmu?' Kakak Linghu berkata, 'Aku adalah murid Huashan, bagaimana aku bisa menusuk orang dari belakang? Kau menikam bahuku, aku juga balas menikam bahumu, kita bertarung secara terang-terangan dan adil. Tidak ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan'. Tian Boguang tertawa terbahak-bahak, 'Baik, aku senang punya teman sepertimu, ayo minum secawan lagi' ".

"Kakak Linghu berkata, 'Ilmu silatku kalah darimu, tapi aku lebih kuat minum darimu'. Tian Boguang berkata, 'Aku kalah kuat minum darimu? Belum tentu, mari kita bertanding. Ayo sekarang kita minum sepuluh cawan besar'. Kakak Linghu mengerutkan dahinya, 'Aku kira kau adalah orang gagah yang tak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan, oleh karena itu tadinya aku ingin bertaruh minum arak denganmu, tapi ternyata aku salah besar, aku jadi sangat kecewa' ".

"Tian Boguang memandangnya sambil memicingkan mata, ia bertanya, 'Bagaimana caranya aku mengambil kesempatan dalam kesempitan?' Kakak Linghu berkata, 'Kau jelas-jelas tahu bahwa aku benci biksuni, begitu lihat biksuni, badanku tidak enak, tak punya selera. Bagaimana aku bisa bertaruh minum arak?' Tian Boguang tertawa terbahak-bahak, 'Saudara Linghu, aku tahu kau mencoba seribu satu macam cara untuk menolong biksuni kecil ini, tapi aku Tian Boguang mencintai paras cantik lebih dari hidupku sendiri, sejak melihat biksuni kecil yang menawan ini, biar bagaimanapun juga aku tak bisa melepaskannya. Kalau kau mau aku melepaskan dia, hanya ada satu jalan'. Kakak Linghu berkata, 'Baik, katakanlah. Naik ke gunung golok, turun ke kuali minyak mendidih, aku Linghu Chong menerima takdirku, kalau aku ragu aku bukan terhitung orang gagah' ".

"Tian Boguang mengisi dua mangkuk arak sampai penuh sambil menyengir, 'Kau minum dulu secawan arak ini, nanti aku beritahu'. Kakak Linghu menengak secawan arak itu sampai habis dalam satu tegukan, lalu berkata, 'Mari minum!' Tian Boguang juga minum secawan arak, lalu tersenyum, 'Saudara Linghu, aku sudah menganggapmu sebagai teman, menurut peraturan dunia persilatan, istri teman tak boleh dibuat main. Kalau kau berjanji akan menikahi biksuni kecil ini......biksuni kecil ini......' "

Berbicara sampai disini, kedua pipinya menjadi merah padam seperti api, matanya memandang ke bawah, suaranya makin lama makin lirih, sehingga akhirnya tak terdengar lagi.

Dingyi mengebrak meja, "Omong kosong! Makin lama bicaranya makin kotor. Apa lagi setelah ini?"

Yilin berkata dengan lirih, "Si Tian Boguang itu bicara tak keruan, ia tertawa terbahak-bahak lalu berkata, 'Begitu seorang lelaki sejati berjanji, kereta yang ditarik empat kuda pun tak bisa menarik kembali perkataannya. Kalau kau berjanji untuk menikahi dia......mengambil dia sebagai istri, aku akan langsung membebaskan dia dan menjura padanya minta maaf. Diluar hal ini, aku sama sekali tak akan membebaskannya' ".

" 'Bah!' Kakak Linghu berkata, 'Kau mau membuat aku bernasib sial seumur hidupku? Jangan sebut-sebut hal ini lagi'. Tian Boguang lagi-lagi bicara tak keruan, misalnya tentang setelah rambut tumbuh kembali, bukan lagi biksuni, dan masih banyak lagi omongan gila yang tak bisa disampaikan. Aku menutupi kupingku, tak mau mendengarkan dia. Kakak Linghu berkata, 'Tutup mulut! Kalau kau terus membuat lelucon tolol seperti ini, Linghu Chong akan langsung jadi sinting. Bagaimana aku bisa bertaruh minum arak denganmu? Kalau kau tak membebaskan dia, ayo bertarung habis-habisan'. Tian Boguang tersenyum, 'Mau berkelahi? Kau tak bisa melawan aku!' Kakak Linghu berkata, 'Kalau bertarung sambil berdiri, aku bukan tandinganmu. Kalau bertarung sambil duduk, kau bukan tandinganku' ".

Para hadirin sebelumnya telah mendengar penuturan Yilin tentang bagaimana Tian Boguang terus duduk di kursi tanpa berdiri, tapi bisa menangkis dua sampai tiga puluh jurus yang cepat dan ganas dari Pendeta Tiansong, seorang jago kelas wahid. Tentunya ia mahir berkelahi sambil duduk. Rupanya ketika Linghu Chong berkata bahwa "Kalau bertarung sambil berdiri, aku bukan tandinganmu. Kalau bertarung sambil duduk, kau bukan tandinganku", ia sedang berusaha untuk membuat Tian Boguang gusar. He Sanqi menganguk, "Kalau bertemu maling cabul seperti itu, kita harus membuatnya marah terlebih dahulu, setelah itu baru turun tangan bila ada kesempatan.  Bisa dibilang bahwa ini adalah rencana yang cemerlang".

Yilin meneruskan ceritanya, "Ketika Tian Boguang mendengarnya, ia tidak marah. Ia cuma menyengir dan berkata, 'Saudara Linghu, Tian Boguang mengagumi sikap ksatria dan keberanianmu, tapi tidak mengagumi ilmu silatmu'. Kakak Linghu berkata, 'Linghu Chong mengagumi golok kilatmu ketika kau bertarung sambil berdiri, tapi tidak mengagumi ilmu golokmu ketika kau bertarung sambil duduk'. Tian Boguang berkata, 'Ada sesuatu yang tidak kau ketahui, ketika aku kecil, kakiku sakit, selama dua tahun aku terus duduk sambil berlatih ilmu golok, bertarung sambil duduk adalah keahlianku. Barusan ini ketika aku dan hidung......hidung kerbau dari Perguruan Taishan itu bertarung, aku bukannya menyepelekan dia, tapi aku memang sudah biasa memainkan golokku sambil duduk, maka aku malas berdiri. Saudara Linghu, dalam kungfu seperti ini, kau tak bisa menandingiku'. Linghu Chong berkata, 'Kakak Tian, ada sesuatu yang tidak kau ketahui. Waktu kecil karena kakimu sakit, kau berlatih ilmu golok sambil duduk selama dua tahun, walaupun cukup lama, tapi cuma dua tahun. Kungfuku yang lain tak bisa menandingimu, tapi ilmu pedang sambil dudukku ini lebih hebat darimu. Tiap hari aku berlatih ilmu pedang sambil duduk' ".

Ketika para hadirin mendengar hal ini, mereka memandang ke arah Lao Denuo dan berpikir, "Ternyata di antara ilmu silat Perguruan Huashan terdapat cara berlatih pedang sambil duduk". Lao Denuo menggeleng, "Kakak pertama cuma membohongi dia, di perguruan kami tidak ada kungfu semacam itu". 

Yilin berkata, "Di wajah Tian Boguang muncul rasa heran, katanya, 'Apa benar? Aku ini memang bebal dan tak tahu apa-apa, aku ingin lihat ilmu pedang Perguruan Huashan yang bernama duduk......duduk......apa namanya?' Kakak Linghu tersenyum, 'Ilmu pedang ini bukan diajarkan oleh guruku, tapi merupakan ciptaanku sendiri'. Begitu mendengarnya, air muka Tian Boguang langsung berubah, katanya, 'Rupanya begitu. Saudara Linghu orang yang berbakat, membuat orang sangat kagum' ".

Semua orang tahu kenapa Tian Boguang begitu tergugah. Di kalangan pesilat, menciptakan ilmu pukulan atau pedang baru lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, kalau ilmu silat sudah tinggi, dan juga memiliki kecerdasan dan pengetahuan luas, baru bisa menciptakan jurus-jurus baru. Perguruan yang besar dan terkenal seperti Perguruan Huashan sudah berdiri selama ratusan tahun, setiap jurus ilmu silatnya sudah berkali-kali diuji dan disempurnakan. Merubah salah satu jurusnya saja sangat sukar, apalagi menciptakan ilmu pedang baru. Lao Denuo berpikir, "Rupanya diam-diam kakak pertama telah menciptakan ilmu pedang baru, kenapa dia tidak memberitahu guru?"

Terdengar Yilin meneruskan ceritanya, "Saat itu Kakak Linghu tertawa terpingkal-pingkal, katanya, "Ilmu pedang ini baunya minta ampun. Apanya yang mengagumkan?' Tian Boguang sangat terkejut, ia bertanya, 'Kenapa baunya minta ampun?' Aku juga merasa sangat heran, walaupun ilmu pedang itu tidak cemerlang, tapi kenapa bau? Kakak Linghu berkata, 'Aku tak bisa menyembunyikannya dari Kakak Tian, setiap hari pagi-pagi aku pergi ke kakus, ketika duduk di kakus, dimana-mana banyak lalat berterbangan, sungguh menjijikkan, maka aku mengambil pedang dan menusuk lalat-lalat itu. Mula-mula aku tak bisa menusuknya dengan jitu, tapi lama kelamaan, karena sering berlatih aku bisa melakukannya dengan sempurna. Setiap kali aku mengayunkan pedang aku bisa menusuk lalat. Sedikit demi sedikit, pikiran dan gerakan pedang menjadi satu, dan dari jurus-jurus menusuk lalat ini aku berhasil menciptakan ilmu pedang baru. Setiap kali aku menggunakan ilmu pedang ini, aku selalu sedang duduk di kakus, bagaimana bisa tidak bau?' "

"Ketika ia berkata begitu, aku tak bisa menahan tawa, Kakak Linghu ini benar-benar lucu, di kolong langit ini mana ada latihan ilmu pedang seperti itu? Ketika mendengarnya, raut wajah Tian Boguang menjadi gusar, ia berkata dengan marah, 'Saudara Linghu, aku menganggapmu sebagai teman, tapi perkataanmu ini sangat keterlaluan. Kau menyamakan aku Tian Boguang dengan lalat di kakus, benar tidak? Baik, aku mohon petunjuk mengenai ilmumu......ilmumu......' "

Para hadirin ketika mendengar hal ini, diam-diam menyetujui. Mereka semua tahu bahwa dalam pertarungan diantara para jago, kalau ada yang terburu nafsu, maka boleh dibilang bahwa ia sudah kalah tiga puluh persen terlebih dahulu. Linghu Chong berbicara begitu jelas untuk membuat lawan marah. Sekarang Tian Boguang murka, maka ia sudah jatuh selangkah ke dalam jebakan.

Dingjing berkata, "Bagus sekali! Lalu bagaimana?"

Yilin berkata, "Kakak Linghu menyengir lebar lalu berkata, 'Aku berlatih ilmu pedang ini hanya untuk main-main saja, bukan untuk bertanding dengan orang lain. Kakak Tian jangan salah paham, adik tidak berani menyamakan Kakak Tian dengan lalat di kakus'. Aku tak bisa menahan tawa. Tian Boguang murka, ia mencabut golok pendeknya, meletakkannya di meja, lalu berkata, 'Baik, ayo bertarung sambil duduk'. Aku lihat sinar matanya menjadi ganas, aku sangat takut, dia jelas punya maksud membunuh Kakak Linghu".

"Kakak Linghu tersenyum dan berkata, 'Kalau bertarung sambil duduk, kungfuku lebih hebat, kau tak akan bisa mengalahkan aku. Hari ini Linghu Chong baru bertemu teman seperti Kakak Tian, untuk apa merusak persahabatan diantara kita? Lagipula, Linghu Chong adalah seorang lelaki sejati, aku tidak mau menggunakan kungfu yang menjadi keahlianku untuk mengalahkan teman'. Tian Boguang berkata, 'Ini adalah kemauanku Tian Boguang sendiri, tak usah bilang bahwa kau mengambil kesempatan dalam kesempitan'. Kakak Linghu berkata, 'Kalau begitu, Kakak Tian pasti mau bertanding?' Tian Boguang berkata, 'Pasti mau bertanding!' Kakak Linghu berkata, 'Pasti mau bertanding sambil duduk?' Tian Boguang berkata, 'Benar, pasti mau bertanding sambil duduk!' Kakak Linghu berkata, 'Kalau begitu, kita harus menyetujui satu peraturan, saat menang dan kalah belum pasti, siapa yang lebih dahulu berdiri akan dianggap kalah'. Tian Boguang berkata, 'Benar, saat menang dan kalah belum pasti, siapa yang lebih dahulu berdiri akan dianggap kalah' ".

"Kakak Linghu berkata, 'Setelah kalah lalu bagaimana?' Tian Boguang berkata, 'Menurutmu bagaimana?' Kakak Linghu berkata, 'Biar aku pikir-pikir dulu. Baiklah, pertama, orang yang kalah, sejak saat itu setiap melihat biksuni kecil ini, tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak sopan di hadapannya. Begitu lihat dia, harus dengan sopan menjura untuk memberi hormat dan berkata, 'Guru kecil, murid Tian Boguang datang menghadap'. Tian Boguang berkata, 'Bah! Bagaimana kau tahu bahwa aku pasti akan kalah? Bagaimana kalau kau yang kalah?' Kakak Linghu berkata, 'Aku juga sama, siapapun yang kalah, harus masuk Perguruan Hengshan dan menjadi cucu murid biksuni tua Dingjing, dan menjadi murid biksuni kecil ini'. Guru, menurutmu perkataan Kakak Linghu itu lucu tidak? Mereka berdua bertanding, dan yang kalah harus masuk Perguruan Hengshan? Bagaimana aku bisa menerima mereka sebagai murid?"

