Pendekar Hina Kelana - Bab 8: Menghadap Tembok

Terjemahan Cersil Balada Kaum Kelana

oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Jin Yong (Chin Yung / Louis Cha)
Berdasarkan novel edisi ketiga.

Smiling Proud Wanderer Jilid 1

[Karena cemburu dan dalam keputusasaan, Linghu Chong mencengkeram lengan baju kirinya. "Lepaskan!" teriak Yue Lingshan dengan marah. Dia menarik dengan keras, dan terdengar suara sobek yang keras, seluruh lengan baju Yue Lingshan robek dan seluruh lengan putih mulusnya kelihatan.]


Bab 8: Menghadap Tembok

Bagian 1

Pada hari itu saat senja tiba, Linghu Chong mengucapkan selamat tinggal pada sang guru, ibu guru, para adik seperguruan dan adik kecil, lalu sambil menenteng sebilah pedang, ia seorang diri naik ke tebing terjal di atas Puncak Putri Kumala. 

Di tebing terjal itu terdapat sebuah gua yang menjadi tempat dimana murid-murid Huashan dari beberapa generasi dihukum kurung apabila mereka melanggar peraturan perguruan. Tebing itu gundul dan tandus, sama sekali tak ada satu pohon pun tumbuh diatasnya. Kecuali gua itu, di atas tebing itu tak ada apa-apa. Di Huashan sebenarnya banyak terdapat tumbuhan dan pepohonan, pemandangannya amat indah, namun tebing terjal ini adalah suatu pengecualian. Menurut legenda, tebing itu adalah mutiara yang terdapat di tusuk konde sang putri kumala. Bertahun-tahun yang lampau, pendiri Perguruan Huashan memilih tebing terjal itu untuk menghukum murid-muridnya terutama karena tempat itu gersang, tak ada rerumputan maupun pepohonan, tak ada serangga maupun burung, maka ketika seorang murid dihukum menghadap tembok untuk merenungkan kesalahannya, ia tak akan terganggu oleh hal-hal yang berada di luar, dan akan bisa terus memusatkan perhatiannya.

Ketika Linghu Chong memasuki gua itu, ia melihat bahwa di dasarnya terdapat sebuah batu besar yang licin, ia berpikir, "Dalam beberapa ratus tahun terakhir ini, entah berapa orang sesepuh telah duduk disini, sehingga kalau diduduki batu ini terasa begitu licin. Saat ini, Linghu Chong adalah pembuat onar nomor satu di Perguruan Huashan, kalau aku tidak menduduki batu ini, siapa yang pantas duduk diatasnya? Guru baru hari ini menyuruh aku untuk duduk di atas batu ini, ia memperlakukanku dengan sangat lunak". Ia menepuk-nepuk batu itu dan berkata, "Batu, oh batu, entah berapa tahun kau telah kesepian sendirian, hari ini Linghu Chong datang untuk menemanimu". 

Ia duduk di atas batu besar itu, sepasang matanya hanya berjarak kurang dari satu chi dari dinding gua, ia melihat bahwa di sebelah kiri dinding gua terukir tiga huruf besar, yaitu 'FENG QING YANG', yang diukir dengan senjata tajam, tarikan garisnya kuat dan berani, dalamnya setengah cun, ia berpikir, "Siapa Feng Qingyang ini? Kemungkinan besar ia adalah seorang sesepuh perguruan kami yang dihukum menghadap tembok di sini. Ah, aku tahu, guru adalah generasi 'bu', kakek guruku adalah generasi 'qing', Sesepuh Feng ini adalah paman guruku. Ketiga huruf ini diukir dengan tenaga yang luar biasa, ilmu silatnya pasti sangat hebat. Kenapa guru dan ibu guru sama sekali belum pernah bicara tentang dia? Kemungkinan sesepuh ini sudah lama meninggal dunia". Ia memejamkan matanya dan bersemedi selama lebih dari setengah shichen, lalu ia berdiri dan bersantai selama setengah hari, setelah itu ia kembali masuk ke dalam gua batu, menghadap tembok sambil berpikir, "Kalau setelah ini aku bertemu dengan orang Sekte Iblis, tak perduli benar atau salah, apakah aku harus menghunus pedang dan membunuh mereka? Apakah di dalam Sekte Iblis benar-benar tak ada seorang pun yang baik? Kalau dia orang baik, kenapa dia masuk Sekte Iblis? Bahkan kalau untuk sesaat ia berbuat khilaf, seharusnya ia segera mengundurkan diri, kalau ia tidak mengundurkan diri, berarti ia memang ingin bergaul dengan iblis jahat dan menghancurkan orang kebanyakan".

Dalam sekejap, berbagai adegan berkelebat di pikirannya, semuanya adalah adegan-adegan yang pernah diceritakan oleh guru, ibu guru dan para sesepuh di dunia persilatan mengenai bagaimana orang Sekte Iblis berbuat jahat dan mencelakai orang: seluruh keluarga Guru Yu dari Jiangxi yang berjumlah dua puluh tiga orang ditangkap Sekte Iblis, lalu hidup-hidup dipaku di pohon, bahkan anak berusia tiga tahun pun tak dikecualikan, kedua putra Guru Yu mengerang-erang kesakitan selama tiga hari dan tiga malam sebelum akhirnya tewas; Ketika ketua Longfeng Dao di Prefektur Jinan, Zhao Dengkui, menikahkan putranya, di depan tamu-tamu yang memenuhi aula, orang-orang Sekte Iblis menerobos masuk dan memenggal kepala sepasang pengantin baru itu, lalu menaruhnya di atas meja perjamuan sebagai hadiah pernikahan; ketika pendekar tua Hao dari Hanyang berulang tahun yang ketujuh puluh, para pendekar bersama-sama datang untuk mengucapkan selamat, mereka tak menyangka bahwa orang-orang Sekte Iblis telah memasang peledak di bawah aula dimana perayaan ulang tahun itu diadakan, ketika disulut terjadilah ledakan. Para pendekar yang mati atau terluka akibat ledakan itu tak terhitung jumlahnya, Paman Guru Ji dari Perguruan Taishan kehilangan lengannya dalam peristiwa itu. Paman Guru Ji ini menceritakannya sendiri, tentunya ia tak mungkin berbohong. Ketika ia berpikir sampai disini, ia juga ingat bahwa dua tahun berselang ia bertemu Paman Guru Sun dari Perguruan Songshan di jalan raya Zhengzhou, kedua tangan dan kakinya semua telah dipotong, kedua bola matanya pun telah dicungkil, ia berulang-ulang berteriak, 'Sekte Iblis telah mencelakai aku, harus balas dendam, Sekte Iblis telah mencelakai aku, harus balas dendam!' Saat itu Perguruan Songshan telah mengirim bala bantuan, namun luka yang diderita Paman Guru Sun amat parah, bagaimana ia bisa disembuhkan? Linghu Chong mengingat kedua rongga mata di wajahnya, kedua lubang itu terus menerus mengucurkan darah segar, mau tak mau ia mengigil dan berpikir, "Orang-orang Sekte Iblis telah berbuat begitu banyak kejahatan, kalau Qu Yang dan cucunya menolong aku, tentunya mereka punya maksud yang tidak baik. Kalau guru menanyaiku, apakah setelah ini kalau aku bertemu dengan orang Sekte Iblis aku akan membunuhnya dengan tanpa ampun, untuk apa lagi ragu-ragu? Tentu saja aku akan menghunus pedang dan membunuhnya".

Setelah memikirkannya, hatinya langsung terasa lega, sambil mengeluarkan sebuah teriakan panjang, ia melompat mundur keluar gua. Di udara, tubuhnya beputar ke depan dengan lincah, lalu mendarat di tanah, setelah itu ia baru membuka matanya. Ia melihat bahwa kedua kakinya berada tepat di tepi jurang yang sangat curam, dari bibir jurang hanya berjarak tak sampai dua chi jauhnya, kalau saja waktu ia melompat tadi ia menggunakan sedikit lebih banyak tenaga saja, dan mendarat lebih jauh dua chi, tentunya ia telah terjerumus ke dalam jurang yang tak berdasar itu dan menjadi daging cincang. Ketika ia melompat dengan mata tertutup, sebelumnya ia sudah memperhitungkannya dengan seksama. Karena ia sudah mengambil keputusan bahwa kalau bertemu orang Sekte Iblis ia akan membunuhnya, tak ada beban lagi di hatinya, maka ia melakukan permainan yang berbahaya itu.

Ia berpikir, "Nyaliku kurang besar, seharusnya aku harus mendarat satu chi lagi ke depan, itu baru seru". Tiba-tiba ia mendengar seseorang bertepuk tangan di belakang punggungnya sambil tertawa, "Kakak pertama, kau memang hebat!" Itu adalah suara Yue Lingshan. Linghu Chong sangat gembira, ia berbalik dan melihat bahwa Yue Lingshan menjinjing sebuah keranjang nasi di tangannya. Sambil tersenyum manis ia berkata, "Kakak pertama, aku datang mengantar nasi untukmu". Ia meletakkan keranjang itu dan melangkah masuk ke dalam gua, lalu berbalik dan duduk di atas batu besar seraya berkata, "Ketika kau melompat dengan mata tertutup tadi, kelihatannya asyik sekali, aku juga ingin coba-coba".

Linghu Chong berpikir bahwa melakukan permainan seperti itu sangat berbahaya, ia sendiri setiap kali bermain selalu mempertaruhkan nyawanya, ilmu silat Yue Lingshan masih jauh di bawahnya, kalau ia salah memperhitungkan kekuatannya, maka ia akan celaka. Namun ia tahu bahwa Yue Lingshan sedang ingin bermain, maka ia juga tak menghentikannya dan segera berdiri di sisi jurang.

Yue Lingshan bertekad untuk mengalahkan sang kakak pertama, ia memperhitungkan posisi tubuhnya, kedua kakinya menjejak tanah dan ia pun melompat. Di udara, dengan lincah ia berbalik ke depan. Ia berharap agar tempatnya mendarat lebih dekat ke bibir jurang dibandingkan dengan Linghu Chong, ketika melompat ia menggunakan sedikit lebih banyak tenaga, namun ketika tubuhnya jatuh, tiba-tiba ia merasa ketakutan dan membuka matanya. Ketika ia melihat jurang yang tak terkira dalamnya terbentang di depan matanya, ia begitu ketakutan sehingga ia berteriak. Linghu Chong mengangsurkan tangannya dan menarik lengan kirinya. Ketika Yue Lingshan telah mendarat di tanah, ia melihat bahwa kedua kakinya hanya satu chi jauhnya dari bibir jurang, agak lebih jauh dibandingkan dengan Linghu Chong. Rasa takutnya agak berkurang, ia tersenyum dan berkata, "Kakak pertama, aku mendarat lebih jauh darimu".

Linghu Chong melihat bahwa ia begitu terkejut hingga wajahnya pucat pasi, maka ia menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut, sembari tersenyum ia berkata, "Permainan ini tak boleh diulangi lagi, kalau guru atau ibu guru tahu, aku akan dimaki habis-habisan, jangan-jangan aku akan dihukum menghadap tembok setahun lagi".

