[Pendekar Shenzhou] Bab 4 - Si Dewa Iblis Berlengan Besi
“Dimana letak ‘Hamparan Batu Raksasa’ (jushi shoal) ?”
“Cari seseorang untuk kita tanyai.”
“Jangan, nanti malah mengusik ular dalam rumput. Lebih baik kita minta seorang kenalan menuntun kita ke sana.”
“Siapa?”
“Kepala opsir, He Kun.”
Awan hitam menumpuk rapat. Walau langit sudah kelam pekat, tetap terasa perubahan cepat di angkasa. Angin dan awan saling bertarung, sesekali kilatan petir bagai ular emas menerangi langit yang bergolak.
Di tengah angin bergemuruh dan awan berputar, Xiao Qiushui dan yang lain mengetuk pintu rumah He Kun.
Pintu berderit terbuka. He Kun muncul dengan tubuh berbalut kain perban; lukanya jelas belum pulih, namun sebagai seorang yang terbiasa berlatih bela diri, semangatnya tetap keras dan tegar.
“Para pendekar berkunjung di tengah hujan badai, entah ada keperluan apa…?”
“Kau tahu di mana lokasinya ‘Hamparan Batu Raksasa’?”
“Aku tahu.”
“Iron Arm Demon sekarang ada di sana!”
*catatan: (Dewa Iblis Berlengan Iblis selanjutnya disebut Iron Arm Demon agar lebih singkat)
He Kun sempat tertegun, lalu akhirnya masuk ke dalam rumah, mengambil sebuah payung berbahan kertas minyak.
“Baiklah, aku akan membawa kalian ke sana.”
“Boom!” Satu dentuman petir menggelegar, cahaya menyambar langit. Angin kencang berputar, menekan dada hingga terasa sesak, lalu hujan pun turun deras. Awalnya hanya beberapa tetes—“tik…tak…”—namun segera berubah menjadi deras, cepat, dan kuat, menghantam bumi tanpa ampun, bagaikan ribuan tongkat dipukulkan bertubi-tubi.
Dalam derasnya hujan.
Dalam keganasan badai.
Sebuah batu besar menghalangi sungai.
Batu-batu yang berserakan tak beraturan tersebar di perairan dangkal.
Inilah tempat yang disebut “Sembilan Naga Menyusuri Sungai.”
Tempat maut dan kehidupan dipertaruhkan siang tadi, ketika perahu dan kapal terombang-ambing di arus deras.
Dan di atas salah satu batu besar, tampak seorang kakek memancing di tengah badai.
Kakek itu tak lain adalah si tua berlapis besi yang siang tadi seorang diri menahan perahu di tengah arus ganas.
Kakek itu, dengan alis dan janggut putih, berpakaian hitam pekat bagaikan baja, duduk di atas batu besar di tepi arus sungai yang bergemuruh, ombak yang memukul deras, namun tubuhnya tak bergeming sedikit pun. Bahkan matanya tak terangkat ketika ia berkata datar:
“Kalian sudah datang?”
Deng Yuhan menjawab: “Kami sudah datang.”
Iron Arm Demon berkata dingin: “Tiga orang-ku sudah mati, kalian bisa menjadi penggantinya.”
Zuo Qiu Chaoran menggeleng kepala: “Kalau kami tidak mau bagaimana?”
Hujan deras semakin menggila, namun orang yang tampak malas ini tetap duduk tegak, seolah-olah sebatang rumput baja yang tertancap di tanah, tak tergoyahkan angin dan badai.
Iron Arm Demon berkata: “Kalian tidak mungkin tidak mau, bukan?”
Tang Rou menjawab tenang: “Kami bukan tidak mau, tetapi tidak sudi.”
Iron Arm Demon menengadah tertawa panjang, tawanya bagaikan arus deras sungai Yangtze, menggetarkan seakan tangisan hantu dan jerit dewa: “Kalian mana bisa jadi lawanku?”
Ingatlah siang tadi, di derasnya arus Yangtze, dengan sepasang tangan baja, ia seorang diri menopang kapal hias—betapa kuat tenaga dalamnya, betapa dalam ilmunya!
Xiao Qiushui tiba-tiba berkata:
“Satu lawan satu, kami memang bukan tandinganmu. Tapi kalau empat melawan satu, kau pasti tak akan diuntungkan.”
Wajah Iron Arm Demon pun mengeras: “Kau kira kalian punya empat orang?”
Xiao Qiushui dengan tegak menjawab: “Bukan kira, tapi kenyataan.”