Ketika berbicara tentang hal itu, di wajahnya mengembang senyum yang samar-samar. Rasa khawatir di wajahnya menghilang, diganti dengan lesung pipit yang membuat wajahnya makin cantik.

Dingjing berkata, "Laki-laki kasar dari dunia persilatan seperti itu memang suka bicara sembarangan, kenapa kau anggap serius? Linghu Chong jelas ingin membuat Tian Boguang marah". Ketika berbicara sampai disini, ia mengangkat kepalanya, memejamkan sepasang matanya, dan memikirkan cara apa yang akan dipakai Linghu Chong untuk meraih kemenangan. Kalau dia kalah, bagaimana ia akan bisa mengingkari perkataannya sendiri? Setelah berpikir sejenak, ia sadar bahwa kepintarannya kalah jauh dengan berandalan seperti Linghu Chong, ia tak ambil pusing lagi, maka ia pun bertanya, "Apa jawaban si Tian Boguang itu?"

Yilin berkata, "Tian Boguang melihat Kakak Linghu begitu percaya diri, wajahnya terlihat ragu-ragu, aku rasa dia agak khawatir, sepertinya ia berpikir, 'Jangan-jangan ilmu pedang sambil duduk Linghu Chong jauh lebih hebat dariku?' Kakak Linghu menantang dia, 'Kalau kau tak mau masuk Perguruan Hengshan, kita tak usah bertanding saja'. Tian Boguang berkata dengan gusar, 'Omong kosong! Baik, kalau begitu, kalau aku kalah aku akan mengangkat biksuni kecil ini jadi guru!' Aku berkata, 'Aku tak bisa menerima kalian sebagai murid, kungfuku tidak cukup tinggi, lagipula, guru tidak akan mengizinkannya. Di Perguruan Hengshan kami, tak perduli apakah orang yang hidup membiara atau orang awam, harus perempuan, bagaimana bisa......bagaimana bisa......' "

“Kakak Linghu melambaikan tangannya dan berkata, ‘Aku dan Kakak Tian sedang berunding, kau terima atau tidak, itu bukan urusanmu'. Ia berpaling kearah Tian Boguang dan berkata, ‘Kedua, orang yang kalah, harus mengayunkan goloknya dan membuat dirinya sendiri menjadi kasim’. Guru, apa artinya mengayunkan goloknya dan membuat dirinya sendiri menjadi kasim?”

Ketika ia bertanya seperti itu, semua orang tertawa. Dingjing juga tak bisa menahan tawa, air mukanya yang tegas berubah menjadi geli, katanya, “Perkataan kasar berandalan seperti itu, nak, kau tak mengerti dan juga tak usah ditanyakan, tak ada gunanya”.

Yilin berkata, “ Oh, ternyata itu perkataan kasar. Aku tadinya berpikir bahwa kaisar juga  punya kasim, apanya yang aneh? Setelah Tian Boguang mendengar perkataan itu, ia menatap Kakak Linghu sambil memicingkan mata dan berkata, ‘Saudara Linghu, apa kau merasa pasti akan menang?’ Kakak Linghu berkata, ‘Pasti! Kalau bertarung sambil berdiri, dalam dunia persilatan di kolong langit ini Linghu Chong nomor delapan puluh sembilan; bertarung sambil duduk, nomor dua!’ Tian Boguang merasa sangat heran, ia bertanya, ‘Kau nomor dua? Nomor satunya siapa?’ Kakak Linghu berkata, ‘Ia adalah ketua Sekte Iblis Dongfang Bubai!’ “

Ketika semua orang mendengar ia mengucapkan tujuh kata itu, yaitu “ketua Sekte Iblis Dongfang Bubai”, wajah semua kontan orang berubah.

Yilin sadar bahwa wajah semua orang tiba-tiba berubah,  ia menjadi terkejut, dan juga takut kalau-kalau ia telah mengatakan sesuatu yang salah. Ia bertanya, “Guru, apa perkataan ini tidak benar?” Dingjing berkata, “Jangan kau sebut nama orang ini. Tapi apa kata Tian Boguang?”

Yilin berkata, “Tian Boguang mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, ‘Kau bilang Dongfang Bubai adalah yang nomor satu, aku setuju, tapi kau mengaku nomor dua, ini agak terlalu sombong. Bukankah ini berarti kau lebih hebat dari gurumu yang terhormat Tuan Yue?’ Kakak Linghu berkata, ‘Aku bicara tentang berkelahi sambil duduk. Kalau berkelahi sambil berdiri, guruku nomor delapan, aku nomor delapan puluh sembilan, aku masih kalah jauh dari beliau’. Tian Boguang mengangguk, ‘Ternyata begitu! Kalau bertarung sambil berdiri, aku nomor berapa? Memangnya siapa yang menentukannya?’ Kakak Linghu berkata, ‘Ini adalah sebuah rahasia besar. Kakak Tian, aku beritahu kau, hanya kepadamu, sekali-sekali tak boleh kau bocorkan, kalau tidak hal ini akan membuat kekacauan besar di dunia persilatan. Tiga bulan yang lalu, kelima ketua dari Perguruan Pedang Lima Puncak kami bertemu di Huashan untuk membicarakan peringkat jago-jago terkenal di dunia persilatan. Ketika kelima guru itu sedang merasa senang, mereka iseng membuat peringkat jago-jago terkenal di kolong langit ini. Kakak Tian, aku tak bisa menyembunyikannya darimu, kelima guru itu menganggap pribadimu tak ada harganya, tapi mengenai ilmu silatmu, mereka menganggapnya benar-benar luar biasa. Kalau bertarung sambil berdiri, kau bisa ditempatkan di peringkat ke empat belas di kolong langit ini’ “.

Pendeta Tianmen dan Dingjing serentak berkata, “Linghu Chong bicara sembarangan, mana ada hal seperti itu?”

Yilin berkata, “Ternyata Kakak Linghu cuma membohongi dia. Tian Boguang juga cuma setengah percaya, tapi ia berkata, ‘Ketua Perguruan Pedang Lima Puncak semuanya adalah tokoh luar biasa di dunia persilatan. Kalau mereka berkata bahwa Tian Boguang ada di peringkat keempat belas, mereka cuma memberikan pujian kosong. Saudara Linghu, ketika kau berada di hadapan kelima ketua itu, apa kau mempertunjukkan ilmu pedang kakusmu yang baunya minta ampun itu? Kalau tidak, bagaimana mereka bisa menempatkanmu di peringkat kedua?’ “

“Kakak Linghu tersenyum, ‘Ilmu pedang kakus ini? Tidak enak kalau diperlihatkan di muka umum, mana berani aku unjuk kebodohan di depan kelima guru itu? Gerakan ilmu pedang ini tidak sedap dipandang, tapi sangat lihai. Linghu Chong pernah berbicara dengan beberapa jago dari aliran sesat, mereka berpendapat bahwa selain ketua Dongfang, di kolong langit ini tidak ada orang yang bisa menandinginya. Tapi, Kakak Tian, perkataan yang sudah diucapkan tak bisa ditarik kembali, walaupun ilmu pedangku ini luar biasa, selain untuk menusuk lalat di kakus, sebenarnya tidak ada gunanya. Coba pikir, kalau kita benar-benar bertarung dengan seseorang, siapa yang mau duduk diam? Kalaupun kau dan aku setuju untuk bertarung sambil duduk, jika kau kalah, kau tentunya akan naik darah dan berdiri. Kalau bertarung sambil berdiri kau nomor empat belas di kolong langit, tentu gampang membunuh aku yang nomor dua kalau bertarung sambil duduk dengan sekali sabet. Oleh karena itu, kau memang benar-benar nomor empat belas di kolong langit kalau bertarung sambil berdiri, tapi reputasiku sebagai nomor dua ketika bertarung sambil duduk, adalah nama kosong belaka, dan tidak ada gunanya disebut-sebut’ “.

“Tian Boguang mendengus dengan dingin dan berkata, ‘Saudara Linghu, kau memang pandai bicara. Bagaimana kau tahu bahwa kalau aku bertarung sambil duduk aku akan kalah darimu, dan bagaimana juga kau tahu bahwa aku akan marah, lalu berdiri dan membunuhmu?’ “

“Kakak Linghu berkata, ‘Kalau kau berjanji setelah kalah tidak membunuhku, aku juga tak akan berkeras menyuruhmu untuk jadi ka……kasim, supaya garis keturunanmu tidak putus dan tak punya generasi penerus. Baiklah, tak usah banyak omong lagi, kita mulai saja!’ Ia mengangkat tangannya dan membalikkan meja hingga semua poci dan cawan arak yang ada di meja melayang. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan, yang satu mengengam golok, sedangkan yang satunya menghunus pedang”.

“Kakak Linghu berkata, ‘Silahkan mulai! Siapa yang lebih dahulu berdiri, yang pantatnya meninggalkan kursi, dia yang kalah’. Tian Boguang berkata, ‘Baik, lihat saja siapa yang lebih dahulu berdiri!’ Kedua orang itu lantas bertarung, Tian Boguang melirik ke arahku, tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak dan berkata, ‘Saudara Linghu, aku kagum padamu. Ternyata kau diam-diam telah menyembunyikan bala bantuan, hari ini kau memang sudah bermaksud untuk membuat susah Tian Boguang. Ketika aku dan kau bertarung dan tak boleh bangkit dari kursi, teman-temanmu akan masuk mengeroyok aku, atau bisa juga biksuni kecil ini yang akan melakukan sesuatu di belakang punggungku untuk memaksa aku berdiri’ “.

"Kakak Linghu tertawa terbahak-bahak dan berkata, ‘Kalau ada orang yang membantu aku, maka anggap saja aku kalah. Biksuni kecil, kau harap aku menang atau kalah dalam pertarungan ini?’ Aku berkata, ‘Tentu saja berharap kau menang. Kalau kau bertarung sambil duduk, kau nomor dua di kolong langit, tentunya tak bisa kalah dari dia’. Kakak Linghu berkata, ‘Baik, mohon supaya kau pergi! Lebih cepat lebih baik, makin jauh makin baik! Kalau aku melihat biksuni botak ini, Linghu Chong lebih baik tak usah bertarung dan langsung mengaku kalah saja’. Ia tak menunggu jawaban Tian Boguang, dengan suara berdesir, ia langsung menikam ke arahnya”.

“Tian Boguang mengayunkan goloknya untuk menangkis, ia tersenyum dan berkata, ‘Hebat sekali, hebat sekali! Sebuah siasat yang cemerlang untuk membantu biksuni kecil ini melarikan diri. Saudara Linghu, kau memang benar-benar seorang……seorang buaya darat. Tapi kali ini sangat berbahaya, kau salah perhitungan’. Saat itu aku baru sadar, ternyata Kakak Linghu berkata bahwa siapa yang berdiri dulu dia yang kalah, adalah supaya aku punya kesempatan untuk melarikan diri. Tian Boguang tak bisa bangkit dari kursi, tentunya ia tak bisa menangkap aku”.

Ketika mendengar mengenai hal itu, semua orang mau tak mau memuji usaha mati-matian Linghu Chong itu. Karena ilmu silatnya lebih rendah dari Tian Boguang, diluar hal ini, tidak ada jalan lain untuk memberi kesempatan pada Yilin untuk melarikan diri.

Dingjing berkata, “Apa itu ‘buaya darat’ segala macam, semua itu omongan kasar, setelah ini kau tak boleh mengatakannya lagi, dalam hati juga tak boleh kau pikirkan”. Yilin mengerutkan dahi dan memandang ke bawah, katanya, ‘Baik, ternyata semua itu omongan kasar, sekarang murid tahu”. Dingjing berkata, “Seharusnya kau langsung pergi, kalau Tian Boguang membunuh Linghu Chong, dia pasti akan mencelakaimu”.
Yilin berkata, “Ya. Kakak Linghu terus menerus mendesakku, jadi aku cuma bisa menjura padanya dan berkata, ‘Banyak terima kasih atas budi Kakak Linghu menolongku. Aku berhutang budi sangat besar pada Perguruan Huashan, seumur hidup Yilin tak akan melupakannya’. Aku berbalik dan turun dari loteng, ketika aku menuruni tangga, terdengar Tian Boguang berkata dengan lantang, ‘Kena kau!’ Aku berpaling, dua tetes darah melayang ke arahku, menciprat di bajuku, ternyata bahu Kakak Linghu telah kena sabetan golok”.