Yue Lingshan telah berhasil menenangkan dirinya sendiri, ia mundur dua langkah dan berkata sambil tersenyum, "Kalau begitu aku juga harus dihukum, kita berdua akan sama-sama menghadap tembok disini, asyik bukan? Tiap hari kita bisa berlomba siapa yang lompatnya lebih jauh".

Linghu Chong berkata, "Kita tiap hari menghadap tembok disini?" Ia melirik ke arah gua, mau tak mau hatinya tergetar, "Kalau aku bisa tinggal disini selama setahun, dari pagi sampai malam terus bersama dengan adik kecil, bukankah aku akan lebih bahagia dari seorang dewa? Ai, tapi mana mungkin!" Ia berkata, "Jangan-jangan guru akan menyuruhmu menghadap tembok di Wisma Ketulusan, selangkah pun kau tak boleh meninggalkannya, dan kita malah tak bisa bertemu muka selama setahun".

Yue Lingshan berkata, "Ini tak adil, kenapa kau bisa bermain disini, tapi aku disekap di Wisma Ketulusan?" Namun ia berpikir bahwa ayah ibunya pasti tak akan mengizinkannya menemani sang kakak pertama siang malam di tebing itu, maka ia merubah pokok pembicaraan, "Kakak pertama, tadinya Mama menyuruh Monyet Keenam untuk mengantar nasi untukmu setiap hari, tapi aku berkata pada Monyet Keenam, 'Kakak keenam, tiap hari kau harus memanjat naik turun Siguoya[1], walaupun kau seekor monyet, tapi pasti sangat melelahkan, lebih baik biarkan aku mengantikanmu. Tapi apa balasanmu untukku?' Monyet Keenam berkata, 'Ibu guru menyuruhku mengerjakan tugas ini, aku tak berani malas-malasan. Lagipula, kakak pertama sangat baik padaku, kalaupun aku harus mengantar nasi untuknya selama setahun, setiap hari bisa bertemu dengannya saja aku sudah senang, apanya yang melelahkan?' Kakak pertama, menurutmu Monyet Keenam itu nakal atau tidak?"

Linghu Chong berkata, "Apa yang dikatakannya itu memang benar".

Yue Lingshan berkata, "Monyet Keenam berkata, 'Aku sering ingin minta petunjuk kakak pertama tentang kungfu, tapi begitu kau datang, kau langsung menyuruh aku pergi, tak memperbolehkan aku bicara banyak-banyak dengan kakak pertama'. Kakak pertama, kapan aku pernah berbuat seperti itu? Monyet Keenam benar-benar bicara sembarangan. Dia juga berkata, 'Sejak saat ini, dalam setahun ini, cuma aku yang bisa naik ke Siguoya dan bertemu kakak pertama, kau tak bisa bertemu dia'. Aku langsung marah, tapi dia tak memperdulikanku, setelah itu......setelah itu......"

Linghu Chong berkata, "Setelah itu kau menghunus pedang dan menakut-nakuti dia?" Yue Lingshan menggeleng, "Tidak, setelah itu aku begitu marah sampai aku menangis. Monyet Keenam datang memohon padaku untuk mengantar makanan untukmu". Linghu Chong memandang wajahnya yang mungil dan melihat bahwa kedua matanya masih agak bengkak, tentunya karena bekas menangis, mau tak mau hatinya tergerak, diam-diam ia berpikir, "Ia memperlakukanku seperti ini, kalau aku harus mati seribu kali pun untuk dia akan kulakukan dengan senang hati".

Yue Lingshan membuka keranjang dan mengeluarkan dua piring kecil lauk, ia juga mengeluarkan dua pasang mangkuk dan sumpit, lalu meletakannya di atas batu besar. Linghu Chong berkata, "Dua pasang mangkuk dan sumpit?" Yue Lingshan berkata sembari tersenyum, "Aku akan menemanimu makan, lihatlah, apa ini?" Dari dasar keranjang ia mengambil sebuah hulu berisi arak yang sangat kecil. Linghu Chong cinta arak seperti hidupnya sendiri, begitu ia melihat ada arak, ia berdiri dan menjura dalam-dalam kepada Yue Lingshan sambil berkata, "Banyak terima kasih! Tadinya aku khawatir kalau-kalau setahun ini aku tak bisa minum arak". Yue Lingshan membuka tutup hulu itu, lalu menaruhnya di tangan Linghu Chong. Ia tersenyum dan berkata, "Kau cuma bisa minum sedikit, setiap hari aku cuma bisa mencuri satu hulu kecil ini, kalau lebih banyak takutnya ibu akan tahu".

Linghu Chong minum arak di dalam hulu itu dengan perlahan-lahan, lalu makan nasi. Menurut peraturan Perguruan Huashan, orang yang sedang di hukum menghadap tembok di Siguoya harus berpantang daging, oleh karena itu dapur hanya membuatkan semangkuk besar sayur rebus dan semangkuk besar tahu untuk Linghu Chong. Yue Lingshan merasa bahwa ia sedang menjalani hukuman bersama-sama dengan sang kakak pertama, maka ia makan dengan lahap. Setelah makan nasi, mereka berbincang-bincang tak tentu arah selama setengah shichen, setelah hari benar-benar gelap, Yue Lingshan baru membereskan peralatan makan dan turun gunung.

Setiap sore, Yue Lingshan naik ke atas tebing mengantarkan nasi, lalu mereka berdua makan bersama. Siang hari besoknya, Linghu Chong makan nasi dan lauk sisa hari sebelumnya.

Walaupun Linghu Chong tinggal sendirian di atas tebing, namun ia tak merasa kesepian, ia bermeditasi dan berlatih silat, serta mempelajari kembali ilmu pernapasan dan pedang yang diajarkan oleh sang guru, ia juga berpikir tentang ilmu golok kilat Tian Boguang dan 'Jurus Tanpa Tanding Keluarga Ning' yang diciptakan oleh ibu gurunya. Walaupun di dalam ilmu pedang 'Tanpa Tanding Keluarga Ning' itu hanya ada satu jurus saja, namun di dalamnya terkandung teknik-teknik ilmu pernapasan dan pedang Perguruan Huashan. Linghu Chong tahu bahwa ia belum mencapai taraf dimana ia bisa menggunakan jurus itu, kalau ia memaksakan diri untuk memakainya, ia hanya akan menunjukkan kebodohannya sendiri, oleh karena itu, setiap hari ia makin giat berlatih. Walaupun ia dihukum menghadap tembok untuk merenungkan kesalahannya, sebenarnya ia tidak menghadap tembok, dan juga tidak merenungkan kesalahannya, kecuali bercakap-cakap dengan Yue Lingshan setiap sore, setiap hari ia hanya berlatih silat saja.

Dengan demikian dua bulan pun berlalu, setiap hari di puncak Huashan hawa makin dingin. Setelah lewat beberapa hari lagi, Nyonya Yue menjahitkan sebuah mantel yang diisi kapas untuk Linghu Chong, lalu menyuruh Lu Dayou untuk naik gunung dan memberikannya kepadanya. Hari itu pagi-pagi angin utara telah mulai menderu, setelah tengah hari, salju pun turun.

Linghu Chong melihat bahwa awan yang bergumpal-gumpal di langit begitu hitam seperti timah, salju yang akan turun tentunya tidak sedikit, ia berpikir, "Jalan naik ke gunung akan sangat berbahaya, kalau salju turun sampai sore, jalan akan menjadi sangat licin, seharusnya adik kecil tak usah mengantarkan nasi". Namun ia tak bisa turun untuk menyampaikan kabar, ia sangat khawatir, dan hanya berharap agar guru dan ibu guru tahu apa yang harus dilakukan dan melarang sang adik kecil naik ke tebing, ia berpikir, "Tiap hari adik mengantikan adik keenam mengantar nasi untukku, masa guru atau ibu guru tak tahu? Mungkin mereka hanya pura-pura tak tahu saja. Kalau hari ini ia mencoba naik ke tebing, sekali terpeleset saja nyawa bisa melayang, kurasa ibu guru tak akan mengizinkannya naik ke tebing". Dengan was-was ia menunggu sampai senja tiba, setiap beberapa saat ia memandang ke bawah tebing, terlihat hari sudah gelap, tentunya Yue Lingshan tidak datang. Linghu Chong menghibur dirinya sendiri, "Besok pagi, tentunya adik keenam akan mengantarkan nasi,
Aku akan mohon adik kecil supaya tak usah menempuh bahaya". Ketika ia sedang akan masuk ke dalam gua untuk pergi tidur, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki di atas jalan yang menuju ke tebing, Yue Lingshan berteriak keras-keras, "Kakak pertama, kakak pertama......!"

Linghu Chong terkejut sekaligus gembira, ia bergegas menuju ke sisi tebing, di tengah gumpalan-gumpalan salju besar seperti bulu angsa yang berterbangan di udara, ia melihat Yue Lingshan mendaki jalan ke puncak tebing yang licin selangkah demi selangkah. Linghu Chong patuh pada perintah sang guru dan tak berani turun gunung selangkah pun, maka ia hanya menjulurkan tangannya untuk menyambutnya. Begitu tangan kiri Yue Lingshan menyentuh tangan kanannya, Linghu Chong menarik tangannya dan mengangkatnya ke atas tebing. Di senja yang remang-remang itu, terlihat sekujur tubuhnya penuh salju, rambutnya juga ikut menjadi putih. Di dahi kirinya nampak sebuah benjolan sebesar telur ayam, darah segar masih mengalir dari lukanya.
Linghu Chong berkata, "Kau......kau......" Yue Lingshan mengigit bibirnya seakan hendak menangis, ia berkata, "Aku jatuh, keranjang nasimu terjatuh ke dalam jurang, kau......kau akan kelaparan malam ini".

Linghu Chong merasa berterima kasih dan sekaligus kasihan, ia mengangkat lengan bajunya dan memakainya untuk menekan-nekan lukanya dengan pelan beberapa kali, dengan lembut ia berkata, "Adik kecil, jalan ke tebing begitu licin, seharusnya kau tak naik kemari". Yue Lingshan berkata, "Aku khawatir kau tak bisa makan, lagipula......lagipula, aku ingin bertemu denganmu". Linghu Chong berkata, "Kalau karena itu kau jatuh ke dalam jurang, apa yang bisa kukatakan pada guru dan ibu guru?" Yue Lingshan tersenyum kecil, "Coba lihat mukamu yang begitu khawatir! Bukankah aku baik-baik saja? Sayang sekali aku tak berguna, ketika aku cepat-cepat menaiki tebing, keranjang nasi dan hulu arak semua jatuh ke dalam jurang". Linghu Chong berkata, "Aku cuma ingin kau selamat, tak makan sepuluh hari pun tidak apa-apa". Yue Lingshan berkata, "Ketika setengah jalan naik ke tebing, jalan sangat licin, aku mengumpulkan tenaga dalam dan melompat beberapa kali, ketika melompat di lereng terjal di samping lima pohon cemara itu, aku benar-benar takut akan terjatuh ke dalam jurang".

Linghu Chong berkata, "Adik kecil, berjanjilah padaku, sejak saat ini kau tak boleh mengambil resiko lagi demi aku, kalau kau terjatuh ke dalam jurang, aku pasti akan menemanimu terjun".