Iron Arm Demon kembali tertawa panjang di atas batu besar: “Kalau aku membuat kalian kehilangan satu orang, bagaimana?”
Xiao Qiushui dengan tenang berkata: “Itu tidak akan terjadi.”
Keempat orang itu berdiri sejajar, dalam hujan badai, dalam amukan arus, dalam kilatan petir dan dentuman guntur. Mereka tampak begitu gagah, tanpa gentar, sehati sejiwa dalam hidup dan mati…
Tatapan Iron Arm Demon sempat berkilat, bahkan sekejap memperlihatkan kesepian, namun segera berganti menjadi beringas dan liar:
“Baik! Sejak dahulu, senjata rahasia keluarga Tang paling sulit ditangkis. Maka, hancurkan dia lebih dulu!”
“Crack!” Sebuah kilat menyambar, sinarnya menerangi langit. Hati Tang Rou tiba-tiba terasa tidak enak, terlintas firasat buruk. Baru saja ia memiringkan tubuh, ujung sebilah pisau sudah menembus keluar dari dada kanannya.
Tang Rou menunduk menatap ujung pisau di dadanya, wajahnya tiba-tiba menunjukkan ekspresi aneh. Pada saat yang sama, kedua lengannya berayun.
Ujung pisau itu mendadak lenyap.
Pisau telah tercabut, berubah menjadi sebuah payung.
Payung berbahan kertas minyak.
Payung itu terbuka, berputar-putar cepat, sementara pria itu segera mundur!
Senjata rahasia berhasil ditepis, tubuhnya juga mundur dengan cepat.
Namun, di tengah riuhnya suara angin, dalam gelap malam dengan bulan tertutup, masih ada satu buah paku tembus tulang yang menancap di betisnya.
Senjata rahasia keluarga Tang memang benar-benar tak ada yang mampu sepenuhnya menghindarinya.
Namun, yang lebih tak terduga, orang yang menyerang ternyata adalah He Kun.
“Shua!” Deng Yuhan mencabut pedang gioknya, berteriak serak:
“Kau… kau ternyata adalah ‘Tanpa Wujud’?”
He Kun tersenyum ramah, bahkan tampak agak menyusutkan diri, lalu berkata:
“Benar, akulah ‘Tanpa Wujud’.”
Lalu ia memegang payung, menutupi hujan dan angin, seolah-olah seorang yang sangat rendah diri, sangat mengharapkan sebuah perlindungan untuk menahan badai.
Namun siapa pun tidak akan melupakan, payung di tangannya, adalah sebilah senjata tajam yang baru saja menusuk dada Tang Rou!
Tubuh Tang Rou mulai melemah, ia perlahan jatuh berlutut, sambil menatap dengan senyum setengah ada setengah tiada:
“Tak menyangka aku mati di tanganmu.”
Wu Xing (Tanpa Wujud) buru-buru berkata:
“Aku juga tak menyangka.”
Tang Rou hampir rebah ke tanah, masih berkata:
“Aku… aku tidak ingin mati…”
Wu Xing dengan nada penuh belas kasihan berkata:
“Matilah dengan tenang.”
Tang Rou sudah rebah di tanah, tetapi suaranya yang lemah masih bisa terdengar samar:
“Namun… senjata rahasia keluarga Tang… ada racunnya… kau… kau juga akan ikut denganku…”
Kali ini Wu Xing tidak bisa lagi tersenyum, payungnya terkulai, ia berkata lirih:
“Aku tahu kau berbeda.”
Tang Rou selesai mengucapkan kalimat itu, lalu menutup matanya:
“Bagiku… kau juga berbeda.”
Wu Xing berdiri terdiam lama sekali, akhirnya wajahnya berubah.
Ia bahkan merasa kakinya mulai gatal, lalu perlahan mati rasa.
Wu Xing mendesah serak:
“Mana… mana penawar racunnya?”
Barulah ia sadar, Tang Rou sudah tidak bersuara lagi.
Ia segera meloncat maju, membuang payung, hendak mencari obat penawar.
Deng Yuhan, Zuo Qiu Chaoran, dan Xiao Qiushui serentak ingin menyerbu maju, namun Iron Arm Demon melesat dari udara, mendarat menghadang di depan mereka.
Tiba-tiba, terdengar satu jeritan tragis!
Wajah Wu Xing dihujani oleh segerombol jarum.
Sedikitnya tiga ratus jarum perak!
Dalam sekejap, wajah Wu Xing berubah jadi sarang jarum.