“Tian Boguang tertawa dan berkata, ‘Bagaimana? Ilmu pedang sambil dudukmu yang nomor dua di kolong langit ini, menurutku tak ada hebatnya!’ Kakak Linghu berkata, ‘Biksuni kecil itu masih belum pergi, bagaimana kau bisa menang melawanmu? Nasibku memang sial’. Aku pikir Kakak Linghu memang benci pada biksuni, bila aku tetap tinggal, jangan-jangan ia akan benar-benar terbunuh, maka aku cepat-cepat turun dari loteng. Tapi ketika aku sampai di bawah kedai arak, aku mendengar suara golok dan pedang beradu tiada hentinya, Tian Boguang lagi-lagi berkata dengan lantang, ‘Kena kau!’ “

"Aku sangat terkejut, aku menduga bahwa Kakak Linghu telah kena sabetan golok lagi, tapi aku tak berani naik ke loteng lagi untuk melihat, maka aku memanjat dari samping loteng, ketika aku sampai di atap kedai arak, aku bertumpu pada genting dan mengintip ke dalam melalui jendela. Aku lihat Kakak Linghu masih mengenggam pedang dan bertarung dengan sengit, sekujur tubuhnya berlumuran darah segar, namun Tian Boguang sama sekali tidak terluka".

"Setelah bertarung beberapa saat, Tian Boguang lagi-lagi berseru, 'Kena kau!' Ia membacok lengan kiri Kakak Linghu, lalu menarik pulang goloknya sambil tersenyum, 'Saudara Linghu, kali ini aku masih bermurah hati!' Kakak Linghu berkata, 'Tentu saja aku tahu, kalau kau membacok lebih dalam sedikit saja, lenganku ini pasti sudah terbacok putus olehmu!' Guru, saat itu ia malah tertawa. Tian Boguang berkata, 'Kau masih mau berkelahi atau tidak?' Kakak Linghu berkata, 'Tentu saja! Aku masih belum berdiri kan?'. Tian Boguang berkata, 'Aku sarankan kau mengaku kalah saja, berdirilah. Persetujuan kita tadi, kita abaikan saja, kau tak usah mengangkat biksuni kecil itu sebagai guru'. Kakak Linghu berkata, 'Begitu seorang lelaki sejati berjanji, kereta yang ditarik empat kuda pun tak bisa menarik kembali perkataannya. Perkataan yang sudah dikeluarkan, mana bisa diabaikan?' Tian Boguang berkata, 'Aku sudah banyak bertemu orang gagah di kolong langit ini, tapi orang seperti Saudara Linghu baru pertama kalinya kutemui hari ini. Bagus! Kita tak usah memperdulikan menang atau kalah, bagaimana kalau kita akhiri saja sampai disini?' "

"Kakak Linghu menatapnya sambil menyengir, sama sekali tak bersuara, darah segar tak henti-hentinya menetes dari luka-luka di sekujur tubuhnya ke lantai kedai. Tian Boguang melemparkan goloknya ke lantai, ia baru saja akan berdiri, namun tiba-tiba terpikir olehnya bahwa yang berdiri akan dianggap kalah. Tubuhnya baru terangkat sedikit, lalu ia segera kembali duduk, boleh dibilang ia sama sekali tidak bangkit dari kursi. Kakak Linghu berkata, 'Kakak Tian, kau memang sangat waspada!' "

"Ai!", ketika mendengar tentang hal itu, para hadirin mau tak mau berseru karena merasa iba pada Linghu Chong.

Yilin meneruskan ceritanya, "Tian Boguang memungut golok pendeknya dan berkata, 'Aku akan menggunakan jurus golok kilat, tak lama lagi biksuni kecil itu akan sudah kabur entah kemana dan tak bisa dikejar lagi'. Ketika aku mendengar bahwa ia mau mengejar aku, aku begitu ketakutan sehingga seluruh tubuhku gemetar, selain itu aku juga khawatir Kakak Linghu akan dibunuh olehnya. Aku tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba aku teringat bahwa Kakak Linghu menyabung nyawa demi untuk menolongku, hanya kalau aku bunuh diri di hadapan mereka berdua, Kakak Linghu baru bisa selamat. Aku segera menghunus pedang patah yang tergantung di pinggangku, hendak melompat masuk ke kedai arak, namun saat itu aku melihat tubuh Kakak Linghu bergoyang-goyang, ia ambruk ke lantai bersama kursinya. Aku juga melihat ia menekan lantai dengan kedua tangannya dan perlahan-lahan merangkak dengan kursi yang masih melekat di tubuhnya. Ia menderita luka yang sangat parah, untuk beberapa saat ia berusaha untuk bangkit, namun tak bisa".

"Tian Boguang sangat puas, ia tersenyum dan berkata, 'Kalau bertarung sambil duduk kau nomor dua di kolong langit, kalau kau bertarung sambil merangkak, kau nomor berapa di kolong langit?' Sambil berbicara, ia berdiri".

"Kakak Linghu tertawa terbahak-bahak dan berkata, 'Kau kalah!' Tian Boguang berkata, 'Kau sudah kalah dengan begitu telak, masih bisa bilang aku yang kalah?' Kakak Linghu menelungkup di lantai, ia bertanya, 'Apa persetujuan kita sebelum ini?' Tian Boguang berkata, 'Kita setuju untuk bertarung sambil duduk, siapa yang lebih dahulu berdiri, pantatnya meninggalkan kursi......akan......akan......akan......' Setelah mengucapkan kata 'akan' tiga kali, ia tak bisa bicara lagi. Tangan kirinya menunjuk ke arah Kakak Linghu. Rupanya saat itu ia baru sadar bahwa ia tertipu. Ia sudah berdiri, sedangkan Kakak Linghu masih belum berdiri, pantatnya masih melekat pada kursi. Walaupun penampilannya mengelikan, namun sesuai dengan persetujuan sebelumnya, ialah yang menang".

Ketika mendengar hal ini, para hadirin mau tak mau bertepuk tangan sambil tertawa dan bersorak-sorai.

Hanya Yu Canghai yang mendehem dan berkata, "Bocah berandalan ini memakai tipuan kotor terhadap si maling cabul Tian Boguang, bukankah ini membuat malu semua perguruan aliran lurus yang terkemuka?" Dingjing berkata dengan gusar, "Tipuan kotor apa? Seorang lelaki sejati beradu kepintaran bukan beradu tenaga. Kenapa di Perguruan Qingcheng kalian tidak ada pahlawan muda yang berani dan adil seperti dia?" Setelah mendengar Yilin bercerita tentang bagaimana Linghu Chong mati-matian membela kehormatan Perguruan Hengshan, dalam hati ia merasa sangat berterima kasih. Kalau sebelumnya ia menyalahkan Linghu Chong, perasaan itu sekarang telah hilang di awang-awang. Yu Canghai mendengus dan berkata, "Seorang pahlawan muda yang merayap di tanah, hebat sekali!" Dingjing berkata dengan ketus, "Kalian Perguruan Qingcheng......"

Liu Zhengfeng khawatir kedua orang itu akan bertengkar lagi, maka ia cepat-cepat memotong perang mulut itu, ia bertanya pada Yilin, "Jadi Tian Boguang mengaku kalah atau tidak?"

Yilin berkata, "Tian Boguang  berdiri sambil termenung-menung, untuk beberapa saat ia tak tahu harus berbuat apa. Kakak Linghu berseru, "Adik dari Perguruan Hengshan, turunlah. Selamat atas murid yang baru kau terima ini!' Ternyata ketika aku mengintip dari genting, ia sudah tahu dari dahulu. Walaupun Tian Boguang seorang penjahat, tapi ia tidak mengingkari perkataannya, pada waktu itu ia bisa saja membunuh Kakak Linghu, lalu membereskan aku, akan tetapi ia hanya berseru keras-keras, 'Biksuni kecil, dengarlah, lain kali kalau kau berani menemui aku, akan kubunuh kau dengan sekali sabet!' Dari dahulu aku tidak ingin menerima penjahat ini sebagai murid, aku sangat senang dia berkata seperti itu. Setelah itu, ia menyarungkan golok bergagang pendeknya, lalu bergegas turun dari loteng kedai arak. Aku melompat turun ke loteng, memapah Kakak Linghu, lalu mengoleskan Perekat Tulang Harum Langit pada luka-lukanya. Kuhitung luka-lukanya, semuanya ternyata tidak kurang dari tiga belas buah......"

Tiba-tiba Yu Canghai menyela, "Biksuni Dingyi, selamat, selamat!' Dingjing berkata sambil melotot, 'Selamat apanya?' Yu Canghai berkata, 'Selamat atas cucu murid yang baru kau terima, seorang murid yang ilmu silatnya sangat tinggi dan termasyur di kolong langit!' Dingjing murka. Ia mengebrak meja dan berdiri. Pendeta Tianmen berkata, "Ketua Yu, dalam hal ini kau salah. Kita pengikut Tao, bagaimana bisa membuat lelucon tolol seperti ini?' Yu Canghai memalingkan muka, pura-pura tak mendengar.

* * *

Yilin meneruskan kisahnya, "Setelah aku selesai memberikan obat pada Kakak Linghu, aku memapah dia supaya ia bisa duduk di kursi. Napas Kakak Linghu terengah-engah, ia berkata, 'Tolong tuangkan semangkuk arak'. Aku menuang semangkuk arak dan memberikannya padanya. Tiba-tiba dari tangga kedai arak terdengar suara langkah kaki, datanglah dua orang. Yang satu adalah dia". Ia menunjuk ke arah murid Perguruan Qingcheng yang membawa masuk mayat Luo Renjie, lalu berkata lagi, "Yang satu lagi adalah si penjahat Luo Renjie itu. Mereka berdua menatap aku, kemudian menatap Kakak Linghu, lalu pandangan mata mereka beralih ke arahku lagi, air muka mereka benar-benar kurang ajar".

Para hadirin berpikir, "Ketika Luo Renjie dan temannya melihat Linghu Chong yang sekujur tubuhnya berlumuran darah duduk bersama biksuni yang cantik ini di kedai arak, apalagi sang biksuni cantik juga menuangkan arak baginya, tentunya mereka punya dugaan yang tidak-tidak mengenai mereka, kalau air muka mereka kurang ajar, bukan sesuatu yang aneh".

Yilin meneruskan ceritanya, "Kakak Linghu melirik ke arah Luo Renjie, lalu bertanya, "Adik, kau tahu tidak kungfu apa yang jadi keahlian Perguruan Qingcheng?" Aku berkata, "Aku tidak tahu. Aku dengar bahwa kungfu mereka yang hebat sangat banyak". Kakak Linghu berkata, "Benar. Kungfu Perguruan Qingcheng yang hebat sangat banyak, tapi yang paling hebat adalah suatu jurus tertentu. Hehehe, aku tak boleh merusak persahabatan, maka aku tak akan mengatakannya'. Sambil berbicara, ia melirik Luo Renjie. Luo Renjie bergegas mendatangi kami, lalu berkata dengan lantang, 'Apa yang paling hebat? Ayo katakan!' Kakak Linghu tersenyum dan berkata, 'Tadinya aku tak mau bilang, tapi kau mau aku bicara, benar tidak?' Jurus itu ialah jurus "Pantat Menghadap Belakang, Angsa Mendarat Di Pasir" '. Luo Renjie mengebrak meja dan berkata dengan lantang, 'Omong kosong, apa itu "Pantat Menghadap Belakang, Angsa Mendarat Di Pasir?" Dari dulu sampai sekarang aku tak pernah mendengar atau melihatnya!' "

"Kakak Linghu tertawa, 'Ini adalah jurus istimewa perguruan kalian yang terhormat, bagaimana kau bisa belum pernah mendengar atau melihatnya? Berbaliklah ke sini, nanti kutunjukkan'. Luo Renjie memaki sepatah dua patah kata, lalu mengangkat tinjunya untuk memukul Kakak Linghu. Kakak Linghu berdiri hendak menghindar, tapi karena ia sudah kehilangan banyak darah, ia sama sekali tak bertenaga. Tubuhnya bergoyang-goyang, lalu ia terduduk di kursi. Tinju Luo Renjie mendarat tepat di hidungnya, darah segar pun mengalir".

"Luo Renjie meninjunya lagi untuk yang kedua kalinya, tapi aku cepat-cepat menangkisnya dengan telapak tanganku seraya berkata, 'Jangan pukul! Ia luka parah, apa kau tak lihat? Kau menganiaya orang yang terluka, orang gagah macam apa kau?' Luo Renjie memaki, 'Si biksuni kecil pikir maling kecil ini tampan dan sudah jatuh cinta padanya. Cepat pergi. Kalau kau tak pergi, kau akan kupukul juga'. Aku berkata, 'Kalau kau berani pukul aku, aku akan lapor gurumu, Ketua Yu'. Dia berkata, 'Hahaha, kau tak mematuhi aturan biaramu, melanggar pantangan berbuat mesum, setiap orang di kolong langit ini boleh memukulmu'. Guru, bukankan dia memperlakukan orang secara tidak adil? Ia menjulurkan tangan kirinya ke arahku, aku menangkis dengan tanganku, tanpa menyadari bahwa itu cuma gerakan tipuan. Tiba-tiba, sambil tertawa terbahak-bahak, tangan kanannya menjulur dan mencubit pipi kiriku. Aku merasa marah sekaligus takut. Aku memukulnya tiga kali dengan telapakku, tapi ia selalu berhasil menghindar".

"Kakak Linghu berkata, 'Adik, kau jangan berkelahi. Tunggu sampai napasku teratur lagi, maka aku akan siap'. Aku berpaling dan menatapnya, kulihat wajahnya pucat pasi. Tepat pada saat itu, Luo Renjie berlari menghampiri, ia mengepalkan tinjunya untuk memukul Kakak Linghu. Kakak Linghu mengangkat tangan kirinya untuk menangkis dan membuat tubuh Luo Renjie berputar setengah lingkaran, disusul sebuah tendangan yang melayang, menendang......menendang pantatnya. Tendangan itu begitu cepat dan tepat, sangat lihai. Luo Renjie terhuyung-huyung, lalu jatuh ke bawah loteng".