Sepasang mata Yue Lingshan bersinar-sinar mengungkapkan rasa bahagia yang tak terlukiskan, ia berkata, "Kakak pertama, sebenarnya kau tak usah cemas, aku terpeleset ketika mengantar makanan untukmu karena aku sendiri yang tidak hati-hati, untuk apa kau merasa tak enak hati?"

Linghu Chong perlahan-lahan menggeleng dan berkata, "Bukan begitu, kalau yang mengantar makanan adalah adik keenam dan dia jatuh ke jurang hingga tewas, apa aku bisa ikut terjun untuk menemaninya?" Sambil berbicara ia masih menggeleng dengan perlahan, "Aku akan berusaha sebisaku untuk mengurus orang tua dan keluarganya, namun aku tak bisa ikut terjun ke jurang demi seorang teman". Yue Lingshan berkata dengan lirih, "Tapi kalau aku yang mati, kau lalu tak mau hidup lagi?" Linghu Chong berkata, "Benar sekali. Adik kecil, ini bukan karena kau mengantarkan nasi untukku, kalau kau mengantarkan nasi untuk orang lain dan mengalami kecelakaan, aku juga pasti tak ingin hidup lagi".

Yue Lingshan mengenggam kedua tangan Linghu Chong erat-erat, dalam hatinya muncul perasaan mesra yang tak terperi, dengan sangat lirih ia memanggil "kakak pertama". Linghu Chong ingin membentangkan lengannya dan memeluknya, namun tak berani melakukannya. Keempat mata kedua orang itu bertemu, saling berpandangan tak bergeming, sementara itu salju terus berterbangan turun dari langit tanpa henti, sedikit demi sedikit, sedikit demi sedikit, menyelimuti kedua orang itu sehingga mereka seakan berubah menjadi sepasang manusia salju.

Setelah cukup lama waktu berlalu, Linghu Chong baru berkata, "Malam ini kau tak bisa turun seorang diri. Apa guru atau ibu guru tahu kau naik kesini? Paling baik kalau mereka menyuruh orang untuk mengantarmu turun". Yue Lingshan berkata, "Pagi-pagi hari ini ayah tiba-tiba menerima surat dari Ketua Zuo dari Perguruan Songshan, katanya ada masalah mendesak yang harus dibicarakan, lalu ia dan Mama bergegas turun gunung". Linghu Chong berkata, "Apa ada orang yang tahu kau naik ke tebing atau tidak?" Yue Lingshan berkata sambil tersenyum, "Tidak ada, tidak ada. Kakak kedua, kakak ketiga, kakak keempat dan Monyet Keenam berempat ikut ayah dan Mama ke Songshan, tidak ada orang yang tahu aku naik ke tebing untuk menemuimu. Kalau tidak, Monyet Keenam pasti akan berebut mengantar nasi dengan aku, sungguh menyebalkan. Ah! Aku tahu, si bocah Lin Pingzhi itu melihat aku naik ke atas, tapi aku sudah menyuruh dia supaya tak banyak omong, kalau tidak besok akan kugebuk dia". Linghu Chong tertawa, "Aiya, kekuasaan kakak seperguruan sungguh besar". Yue Lingshan tersenyum, "Tentu saja, kalau aku tidak sok berkuasa, apa gunanya jadi kakak seperguruan? Tidak seperti kau, semua memanggilmu kakak pertama, mau apa lagi?"

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Linghu Chong berkata, "Malam ini kau tak bisa turun ke bawah, kau terpaksa sembunyi di gua semalam, besok pagi-pagi baru turun". Ia langsung menggandeng tangannya dan masuk ke dalam gua.

Gua itu sempit dan kecil, hanya cukup untuk berlindung bagi dua orang, setelah itu tidak banyak tempat untuk bergerak-gerak. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan, mengobrol tak tentu arah sampai larut malam. Makin lama Yue Lingshan bicaranya makin tak jelas, akhirnya ia memejamkan mata dan tertidur.

Linghu Chong khawatir ia masuk angin, maka ia melepaskan mantelnya dan menyelimuti tubuh gadis itu dengannya. Pantulan cahaya salju di luar masuk ke dalam gua, di bawah sinarnya yang remang-remang, ia memandang wajahnya yang mungil, dalam hati Linghu Chong merenung, "Adik kecil begitu sayang padaku, kalau tubuhku harus hancur lebur demi dirinya pun aku rela". Sambil bertopang dagu, ia termenung-menung, sejak kecil dirinya tak punya ayah ibu, ia sepenuhnya dibesarkan oleh guru dan ibu guru, diperlakukan seperti anak kandung yang disayangi. Ia adalah murid pertama ketua Perguruan Huashan, ia tak hanya lebih dahulu masuk perguruan, namun ilmu silatnya juga lebih tinggi dari murid-murid yang sepantaran dengannya, kelak ia tentunya akan menyandang mantel sang guru dan mengetuai Perguruan Huashan. Adik kecil memperlakukanku seperti ini, para saudara seperguruan juga menghormatiku, budi ini benar-benar susah dibalas, hanya saja sifatku ugal-ugalan, tak patuh pada peraturan dan sering mengundang kemarahan guru dan ibu guru. Aku harus memenuhi harapan mereka berdua, setelah ini aku harus benar-benar berusaha untuk memperbaiki kesalahanku, kalau tidak aku akan mengecewakan guru dan ibu guru, dan juga adik kecil.

Ia memandangi rambut indah Yue Lingshan yang perlahan melambai-lambai, ketika ia sedang termenung-menung, tiba-tiba terdengar suaranya memangil dengan lirih, "Bocah marga Lin, kau tak dengar kataku! Kesini, kupukul kau!" Linghu Chong terkejut, ia melihat bahwa kedua mata gadis itu masih terpejam rapat, ia berbalik ke samping, napasnya teratur, maka Linghu Chong tahu bahwa barusan ini ia berbicara dalam mimpi. Mau tak mau ia tersenyum seraya berpikir, "Kelihatannya setelah jadi kakak seperguruan, ia banyak tingkah. Beberapa hari belakangan ini, Adik Lin pasti disuruh kesana kesini, kenyang dimarahi. Mimpi pun dia masih tak lupa memakinya".

Linghu Chong berjaga di sisinya sampai hari terang, ia sama sekali tak tidur barang sekejap pun. Di malam sebelumnya Yue Lingshan sudah sangat lelah, ia tidur sampai hampir siang. Begitu terbangun, ia melihat Linghu Chong sedang menatapnya sambil tersenyum kecil, ia lantas menguap dan ikut tersenyum, "Kau bangun pagi-pagi sekali". Linghu Chong tidak memberitahunya bahwa semalaman ia sama sekali tak tidur sedikit pun, ia tersenyum dan berkata, "Kau mimpi apa? Adik Lin kau pukuli, ya?"

Yue Lingshan menelengkan kepalanya sambil berpikir untuk beberapa waktu, lalu berkata sambil tersenyum, "Kau dengar aku bicara waktu mimpi, ya? Si bocah Lin itu sangat bandel, ia tak mau dengar kataku, hihihi, siang hari aku memaki dia, waktu tidur juga memaki dia". Linghu Chong tersenyum, "Kenapa dia membuatmu tersinggung?" Yue Lingshan berkata, "Aku mimpi mengajak dia menemaniku berlatih pedang di air terjun, tapi dia menolak dengan macam-macam alasan. Aku menipu dia supaya dia mau pergi ke sisi air terjun, lalu mendorong dia masuk ke dalam air". Linghu Chong tertawa, "Aiyo, kau tak boleh berbuat begitu, bukankah itu membahayakan jiwanya?" Yue Lingshan tertawa, "Itu cuma mimpi, bukan sebenarnya, kau khawatir apa? Apa kau takut aku akan benar-benar membunuh bocah itu?" Linghu Chong tersenyum, "Siang terpikir, malamnya terbawa mimpi. Di siang hari kau pasti ingin membunuh Adik Lin, dan kau terus-terusan berpikir tentang hal itu, oleh karena itu malamnya kau memimpikannya".

Yue Lingshan mengatupkan bibirnya, lalu berkata, "Bocah itu benar-benar tak ada gunanya, ia sudah berlatih ilmu pedang tingkat dasar selama tiga bulan, tapi sama sekali masih belum bisa melakukannya dengan benar. Ia benar-benar kerja keras, berlatih siang dan malam, aku ingin marah melihatnya. Kalau aku ingin bunuh dia, untuk apa banyak pikir? Aku tinggal angkat pedang dan mengayunkannya untuk membunuh dia". Sambil berbicara, tangannya menyapu melintang, melancarkan sebuah jurus ilmu pedang Perguruan Huashan. Linghu Chong tersenyum, " 'Mega Putih Dari Gunung', melayanglah kepala si marga Lin itu!" Yue Lingshan tertawa cekikikan dengan menawan, lalu berkata, "Kalau aku benar-benar memakai jurus 'Mega Putih Dari Gunung' ini, kepalanya pasti akan melayang".

Linghu Chong tertawa, "Kalau kau jadi kakak seperguruan dan adik seperguruanmu ilmunya pedangnya jelek, seharusnya kau mengajarinya, bagaimana kau bisa begitu gampang mengayunkan pedang dan membunuh dia? Setelah ini murid-murid yang diterima guru, semua akan jadi adik seperguruanmu. Kalau guru menerima seratus orang murid, lalu kau membunuh sembilan puluh sembilan orang dalam beberapa hari, lalu bagaimana?" Yue Lingshan bertumpu pada dinding gua sambil tertawa terpingkal-pingkal, lalu berkata, "Kata-katamu itu sangat benar. Aku cuma boleh membunuh sembilan puluh sembilan orang saja, harus ada seorang yang ditinggalkan. Kalau semua dibunuh habis, siapa yang akan memanggilku kakak seperguruan?" Linghu Chong tertawa, "Kalau kau membunuh sembilan puluh sembilan adik seperguruan, yang nomor seratus akan lari jauh-jauh, kau masih tetap tak bisa jadi kakak seperguruan". Yue Lingshan tertawa, "Saat itu aku akan memaksamu memanggil aku kakak seperguruan". Linghu Chong tersenyum, "Aku tak keberatan memanggilmu kakak seperguruan, tapi nanti aku kau bunuh atau tidak?" Yue Lingshan tertawa, "Kalau kau menurut aku tak akan bunuh kau, tapi kalau kau tak menurut, tentu aku bunuh". Linghu Chong tertawa, "Adik kecil, ampunilah aku".

Linghu Chong melihat bahwa salju telah berhenti turun, ia khawatir para saudara dan saudari seperguruan memperhatikan bahwa Yue Lingshan tidak kelihatan, kalau mereka menyebarkan desas-desus yang tidak-tidak, adik kecil akan sangat dirugikan, maka setelah berbincang-bincang dan bergurau sebentar, ia mendesak Yue Lingshan supaya cepat-cepat turun dari tebing. Yue Lingshan masih enggan berpisah, katanya, "Aku masih ingin main-main disini sebentar lagi, ayah dan Mama semua tidak ada di rumah, aku bosan setengah mati". Linghu Chong berkata, "Adik yang manis, beberapa hari ini aku menciptakan beberapa jurus Ilmu Pedang Chong Ling, setelah aku bisa turun dari tebing, aku akan menemanimu berlatih pedang di air terjun". Setelah beberapa saat, ia baru bisa membujuknya untuk turun dari tebing.