Ia mendadak melompat dari posisi jongkok, menutup wajahnya, menjerit kesakitan sambil meraba-raba mencari payung berbahan kertas minyak itu. Akhirnya tubuhnya terpeleset dari batu besar, jatuh ke Sungai Yangtze yang bergelora, lenyap seketika!
Iron Arm Demon tertegun sejenak, Xiao Qiushui segera menggunakan kesempatan itu untuk berlari dan mengangkat Tang Rou ke lengannya.
Wajah pemuda lembut itu masih bisa menampilkan senyuman:
“Ia… ia menggeledah tubuhku. Tak seorang pun… tak seorang pun berani menyentuh orang klan Tang yang masih hidup…”
Xiao Qiushui melihat pakaiannya basah kuyup dengan darah, sudut bibirnya mengalir darah, hatinya seperti terkoyak, ia hanya bisa berkata penuh kepedihan:
“Benar… benar…”
Tang Rou menatapnya tanpa daya, tersenyum dengan susah payah:
“Aku… aku sungguh akan mati, ya?”
Xiao Qiushui tidak menjawab, hujan dan angin semakin menggila.
Tang Rou menutup matanya, berkata tenang:
“Aku tahu… aku tahu aku sungguh akan mati…”
Tiba-tiba ia kembali tersenyum seperti anak kecil:
“Ia… ia masih mengira senjata rahasiaku beracun… aku, Tang Rou… senjata rahasiaku tak pernah memakai racun… seorang ahli senjata rahasia sejati… tak perlu memakai racun…”
Tang Rou selalu begitu angkuh. Meskipun ia bukan anggota paling terkenal di keluarga Tang, juga bukan yang berilmu tertinggi, namun tanpa ragu ia adalah orang yang penuh karakter, penuh harga diri.
Xiao Qiushui mengangguk dengan air mata di mata.
Tang Rou perlahan membuka kembali matanya, menggenggam tangan Xiao Qiushui, mengucapkan kalimat terakhirnya:
“Jika… jika kau bertemu keluarga kami… Tang Da… tolong tanyakan padanya… mengapa keluarga Tang kita… tidak pernah bersatu menjadi keluarga nomor satu di dunia… melainkan membiarkan Perkumpulan Kekuasaan… biarkan para bajingan itu berkuasa—”
Tang Rou baru bicara sampai di sini, kepalanya miring, rebah dalam pelukan Xiao Qiushui, tak pernah bangkit lagi.
Saat Iron Arm Demon memberi peringatan, Tang Rou sempat menoleh, meski pisau menusuk dada kanannya dan tidak mengenai jantung—dada tetaplah bagian vital, akhirnya ia tetap tak bisa selamat.
Namun kalimat terakhirnya itu, kelak akan menyalakan pertumpahan darah dan badai permusuhan di dunia persilatan.
Hujan angin menderu.
Xiao Qiushui meletakkan Tang Rou, lalu perlahan berdiri.
Iron Arm Demon, Fu Tianyi, berdiri tegak bagaikan mercusuar gelap yang tidak pernah menyala, tubuhnya menjulang seperti raksasa. Tiba-tiba ia melambaikan tangan, dari balik batu besar muncul dua lelaki kekar, berdiri dengan kedua tangan terkulai.
Fu Tianyi mengayun tangan, melemparkan sebatang perak sambil berkata:
“Pergi, ke hilir… bawa si Wuxing (Tanpa Wujud) naik kembali.”
Kedua lelaki itu segera mengulurkan tangan hendak menyambut, tiba-tiba sinar pedang berkelebat—sebilah pedang menusuk perak itu, lalu mengangkatnya ke udara.
Orang yang menghunus pedang itu adalah Xiao Qiushui. Pedang yang ia pakai, adalah pedang sang “pembunuh” dari lantai atas restoran tadi.
Dengan suara serak, Xiao Qiushui bertanya:
“Bagaimana nasib keluarga tuan tanah (si orang kaya pemilik kapal sebelumnya) itu di tanganmu?”
Pada batang perak itu terukir sebuah huruf Na (那). Karena marga Na sangat jarang, terlebih lagi jarang ada orang yang mau mengukirkan marga di atas emas atau perak, pekerjaan merepotkan, dan ukiran itu pasti membuat banyak serbuk emas-perak terbuang. Kecuali orang kaya mendadak, yang sekaligus kikir luar biasa, hanya orang dengan sifat demikian yang rela melakukannya.
Jadi kesan itu pada Xiao Qiushui tidak dapat dilupakan.