"Kakak Linghu berbisik, 'Adik, ini adalah jurus terhebat dari Perguruan Qingcheng yang namanya 'Pantat Menghadap Belakang, Angsa Mendarat Di Pasir'. Pantat menghadap belakang, adalah keahlian khusus untuk menerima tendangan orang, lalu angsa mendarat di......di pasir. Menurut kau nama itu tepat atau tidak?' Tadinya aku ingin tertawa, tapi melihat wajahnya yang pucat pasi, aku jadi sangat khawatir. Maka aku menasehatinya, 'Kau istirahat dulu, jangan bicara'. Aku lihat lukanya mengeluarkan darah lagi, rupanya ketika menendang barusan tadi ia menggunakan banyak tenaga, sehingga lukanya terbuka lagi".

"Setelah ditendang ke bawah loteng, si Luo Renjie segera berlari ke atas lagi, ia membawa sebilah pedang dan berkata dengan lantang, 'Kau Linghu Chong dari Perguruan Huashan, benar tidak?' Kakak Linghu tersenyum, 'Jago-jago dari perguruanmu yang terhormat telah memakai jurus 'Pantat Menghadap Belakang, Angsa Mendarat Di Pasir' untuk menghadapi aku. Yang mulia adalah yang orang yang ketiga, tidak aneh......tidak aneh......' Ia tak bisa bicara karena terbatuk-batuk. Aku khawatir Luo Renjie akan membunuhnya, maka aku menghunus pedang dan menjaga di sampingnya. Luo Renjie berkata kepada adik seperguruannya, 'Adik Li, bereskan biksuni kecil ini'. Penjahat marga Li itu menjawab, menghunus pedangnya dan menyerang aku, namun aku hanya bisa menangkis serangannya".

"Aku melihat Luo Renjie berkali-kali menikam Kakak Linghu, Kakak Linghu berusaha sekuat tenaga menangkis serangan, keadaannya sangat runyam. Setelah berkelahi beberapa jurus, pedang Kakak Linghu terjatuh ke tanah. Pedang Luo Renjie menusuk ke depan, sampai ke depan dadanya, ia tersenyum dan berkata, 'Panggil aku kakek dari Perguruan Qingcheng tiga kali, maka aku akan ampuni jiwamu'. Kakak Linghu berkata, 'Baik, aku akan panggil kau kakek, aku akan panggil kau kakek! Setelah aku panggil kau kakek, apa kau mau ajarkan jurus dari perguruanmu yang terhormat itu, yaitu Pantat Menghadap Belakang, Angsa Mendarat.....' Sebelum ia menyelesaikan kalimat itu, si penjahat Luo Renjie telah  mendorong pedangnya ke depan, hendak menusuk dada Kakak Linghu, penjahat itu benar-benar kejam......"

Ketika ia berbicara mengenai hal itu, air mata sebening kristal jatuh berderai-derai membasahi pipinya, sambil tersedu sedan ia meneruskan berbicara, "Aku......aku......ketika aku melihat keadaan itu, aku berusaha menghentikannya, namun  pedang Luo Renjie yang tajam itu telah menusuk......menusuk dada Kakak Linghu".

Saat itu, ruang tamu itu menjadi sunyi senyap.

Yu Canghai merasakan banyak mata memandang wajahnya, semuanya penuh dengan rasa muak dan benci, maka ia berkata, "Perkataanmu ini tidak benar. Katamu Luo Renjie telah membunuh Linghu Chong, bagaimana ia sendiri bisa tewas di ujung pedangnya?"

Yilin berkata, "Setelah terkena tikaman pedang itu, Kakak Linghu malah tersenyum, ia berbisik kepadaku, "Adik kecil, aku......aku punya sebuah rahasia besar yang akan kuberitahukan padamu. Kitab......kitab Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan milik......milik Biro Pengawalan Fu Wei, ada di......ada di......' Makin lama suaranya makin pelan hingga aku juga tak bisa mendengarnya, hanya bisa melihat bibirnya bergerak-gerak......"

Ketika Yu Canghai mendengarnya menyebut-sebut kitab Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan milik Biro Pengawalan Fu Wei, pikirannya langsung terguncang, mau tak mau raut wajahnya menjadi tegang, ia bertanya, "Dimana......" Tadinya ia mau bertanya "Dimana tempatnya", namun ia segera sadar bahwa hal itu sama sekali tak boleh ditanyakan di depan orang banyak, maka ia langsung berhenti, jantungnya berdebar-debar tak keruan. Ia hanya bisa berharap agar Yilin yang masih muda dan tak berpengalaman akan mengatakannya, kalau tidak, setelah masalah ini selesai, Biksuni Dingjing akan menanyai Yilin secara seksama, dan mengetahui duduk perkara masalah itu. Bagaimanapun juga, Biksuni Dingjing tak akan mau memberitahukan rahasia itu kepadanya.

Terdengar Yilin meneruskan ceritanya, “Luo Renjie sangat tertarik pada kitab pedang itu, ia berjalan mendekat, lalu membungkukkan badannya karena ingin mendengar Kakak Linghu mengatakan dimana tempat kitab pedang itu. Tiba-tiba, Kakak Linghu memungut pedang yang terjatuh di lantai kedai, ia mengangkat tangannya dan menusuk perut Luo Renjie. Penjahat itu jatuh terlentang, kaki dan tangannya berkelojotan beberapa kali, namun tak bisa bangkit lagi. Ternyata……ternyata……guru……Kakak Linghu sengaja menipu dia supaya mendekat, lalu membunuhnya untuk membalas dendam”.

Setelah ia selesai menceritakan kejadian itu, ia tak bisa menahan tekanan lagi, tubuhnya bergoyang-goyang lalu ia pingsan. Biksuni Dingjing menjulurkan tangannya untuk memeluk pinggang Yilin sambil memandang dengan marah ke arah Yu Canghai.

Para hadirin tak bisa berkata apa-apa,  mereka membayangkan pertarungan yang mengugah jiwa di Kedai Huiyan itu. Di mata Pendeta Tianmen, Liu Zhengfeng, Tuan Wen, He Sanqi dan jago-jago lainnya, walaupun ilmu silat Linghu Chong, Luo Renjie dan lain-lain masih berada dibawah mereka, namun pertarungan mati-matian yang begitu brutal semacam itu sangat jarang terjadi di dunia persilatan. Apalagi kejadian itu diceritakan oleh Yilin, seorang biksuni muda yang cantik dan polos, jelas tak mungkin dibesar-besarkan atau dibuat-buat.

Liu Zhengfeng menanyai murid Perguruan Qingcheng yang bermarga Li itu, “Keponakan Li, saat itu kau juga ada disana, apa kau juga melihat kejadian ini dengan mata dan kepalamu sendiri?”

Murid Perguruan Qingcheng bermarga Li itu tidak menjawab, matanya memandang Yu Canghai. Para hadirin ketika melihat air mukanya, langsung tahu bahwa saat itu kejadiannya memang demikian. Kalau Yilin telah mengatakan sesuatu yang tidak benar, ia pasti telah membantahnya.

Pandangan mata Yu Canghai berpindah ke arah Lao Denuo, wajahnya pucat pasi, ia bertanya dengan dingin, “Keponakan Lao, apa yang diperbuat Perguruan Qingcheng kami terhadap perguruanmu yang terhormat, sehingga Saudara Linghu berulang kali membuat onar tanpa alasan seperti ini, dan menantang murid-murid Perguruan Qingcheng kami?’ Lao Denuo menggeleng dan berkata, “Murid tak tahu. Itu adalah pertengkaran pribadi diantara Kakak Linghu dan Saudara Luo dari perguruan anda yang terhormat, tidak ada hubungannya dengan persahabatan diantara Perguruan Qingcheng dan Huashan". Yu Canghai tertawa sinis, “Bagaimana bisa tak ada hubungannya! Rupanya kau tahu cara membereskan semuanya dengan rapi……”

Sebelum ia sempat menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba, “Krek!” Kertas penutup jendela barat didobrak orang, lalu seseorang melayang masuk. Semua orang yang ada di ruang tamu itu adalah jagoan, reaksi mereka sangat cepat, mereka menghindar ke samping, masing-masing mengangkat tangan untuk melindungi tubuh mereka. Sebelum mereka sempat melihat dengan jelas siapa orang itu, “Krek!”. Lagi-lagi seseorang melayang masuk. Kedua orang itu ambruk ke lantai, tergeletak tanpa berkutik. Namun terlihat bahwa kedua orang itu memakai jubah panjang berwarna hijau, yaitu seragam yang dipakai murid-murid Perguruan Qingcheng. Di pantat mereka nampak jelas tertera jejak kaki yang berlumuran lumpur. Dari luar jendela, terdengar suara serak seorang tua yang berkata dengan lantang, “Jurus Pantat Menghadap Belakang, Angsa Mendarat Di Pasir! Hahaha, hahaha!”

* * *
Tubuh Yu Canghai berkelebat, sepasang tangannya berayun, memukul kearah suara itu berasal, lalu tangan kirinya menekan bingkai jendela, dan dengan memanfaatkan daya gerak, ia melompat ke atap, kaki kirinya bertumpu pada pinggiran atap. Ia memandang ke segala penjuru, namun ia hanya melihat kegelapan malam yang diselubungi tirai hujan rintik-rintik. Sama sekali tak ada sesosok manusia pun. Ia berpikir, “Orang ini tak mungkin bisa menghilang dengan begitu cepat tanpa jejak, pasti ia masih bersembunyi di dekat sini’. Ia tahu orang itu adalah lawan yang tangguh, maka ia menghunus pedang untuk melindungi tubuhnya, lalu mencari-cari di sekeliling Wisma Liu dengan sangat lincah.
 
Saat itu, Pendeta Tianmen tetap duduk di kursinya karena ingin menjaga martabatnya, namun Biksuni Dingyi, He Sanqi, Tuan Wen, Liu Zhengfeng, Lao Denuo dan lain-lain semua telah melompat ke atas atap. Mereka melihat sosok seorang pendeta Tao yang pendek dan kecil sedang berjalan dengan cepat sambil membawa pedang, di tengah kegelapan, kilau pedangnya seakan memancarkan seberkas sinar putih. Ia sedang mengelilingi sepuluh bangunan yang ada di Wisma Liu dengan sangat cepat. Semua orang diam-diam mengagumi ilmu ringan tubuh Yu Canghai yang tinggi.
 
Walaupun Yu Canghai bergerak dengan cepat, namun seluruh sudut Wisma Liu,  pepohonan maupun semak-semak, tidak ada yang luput dari pandangan matanya. Ia tidak melihat ada sesuatu yang aneh, maka ia segera melompat masuk ke dalam ruang tamu lagi. Ia melihat kedua muridnya masih tertelungkup di lantai, di atas pantat mereka jelas tertera jejak kaki, yang seakan berubah menjadi ribuan wajah orang dunia persilatan yang mengejek Perguruan Qingcheng yang kehilangan muka.
 
Yu Canghai membalikkan tubuh salah seorang dari mereka, ia melihat bahwa murid itu ialah Shen Renjun, yang satunya lagi tak perlu dibalik, dari belakang kepalanya sudah terlihat bahwa ia berjenggot, ia adalah teman akrab Shen Renjun, Ji Rentong. Ia menotok titik-titik jalan darah di pinggang Shen Renjun dua kali, lalu bertanya, "Siapa yang melakukan hal ini?" Shen Renjun membuka mulut hendak berbicara, namun ia sama sekali tak bisa bersuara.
 
Yu Canghai terkejut, ketika ia menotoknya dua kali, karena banyak jago-jago yang menonton di sampingnya, ia sengaja berpura-pura bahwa ia melakukan hal yang sangat mudah. Sebenarnya ia memakai ilmu tenaga dalam tingkat tinggi Perguruan Qingcheng, tapi titik-titik di tubuh Shen Renjun secara mengejutkan tetap tak bisa terbuka. Ia terpaksa diam-diam mengerahkan tenaga dalam dan terus menerus menyalurkannya melalui titik Lingtai di punggung Shen Renjun.
 
Setelah beberapa saat, Shen Renjun dengan terbata-bata berseru, "Gu......guru". Yu Canghai tidak menjawab dan terus menyalurkan tenaga dalam. Shen Renjun berkata, "Murid......murid tidak melihat musuh itu siapa". Yu Canghai berkata, "Dimana musuh menyerang?" Shen Renjun berkata, "Murid dan Adik Ji pergi bersama-sama keluar untuk ke belakang, murid hanya merasa punggung terasa kesemutan, lalu jatuh ke tangan anak kura-kura itu". Wajah Yu Canghai berubah masam, ia berkata, "Orang itu adalah jago dunia persilatan, jangan memakinya". Shen Renjun berkata, "Ya".
 
Yu Canghai tak habis pikir darimana musuh berasal, ketika ia melihat air muka Pendeta Tianmen yang acuh tak acuh, seakan sama sekali tidak perduli dengan masalah itu, ia berpikir, "Mereka Perguruan Pedang Lima Puncak adalah cabang dari pohon yang sama, Renjie telah membunuh Linghu Chong, kelihatannya Tianmen juga ikut menyalahkan aku". Tiba-tiba ia teringat sesuatu, "Jangan-jangan musuh masih berada di aula besar". Ia melambaikan tangan kepada Shen Renjun, lalu bergegas keluar dari ruang tamu.
 