Sore hari itu, Gao Genming datang mengantar nasi, ia berkata bahwa Yue Lingshan masuk angin, demamnya tak turun-turun dan ia tak bisa turun dari ranjang. Ia mengkhawatirkan kakak pertama, saat mengantarkan nasi, ia menyuruh Gao Genming supaya jangan lupa membawakan arak. Linghu Chong terkejut, ia sangat khawatir, ia tahu bahwa kemarin malam ketika Yue Lingshan terjatuh, ia sangat ketakutan. Ia ingin sekali berlari turun tebing untuk menjenguknya. Walaupun ia sudah tidak makan selama dua hari, ketika makan semangkuk nasi, tenggorokannya seakan tercekat, sukar untuk menelan. Gao Genming tahu bahwa kakak pertama dan adik kecil saling mencintai, begitu mendengar ia sakit, sang kakak pertama langsung sangat cemas, ia berusaha untuk menghiburnya, "Kakak pertama tak usah terlalu khawatir, kemarin turun hujan salju lebat, tentunya adik kecil ingin bermain salju, maka ia masuk angin. Kita adalah orang yang mempelajari ilmu silat, masuk angin sedikit tidak ada artinya, minum obat sedikit saja juga lantas sembuh".

* * *

Ternyata Yue Lingshan sakit selama lebih dari sepuluh hari, sampai suami istri Yue pulang dan menggunakan tenaga dalam untuk mengobatinya, barulah ia sedikit demi sedikit sembuh, ketika ia bisa naik ke tebing lagi, lebih dari dua puluh hari telah berlalu.

Ketika kedua orang itu bertemu lagi setelah sekian lama, mereka merasa gembira sekaligus sedih. Yue Lingshan menatap wajahnya dan berkata dengan jengah, "Kakak pertama, apa kau sakit? Kenapa kau begitu kurus?" Linghu Chong mengeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Aku tidak sakit, aku......aku......" Yue Lingshan tiba-tiba sadar, sambil menangis ia berkata, "Kau......kau mengkhawatirkan aku, sampai kau begitu kurus seperti ini. Kakak pertama, sekarang aku sudah baik-baik saja". Linghu Chong mengengam tangannya dan berkata dengan lirih, "Beberapa hari belakangan ini, 
siang malam aku memandang jalan itu, berharap saat ini akan tiba, syukur pada langit dan bumi, akhirnya kau datang juga".

Yue Lingshan berkata, "Tapi aku sering melihatmu". Linghu Chong berkata dengan heran, "Kau sering melihatku?" Yue Lingshan berkata, "Benar, ketika aku sakit, setiap kali aku menutup mataku, aku melihatmu. Hari itu ketika demamku sangat tinggi, kata Mama aku mengigau, berbicara pada dirimu. Kakak pertama, Mama sudah tahu malam itu aku menemanimu".

Wajah Linghu Chong menjadi merah, ia merasa cemas dan bertanya, "Ibu guru tidak marah?" Yue Lingshan berkata, "Ma tidak marah, tapi......tapi......" Ketika ia berbicara mengenai hal itu, kedua pipinya menjadi merah dan ia tak berbicara lagi. Linghu Chong berkata, "Tapi apa?" Yue Lingshan berkata, "Aku tak mau bilang". Linghu Chong melihat wajahnya nampak rikuh, hatinya tergetar, ia cepat-cepat menenangkan diri dan berkata, "Adik kecil, kau baru sembuh dari sakit parah, seharusnya kau tak boleh naik ke tebing dulu. Aku tahu bahwa kesehatanmu sedikit demi sedikit bertambah baik, ketika adik kelima dan adik keenam mengantarkan nasi, setiap hari mereka memberitahuku". Yue Lingshan berkata, "Kalau begitu, kenapa kau jadi kurus seperti ini?" Linghu Chong tersenyum, "Begitu kau sembuh, aku akan langsung jadi gemuk".

Yue Lingshan berkata, "Bicaralah yang jujur denganku, beberapa hari belakangan ini, setiap waktu makan, kau makan berapa mangkuk nasi? Kata Monyet Keenam, kau cuma minum arak, tak makan nasi, kalau dinasehati kau tak perduli, kakak pertama, kau......kenapa tak mengurus dirimu sendiri? Ketika ia berbicara sampai disini, pelupuk matanya agak memerah.

Linghu Chong berkata, "Omong kosong, kau tak usah dengarkan dia. Tak perduli tentang masalah apa, Monyet Keenam suka melebih-lebihkan, kapan aku cuma minum arak dan tak makan nasi?" Ketika ia berbicara mengenai hal itu, angin dingin bertiup, Yue Lingshan menggigil. Udara memang sangat dingin. Angin bertiup keseluruh sisi tebing, sama sekali tak ada pepohonan yang dapat membendungnya, kalau udara di puncak Huashan dingin, udara di atas tebing lebih dingin lagi. Linghu Chong merasa iba, ia mengangsurkan lengannya untuk memeluknya, namun ia langsung teringat guru dan ibu guru, maka ia menarik kembali lengannya dan berkata, "Adik kecil, tubuhmu belum sepenuhnya sehat, sekarang ini kau sama sekali tak boleh sampai masuk angin, cepat-cepatlah turun dari tebing. Tunggu sampai matahari bersinar cerah, dan tubuhmu sudah kuat, baru mengunjungi aku". Yue Lingshan berkata, "Aku tidak kedinginan. Beberapa hari ini, kalau angin tidak bertiup kencang, turun salju. Kalau harus menunggu hari yang cerah, entah berapa lamanya aku harus menunggu?" Linghu Chong berkata dengan cemas, "Kalau kau sampai jatuh sakit lagi, lalu bagaimana? Aku......aku......"

Yue Lingshan melihat bahwa ia kurus dan pucat, ia berpikir, "Kalau aku sakit lagi, ia pasti akan ikut jatuh sakit juga. Di atas tebing ini, tidak ada orang yang merawatnya, bukankah ini sama dengan mencabut nyawanya?" Ia terpaksa berkata, "Baiklah, aku pergi dulu. Kau harus jaga dirimu baik-baik. Jangan banyak minum arak, setiap waktu makan, makanlah tiga mangkuk besar nasi. Aku akan bicara dengan ayah, badanmu tidak sehat, kau harus makan makanan yang bergizi, tak bisa hanya makan sayur".

Linghu Chong tersenyum dan berkata, "Aku tak bisa melanggar pantangan makan daging. Begitu aku lihat kau sudah sembuh, hatiku gembira, tak sampai tiga hari aku  akan langsung gemuk. Adik manis, sekarang turunlah dari tebing".

Sorotan mata Yue Lingshan menyiratkan kemesraan dan rasa cinta, kedua pipinya bersemu merah, dengan lirih ia berkata, "Kau panggil aku apa?" Linghu Chong merasa agak jengah, ia berkata, "Aku asal bicara, adik kecil, kau jangan tersinggung". Yue Lingshan berkata, "Masa aku tersinggung? Aku senang kau panggil aku begitu". Dada Linghu Chong terasa hangat, ia ingin memeluknya, namun ia segera berpikir, "Ia memperlakukanku seperti ini, aku harus menghormatinya, bagaimana aku bisa membuatnya tersinggung?" Ia cepat-cepat berpaling dan berkata dengan lembut, "Kalau kau turun tebing nanti, kau harus melangkah dengan perlahan-lahan, kalau capek, istirahatlah sebentar, jangan sampai seperti waktu itu, buru-buru lari turun gunung". Yue Lingshan berkata, "Baik!" Perlahan-lahan ia berbalik dan melangkah ke jalan yang menuruni tebing.

Linghu Chong mendengar suara langkah kakinya sedikit demi sedikit menjauh, ia berpaling dan melihatnya berdiri hanya beberapa zhang jauhnya di lereng tebing. Ia termenung-menung menatapnya. Keempat mata mereka beradu, saling menatap untuk waktu yang cukup lama. Linghu Chong berkata, "Kau berjalanlah perlahan-lahan, kau harus berangkat sekarang". Yue Lingshan berkata, "Baik!" Kali ini ia benar-benar berbalik menuruni tebing.

Selama hari itu, Linghu Chong merasakan kebahagiaan yang belum pernah dirasakannya seumur hidupnya, ia duduk di atas batu dan tak bisa menahan diri untuk tak tertawa keras-keras, sekonyong-konyong ia mengeluarkan sebuah teriakan panjang yang mengema di lembah itu, teriakan itu seakan berkata, "Aku sangat bahagia, aku sangat bahagia!"

Keesokan harinya lagi-lagi turun salju, Yue Lingshan memang tidak datang lagi. Dari penuturan Lu Dayou, Linghu Chong tahu bahwa Yue Lingshan sangat cepat sembuh dari sakitnya, setiap hari bertambah kuat, maka ia sangat senang

Lebih dari dua puluh hari telah berlalu, Yue Lingshan naik ke tebing menjinjing sekeranjang bacang, setelah menatap wajah Linghu Chong untuk beberapa saat, ia tersenyum kecil dan berkata, "Kau tidak membohongiku, kau memang tambah gemuk". Linghu Chong melihat bahwa samar-samar di kedua pipinya muncul rona merah, ia balas tersenyum dan berkata, "Kau juga sehat, melihatmu seperti ini, aku sangat senang".

Yue Lingshan berkata, "Tiap hari aku berdebat karena ingin mengantar nasi untukmu, tapi apapun yang kukatakan, Mama tetap melarang, katanya hawa terlalu dingin, atau terlalu lembab, seakan-akan kalau naik ke Siguoya aku akan mengantar nyawa. Kataku kakak pertama siang malam ada di atas tebing, tak ada yang tahu kalau dia sakit. Kata Mama tenaga dalam kakak pertama sangat kuat, aku tak bisa dibandingkan dengannya. Mama memujimu di belakang punggungmu, kau senang atau tidak?" Linghu Chong tersenyum sambil mengangguk-angguk, lalu berkata, "Aku sering rindu pada guru dan ibu guru, apa beliau berdua baik-baik saja? Aku harap aku bisa bertemu mereka agak lebih cepat".

Yue Lingshan berkata, "Kemarin aku seharian membantu Mama membungkus bacang, dalam hati aku berpikir, aku ingin mengambil beberapa untuk kau makan. Siapa yang tahu kemarin sebelum aku sempat buka mulut, Mama berkata, 'Bawa sekeranjang bacang ini untuk Chong er'. Benar-benar tak disangka-sangka".

Tenggorokan Linghu Chong tercekat, ia berpikir, "Ibu guru sangat baik kepadaku". Yue Lingshan berkata, "Bacang ini baru direbus, masih panas, akan kukupaskan dua buah untuk kau makan". Ia membawa bacang-bacang itu ke bagian belakang gua, membuka tali pengikat bacang dan mengupas kulitnya.