Fu Tianyi tertawa:
“Mereka? Mereka sudah lama kubantai!”
Xiao Qiushui mengepalkan tinju. Dialah yang menitipkan keluarga tuan tanah itu pada Fu Tianyi. Kini, sebesar apa pun badai, tak bisa menutupi penyesalan yang menyesakkan dadanya.
Dalam sekejap ia mengerti semuanya. Paman Awang, Kakek Hei, semua orang itu ternyata dibunuh oleh Wuxing—yakni Kepala Opsir, He Kun!
“Perkumpulan Kekuasaan” membuat Wuxing untuk mendapatkan kepercayaan rakyat melalui tindakan heroik kecil, lalu menukar kepercayaan itu dengan komoditas paling berharga—intelijen.
Ia pun paham, mengapa saat mereka baru melangkah masuk ke dalam Bank Uang dan Perak, jebakan sudah terpasang rapi. Kalau bukan karena senjata rahasia Tang Rou, mungkin mereka semua sudah jadi mayat bergelimpangan di aula!
Karena seluruh gerak-gerik mereka, Wuxing mengetahuinya dengan jelas.
Saat itu, Zuo Qiu Chaoran bertanya:
“Kalau begitu, perampasan di arus deras Sungai Yangtze tadi siang, apa artinya?”
Fu Tianyi menjawab:
“Zhu Da Tian Wang dan kelompoknya itu memang sering berlawanan dengan Perkumpulan Kekuasaan kami. Harta si tuan tanah itu, mereka juga ingin merebutnya. Maka kebetulan aku gunakan tangan kalian, untuk menyingkirkan ‘Tiga Kejahatan Yangtze’.”
Tidak heran begitu naik ke kapal, Fu Tianyi langsung menyerang Xue Jinying dan Zhan Qili.
Dalam badai hujan, Iron Arm Demon Fu Tianyi berdiri seperti dewa iblis.
“Baiklah,” katanya, “sebelum kalian mati, ada pertanyaan terakhir?”
Deng Yuhan tiba-tiba berkata:
“Tidak ada lagi.”
Begitu kalimat terucap, pedangnya sudah menyambar bagai kilat. Dua lelaki kekar itu bahkan belum sempat bergerak, sudah ditebas sekaligus menembus kerongkongan keduanya!
Aliran pedang Hainan memang terkenal berjurus aneh dan tajam, sekali tebas, habislah bala bantuan Fu Tianyi.
Wajah Iron Arm Demon pun sedikit berubah.
Dalam saat yang sama, ketika Deng Yuhan menghunus pedang, ujung pedang Xiao Qiushui sudah menebas lurus ke wajah Fu Tianyi!
Namun mendekati wajah musuh, pedangnya berputar, menari tiga kali membentuk bunga pedang. Baru setelah itu, ia tikamkan satu tusukan!
Dalam gelap gulita, tiga bunga pedang itu sungguh terlalu menyilaukan.
Fu Tianyi terpaksa memejamkan mata, namun kedua tangannya serentak menepuk ke depan!
Kedua telapak tangannya menjepit ujung pedang.
Xiao Qiushui segera menarik dengan segenap tenaga, berusaha mengiris daging telapak tangan lawan, namun pedang itu tetap tidak bisa digerakkan.
Seolah tangan lawan benar-benar ditempa dari baja!
Saat itu juga, kaki Fu Tianyi meluncur menendang. Xiao Qiushui terpaksa merelakan pedang, lalu melompat mundur!
Pada saat yang sama, pedang Deng Yuhan menusuk balik ke arah perut bawah Fu Tianyi!
Zuo Qiu Chaoran pun menjatuhkan serangan ganda: tangan kiri keras, tangan kanan lembut, mencengkeram lurus ke kepala.
Fu Tianyi dengan tangan kiri menangkis cengkeraman Zuo Qiu Chaoran, sementara tangan kanan menangkap pedang Deng Yuhan yang menusuk cepat.
Tepat pada saat itu, pedang yang dilepas Xiao Qiushui, terlepas dari jepitan kedua telapak tangan Fu Tianyi, jatuh ke bawah.
Xiao Qiushui segera melompat, menyambar kembali pedang itu. Begitu pedang kembali ke genggamannya, ia segera menari tiga bunga pedang lagi.
Di tengah bunga pedang, lahirlah satu tusukan maut!
Inilah jurus pamungkas “Tiga Nada Bunga Mei” dari aliran Pedang Huanhua.