Para hadirin yang ada di aula masih ramai berbicara, mereka menebak-nebak siapa gerangan yang membunuh seorang murid Perguruan Taishan dan seorang murid Perguruan Qingcheng itu. Ketika Yu Canghai tiba-tiba memasuki ruangan, ada yang mengenali dia sebagai ketua Perguruan Qingcheng, namun ada juga yang tidak mengenalinya. Mereka ini melihat bahwa orang ini tingginya tidak lebih dari lima chi, namun pembawaaannya seperti seorang jago silat papan atas, penampilannya tenang dan berwibawa, maka semua orang pun diam.
 
Pandangan mata Yu Canghai menyapu ke wajah para hadirin, orang-orang yang hadir di aula besar itu adalah tokoh-tokoh dari generasi muda dunia persilatan, walaupun tidak banyak yang dikenalinya, namun begitu melihat pakaian dan penampilan mereka, ia bisa mengetahui dari perguruan mana mereka berasal. Ia berpikir bahwa murid-murid generasi muda dari semua perguruan itu tidak ada yang memilki tenaga dalam yang begitu kuat. Kalau orang itu ada di aula besar, penampilannya pasti berbeda dengan hadirin yang lain. Ia memandangi setiap orang satu persatu, tiba-tiba pandangan matanya yang setajam pisau itu berhenti pada sebuah sosok.
 
Penampilan orang ini sangat buruk, otot-otot wajahnya seperti terpelintir, wajahnya ditempeli beberapa lembar koyo, punggungnya berpunuk besar, rupanya ia adalah seorang bongkok.
 
Sekonyong-konyong Yu Canghai teringat pada seseorang, mau tak mau ia merasa terkejut, "Mungkinkah itu dia?" Kabarnya 'Si Bongkok Dari Utara' Mu Gaofeng merajai kawasan diluar Tembok Besar, namun sangat jarang muncul di dataran tengah[1]. Ia tidak punya hubungan yang baik dengan Perguruan Pedang Lima Puncak, bagaimana ia bisa ikut serta dalam upacara cuci tangan di baskom emas Liu Zhengfeng? Tapi kalau orang itu bukan Mu Gaofeng, apakah diantara generasi muda dunia persilatan ada orang bongkok yang berwajah jelek seperti orang itu?"
 
Pandangan para hadirin di aula besar beralih kepada orang bongkok yang sedang dipandangi oleh Yu Canghai itu. Beberapa orang berpengalaman yang tahu banyak tentang dunia persilatan berseru kaget. Liu Zhengfeng cepat-cepat maju ke depan sambil menjura, "Aku tak tahu tuan yang terhormat datang, mohon maaf karena tidak menyambut tuan dengan sepantasnya. Aku benar-benar telah berbuat salah".
 
Sebenarnya si bongkok itu bukan seorang jago dunia persilatan, ia adalah tuan muda Biro Pengawalan Fu Wei, Lin Pingzhi. Ia sangat takut dikenali orang sehingga ia selalu menundukkan kepalanya dan menyembunyikan dirinya di sudut aula. Kalau Yu Canghai  tidak meneliti tiap orang satu persatu, tak akan ada orang yang memperhatikan dia. Sekarang pandangan mata semua orang tertuju padanya, Lin Pingzhi langsung merasa malu, ia cepat-cepat berdiri lalu membalas penghormatan Liu Zhengfeng, ia berkata, "Aku tak berani menerima penghormatan anda!"
 
Liu Zhengfeng tahu bahwa Mu Gaofeng adalah seorang tokoh dari utara, tapi orang di depannya berbicara dengan logat selatan, usianya juga jauh lebih muda, mau tak mau ia merasa sangsi. Tapi ia tahu bahwa Mu Gaofeng datang dan pergi seperti hantu, tak bisa diukur dengan ukuran orang biasa, maka ia tetap bersikap sopan, "Aku Liu Zhengfeng, bolehkah aku menanyakan nama tuan yang mulia?"
 
Tak pernah terpikir oleh Lin Pingzhi bahwa akan ada orang yang menanyakan namanya, dengan terbata-bata ia mengucapkan beberapa kata tapi tak menjawab. Liu Zhengfeng berkata, "Tuan dengan pendekar besar Mu......" Di benak Lin Pingzhi muncul sebuah ide, "Aku bermarga 'Lin', maka aku hanya akan memakai separuh namaku, pura-pura bermarga 'Mu' " [2]. Ia cepat-cepat berkata, "Margaku Mu".
 
Liu Zhengfeng berkata, "Tuan Mu sudi datang ke Hengshan, wajahku seperti disepuh  emas. Entah bagaimana tuan memanggil 'Si Bongkok Dari Utara' pendekar besar Mu?" Ia melihat bahwa usia Lin Pingzhi masih sangat muda, sementara itu wajahnya ditempeli beberapa lembar koyo, jelas-jelas ia sengaja menutupi wajah aslinya, tentunya ia bukan 'Si Bongkok Dari Utara' Mu Gaofeng yang sudah terkenal selama puluhan tahun.
 
Lin Pingzhi belum pernah mendengar nama 'Si Bongkok Dari Utara' pendekar Mu itu, tapi ia mendengar Liu Zhengfeng berbicara dengan penuh hormat tentang orang bermarga Mu itu, dan melihat Yu Canghai yang raut mukanya bengis masih memandanginya dengan curiga. Kalau sampai jati dirinya terungkap, ia khawatir ia akan terbunuh di tangannya. Keadaannya saat itu sangat runyam, maka ia terpaksa mengarang cerita, " 'Si Bongkok Dari Utara' pendekar besar Mu? Dia adalah......dia adalah sesepuh di keluargaku". Ia berpikir bahwa karena orang ini telah menyebut Mu Gaofeng seorang "pendekar besar", maka ia bisa digolongkan sebagai seorang "sesepuh".
 
Yu Canghai melihat bahwa di aula besar itu tidak ada orang lain yang mencurigakan. Ia menduga bahwa orang inilah yang mempermalukan murid-muridnya Shen Renjun dan Ji Rentong. Ia berkata dengan sinis, "Perguruan Qingcheng tidak punya hubungan dengan Tuan Mu, entah bagaimana kami telah membuat Tuan Mu tersinggung?"
 
Lin Pingzhi berdiri berhadap-hadapan dengan pendeta Tao bertubuh pendek itu, ia terkenang akan kejadian dalam beberapa hari silam ini ketika rumahnya dihancurkan dan keluarganya tercerai berai, serta orang tuanya ditawan. Sampai hari ini ia tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak. Semua itu disebabkan oleh pendeta Tao kerdil ini. Walaupun ia tahu bahwa ilmu silat Yu Canghai seratus kali lebih hebat daripadanya, namun darah panas bergejolak di dadanya, ia ingin sekali menghunus senjata untuk menikamnya. Akan tetapi dalam beberapa hari belakangan ini ia telah mengalami banyak penderitaan, ia bukan lagi pemuda kaya dari Fuzhou yang suka menyabung ayam dan menunggang kuda bagus, maka ia cepat-cepat meredam amarahnya dan berkata, "Perguruan Qingcheng banyak melakukan perbuatan buruk, setiap kali pendekar Mu melihat ketidakadilan, ia harus turun tangan sendiri. Beliau baik hati dan welas asih, seumur hidupnya selalu membela keadilan. Ia paling suka membela orang yang lemah, untuk apa ia perduli kalau kau membuat dia tersinggung atau tidak?"
 
Ketika Liu Zhengfeng mendengar perkataan itu, mau tak mau ia tertawa dalam hati. Walaupun ilmu silat Si Bongkok Dari Utara Mu Gaofeng tinggi, namun kelakuannya buruk. Ia cuma asal berbicara saja ketika menyebut Mu Gaofeng seorang "pendekar besar". Sebenarnya, Mu Gaofeng tak hanya tak pantas disebut sebagai  'pendekar besar', disebut 'pendekar' pun ia tak patut. Orang ini suka menjilat pihak yang berkuasa, dan tak pernah memegang janji. Tapi ilmu silatnya tinggi dan sikapnya selalu waspada, orang yang membuatnya tersinggung akan sulit untuk menghindari pembalasannya. Orang-orang di dunia persilatan takut dan jeri padanya, tak ada seorang pun yang menghormatinya. Ketika Liu Zhengfeng mendengar perkataan Lin Pingzhi, ia yakin bahwa pemuda itu pasti anak atau keponakan Mu Gaofeng. Ia khawatir Yu Canghai akan melukainya, maka ia cepat-cepat berkata, "Ketua Yu, Saudara Mu, kalian berdua telah sudi berkunjung ke rumahku yang sederhana ini, maka kalian semua adalah tamu-tamuku yang terhormat. Oleh karena itu, mari kita minum arak persahabatan. Ambilkan arak!" Para pelayan menjawab dengan lantang dan menuangkan arak.
 
Yu Canghai memandang pemuda bongkok yang ada di depannya itu dengan sebelah mata, akan tetapi ia ingat perkataan orang dunia persilatan tentang berbagai perbuatan Mu Gaofeng yang kejam dan licik, maka ia juga tak berani bertindak gegabah. Ia hanya memandangi para pelayan Wisma Liu menuang arak, namun ia sendiri tidak langsung mengambilnya, karena ia ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh lawan.
 
Perasaan marah dan takut berkecamuk dalam diri Lin Pingzhi, namun perasaan marahlah yang akhirnya berada di atas angin, ia berpikir, "Mungkin saat ini ayah dan ibu sudah dibunuh oleh pendeta Tao kerdil ini, lebih baik aku mati saja daripada harus minum bersama dia". Dengan sinar mata yang penuh amarah, ia menatap Yu Canghai, namun tak juga mengambil cawan arak.
 
Yu Canghai melihat bahwa ia sangat benci kepadanya, maka ia menjadi murka. Ia menjulurkan tangannya dan mencengkeram pergelangan tangan Lin Pingzhi seraya berkata, "Bagus! Bagus! Bagus! Dengan memandang muka emas Tuan Ketiga Liu, siapa yang berani berlaku kurang ajar di Wisma Liu ini? Saudara Mu, mari kita berteman saja".
 
Lin Pingzhi meronta sekuat tenaga, tapi ia tak bisa membebaskan diri. Begitu ia mendengar kata 'berteman' ia merasakan pergelangan tangannya amat sakit, tulang-tulangnya bergemeretakan, seakan akan remuk. Yu Canghai mengendurkan cengkeramannya, ia hendak memaksa Lin Pingzhi minta ampun. Namun ternyata hati Lin Pingzhi dipenuhi rasa benci luar biasa, sehingga walaupun pergelangannya terasa amat sakit sampai ke tulang sumsum, ia sama sekali tak mengerang.
 
Liu Zhengfeng yang berdiri di sisinya melihat bahwa butiran keringat sebesar biji kedelai berjatuhan dari dahinya, namun air mukanya masih tetap angkuh pantang menyerah, sama sekali tak mau kalah. Ia kagum pada tekad kuat pemuda itu, maka ia berkata, "Ketua Yu!" Ia ingin mendamaikan dan memisahkan mereka, namun tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang melengking berkata, "Ketua Yu! Kenapa kau suka sekali menganiaya anak cucu Mu Gaofeng?"
 
Semua orang serentak berpaling, mereka melihat bahwa di pintu aula berdiri seorang bongkok gembrot, wajahnya dipenuhi parut-parut putih yang diapit tahi-tahi lalat hitam, ditambah lagi dengan punuk di punggungnya yang sangat besar. Benar-benar sangat aneh dan buruk rupa. Semua orang di aula itu belum pernah melihat wajah Mu Gaofeng yang sebenarnya, setelah mereka mendengar ia mengumumkan namanya dan melihat penampilannya yang begitu aneh, mereka menjadi tercengang.
 
Tubuh orang bongkok itu begitu gemuk, namun gerakannya ternyata sangat lincah, mata semua orang melihat sebuah bayangan kabur, lalu tiba-tiba si bongkok itu terlihat sudah berdiri disamping Lin Pingzhi. Ia menepuk bahu Lin Pingzhi sambil berkata, “Cucuku yang baik, cucuku yang manis, kau telah menyanjung kakek sebagai pendekar penegak keadilan dan pembela orang lemah. Kakek sangat senang mendengarnya!” Setelah berbicara, ia lagi-lagi menepuk bahu pemuda itu.
 
Ketika ia pertama kali menepuk pundaknya, Lin Pingzhi merasa seluruh tubuhnya terguncang, lengan Yu Canghai juga terasa panas, sehingga hampir saja ia terpaksa melepaskan tangan Lin Pingzhi, tapi ia segera mengerahkan tenaga dalam dan bisa tetap mencengkeram pergelangan pemuda itu dengan kencang. Mu Gaofeng belum berhasil melepaskan kelima jari Yu Canghai dari pergelangan Lin Pingzhi, sambil berbicara ia terus mengerahkan tenaga dalamnya. Saat ia menepuk pundak pemuda itu untuk kedua kalinya, ia mengerahkan sepuluh persen tenaga dalamnya. Pandangan Lin Pingzhi menjadi gelap, terasa ada sesuatu yang manis di tenggorokannya, ternyata darah segar telah menyembur dari mulutnya. Ia berusaha untuk tetap bertahan, walaupun tulangnya bergemeretakan, ia pun menelan darah segar yang ada di mulutnya.
 