Linghu Chong mencium aroma harum yang samar-samar, begitu Yue Lingshan memberinya sebuah bacang yang telah dikupas, ia segera mengigitnya. Walaupun isi bacang itu hanya sayur-sayuran, tapi beberapa macam jamur, tahu, biji teratai, kacang dan lain-lain yang dicampur menjadi satu rasanya sangat lezat. Yue Lingshan berkata, "Jamur ini aku dan Lin kecil yang memetiknya kemarin lusa......." Linghu Chong bertanya, "Lin kecil?" Yue Lingshan tersenyum dan berkata, "Betul, dia adalah Adik Lin, akhir-akhir ini aku selalu memanggilnya Lin kecil. Kemarin ia memberitahu aku kalau di bawah pohon cemara di lereng sebelah timur ada jamur, ia menemani aku memetiknya selama setengah hari, tapi cuma dapat setengah keranjang saja. Walaupun tidak banyak, rasanya enak, benar tidak? Linghu Chong berkata, "Memang sangat segar, lidahku sampai hampir tertelan. Adik kecil, kau sekarang sudah tidak memaki-maki Adik Lin lagi, ya?"

Yue Lingshan berkata, "Kenapa tak memaki dia lagi? Kalau dia tak menurut, ya aku maki dia. Hanya saja belakangan ini ia agak penurut, jadi aku tak terlalu sering memakinya. Dia berlatih pedang dengan sangat giat, jadi ada kemajuan sedikit, aku juga beberapa kali memuji dia, 'Bagus, bagus, kau melakukan jurus ini dengan benar, dibandingkan kemarin jauh lebih baik, tapi kau masih kurang cepat, ulangi lagi, ulangi lagi. Hihihi!" Linghu Chong berkata, "Kau mengajari dia berlatih pedang?" Yue Lingshan berkata, "Hah! Dia bicara pakai Bahasa Fujian, semua saudara-saudari seperguruan tidak ada yang mengerti. Aku pernah ke Fuzhou, jadi mengerti bahasanya, ayah memberi aku waktu luang untuk mengajarinya. Kakak pertama, kalau aku tak bisa menemuimu aku sangat bosan, dari pada tidak ada kerjaan, aku ajari dia beberapa jurus. Ternyata Lin kecil tidak bodoh, ia sangat cepat belajar". Linghu Chong tersenyum, "Rupanya kakak seperguruan merangkap jadi guru, tentunya dia tak berani tak menurut padamu". Yue Lingshan berkata, "Ia cuma kelihatannya saja menurut, padahal tidak. Kemarin aku suruh dia menemani aku menangkap burung kuau, tapi dia tak mau, katanya dia dia belum mempelajari dengan baik dua jurus yaitu 'Pelangi Menembus Mentari' dan 'Sabuk Langit Tergantung Terbalik', maka dia masih harus banyak berlatih lagi".

Linghu Chong agak terkejut, ia berkata, "Dia baru beberapa bulan di Huashan, tapi sudah belajar 'Pelangi Menembus Mentari' dan 'Sabuk Langit Tergantung Terbalik'? Adik kecil, ilmu pedang perguruan kita harus dipelajari secara berurutan, tidak bisa sembarangan".

Yue Lingshan berkata, "Kau tak usah khawatir, aku tak akan mengajari dia secara ngawur. Lin kecil ingin mengungguli murid-murid lain, siang malam terus berlatih. Setiap kali aku mengobrol dengannya, ia selalu cuma mengatakan tiga kalimat, lalu bertanya tentang ilmu pedang. Ilmu pedang yang untuk orang lain harus dipelajari selama tiga bulan, dapat dikuasainya dalam waktu setengah bulan saja. Kalau aku menyuruh dia menemaniku bermain, dia selalu menolak secara tidak terang-terangan".

Linghu Chong tak berkata apa-apa, tiba-tiba di dalam hatinya muncul perasaan kesal yang tak bisa dilukiskan. Bacang yang baru dua kali digigitnya sehingga tinggal separuh  itu hanya dipegang saja di tangannya.

Yue Lingshan menarik-narik lengan bajunya dan berkata sembari tertawa, "Kakak pertama, apa lidahmu tertelan sampai ke perut? Kenapa kau diam saja?" Linghu Chong terkejut, ia memasukkan bacang yang tinggal separuh ke dalam mulutnya, bau harum bacang itu amat mengoda, namun bacang itu seakan melekat di mulutnya dan tak bisa ditelan. Yue Lingshan menunjuk ke arahnya dan tertawa terkekeh-kekeh, lalu berkata, "Makannya terlalu cepat, bacangnya jadi melekat di gigi". Senyum getir muncul di wajah Linghu Chong, ia berusaha keras menelan bacang itu sambil berpikir, "Bodohnya aku! Adik kecil suka bermain, aku tak bisa turun dari tebing ini, maka dia menjadikan Adik Lin teman bermainnya, itu hal yang sangat biasa, pikiranku begitu sempit, cuma begitu saja aku marah!" Setelah memikirkan hal itu, ia segera menjadi tenang, ia berkata sambil tersenyum, "Bacang ini pasti kau yang membungkusnya, bungkusannya erat sekali, pantas saja gigi dan lidahku melekat jadi satu". Yue Lingshan tertawa terpingkal-pingkal, setelah beberapa saat, ia berkata, "Kakak pertama yang malang, harus dipenjara di tebing ini, kau jadi begitu rakus".

* * *

Catatan kaki

[1] Siguoya kurang lebih berarti 'Tebing Penyesalan'.

Bagian 2

Kali ini setelah lebih dari sepuluh hari ia baru naik ke tebing lagi, selain nasi dan arak ia juga membawa sebuah keranjang bambu yang sangat kecil, setengahnya terisi kacang pinus dan buah sarangan.
 
Linghu Chong begitu berharap sampai lehernya seakan bertambah panjang, selama sepuluh hari itu setiap kali ia bertanya tentang adik kecil pada Lu Dayou yang mengantarkan nasi, air muka Lu Dayou selalu agak aneh, bicaranya pun seperti tak bebas. Dalam hati Linghu Chong merasa curiga, namun sama sekali tak bisa mendapat jawaban yang memuaskan. Kalau ia mendesak, Lu Dayou berkata, "Kesehatan adik kecil sangat baik, setiap hari ia sangat giat berlatih pedang, sepertinya guru tak mengizinkannya naik ke tebing, supaya tidak menganggu kakak pertama". Siang malam ia menanti, sekonyong-konyong ia melihat Yue Lingshan, bagaimana hatinya tidak girang? Ketika ia melihat bahwa gadis itu nampak segar bugar, kalau dibandingkan ketika sakit jauh lebih cantik dan lincah, mau tak mau sebuah pikiran muncul di benaknya, "Tubuhnya sudah lama kembali sehat, kenapa setelah berhari-hari ia baru naik ke tebing? Apa karena guru atau ibu guru melarangnya?"
 
Ketika Yue Lingshan melihat sinar mata Linghu Chong yang seperti bertanya-tanya, wajahnya tiba-tiba menjadi merah padam, ia berkata, "Kakak pertama, sudah berhari-hari aku tak menjenggukmu, kau menyalahkan aku atau tidak?" Linghu Chong berkata, "Bagaimana aku bisa menyalahkanmu? Tentunya guru atau ibu guru melarangmu naik ke tebing, benar tidak?" Yue Lingshan berkata, "Benar, Ma mengajariku sebuah ilmu pedang baru, katanya perubahan-perubahan dalam ilmu pedang ini rumit, kalau aku naik ke tebing untuk mengobrol denganmu, perhatianku akan terpecah". Linghu Chong berkata, "Apa ilmu pedang itu?" Yue Lingshan berkata, "Coba tebak". Linghu Chong berkata, " 'Pedang Yang Wu?" Yue Lingshan berkata, "Bukan". Linghu Chong berkata, " 'Pedang Xi Yi'?" Yue Lingshan menggeleng, "Coba tebak lagi". Linghu Chong berkata, "Apa 'Pedang Gadis Cantik'?" Yue Lingshan menjulurkan lidahnya, "Itu adalah ilmu keahlian Ma, aku belum punya kemampuan untuk belajar 'Pedang Gadis Cantik' ". Aku beritahukan padamu, ilmu pedang itu ialah 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala'! " Ketika mengucapkan perkataan itu ia kelihatan sangat bangga.
 
Linghu Chong agak terkejut, dengan gembira ia berkata, "Kau sudah mulai belajar 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala'? Hmm, itu adalah ilmu pedang yang sangat sulit dan rumit". Ia langsung merasa lega. Walaupun 'Jurus Pedang Putri Kumala' hanya terdiri dari sembilan belas jurus, namun perubahan tiap jurusnya sangat rumit, kalau tidak bisa mengingat semuanya dengan jelas, satu jurus pun tak akan bisa dilancarkan. Ia pernah mendengar sang guru berkata, 'Inti dari 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala' ialah perubahannya yang luar biasa, ilmu ini agak berbeda dari ilmu-ilmu perguruan kita yang menekankan bahwa tenaga dalam mengerakkan pedang. Kekuatan fisik murid-murid perempuan lebih lemah, kalau bertemu dengan lawan yang tangguh, mereka dapat mengandalkan ilmu pedang yang cerdik ini, namun murid-murid lelaki tidak usah mempelajarinya'. Oleh karena itu Linghu Chong juga belum pernah mempelajarinya. Kalau melihat taraf ilmu silat Yue Lingshan saat ini, seharusnya ia belum boleh mempelajari ilmu pedang ini. Ketika Linghu Chong dan Yue Lingshan serta para murid lain melihat guru dan ibu guru memperagakan ilmu pedang ini, sang guru mempertunjukkan ilmu pedang menyerang yang berbeda-beda dari berbagai perguruan, ibu guru hanya menggunakan 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala' ini untuk menangkis serangannya. Sembilan belas jurus pedang itu ternyata mampu menandingi beberapa ratus jurus hebat lebih dari sepuluh ilmu pedang lain. Saat itu para murid yang melihatnya pusing tujuh keliling, sangat terheran-heran, Yue Lingshan lantas merengek-rengek pada sang ibu untuk mengajarinya. Nyonya Yue berkata, "Usiamu masih muda, pertama, tenaga dalammu belum cukup, kedua, ilmu pedang ini memerlukan banyak pemikiran, kau harus berumur dua puluh tahun sebelum kau bisa mempelajarinya. Lagipula, ilmu pedang ini gunanya untuk melawan jurus-jurus ilmu pedang perguruan lain, kalau kau hanya berlatih dengan kakak dan adik perguruan sendiri, ilmu ini akan berubah menjadi ilmu untuk melawan ilmu pedang Huashan sendiri. Chong er sudah sangat banyak mempelajari macam-macam ilmu, ia ingat cukup banyak ilmu pedang perguruan lain, ia bisa berlatih denganmu". Peristiwa ini terjadi dua tahun yang lalu, sejak saat itu, hal itu tak pernah disebut-sebut lagi, tak nyana sekarang ibu guru malah mengajarkan ilmu itu kepadanya.
 
Linghu Chong berkata, "Suasana hati guru jarang begitu baik sehingga ia mau berlatih denganmu setiap hari". Ilmu pedang ini menekankan kemampuan untukberubah-ubah sesuai dengan keadaan, dan tidak terikat kepada suatu jurus tertentu, ketika pertama kali mempelajarinya, orang yang mempelajari ilmu pedang ini harus punya teman berlatih. Di Perguruan Huashan, hanya Yue Buqun dan Linghu Chong yang mempunyai wawasan luas tentang berbagai ilmu pedang perguruan lain. Kalau Yue Lingshan ingin berlatih 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala', maka Yue Buqun sendiri harus turun tangan, setiap hari berlatih dengannya.
 