Cengkeraman Zuo Qiu Chaoran yang mencengkeram tangan Fu Tianyi, terasa seolah memutar tembaga dan membengkokkan besi, tidak bisa menggerakkan sedikit pun. Deng Yuhan yang pedangnya sudah terjepit, juga tidak bisa membebaskannya.
Namun tusukan Xiao Qiushui kali ini, tepat datang sebagai penyelamat keduanya!
Fu Tianyi hanya memiliki sepasang tangan—tak mungkin lagi menangkis serangan ketiga pedang itu.
Maka ia terpaksa melepaskan cengkeraman, melompat mundur, tubuhnya sudah terhuyung sampai di tepi batu besar.
Xiao Qiushui, Zuo Qiu Chaoran, dan Deng Yuhan saling berpandangan. Baru satu ronde jurus, mereka sudah tahu: kekuatan lengan lawan, kedalaman ilmunya, jarang sekali ada tandingannya seumur hidup mereka.
Telapak tangan ketiganya sama-sama berkeringat.
Hujan jatuh seperti jaring, pandangan jadi kabur.
Mendadak cahaya petir kembali menyambar. Sebelum suara guntur menggelegar, ketiganya sudah melesat seperti anak panah!
Dalam sekejap, keputusan telah diambil.
Tangan Fu Tianyi mustahil ditembus serangan. Satu-satunya harapan adalah melumpuhkan tangannya!
Zuo Qiu Chaoran mengerahkan jurus Cengkeraman Kilat.
Fu Tianyi segera menyambut dengan kedua tangannya. Ia berniat menghancurkan kedua tangan Zuo Qiu Chaoran lebih dulu, barulah menghadapi pedang Xiao Qiushui dan Deng Yuhan.
Namun ia keliru. Begitu empat tangan bersilangan, Zuo Qiu Chaoran langsung merasakan tekanan yang amat dahsyat! Bagaimanapun, seni cengkeraman adalah jurus yang paling halus dan luwes.
Meski ia tak mampu membengkokkan tangan Fu Tianyi, tapi Fu Tianyi pun tak sanggup memutuskan tangannya. Karena tangan Zuo Qiu Chaoran laksana ular, berganti tiga macam teknik cengkeraman dalam sekejap, tetap melilit tangan lawan erat-erat!
Saat itu juga, pedang Deng Yuhan dan Xiao Qiushui sudah tiba. Fu Tianyi meraung keras, kedua tangannya menekuk balik, membanting Zuo Qiu Chaoran ke arah dua pedang!
Namun tubuh Zuo Qiu Chaoran melayang bagai kapas diterbangkan, tetapi tangannya seperti tali baja, tetap menggenggam satu lengan Fu Tianyi tak mau lepas.
Deng Yuhan menusuk dari kanan ke arah paha kirinya, Xiao Qiushui menikam dari kiri ke arah paha kanan!
Dalam amarahnya, Fu Tianyi mengaum, melangkah mundur dua tapak, lalu mengangkat Zuo Qiu Chaoran ke udara! Tetapi kedua tangannya masih tak mau lepas. Saat itulah, dada Fu Tianyi terbuka lebar, Pedang Xiao Qiushui di telapak tangannya tiba-tiba hancur berkeping-keping dan melesat maju bagai badai!, bertebaran bagai hujan baja!
Hujan Bunga di Langit!
Inilah jurus khas aliran Pedang Huanhua, maka nama “Xiao” justru diukir di sarung pedang, bukan di bilahnya.
Fu Tianyi menghela napas panjang, menyalurkan tenaga ke lengannya. Seketika, ia membalik tubuh Zuo Qiu Chaoran, menjadikan tubuh itu tameng di depan dada, punggungnya menghadap ke arah Xiao Qiushui!
Serangan Hujan Bunga seketika mengenai tubuh Zuo Qiu Chaoran sendiri.
Wajah Xiao Qiushui seketika pucat pasi.
Namun tiba-tiba, seberkas cahaya pedang melintas! Cahaya itu rapat, deras, beruntun. Dalam gemuruh badai, masih terdengar dering “ting ting ting ting”—semua serpihan pedang terpental jatuh!
Itulah jurus pedang Bunga Berguguran dari aliran Pedang Hainan!
Deng Yuhan kali ini melindungi Zuo Qiu Chaoran. Saat itulah, Xiao Qiushui bangkitkan sisa tenaga, menusuk sekali lagi. Pedangnya telah patah, maka sarung pedang menjadi pengganti bilah, jurus pamungkas kedua (dari tiga) aliran Huanhua: Sarung Jadi Pedang!