Telapak tangan Yu Canghai diantara ibu dan telunjuk jarinya terasa amat sakit, ia tak bisa lagi mengenggam sehingga ia melepaskan pergelangan tangan Lin Pingzhi. Ia mundur selangkah dan berkata dalam hati, "Si bongkok ini sangat kejam, nama besarnya bukan isapan jempol belaka. Demi memaksa aku melepaskan cengkeramanku, ia rela membiarkan cucunya menderita luka dalam".
 
Lin Pingzhi menghimpun tenaganya dan mencoba tertawa, ia berkata pada Yu Canghai,
"Ketua Yu, ilmu silat Perguruan Qingcheng tidak ada apa-apanya, masih jauh kalau dibandingkan dengan 'Si Bongkok Dari Utara' pendekar besar Mu. Aku rasa kau lebih baik masuk perguruan pendekar besar Mu, minta diajari beberapa jurus, supaya......supaya......ilmu silatmu agak ada......ada kemajuan......" Ia menderita luka dalam dan pikirannya penuh amarah. Ia merasa kelima organ tubuhnya seakan jungkir balik, akhirnya ia berhasil menyelesaikan perkataannya, namun tubuhnya terhuyung-huyung hampir ambruk.
 
Yu Canghai berkata, "Baik, kau menyuruh aku masuk ke perguruan Tuan Mu dan mempelajari beberapa kepandaian. Yu Canghai sangat senang. Kau sendiri murid Tuan Mu, kepandaianmu tentunya tinggi, aku ingin minta petunjukmu". Ia menunjuk ke arah Lin Pingzhi, ia ingin agar Mu Gaofeng hanya menonton saja dan tidak ikut campur.
 
Mu Gaofeng mundur beberapa langkah dan berkata sambil tersenyum, "Cucu, aku khawatir ilmumu masih dangkal, bukan tandingan ketua Perguruan Qingcheng, kau bisa terbunuh olehnya. Kakek senang punya cucu yang bongkok dan tampan seperti kau, aku akan sedih kalau kau sampai dibunuh orang. Bagaimana kalau kau bersujud pada kakek supaya kakek mewakilimu bertarung?"
 
Lin Pingzhi melirik ke arah Yu Canghai, ia berpikir dalam hati, "Kalau aku gegabah bertarung dengan Yu Canghai, saat kemarahannya memuncak, bisa-bisa ia akan benar-benar membunuhku. Kalau nyawaku melayang, bagaimana aku bisa membalaskan dendam ayah ibu? Tapi aku Lin Pingzhi adalah seorang lelaki sejati, bagaimana aku bisa memanggil si bongkok ini kakek tanpa alasan yang jelas? Kalau aku sendiri yang dipermalukan, hal ini bukan sesuatu yang penting, tapi aku juga akan membuat ayah dipermalukan, hingga seumur hidupnya ia tak bisa mengangkat kepalanya lagi. Kalau aku bersujud di hadapannya, artinya aku berlindung di bawah ketiak 'Si Bongkok Dari Utara' dan setelah itu tak bisa mandiri lagi". Untuk sesaat ia tidak bisa menentukan sikapnya, sekujur tubuhnya gemetar, tangan kirinya bertumpu pada sebuah meja.
 
Yu Canghai berkata, "Menurutku kau tak punya nyali! Mau minta orang mewakilimu berkelahi, beberapa kali bersujud saja, apa susahnya?" Ia telah melihat bahwa hubungan diantara Lin Pingzhi dan Mu Gaofeng agak aneh. Mu Gaofeng jelas bukan benar-benar kakeknya, kalau tidak kenapa Lin Pingzhi memanggilnya 'sesepuh' dan sama sekali tak pernah memanggilnya 'kakek'? Mu Gaofeng juga tak mungkin menyuruh cucunya sendiri bersujud. Dengan perkataannya itu, ia ingin memancing Lin Pingzhi supaya berkelahi, sehingga ia sendiri dapat menggunakan kesempatan yang akan muncul.
 
Berbagai kenangan muncul dalam benak Lin Pingzhi, ia teringat akan beberapa hari silam, ketika Biro Pengawalan Fu Wei dianiaya oleh Perguruan Qingcheng dengan berbagai cara, kenangan akan berbagai penghinaan yang mereka terima silih berganti muncul di otaknya. Ia berpikir, "Asalkan di kemudian hari aku bisa memulihkan martabatku, tidak jadi soal kalau hari ini aku menerima hinaan". Ia segera berbalik, menekuk lututnya dan berkali-kali bersujud kepada Mu Gaofeng. Ia berkata, "Kakek, Yu Canghai membunuh orang tak berdosa tanpa pandang bulu, merampok harta orang, semua orang di dunia persilatan boleh membunuh dia. Mohon tegakkan keadilan dan enyahkan penjahat besar ini dari dunia persilatan".  
 
Mu Gaofeng dan Yu Canghai sama sekali tak menyangka bahwa Lin Pingzhi akan melakukan hal itu. Ketika pemuda bongkok itu berada dalam cengkeraman Yu Canghai, ia tak pernah menyerah, jelas bahwa ia punya pendirian yang kuat. Tak nyana ia bersedia bersujud minta tolong, terlebih lagi di depan umum. Para hadirin mengira bahwa pemuda bongkok itu adalah cucu Mu Gaofeng, kalaupun bukan cucu kandung, tentunya cucu murid atau keponakan. Hanya Mu Gaofeng yang tahu bahwa dia tak punya hubungan apapun dengan orang ini. Walaupun Yu Canghai tahu ada sesuatu yang janggal, tapi ia masih tak bisa menebak apa hubungan mereka sesungguhnya. Ia hanya tahu bahwa Lin Pingzhi terdengar sangat kikuk ketika memanggilnya "kakek", kemungkinan besar ia melakukannya hanya karena terdesak.
 
Mu Gaofeng tertawa terbahak-bahak lalu berkata, "Cucuku yang baik, cucuku yang manis, ada apa? Apa kita mau main-main?" Walaupun mulutnya memuji Lin Pingzhi, namun wajahnya menghadap ke arah Yu Canghai, sehingga dua kalimat itu, yaitu "cucuku yang baik, cucuku yang manis" seperti ditujukan untuk kepada Yu Canghai.
 
Yu Canghai murka, namun ia tahu bahwa pertarungan hari ini bukan hanya menyangkut soal hidup dan mati dirinya, tapi juga menyangkut kehormatan Perguruan Qingcheng, diam-diam ia segera meningkatkan kewaspadaannya. Ia tersenyum kecil dan berkata, "Tuan Mu ingin memamerkan jurus tanpa tandingnya di hadapan teman-teman sekalian agar mata kita terbuka. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Tuan". Barusan ini, Mu Gaofeng dua kali menepuk pundak Lin Pingzhi hingga lengannya tergetar, Yu Canghai tahu bahwa tenaga dalamnya sangat hebat dan ampuh. Begitu mereka bertarung, ia akan menyerang seperti halilintar yang menguncang gunung dan samudra. Ia berpikir, "Kabarnya si bongkok ini sangat sombong, kalau ia tak bisa mengalahkan aku dengan cepat, ia akan menyerang dengan gegabah. Dalam seratus jurus pertama aku harus hanya bertahan saja dan tidak menyerang, sampai aku berada diatas angin, setelah lewat seratus jurus, aku pasti bisa menemukan kelemahannya".
 
Mu Gaofeng melihat bahwa tubuh pendeta Tao yang pendek itu seperti anak kecil, kalau diangkat mungkin tak lebih dari delapan puluh jin beratnya, namun cara berdirinya sangat kokoh bagai gunung, pembawaannya seperti seorang jago papan atas, nampak jelas bahwa tenaga dalamnya cukup hebat. Ia berpikir, "Pendeta Tao kerdil ini benar-benar punya kepandaian luar biasa, di masa lalu banyak tokoh terkenal muncul dari Perguruan Qingcheng, si hidung kerbau ini adalah ketua perguruan, tentunya bukan orang biasa. Hari ini si bongkok tak boleh sampai kalah, kalau tidak nama besar yang sudah dipupuk seumur hidup akan hilang begitu saja".
 
* * *
 
Ketika kedua orang itu tengah menghimpun tenaga untuk mulai bertarung, tiba-tiba terdengar suara berdesir, lalu dua orang melayang masuk. "Bruk!" Mereka jatuh ke lantai, terkapar tak berkutik. Kedua orang itu memakai jubah hijau, di pantat mereka tertera jejak kaki. Terdengar suara jernih seorang gadis kecil berseru, "Inilah keahlian khusus Perguruan Qingcheng, yaitu jurus 'Pantat Menghadap Belakang, Angsa Mendarat Di Pasir' !"
 
Yiu Canghai murka, ia menoleh, tanpa melihat dengan jelas siapa yang berkata, ia bergegas melompat ke arah suara itu. Ia melihat seorang gadis kecil berbaju hijau berdiri di samping kursi, ia menjulurkan tangannya dan mencengkeram lengannya. Gadis kecil itu berteriak, "Ma!", dan menangis.
 
Yu Canghai terkejut, tadinya ketika ia mendengar makian keluar dari mulut gadis kecil itu, ia murka dan tak bisa berpikir dengan jelas. Tentunya apa yang terjadi pada kedua murid Perguruan Qingcheng itu ada hubungannya dengan dia, maka ia mencengkeram tangan gadis kecil itu keras-keras. Ketika ia mendengarnya menangis, ia baru sadar bahwa dia adalah seorang gadis kecil yang tak patut dikasari. Di hadapan para pendekar di kolong langit ini, bukankan perbuatan ini akan menurunkan martabat ketua Perguruan Qingcheng? Ia cepat-cepat melepaskan cengkeramannya. Ternyata gadis itu makin keras menangis, serunya, "Kau mematahkan tulangku! Ma, lenganku patah! Huhuhu, aduh sakitnya, aduh sakitnya! Huhuhu!"
 
Ketua Perguruan Qingcheng ini telah bertarung ratusan kali, sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan, namun ia belum pernah mengalami kejadian yang begitu memalukan seperti ini. Ia melihat ratusan pasang mata menatap ke arahnya, namun sinar mata mereka semua mencelanya dan bahkan memandang rendah dirinya. Mau tak mau wajahnya menjadi merah, ia tak tahu harus berbuat apa, maka dengan suara pelan ia berkata, "Jangan menangis, jangan menangis, lenganmu tidak patah, tak mungkin patah". Gadis kecil itu berkata sambil menangis, "Sudah patah, kau menganiaya orang, orang dewasa memukul anak kecil, benar-benar tak tahu malu, aiyo sakit sekali, huhuhu, huhuhu!"
 
Para hadirin melihat bahwa gadis kecil itu berusia tiga atau empat belas tahun, memakai pakaian hijau zamrud, kulitnya seputih salju, wajahnya yang manis berbentuk bulat telur, mau tak mau mereka bersimpati padanya. Beberapa orang yang berangasan berseru, "Pukul hidung kerbau ini!" "Gebuk sampai mati pendeta kerdil ini!"
 
Keadaan sangat runyam bagi Yu Canghai, dalam hati ia sadar bahwa ia telah mengundang kemarahan orang banyak, ia tak berani menjawab dengan sinis, maka ia berbisik, "Adik kecil, jangan menangis! Maafkan aku. Aku akan memeriksa lenganmu apakah terluka atau tidak". Sambil berbicara ia hendak menggulung lengan baju gadis kecil itu. Gadis kecil itu berseru, "Tidak, tidak, jangan sentuh aku! Mama, mama, pendeta kerdil ini mematahkan lenganku".
 
Yu Canghai merasa tak berdaya, saat itu seorang lelaki berjubah hijau melangkah dari kerumunan orang, ia adalah murid yang paling cerdik dari Perguruan Qingcheng, Fang Renzhi. Ia berkata pada si gadis kecil, "Nona berpura-pura, tangan guruku sama sekali tak menyentuh lengan bajumu, bagaimana ia bisa mematahkan lenganmu?" Si gadis kecil berseru, "Mama, ada seorang lagi yang datang memukul aku!"
 
Sejak tadi Biksuni Dingyi telah melihat kejadian itu dengan gusar, ia bergegas maju ke depan dan menampar wajah Fang Renzhi, lalu berkata dengan lantang, "Orang dewasa menganiaya anak kecil, tak tahu malu". Fang Renzhi mengangkat lengannya untuk menangkis, namun tangan kanan Dingyi dengan cepat menjulur ke depan dan mencengkeram telapak tangannya, lalu menekan sikunya dengan lengan kirinya. Kalau ia benar-benar menekan, lengan Fang Renzhi akan langsung patah. Yu Canghai menarik pulang tangannya dan menotok punggung Dingyi sehingga Dingyi terpaksa melepaskan Fang Renzhi, Dingyi membalikkan tangannya untuk menyerang balik. Yu Canghai tidak ingin berkelahi dengannya, maka ia berkata, "Mohon maaf!", lalu melompat mundur dua langkah.
 