Wajah Yue Lingshan agak bersemu merah, dengan jengah ia berkata, "Ayah tak punya banyak waktu, maka setiap hari aku berlatih dengan si Lin kecil". Linghu Chong bertanya dengan heran, "Adik Lin? Apa dia tahu banyak ilmu pedang perguruan lain?" Yue Lingshan tersenyum, "Ia cuma tahu Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan warisan keluarganya. Kata ayah, walaupun kekuatan Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan itu tidak besar, namun perubahan jurusnya sangat aneh, sangat berguna untuk dijadikan perbandingan. Kalau aku mempelajari 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala', tidak ada jeleknya kalau aku mulai dengan bertanding melawan Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan". Linghu Chong mengangguk, "Rupanya begitu".
 
Yue Lingshan berkata, "Kakak pertama, apa kau tidak senang?" Linghu Chong berkata, "Tidak! Bagaimana aku bisa tak senang? Kau mempelajari ilmu pedang kelas satu perguruan kita, aku sangat senang bagimu, bagaimana aku bisa tidak gembira?" Yue Lingshan berkata, "Tapi aku lihat wajahmu, jelas-jelas kau tidak senang". Linghu Chong memaksa dirinya untuk tersenyum, "Kau sudah belajar jurus keberapa?"
 
Yue Lingshan tidak mejawab, setelah beberapa waktu, ia berkata, "Benar, dahulu ibu berkata bahwa ia akan menyuruhmu membantu aku berlatih, sekarang si Lin Kecil yang membantu aku, oleh karena itu kau tak senang, benar tidak? Tapi, kakak pertama, kau tak boleh turun dari tebing ini, sedangkan aku ingin sekali lebih dahulu berlatih pedang, oleh karena itu aku tak bisa menunggumu". Linghu Chong tertawa terbahak-bahak, "Bicaramu seperti anak kecil. Siapapun yang berlatih denganmu diantara para kakak dan adik seperguruan kita sama saja". Ia berhenti sejenak, lalu berkata sembari tersenyum, "Aku tahu kau lebih suka berlatih dengan Adik Lin, kau tak ingin aku menemanimu". Wajah Yue Lingshan menjadi merah padam, ia berkata, "Omong kosong! Kemampuan si Lin Kecil kalau dibandingkan denganmu bagai langit dan bumi, untuk apa aku ingin berlatih dengan dia?"
 
Linghu Chong berpikir, "Adik Lin baru masuk perguruan beberapa bulan, bahkan kalau ia luar biasa pintarnya, seberapa bagusnya dia?" Ia berkata, "Tentunya berlatih dengan dia banyak manfaatnya. Dengan setiap jurus kau bisa membunuh dia, dan dia tak boleh melawan, bagaimana kau tidak sangat gembira?"
 
Yue Lingshan tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Kalau hanya mengandalkan Ilmu Pedang Penakluk Kejahatannya yang seperti kucing kaki tiga, bagaimana ia bisa melawan?"
 
Linghu Chong tahu persis bahwa adik kecil suka menang, ketika ia berlatih dengan Lin Pingzhi, tentunya ia bisa menggunakan ilmu pedang yang baru dipelajarinya itu dengan sangat efektif, dan berada di atas angin pada setiap jurusnya, ilmu silat Lin Pingzhi rendah, ia benar-benar bisa menjadi rekan berlatih yang paling baik, maka rasa gundahnya langsung hilang, ia tersenyum dan berkata, "Kalau begitu ayo kita coba beberapa jurus, mari kita lihat seperti apa 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumalamu' ". Yue Lingshan sangat senang, ia berkata, "Bagus sekali, hari ini aku......hari ini aku naik ke tebing karena ingin......" Sembari tersenyum malu, ia menghunus pedangnya. Linghu Chong berkata, "Hari ini kau naik ke tebing karena kau ingin memamerkan ilmu pedang yang baru kau pelajari padaku, bagus, ayo mulai!" Yue Lingshan tersenyum, "Kakak pertama, ilmu pedangmu jauh diatasku, tapi setelah aku selesai mempelajari 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala', kau tak akan bisa mengertak aku lagi". Linghu Chong berkata, "Kapan aku pernah mengertakmu? Kau benar-benar memperlakukan orang dengan tak adil". Yue Lingshan mengangkat pedangnya dan berkata, "Kenapa kau belum menghunus pedangmu?"
 
Linghu Chong tersenyum dan berkata, "Tak usah buru-buru!" Tangan kirinya bergerak ke samping, tangan kanannya berulang-ulang memukul ke depan, katanya, "Ini adalah Ilmu Pedang Cemara Angin Perguruan Qingcheng, jurus ini namanya 'Desau Angin Bagai Guntur' ". Ia menggunakan tangannya seperti sebilah pedang dan menusuk ke bahu Yue Lingshan.
 
Yue Lingshan memiringkan tubuhnya dan mundur, ia mengayunkan pedang ke arah tangan Linghu Chong seraya berseru, "Awas!" Linghu Chong tertawa, "Tak usah sungkan-sungkan, kalau aku tak bisa menangkis, aku pasti akan menghunus pedang".
Yue Lingshan berkata dengan kesal, "Kau berani pakai tangan kosong untuk melawan
Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumalaku?" Linghu Chong tersenyum, "Saat ini kau belum selesai mempelajarinya. Setelah kau selesai mempelajarinya, aku tak akan bisa pakai tangan kosong".
 
Beberapa hari belakangan ini, Yue Lingshan amat giat berlatih 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala', ia merasa bahwa ilmu pedangnya telah maju pesat, bahkan tidak kalah kalau dibandingkan dengan seorang jago papan atas dunia persilatan. Sepuluh hari belakangan ini ia tidak naik ke tebing supaya Linghu Chong tak tahu, ia ingin membuat kejutan agar pemuda itu mengaguminya. Tak nyana ia malah tak menganggapnya serius dan hanya akan memakai tangan kosong untuk melawan Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumalanya, wajahnya lantas menjadi masam, katanya, "Kalau kau terluka karena pedangku, kau tak boleh menyalahkan aku, dan tak boleh memberitahu ayah dan ibu".
 
Linghu Chong tersenyum, "Tentu saja, kerahkanlah seluruh kemampuanmu, kalau kau menahan gerakan pedangmu, itu berarti kau tak menunjukkan kemampuanmu yang sesungguhnya". Sambil berbicara, telapak kirinya tiba-tiba menebas dengan suara berdesir, "Awas!", serunya.
 
Yue Lingshan terkejut, "Apa......apa? Tangan kirimu juga jadi pedang?"
 
Kalau tangan kiri Linghu Chong benar-benar menebas, bahu Yue Lingshan sudah terluka, ia menarik kembali tenaganya dan berkata sembari tersenyum, "Di Perguruan Qingcheng ada beberapa orang yang memakai dua pedang".
 
Yue Lingshan berkata, "Benar! Aku pernah melihat beberapa murid Perguruan Qingcheng yang mengantungkan dua pedang di ikat pinggang mereka, tadi aku lupa. Awas!" Ia balas menyerang.
 
Linghu Chong melihat bahwa ia melancarkan jurus itu dengan sebat, sepertinya sebuah jurus kelas satu dari 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala', dengan kagum ia berkata, "Jurus ini sangat bagus, tapi masih kurang cepat". Yue Lingshan berkata, "Kurang cepat? Kalau lebih cepat lagi, lenganmu bisa terpotong". Linghu Chong tertawa dan berkata, "Kalau mau tebas, tebas saja". Tangan kanannya bertindak sebagai pedang dan menebas ke lengan kirinya.
 
Yue Lingshan merasa kesal, ia mengayunkan pedangnya bagai angin dengan menggunakan jurus-jurus 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala' yang sudah dipelajarinya satu persatu dalam beberapa hari belakangan ini. Dari sembilan belas jurus ilmu pedang itu, yang diingatnya baru sembilan jurus, tapi dari sembilan jurus itu, ia hanya benar-benar bisa menggunakan enam buah saja, namun enam jurus itu pun sudah cukup kuat. Setiap kali ujung pedang mengarah ke suatu tempat, Linghu Chong sulit untuk mendekatinya. Linghu Chong mengelilinginya selagi mereka bertanding, setiap kali ia maju menyerang, ia selalu dipaksa mundur oleh jurus pedangnya yang sebat dan ganas. Suatu kali ketika ia melompat ke belakang, punggungnya terbentur sebuah batu yang menonjol. Yue Lingshan sangat puas, ia berkata sambil tersenyum, "Masih tak mau cabut pedang?"
 
Linghu Chong tersenyum, "Aku masih mau menunggu sebentar lagi". Ia memancingnya untuk menggunakan setiap jurus Pedang Gadis Kumala satu persatu, setelah bertarung beberapa saat, ia melihat bahwa ia terus mengulang-ulangi jurus yang sama, ternyata ia hanya bisa memakai enam jurus saja. Setelah mengetahuinya, ia sekonyong-konyong maju ke depan dan menebas dengan telapak kanannya sambil berseru, "Tangan maut Pedang Cemara Angin, hati-hati". Kekuatan telapaknya cukup besar, ketika Yue Lingshan melihat telapaknya menebas ke arah ubun-ubunnya, ia cepat-cepat mengangkat pedangnya. Jurus ini memang sudah ditunggu-tunggu Linghu Chong, ia segera mendorong tangan kirinya ke depan, jari tengahnya menyentil, "Trang!" Mata pedang tersentil, tangan Yue Lingshan diantara ibu jari dan telunjuknya terasa amat sakit, ia tak bisa mengenggam dengan erat, pedang pun terlepas dan melayang jatuh ke dalam jurang.
 
Wajah Yue Lingshan pucat pasi, ia menatap Linghu Chong dengan nanar, tak mengatakan sepatah kata pun sambil mengigit bibir bawahnya dengan giginya.
 
Linghu Chong berteriak, "Aiyo!" Ia bergegas menerjang ke bibir jurang, namun pedang itu sudah terjatuh ke dalam jurang yang dalamnya seribu zhang, sama sekali tak terlihat  jejaknya. Tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan hijau berkelebat di tepi jurang, sepertinya bagian dari baju seseorang, ketika Linghu Chong bisa menenangkan dirinya, sudah tak terlihat apa-apa, jantungnya berdebar-debar, ia berkata dalam hati, "Kenapa aku ini? Kenapa aku ini? Entah sudah berapa ribu kali aku berlatih pedang dengan adik kecil, namun aku belum pernah turun tangan dengan tanpa ampun seperti hari ini. Perbuatanku makin lama makin ngawur".
 
Yue Lingshan berpaling dan memandang ke dalam jurang, lalu berseru, "Pedang itu, pedang itu!" Linghu Chong juga terkejut, ia tahu bahwa pedang adik kecil itu adalah pedang istimewa yang bisa memotong besi, yang bernama 'Pedang Kolam Hijau'. Tiga tahun yang lalu, guru memperolehnya ketika ia datang ke Longquan di Zhejiang[1], begitu melihat pedang itu adik kecil tak mau melepaskannya, lalu berulang kali memohon-mohon pada sang guru untuk mendapatkannya. Mula-mula guru tak mau mengabulkan permintaannya itu, sampai saat ulang tahun ke delapan belasnya tahun ini, guru baru memberikan pedang itu sebagai hadiah ulang tahunnya. Sekarang pedang itu telah jatuh ke dalam jurang yang amat dalam, tentunya sulit untuk diambil kembali, kali ini ia benar-benar telah membuat kesalahan fatal.
 