Dari bawah ketiak Zuo Qiu Chaoran, tusukan menyelinap, begitu dekat hingga tiba di depan mata Fu Tianyi!
Fu Tianyi terkejut melihat Zuo Qiu Chaoran belum mati, sekaligus menyaksikan jurus aneh itu. Namun, ia tetap tenang dalam bahaya, seketika ia membalikkan tubuh, menghindar dari tusukan!
Xiao Qiushui menusuk tak kena. Namun sarung pedangnya kembali melukis tiga bunga pedang, lalu menusuk lagi!
“Pak!” tendangan Fu Tianyi mendarat di dada Xiao Qiushui. Tubuhnya terhempas jauh!
Ia menyerang terlalu cepat demi menyelamatkan Zuo Qiu Chaoran, tak sempat menghindari jurus Tendangan Tanpa Bayangan!
Saat tubuh Xiao Qiushui melayang, tiba-tiba wajah Fu Tianyi terasa panas dan perih, seperti tersambar duri. Angin malam kencang, hujan deras, membuatnya tak paham kapan ia terkena. Luka berat atau ringan, ia sama sekali tak tahu!
Di saat ia terperanjat, pedang Deng Yuhan sudah “ces!” menembus paha kirinya!
Padahal Fu Tianyi sebenarnya tak terluka parah.
Ternyata saat Xiao Qiushui menusuk dengan sarung pedang dan gagal mengenai pada serangan pertamanya, ia berada sangat dekat dengan wajahnya. Saat Sarung pedang itu menyapu, Akibat angin kencang, beberapa helai janggut putih Fu Tianyi tersangkut di sarungnya, sampai-sampai tercabut! Sebelum tusukan benar-benar dilepaskan lagi, Qiushui sudah terhantam tendangan, terlempar sambil mencabut janggut Fu Tianyi. Itulah sebabnya wajahnya terasa perih!
Dan justru di celah itu, pedang Deng Yuhan berhasil melukai!
Rasa sakit menembus tulang, Fu Tianyi meraung, lalu berusaha bangkit dengan sisa tenaga. Namun Zuo Qiu Chaoran sudah mengerahkan jurus Vajra Enam-Yang, tenaga keras menekan balik!
Fu Tianyi goyah, akhirnya tergelincir dari tebing batu! Dalam badai segila ini, ombak setinggi gunung, jatuh ke bawah hanya berarti kemungkinan besar mati!
Dalam kepanikan, ia meraung, mencengkeram erat kedua tangan Zuo Qiu Chaoran!
Zuo Qiu Chaoran sudah lama mengikat kedua tangan itu, kini kehabisan tenaga. Sekali terseret, tubuhnya pun ikut melayang keluar tebing!
Deng Yuhan kaget besar, tak sempat mencabut pedang, langsung menerkam dan mencengkeram ikat pinggang Zuo Qiu Chaoran, menahan dengan segenap tenaga.
Namun badai kencang, ombak ganas, plus perlawanan Fu Tianyi yang sekarat, Deng Yuhan tetap tak sanggup mengangkat keduanya kembali.
Pada saat genting itu,
tiba-tiba “Whoosh!” , sesuatu melesat di udara, mengiris bebatuan, memutar dan membelok, sebelum menusuk langsung ke dada Fu Tianyi dengan bunyi shhhh, ujungnya menembus sampai punggung!
Itu adalah… sarung pedang!
Jurus pamungkas ketiga aliran Huanhua, Kelopak Merah Terbang Menembus Ayunan!
Fu Tianyi meraung panjang, kedua tangan melepas, mencengkeram sarung pedang di dadanya, berusaha mencabutnya. Namun tubuhnya sudah terjatuh ke bawah, lenyap ditelan ombak Yangtze yang bergemuruh, tak terlihat lagi!
Deng Yuhan berteriak lantang, mengerahkan segenap tenaga:
“Naik!!!”
Zuo Qiu Chaoran pun memanfaatkan momentum, membalik tubuh, akhirnya terhempas kembali ke atas tebing.
Keduanya basah kuyup, terkulai di atas batu.
Xiao Qiushui berusaha bangkit, tangan menekan dada, terhuyung mendekat.
Tiga orang itu, berdiri berdampingan dalam badai. Mereka menatap ke bawah, air Yangtze meraung, ombak memukul tebing ribuan kaki tingginya, buih air seakan amarah abadi sungai itu, bergemuruh sepanjang masa, tak pernah reda…
-- akhir bab 4 -