Dingyi mengengam tangan gadis kecil itu dan berkata dengan lembut, "Anak manis, mana yang sakit? Perlihatkanlah padaku, nanti aku obati" Ia meraba-raba lengannya, namun tak ada yang patah, sehingga ia merasa agak lega. Ia menggulung lengan baju gadis kecil itu, dan melihat bahwa di lengannya yang putih salju dan montok itu tertera dengan jelas empat memar bekas jari yang kebiruan. Dingyi berkata dengan gusar kepada Fang Renzhi, "Bocah pembohong! Kalau tangan gurumu tak pernah menyentuh  lengannya, siapa yang mencubit dia sampai meninggalkan empat bekas jari ini?"
 
Nona kecil itu berkata, "Si kura-kura itu yang mencubitku, si kura-kura itu yang mencubitku". Sambil berkata, ia menunjuk ke punggung Yu Canghai.
 
Tiba-tiba, tawa meledak diantara para hadirin, ada yang tertawa sampai air teh yang ada di mulutnya tersembur keluar, ada pula yang tertawa sampai terbungkuk-bungkuk, aula besar itu dipenuhi gelak tawa.
 
Yu Canghai tidak tahu mereka menertawai apa, ia berpikir bahwa ketika nona kecil itu memakinya sebagai kura-kura, adalah cuma perkataan asal-asalan seorang anak kecil yang sedang merajuk. Apanya yang lucu? Namun karena semua orang menertawakannya, mau tak mau ia merasa malu. Fang Renzhi melompat ke depan, menarik sehelai kertas dari punggung baju Yu Canghai, lalu meremasnya menjadi sebuah bola. Yu Canghai menghampiri dan membuka bola kertas itu, ia melihat bahwa di atas kertas itu ada gambar seekor kura-kura besar, tentunya gadis kecil itulah yang menempelkannya di punggungnya. Yu Canghai merasa malu dan sekaligus kesal, pikirnya, "Gambar kura-kura ini tentunya sudah disiapkan terlebih dahulu. Ada orang lain yang menempelkannya di punggungku. Gadis kecil itu menangis dan berteriak keras-keras, lalu selagi aku sangat kebingungan, ia segera menempelkan kertas itu. Kalau begitu, diam-diam pasti ada orang dewasa yang memberi petunjuk". Ia melirik ke arah Liu Zhengfeng sambil berpikir, "Anak perempuan ini pasti anggota keluarga Liu, ternyata diam-diam Liu Zhengfeng ingin mempermainkan aku".
 
Liu Zhengfeng melihat lirikannya dan langsung tahu bahwa Yu Canghai menyalahkan dirinya. Ia segera maju selangkah dan berkata kepada gadis kecil itu, “Adik kecil, dari mana kau berasal? Siapa ayah ibumu?” Ia menanyakan kedua kalimat itu untuk, pertama, memberi penjelasan pada Yu Canghai, dan kedua, untuk menunjukkan bahwa ia sendiri juga curiga pada gadis kecil itu dan ingin tahu darimana ia berasal.
 
Gadis kecil itu berkata, “Ayah dan ibuku sedang pergi, mereka menyuruh aku duduk dengan manis disini dan tak pergi kemana-mana, katanya nanti akan ada pertunjukan akrobat dimana dua orang akan melayang masuk lalu terkapar tak berkutik, katanya ini adalah keahlian khusus dari Perguruan Qingcheng yang namanya ‘Pantat Menghadap Ke Belakang, Angsa Mendarat di Pasir’, pasti seru!” Sambil berbicara ia bertepuk tangan. Air mata di wajahnya yang sebening kristal belum lagi terhapus, akan tetapi sekarang ia tertawa gembira.
 
Begitu para hadirin melihatnya, mau tak mau mereka ikut merasa senang, mereka tahu jelas bahwa kata-kata itu ditujukan untuk menghina Perguruan Qingcheng. Mereka melihat bahwa kedua murid Qingcheng itu masih tergeletak tak bergerak, pantat mereka menghadap ke langit, dan di pantat mereka jelas-jelas tertera jejak kaki. Perguruan Qingcheng benar-benar telah dipermalukan.
 
Yu Canghai menepuk-tepuk tubuh salah seorang muridnya, ternyata kedua orang itu telah kena totok, sama seperti yang terjadi pada Shen Renjun dan Ji Rentong. Akan tetapi akan makan banyak waktu untuk membuka jalan darah mereka dengan menggunakan tenaga dalamnya. Tak hanya Mu Gaofeng yang menanti di sisinya bagai seekor harimau lapar, ada seorang musuh besar lain yang masih bersembunyi. Saat ini ia tidak bisa membuang-buang tenaga dalamnya demi membuka jalan darah murid-muridnya. Ia segera berbisik kepada Fang Renzhi, “Usung mereka keluar”. Fang Renzhi melambaikan tangannya kepada beberapa saudara seperguruannya, beberapa murid Perguruan Qingcheng lantas datang berlari untuk mengusung saudara-saudara seperguruan mereka keluar aula.
 
Tiba-tiba gadis kecil itu berseru, “Banyak sekali orang Perguruan Qingcheng! Seekor angsa yang jatuh di pasir harus diusung dua orang! Dua ekor angsa yang jatuh di pasir harus diusung empat orang! Tiga ekor angsa ……”
 
Wajah Yu Canghai pucat pasi, ia berkata pada gadis kecil itu, “Ayahmu marga apa? Perkataan yang baru kau ucapkan ini apakah diajarkan oleh ayahmu?” Ia berpikir bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan gadis kecil itu begitu sinis, kalau bukan diajarkan oleh seorang dewasa, gadis kecil yang masih begitu muda itu tak akan bisa mengatakannya. Ia berpikir lagi, " 'Pantat Menghadap Ke Belakang, Angsa Mendarat di Pasir’ itu adalah omong kosong ciptaan si bocah Linghu Chong itu, kemungkinan besar Perguruan Huashan tak terima Linghu Chong dibunuh Luo Renjie, lalu mencari-cari masalah dengan Perguruan Qingcheng kami. Orang yang menotok mereka ilmu silatnya sangat tinggi, jangan-jangan……jangan-jangan ketua Perguruan Huashan Yue Buqun yang diam-diam mempermainkan aku?” Kalau Yue Buqun berkomplot melawannya, ilmu silatnya tak hanya luar biasa, tapi ia juga anggota perguruan Pedang Lima Puncak. Kalau hari ini mereka semua ikut bertarung, Perguruan Qingcheng akan kalah telak. Ketika ia berpikir tentang hal itu, mau tak mau air mukanya berubah.
 
Gadis kecil itu tidak menjawab pertanyaannya, sambil tersenyum ia berseru, "Dua kali satu sama dengan dua, dua kali dua sama dengan empat, dua kali tiga sama dengan enam, dua kali empat sama dengan delapan, dua kali lima sama dengan sepuluh......" Ia berulang-ulang melafalkan hafalan perkalian. Yu Canghai berkata, "Hei, aku sedang bertanya padamu!" Suaranya sungguh bengis. Bibir gadis itu bergetar, "Huhuhu!", ia lagi-lagi menangis, lalu menyembunyikan wajahnya di dada Biksuni Dingjing.
 
Dingjing menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut, untuk menghiburnya ia berkata, "Jangan takut, jangan takut! Anak manis, jangan takut". Ia menoleh ke arah Yu Canghai dan berkata, "Untuk apa kau menakut-nakuti anak kecil?"
 
Yu Canghai mendengus, ia berpikir, "Hari ini Perguruan Pedang Lima Puncak berseteru dengan Perguruan Qingcheng kami, aku harus berhati-hati".
 
Gadis kecil itu mengangkat kepalanya dari dada Dingjing, ia tersenyum dan berkata, "Biksuni tua, dua kali dua sama dengan empat, dua orang dari Perguruan Qingcheng yang pantatnya menghadap ke belakang dan mendarat di pasir, diusung empat orang, dua kali tiga sama dengan enam, tiga orang yang pantatnya menghadap ke belakang dan mendarat di pasir diusung enam orang, dua kali empat sama dengan delapan......" Ia tidak berbicara lagi karena saat itu ia sudah tertawa cekikikan.
 
Para hadirin merasa bahwa nona kecil ini gampang menangis, namun setelah selesai menangis ia cepat tersenyum. Tiba-tiba menangis dan tiba-tiba tersenyum, seperti seorang anak yang berumur tujuh atau delapan tahun, tapi penampilan nona kecil ini seperti anak berusia tiga atau empat belas tahun, tubuhnya juga nampak sudah tinggi. Semua perkataannya ditujukan untuk mengejek Yu Canghai, dan jelas bukan perkataan seorang bocah yang polos. Tak dapat diragukan lagi, pasti ada seseorang yang mengajarinya.
 
Yu Canghai berkata dengan suara keras, "Seorang lelaki sejati bersikap terus terang dan jujur, saudara yang ingin membuat susah aku, mohon supaya menampakkan diri. Sembunyi-sembunyi mengajari seorang anak kecil perkataan yang tolol seperti ini, apa ini tergolong perbuatan seorang gagah?"
 
Walaupun tubuhnya pendek, namun kalimat-kalimat itu diucapkannya dengan tenaga dalam dari dantian yang kuat dan membuat telinga orang yang mendengarnya berdenging. Ketika para hadirin mendengarnya, mereka mau tak mau mengaguminya dan tak lagi meremehkannya. Setelah ia selesai bicara, suasana di aula besar itu sunyi senyap, tak ada seorangpun yang menjawab.
 
Setelah agak lama, si gadis kecil itu tiba-tiba berbicara, "Biksuni tua, dia bertanya orang itu orang gagah macam apa. Orang-orang Perguruan Qingcheng itu orang gagah atau bukan?" Dingyi adalah seorang tokoh dan sesepuh Perguruan Hengshan, walaupun ia tidak suka pada Perguruan Qingcheng, namun ia juga tak ingin terang-terangan menjelek-jelekkan seluruh perguruan itu, maka ia menjawab secara samar-samar, "Perguruan Qingcheng......di generasi sebelumnya dari Perguruan Qingcheng, banyak terdapat orang gagah". Gadis kecil itu bertanya lagi, "Tapi sekarang bagaimana? Apa masih ada satu atau dua orang gagah yang tersisa?" Dingjing mencibir ke arah Yu Canghai dan berkata, "Silahkan tanya pendeta ketua Perguruan Qingcheng sendiri!"
 
Si gadis kecil berkata, "Pendeta ketua Perguruan Qingcheng, kalau ada seseorang yang terluka parah hingga tak mampu bergerak, lalu ada orang yang menganiaya dia, menurut pendeta orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini adalah orang gagah atau tidak?"
 
Jantung Yu Canghai berdebar-debar, pikirnya, "Ternyata ia orang Perguruan Huashan!"
 
Sebelumnya di aula besar itu Yilin telah menceritakan bagaimana Luo Renjie menikam Linghu Chong hingga tewas, para hadirin merasa sangat terkejut, "Apakah nona kecil ini ada hubungannya dengan Perguruan Huashan?" Namun Lao Denuo berpikir, "Nona kecil ini bicara seperti ini jelas karena ingin membela kakak pertama. Tapi siapa dia?" Supaya tidak membuat adik kecil sedih, ia masih belum menyampaikan berita tentang kematian kakak pertama kepada saudara-saudari seperguruannya.
 
Sekujur tubuh Yilin gemetar, dalam hatinya ia merasa sangat berterima kasih kepada nona kecil ini. Pertanyaan itu sebelumnya sudah ingin ditanyakannya pada Yu Canghai, tapi sifatnya lembut dan sabar, dan ia selalu menghormati orang yang lebih tua, bagaimanapun juga Yu Canghai adalah seorang sesepuh, ia tak bisa menanyakan pertanyaan itu kepadanya. Sekarang nona kecil itu mewakilinya untuk menyatakan isi hatinya, maka mau tak mau dadanya terasa sakit, dan air matanya pun bercucuran.
 
Yu Canghai bertanya dengan suara berat, "Siapa yang mengajarimu untuk bertanya seperti ini?"
 
Gadis kecil itu berkata, "Di Perguruan Qingcheng ada seseorang bernama Luo Renjie, apakah dia murid pendeta? Ia sudah tahu bahwa orang itu menderita luka parah, dan orang itu adalah orang yang sangat baik, tapi Luo Renjie ini bukannya menolong dia, malah menikamnya. Menurut pendeta, Luo Renjie ini orang gagah atau bukan? Apakah ini ajaran tentang sikap ksatria yang diajarkan di Perguruan Qingcheng oleh pendeta?" Walaupun perkataan ini keluar dari mulut seorang nona kecil, namun ia mengatakannya dengan sangat jelas dan masuk akal, sehingga semua orang mau tak mau mengakuinya.
 
Yu Canghai tak punya kata-kata untuk menjawab, ia berkata dengan bengis, "Siapa yang menyuruhmu datang kesini untuk menanyaiku? Ayahmu orang Perguruan Huashan, benar tidak?"
 
Gadis kecil itu membalikkan tubuhnya dan berkata pada Dingjing, "Biksuni tua, ia tak bisa menjawab pertanyaanku, ia marah karena malu, ia menakut-nakuti aku, bukankah ia bermaksud memukulku? Kalau dia suka menakut-nakuti seorang nona kecil, apakah dia termasuk lelaki sejati yang selalu bertindak dengan terang-terangan dan jujur? Apa dia termasuk orang gagah atau tidak?" Dingyi menghela napas, "Aku tak tahu".
 