Kaki kiri Yue Lingshan menghentak dua kali ke tanah, air mata berlinangan di pelupuk matanya, ia berbalik dan pergi. Linghu Chong berseru, "Adik kecil!" Yue Lingshan sama sekali tak mengacuhkannya dan berlari turun tebing. Linghu Chong mengejar sampai ke lereng tebing, ia mengangsurkan tangan hendak menarik lengannya, namun jari-jari tangannya hanya menyentuh lengan bajunya saja, ia menarik kembali tangannya dan memandang Yue Lingshan pergi tanpa memalingkan kepalanya lagi.
 
* * *
 
Dengan murung Linghu Chong berpikir dalam hati, "Dahulu aku selalu berusaha mengalah padanya dalam segala hal, kenapa hari ini aku menyentil pedang kesayangannya? Apakah karena ibu guru mengajarkan 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala' kepadanya, lalu aku menjadi iri hati? Tidak, tidak mungkin, pasti bukan karena itu. 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala' adalah kungfu murid-murid perempuan Perguruan Huashan, lagipula kalau adik kecil bertambah pandai, aku juga bertambah senang. Ai, karena aku begitu lama selalu sendirian di atas tebing, aku jadi gampang tersinggung. Aku cuma berharap besok dia akan naik ke tebing lagi, aku akan minta maaf yang sebesar-besarnya padanya, paling baik kalau kita bertanding pedang lagi, aku akan biarkan dia menggunakan jurus yang hebat dan menusuk lenganku. Kalau aku mengucurkan banyak darah, dia tentu akan merasa malu dan tak marah lagi padaku".
 
Semalaman itu ia sama sekali tak bisa tidur, ia bersila di atas batu besar untuk berlatih tenaga dalam untuk beberapa saat, tapi ia merasa bahwa pikirannya sulit untuk menjadi tenang, maka ia tak berani terus berlatih. Cahaya bulan masuk ke dalam gua dan menyinari dindingnya. Linghu Chong memandangi tiga huruf besar 'FENG QING YANG' yang terukir di dinding gua, ia menjulurkan jarinya dan menyusuri tulisan di dinding gua itu satu demi persatu.
 
Tiba-tiba keadaan menjadi agak gelap, sebuah bayangan nampak di dinding gua, Linghu Chong terkejut, ia cepat-cepat mengambil pedang yang ada di sisinya, tanpa sempat mencabut pedang dari sarungnya, ia menusuk ke belakang, namun ketika baru setengah jalan, sekonyong-konyong ia berseru dengan gembira, "Adik kecil!" Ia berbalik dan melihat bahwa kira-kira satu zhang diluar gua berdiri seorang lelaki yang perawakannya tinggi kurus dan memakai jubah hijau.
 
Orang ini membelakangi cahaya bulan, wajahnya ditutupi oleh secarik kain hijau, hanya sepasang matanya yang terlihat, melihat sosoknya, jelas bahwa ia belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Linghu Chong berkata dengan lantang, "Tuan siapa?" Ia segera melompat keluar gua dan menghunus pedangnya.
 
Orang itu tak menjawab, ia mengangsurkan tangan kanannya, lalu menebas dua kali ke arah kanan, ternyata gerakan itu adalah dua jurus 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala' yang digunakan Yue Lingshan siang tadi. Linghu Chong sangat heran, rasa curiganya langsung berkurang separuh, ia bertanya. "Apa tuan seorang sesepuh dari perguruan kita?"
 
Sekonyong-konyong, angin keras bertiup dan menerpa wajahnya, tanpa berpikir panjang, Linghu Chong langsung mengayunkan pedang dan menebas, pada saat itu, pundaknya terasa agak nyeri, rupanya ia telah terkena pukulan telapak orang itu, namun orang itu sepertinya tidak memakai tenaga dalam. Linghu Chong sangat terkejut, ia cepat-cepat meluncur ke sebelah kiri beberapa langkah. Tapi orang itu tidak mengejar, di tangannya ada sebilah pedang, dalam sekejap ia telah mempertunjukkan puluhan gerakan dari enam jurus 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala' secara lancar dan berkesinambungan, puluhan gerakan itu seperti satu jurus, gerakan tangannya sangat cepat, benar-benar fantastis. Setiap jurusnya adalah jurus-jurus yang dipakai oleh Yue Lingshan siang tadi untuk bertanding dengan Linghu Chong, saat itu Linghu Chong bisa melihatnya dengan jelas dibawah sinar bulan, tapi bagaimana ia bisa melancarkan puluhan gerakan itu seperti hanya satu jurus saja? Untuk sesaat mulutnya ternganga, sekujur tubuhnya seperti mati rasa.
 
Orang itu mengebaskan lengan bajunya, lalu berbalik dan masuk ke belakang gua.
 
Setelah agak lama, Linghu Chong berteriak, "Sesepuh! Sesepuh!" Ia mengejar ke belakang gua, namun di segenap penjuru hanya ada sinar rembulan yang keperakan, mana ada orang?
 
Linghu Chong terengah-engah di tengah udara yang dingin, ia berpikir, "Siapa dia? Kalau ia memainkan 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala' seperti ini, aku tak hanya sama sekali tak mungkin bisa menyentil pedang di tangannya, tapi setiap jurusnya juga bisa memotong telapakku. Tidak, tidak cuma memotong tanganku, kalau dia mau menikam aku, ia bisa menikam aku dimana saja, kalau dia mau membacok aku, dia bisa membacok aku dimana saja. Dengan enam jurus 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala' ini, Linghu Chong bisa dibantai olehnya. Ternyata ilmu pedang ini memiliki kekuatan yang begitu besar". Ia memikirkan hal itu kembali, "Tentunya bukan karena kekuatan ilmu pedang itu, tapi karena cara menggunakannya. Dengan cara memakai pedang seperti itu, walaupun ilmu pedangnya biasa-biasa saja, aku sama sekali tidak akan bisa melawan. Siapa orang ini? Kenapa ia bisa berada di puncak Huashan?"
 
Ia merenung selama beberapa waktu, ia sama sekali tak mengerti, tapi ia berpikir bahwa guru dan ibu guru pasti tahu asal usul orang ini, besok pagi kalau adik kecil naik ke tebing, ia akan memintanya untuk bertanya pada guru dan ibu guru.
 
* * *
 
Namun keesokan harinya Yue Lingshan sama sekali tidak naik ke tebing, pada hari ketiga dan keempat pun ia belum datang. Setelah delapan belas hari berlalu, ia baru naik ke tebing bersama dengan Lu Dayou. Selama delapan belas hari dan malam, Linghu Chong merindukannya, dadanya penuh kata-kata yang ingin dikatakannya, tapi karena ada Lu Dayou disampingnya, ia tak bisa mengucapkannya.
 
Setelah makan, Lu Dayou memahami maksud hati Linghu Chong, ia berkata, "Kakak pertama, adik kecil, kalian sudah berhari-hari tak berjumpa, kalian mengobrol saja dulu, aku akan bawa keranjang nasi turun untuk dicuci". Yue Lingshan tersenyum dan berkata, "Monyet Keenam, masa kau mau kabur? Kita datang bersama-sama, maka kita akan pergi bersama-sama juga". Sambil berbicara, ia berdiri. Linghu Chong berkata, "Adik kecil, aku mau bicara denganmu". Yue Lingshan berkata, "Baiklah, kakak pertama mau bicara. Monyet Keenam, berdirilah dan dengarkan nasehat kakak pertama". Linghu Chong menggeleng, "Aku bukan mau memberi nasehat. 'Pedang Kolam Hijau' milikmu......" Yue Lingshan cepat-cepat berkata, "Aku sudah berkata pada Ma bahwa karena aku tidak hati-hati waktu berlatih 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala', pedangku terlepas dan jatuh ke dalam jurang, dan setelah itu dicari tapi tidak ketemu. Aku menangis, tapi Ma tidak memarahiku, malah menghiburku. Katanya, lain kali ia akan berusaha mencari pedang yang bagus untuk diberikan kepadaku. Masalah ini sudah lama selesai, untuk apa membawa-bawanya lagi?" Seraya berkata ia mengangkat bahunya dan tersenyum.
 
Semakin ia menganggap enteng masalah itu, Linghu Chong semakin merasa tak tenang, ia berkata, "Kalau masa hukumanku sudah selesai, setelah turun gunung, aku pasti akan pergi ke dunia persilatan dan mencari pedang bagus untukmu". Yue Lingshan tersenyum kecil, "Kita semua kakak dan adik seperguruan, untuk apa selalu mengingat-ingat pedang itu? Lagipula, aku sendiri yang menjatuhkan pedang itu hingga masuk ke dalam jurang. Ini terjadi karena belajarku belum benar, siapa yang mau dipersalahkan? Kita blusaha sekwat tega, namun tiap olang halus nlima nasibnya " Sambil berkata, ia tertawa terkekeh-kekeh. Linghu Chong terkejut dan berkata, "Apa katamu?" Yue Lingshan tersenyum, "Ah, kau tak tahu, ini adalah perkataan yang sering diucapkan Lin kecil, 'berusahalah sekuat tenaga, namun setiap orang harus menerima nasibnya', lafalnya tidak jelas, maka aku menirukannya untuk mengolok-olok dia, hahaha, 'blusaha sekwat tega, namun tiap olang halus nlima nasibnya' "
 
Linghu Chong samar-samar tertawa getir, mendadak ia teringat sesuatu, "Pada hari itu ketika adik kecil menggunakan 'Sembilan Belas Jurus Pedang Putri Kumala', kenapa aku menggunakan Ilmu Pedang Cemara Angin milik Perguruan Qingcheng? Mungkinkah kalau dalam hati aku ingin menggunakannya untuk melawan Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan Adik Lin? Biro Pengawalan Fu Wei milik keluarga Lin sudah hancur tercerai berai sepenuhnya di tangan Perguruan Qingcheng, apa aku sengaja ingin mengejek dia? Bagaimana aku bisa kejam dan berpikiran sempit seperti ini". Ia berpikir lebih lanjut, "Hari itu di Wisma Kumala di Hengshan, aku hampir kehilangan nyawa terkena pukulan telapak Yu Canghai, hanya karena Adik Lin yang dengan tidak memperdulikan keselamatannya sendiri berseru 'Tua menganiaya muda, benar-benar tak tahu malu', Yu Canghai lalu menahan pukulannya. Boleh dibilang bahwa aku berhutang budi pada Adik Lin karena ia telah menyelamatkan nyawaku". Setelah berpikir tentang hal itu, mau tak mau ia merasa malu, ia menghela napas dan berkata, "Adik Lin memang cerdas dan giat bekerja, setelah adik kecil memberinya petunjuk selama beberapa hari ini, kemungkinan ia telah mengalami kemajuan pesat. Sayang sekali dalam setahun ini aku tak bisa turun gunung, kalau tidak aku harus membantu dia berlatih pedang untuk membalas budinya".
 
Alis Yue Lingshan yang cantik terangkat, "Bagaimana kau bisa berhutang budi pada si Lin Kecil? Aku tak pernah mendengar dia bicara tentang hal itu?"
 