Para hadirin makin lama makin heran, sebelumnya nona kecil ini bisa berkata begitu, kemungkinan besar karena diajari oleh seorang dewasa, namun pertanyaan yang baru ditanyakannya adalah jelas berasal dari dirinya sendiri, sebagai reaksinya atas pertanyaan Yu Canghai. Sindirannya sangat tajam, jelas bahwa ia bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Perkataannya keluar dari mulutnya sendiri, walaupun dia masih begitu muda namun secara mengejutkan sudah sangat lihai.
 
* * *
 
Melalui matanya kabur karena dipenuhi air mata, Yilin melihat bahwa tubuh nona kecil ini langsing, tiba-tiba ia sadar, "Aku sudah pernah melihat adik kecil ini, dimana ya?" Ia menelengkan kepalanya untuk berpikir, dan segera teringat, "Benar, kemarin di loteng Huiyan, dia juga ada disitu". Di otaknya, kejadian kemarin yang mula-mula kabur menjadi jelas.
 
Pagi-pagi kemarin, ketika ia dipaksa oleh Tian Boguang naik ke loteng, di loteng sudah ada tujuh atau delapan meja yang dikelilingi oleh para tamu yang datang untuk minum arak. Setelah itu kedua orang Perguruan Taishan menantang mereka, Tian Boguang membacok mati seorang dari mereka, tamu-tamu kedai arak yang lain ketakutan dan lari tunggang langgang, setelah itu pelayan kedai juga tak berani mengantarkan makanan dan menuang arak lagi, akan tetapi di sebuah sudut yang menghadap
ke jalan, di samping sebuah meja kecil, duduk seorang yang sosoknya tinggi besar, ia adalah seorang biksu. Di samping sebuah meja kecil lain, duduk dua orang. Sampai Linghu Chong terbunuh dan dirinya membopong jasadnya turun dari loteng, biksu dan kedua orang itu sama sekali tak meninggalkan tempat duduk mereka. Saat itu ia merasa sangat ketakutan, berbagai macam kejadian telah datang silih berganti, maka ia tidak memperdulikan biksu tinggi besar dan kedua orang lain itu. Begitu ia melihat sosok gadis kecil itu dan membandingkannya dengan sosok yang terekam di otaknya, ia dapat mengingatnya dengan jelas. Diantara kedua orang yang duduk di samping meja kecil kemarin, ada seorang gadis kecil. Ia duduk membelakanginya, oleh karena itu ia hanya mengingat perawakannya. Kemarin ia memakai baju berwarna kuning muda, namun sekarang ia memakai baju hijau, kalau saat ini ia tidak membalikkan tubuhnya, ia tentu tidak akan mengenalinya.
 
Akan tetapi siapa orang yang satunya lagi? Ia hanya ingat bahwa ia seorang lelaki, tapi ia sama sekali tidak ingat apakah ia tua atau muda dan bagaimana dandanannya. Ia juga ingat bahwa saat itu ia melihat wajah si biksu ketika ia mengangkat cawan untuk minum arak, ketika Tian Boguang mengakui kekalahannya setelah ditipu Linghu Chong, biksu bertubuh besar itu tertawa terbahak-bahak. Saat itu nona kecil ini juga tertawa. Suara tawanya yang jernih dan merdu, saat ini seakan terngiang kembali di telinganya, benar, dialah nona kecil itu, benar-benar dia!
 
Siapa biksu itu? Bagaimana seorang biksu bisa minum arak?
 
Pikiran Yilin sepenuhnya terbenam dalam kejadian-kejadian yang terjadi kemarin, di depan matanya seakan muncul wajah Linghu Chong yang tersenyum: bagaimana pada saat sekarat, ia masih bisa menipu Luo Renjie untuk datang mendekat; bagaimana ia  menikam perut musuh; bagaimana dirinya sendiri membopong jasad Linghu Chong turun dari loteng sambil terhuyung-huyung, pikirannya kosong, tak tahu dimana dirinya berada, dengan bingung keluar dari gerbang kota, dengan bingung berjalan tak tentu arah di jalanan, hanya sadar bahwa ia sedang membopong sebuah jasad yang perlahan-lahan menjadi dingin, ia sedikitpun tak merasa berat, juga tak merasa sedih, lebih-lebih tak tahu kemana ia akan membopong jasad itu. Sekonyong-konyong ia telah tiba di tepi sebuah kolam teratai yang bunga teratainya sedang mekar dengan warna-warni yang begitu indahnya, dadanya seakan dipukul dengan godam besar, akhirnya ia tak kuat bertahan lagi, ia ambruk ke tanah bersama jasad Linghu Chong, lalu pingsan......
 
Ketika ia perlahan-lahan sadar, ia hanya merasakan sinar mentari menyilaukan matanya, ia cepat-cepat menjulurkan tangan ke arah jasad yang dibopongnya, namun ia hanya memeluk udara kosong. Dengan terkejut ia melompat, ternyata ia masih berada di tepi kolam teratai itu, di tepi kolam masih ada bunga warna warni yang begitu indah, namun jasad Linghu Chong tak terlihat. Ia sangat ketakutan dan beberapa kali berlari mengelilingi kolam teratai itu, entah kemana jasad itu, ia sama sekali tak mengetahuinya. Ia melihat bahwa bajunya penuh bercak darah, tentunya ia sama sekali tidak bermimpi. Lagi-lagi ia hampir pingsan, ia berusaha memusatkan perhatian dan mencari di segala penjuru, tak nyana jasad itu bagai tumbuh sayap dan terbang pergi tanpa meninggalkan jejak. Air kolam teratai itu sangat dangkal, ia masuk ke dalam kolam, namun dimanakah gerangan jejaknya?
 
Maka ia pun pergi ke kota Hengshan, bertanya di mana Wisma Liu, mencari sang guru, namun dalam hati ia tak henti-hentinya berpikir, "Kemana perginya jasad Kakak Linghu? Apa ada orang lewat yang mengambilnya? Apa diseret pergi oleh binatang liar?" Ia berpikir bahwa demi menolong dirinya Linghu Chong telah kehilangan nyawa, namun dirinya sendiri mengurus jasadnya dengan baik saja tak becus, sama saja dengan membiarkannya dimakan binatang liar. Ia benar-benar tak ingin hidup lagi. Namun sebenarnya, kalaupun jasad Linghu Chong baik-baik saja dan tetap utuh, ia juga tak ingin hidup lagi.
 
Tiba-tiba, di lubuk hatinya yang terdalam samar-samar muncul sebuah pikiran, sesuatu yang selama ini ia tak pernah berani memikirkannya. Pikiran itu beberapa kali muncul dalam hari itu, namun setiap kali ia selalu menekannya kuat-kuat, ia hanya diam-diam berpikir, "Kenapa hatiku begini galau? Kenapa aku bisa memikirkan yang tidak-tidak seperti ini? Benar-benar tak masuk akal! Tidak, bukan seperti itu!"
 
Namun saat ini ia tidak lagi mampu menekan pikiran itu, dengan jelas ia muncul dalam hatinya, "Saat aku membopong jasad Kakak Linghu, hatiku terasa amat tenteram dan damai, bahkan sampai merasa agak bahagia, seperti saat sedang bersemedi membaca kitab suci. Di dalam hatiku tak ada pikiran apa-apa, aku sepertinya hanya berharap agar aku bisa membopong tubuhnya seumur hidupku, berjalan sesuka hati di jalan sunyi, selamanya tak pernah berhenti. Bagaimanapun juga aku ingin membawa pulang jasadnya, tapi untuk apa? Apa aku tak rela jasadnya dimakan binatang liar? Tidak! Itu tidak benar. Aku ingin membopong jasadnya dan berjalan tanpa arah di jalanan, atau duduk dengan tenang di tepi kolam teratai. Kenapa aku pingsan? Benar-benar keterlaluan! Aku tak boleh berpikir seperti ini, guru tak memperbolehkannya, Bodhisatwa juga melarang, ini adalah pikiran jahat, aku tak boleh terjebak pikiran jahat. Tapi, tapi dimana jasad Kakak Linghu?"
 
Pikirannya kacau, ia seakan sedang melihat sudut bibir Linghu Chong terangkat hendak tersenyum, senyum acuh tak acuh itu, lalu seakan melihat juga saat ia memaki "biksuni kecil pembawa sial" dengan wajah angkuh.
 
Dadanya terasa amat sakit, seakan diiris-iris pisau......
 
* * *
 
Suara Yu Canghai kembali mengema, "Lao Denuo, gadis kecil ini dari Perguruan Huashan kalian, benar tidak?" Lao Denuo berkata, "Bukan, hari ini aku baru pertama kalinya melihat adik kecil ini, dia bukan dari perguruan kami". Yu Canghai berkata, "Baik, kau tak mau mengakui dia, ya sudah". Tiba-tiba dari telapak tangannya seberkas sinar hijau berkilauan, sebuah senjata rahasia berbentuk pusut melayang ke arah Yilin, Yu Canghai berkata dengan lantang, "Biksuni, lihat ini!"
 
Pikiran Yilin masih melayang-layang sehingga ia seakan mati rasa, ia tidak menyangka bahwa Yu Canghai bisa tiba-tiba melemparkan senjata rahasia ke arahnya. Dalam hatinya tiba-tiba ia merasa senang, "Bagus sekali kalau dia membunuhku, aku sudah tak ingin hidup lagi, bagus sekali kalau dia membunuhku!" Di dalam hatinya tidak ada sedikitpun keinginan untuk melarikan diri, matanya memandang pusut kecil itu melayang perlahan-lahan mendekat, tak sedikit orang yang serentak berseru memperingatkan, "Awas senjata rahasia!" Entah bagaimana, ia malah merasakan perasaan damai dan bahagia yang tak terkatakan. Ia hanya merasa bahwa hidupnya di dunia ini amat pahit, penuh rasa kesepian dan kesedihan yang sulit ditanggung. Kalau pusut itu membunuhnya, hal ini adalah sesuatu yang diidam-idamkannya.
 
Dingjing mendorong si gadis kecil dengan lembut, tubuhnya melayang ke depan, menangkis senjata rahasia di depan Yilin. Walaupun dia kelihatan seperti orang tua yang sudah pikun, namun kali ini lompatannya cepat luar biasa. Pusut terbang itu walaupun melayang perlahan, namun tetap sebuah senjata rahasia, Dingjing lebih lambat mulai bergerak, namun sampai di tempat terlebih dahulu, sehingga ia bisa menangkap senjata rahasia itu tepat pada waktunya.
 
Terlihat Biksuni Dingyi menjulurkan tangannya untuk menangkap senjata rahasia itu, siapa yang mengira bahwa ketika pusut besi itu melayang sampai dua chi di depan Yilin, tiba-tiba, "Tring!", pusut besi itu jatuh ke lantai. Tangan Dingjing hanya menangkap udara kosong, ini berarti bahwa ia telah kalah di hadapan umum, mau tak mau wajahnya menjadi agak merah, akan tetapi ia tak bisa melampiaskan amarahnya. Pada saat itu, terlihat Yu Canghai mengangkat tangannya dan melempar sebuah bola kertas ke wajah si gadis kecil, bola kertas itu terbuat dari kertas yang tadinya digambari kura-kura.
 
Dingyi berpikir, "Ternyata si hidung kerbau melempar pusut terbang ini cuma untuk memancing aku saja, ia sama sekali tidak bermaksud untuk melukai Yilin". Bola kertas itu terlihat terbang dengan sangat cepat, jauh lebih cepat dari pusut itu. Tenaga dalam yang digunakan untuk melemparnya tidak sedikit, kalau mengenai wajah gadis kecil itu, ia tentu akan terluka. Saat itu, Dingjing sedang berdiri di samping Yilin, kali ini ia bergegas bertindak, namun ia tak mampu menangkap bola kertas itu. Ia hanya sempat meneriakkan satu kata, "Kau!". Gadis kecil itu duduk di tanah sambil menangis keras-keras, "Mama, mama, orang ini ingin membunuhku!"
 
Gerakan gadis kecil itu sangat lincah, ia berhasil menghindari bola kertas itu tepat pada waktunya, jelas-jelas ia tahu ilmu silat, tapi ia sengaja bersikap manja. Para hadirin merasa geli. Yu Canghai juga merasa bahwa ia tidak boleh menekannya lagi, benaknya dipenuhi rasa curiga dan berbagai pertanyaan yang tak terjawab.
 
Biksuni Dingyi memandang wajah Yu Canghai yang terlihat malu, diam-diam ia merasa geli, ia berpikir bahwa Perguruan Qingcheng telah benar-benar kehilangan muka, ia tak lagi ingin mempermalukannya lebih lanjut, maka ia berkata kepada Yilin, "Ayah ibu adik kecilmu ini tidak diketahui ada dimana, temanilah dia mencari mereka, uruslah dia supaya tak ada orang yang menganggunya".
 
Yilin menjawab, "Baik!" Lalu ia menarik tangan gadis kecil itu. Gadis kecil itu tersenyum kepadanya dan mereka bersama-sama keluar dari aula.
 
Yu Canghai tertawa dingin dan tak lagi memperdulikan mereka, ia berpaling ke arah Mu Gaofeng.
 

 Catatan Kaki

 [1] Zhongyuan (Tionggoan dalam Bahasa Hokkian), yaitu dataran disekitar Sungai Kuning yang menjadi pusat kebudayaan China.
[2] Huruf 林 (lin) terdiri dari dua huruf 木 (mu). Lin berarti hutan, sedangkan mu berarti kayu atau pohon.

No Comment
Add Comment
comment url