Linghu Chong berkata, "Tentunya dia sendiri tak bisa bicara tentang hal itu". Ia menceritakan kejadian hari itu secara terperinci.
 
Yue Lingshan nampak termenung untuk beberapa saat, lalu ia berkata, "Pantas saja ayah memuji dia sebagai orang yang punya sikap ksatria, oleh karena itu ayah menolong membebaskan dia dari 'Si Bongkok Dari Utara' itu. Dahulu aku kira dia itu tolol, ternyata dia pernah membela dirimu dengan mempertaruhkan nyawanya, dengan cara berteriak seperti itu". Ketika berbicara sampai disitu, ia tak bisa menahan tawa, "Dengan hanya mengandalkan kepandaiannya yang cuma begitu-begitu saja, ternyata ia bisa menyelamatkan murid pertama Perguruan Huashan, dan juga membunuh putra kesayangan ketua Perguruan Qingcheng demi putri ketua Perguruan Huashan. Hanya karena dua hal ini, ia sudah bisa mendapatkan nama besar di dunia persilatan. Namun siapa yang menyangka, seorang pendekar besar pembela keadilan seperti ini, hehehe, pendekar besar Lin, Lin Pingzhi, ilmu silatnya ternyata begitu rendah".
 
Linghu Chong berkata, "Ilmu silat bisa dilatih, namun sikap ksatria datang dari dalam, hal inilah yang menentukan tinggi atau rendahnya moral seseorang". Yue Lingshan tersenyum kecil, "Waktu aku mendengar ayah dan Mama berbicara tentang si Lin Kecil, mereka juga mengatakan hal yang sama. Kakak pertama, selain sikap ksatria, ada suatu sifat lain yang sama-sama dipunyai olehmu dan Lin Kecil". Linghu Chong berkata, "Sifat apa yang sama? Apa sifat cepat naik darah?" Yue Lingshan tertawa, "Sikap angkuh, kalian berdua sama-sama sangat angkuh".
 
Lu Dayou mendadak menyela, "Kakak pertama adalah pemimpin semua saudara seperguruan, memang sudah sepantasnya kalau ia agak angkuh. Memangnya si marga Lin itu siapa? Berani-beraninya ia bersikap angkuh di Huashan". Nada bicaranya penuh rasa permusuhan terhadap Lin Pingzhi. Linghu Chong terperangah, ia bertanya, "Monyet Keenam, kapan Adik Lin pernah menyinggungmu?" Lu Dayou berkata dengan gusar, "Dia tidak menyinggungku, tapi semua saudara seperguruan merasa muak padanya".
 
Yue Lingshan berkata, "Kakak keenam, kau kenapa? Kau selalu membuat susah si Lin Kecil. Dia adalah adik seperguruanmu, sebagai kakak seperguruan, seharusnya kau harus agak sabar terhadap dia". Lu Dayou mendengus dan berkata, "Kalau ia tahu diri, itu bagus, tapi kalau tidak, si marga Lu ini tak bisa membiarkannya". Yue Lingshan berkata, "Bagaimana ia tak tahu diri?" Lu Dayou berkata, "Dia......dia......dia......" Setelah mengucapkan kata "dia" tiga kali, ia tak meneruskan berbicara. Yue Lingshan berkata, "Ada masalah apa? Kenapa kau tergagap-gagap begini?" Lu Dayou berkata, "Aku harap Monyet Keenam ini salah lihat dan salah tanggap". Wajah Yue Lingshan samar-samar bersemu merah dan ia tak bertanya lagi. Lu Dayou berkata bahwa ia ingin 
pergi, maka Yue Lingshan lalu turun gunung bersamanya.
 
Linghu Chong berdiri di tepi tebing, ia menatap punggung kedua orang itu sambil termangu-mangu, sampai kedua orang itu menghilang di balik lembah. Sekonyong-konyong, dari balik lembah muncullah suara nyanyian Yue Lingshan yang jernih, iramanya riang dan mengalir. Sejak kecil ia dan Yue Lingshan dibesarkan bersama-sama, entah sudah berapa kali ia mendengarnya bernyanyi, namun ia belum pernah mendengar lagu ini. Lagu-lagu yang biasanya dinyanyikan oleh Yue Lingshan semuanya lagu-lagu daerah Shanxi, suku kata terakhirnya dipanjang-panjangkan, berkumandang dengan merdu di lembah-lembah pegunungan. Namun lagu ini seperti mutiara yang jatuh ke dalam air, setiap katanya pendek-pendek dan jelas. Linghu Chong menyimak lirik lagu itu dengan seksama, sayup-sayup ia mendengar beberapa kata, "Kakak adik, mari naik gunung memetik teh", namun lafalnya aneh, dari sepuluh kata yang didengarnya, ia tak bisa mengerti delapan atau sembilan kata, pikirnya, "Entah kapan adik kecil belajar lagu baru ini, sungguh enak didengar, nanti kalau sudah turun gunung aku akan minta dia menyanyikannya sekali lagi".
 
Mendadak dadanya seperti dipukul dengan godam besi, tiba-tiba ia sadar, "Ini adalah lagu daerah Fujian yang diajarkan Adik Lin padanya!"
 
* * *
 
Malam itu pikirannya bergejolak, Linghu Chong tak bisa tidur, dalam telinganya masih terngiang lagu daerah berirama riang yang lafalnya sulit dimengerti yang dinyanyikan oleh Yue Lingshan itu. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya sendiri, "Linghu Chong, oh Linghu Chong, dahulu kau begitu bebas merdeka tanpa beban, namun sekarang karena lagu ini, hatimu terbelenggu, bagaimana kau bisa disebut seorang lelaki sejati?"
 
Walaupun ia tahu bahwa ia seharusnya tak melakukan hal itu, namun suara Yue Lingshan yang menyanyikan lagu daerah Fujian itu masih terus terngiang-ngiang di telinganya. Hatinya galau, ia mengangkat pedang dan membacok secara membabi buta ke dinding gua, ia merasa tenaga dalam muncul di dantiannya, ia menikam ke depan, gerakannya seperti 'Jurus Tanpa Tanding Keluarga Ning' Nyonya Yue. "Trang!" Secara tak disangka-sangka, pedang masuk ke dalam dinding gua sampai ke gagangnya.
 
Linghu Chong terkejut, ia berpikir bahwa kalaupun dalam beberapa bulan ini tenaga dalamnya maju pesat, namun ia pasti belum bisa menusukkan pedang hingga menembus dinding karang sampai ke gagangnya, untuk melakukan hal itu, tenaga dalam yang hebat harus dimasukkan ke dalam mata pedang sehingga mata pedang bisa menembus batu, seperti menusuk kayu lapuk saja. Bahkan guru dan ibu guru pun belum tentu memiliki kemampuan seperti itu. Ia berdiri disitu sambil tertegun, lalu ia menarik keluar mata pedang itu, tangannya segera merasakan bahwa lapisan dinding karang itu ternyata rapuh, setelah dua atau tiga cun terdapat ruangan kosong, ternyata dibalik dinding karang itu ada sebuah gua.
 
Rasa ingin tahunya timbul, ia mengangkat pedangnya dan menusuk lagi, "Trang!" Pedang itu putus menjadi dua, ternyata kali ini tenaga dalamnya tidak cukup, masih ada dua atau tiga cun lagi yang belum bisa ditembusnya. Ia memaki, lalu pergi ke luar gua untuk mengambil sebongkah batu besar, lalu menghantamkannya ke dinding karang itu. Ketika batu beradu dengan dinding karang, sayup-sayup terdengar gema dari balik dinding karang itu, jelas bahwa di baliknya terdapat sebuah ruangan kosong yang besar. Ia kembali menghantam dinding karang itu, tiba-tiba, "Brak!" Batu itu berhasil menembus dinding karang dan terhempas ke tanah dibaliknya. Namun ia mendengar bahwa suara gedubrakan masih belum berhenti, rupanya batu itu masih terus terguling-guling.
 
Begitu ia menemukan bahwa di balik dinding karang ada sebuah gua, dalam sekejap segala kecemasan yang diperam di dadanya menghilang di awang-awang, ia kembali mengambil sebuah batu dan menghantamkannya ke dinding karang. Tak sampai beberapa kali, sebuah lubang muncul di dinding karang yang cukup untuk dimasuki kepala. Ia terus memperbesar lubang itu, menyulut sebuah obor, lalu masuk kedalamnya. Di dalamnya ia melihat sebuah lorong karang yang amat sempit, ketika menunduk untuk melihatnya, tiba-tiba sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Di samping kakinya tergeletak sebuah kerangka manusia.
 
Pemandangan ini begitu mengejutkan, ia menenangkan diri dan berpikir, "Apakah ini kuburan orang zaman dahulu? Tapi kenapa kerangka ini tidak terlentang tapi tertelungkup seperti ini? Kalau melihat keadaannya, lorong yang sempit ini bukan lorong yang menuju ke makam". Ia membungkuk dan memandang kerangka itu, ia melihat bahwa baju yang dipakainya sudah hancur menjadi debu, sehingga nampak tulang-tulangnya yang putih bersih, di sebelah tengkorak itu tergeletak dua buah kapak besar yang terlihat masih berkilauan di bawah cahaya obor.
 
Ia mengangkat sebuah kapak, kapak itu terasa amat berat dalam genggamannya, paling tidak lebih dari empat puluh jin beratnya, ia mengangkat kapak itu dan menggunakannya untuk membacok dinding karang di sampingnya, "Krak!" Sebongkah batu besar segera jatuh ke tanah. Ia kembali terkejut, "Kapak ini begitu tajam, sangat luar biasa, tentunya adalah senjata seorang sesepuh dunia persilatan". Ia melihat bahwa dinding karang yang terkena bacokan kapak itu sangat halus, seperti tahu yang dipotong dengan pisau, di sekitarnya juga banyak bekas-bekas bacokan kapak. Ia merenungkan hal itu untuk beberapa saat, lalu ia mengangkat obor dan berjalan maju, ternyata seluruh gua itu penuh bekas-bekas bacokan. Ia merasa sangat terkejut, "Ternyata lorong ini dibuat oleh orang itu dengan kapak yang tajam itu. Aku tahu, ketika ia tengah terkurung di gunung ini, ia menggunakan kapak untuk untuk menggali jalan keluar, namun ia tak berhasil, padahal hanya kurang beberapa cun saja sebelum ia bisa keluar. Saat itu ia putus asa, kehabisan tenaga dan lantas mati. Nasib orang ini buruk". Ia berjalan lebih dari sepuluh zhang lagi, namun lorong itu belum berakhir, ia berpikir lagi, "Orang ini menggali terowongan di gunung seperti ini, kemauannya sangat keras dan ilmu silatnya hebat, benar-benar orang yang sangat jarang ditemukan". Mau tak mau ia sangat kagum pada orang itu.
 
Setelah berjalan beberapa langkah lagi, ia melihat bahwa di atas tanah tergeletak dua buah kerangka, yang satu duduk bersandar pada dinding, sedangkan yang satu lagi meringkuk, ia berpikir, "Ternyata yang disekap di dalam gunung ini tidak hanya satu orang saja". Lagi-lagi ia berpikir, "Tempat ini adalah tempat penting milik Perguruan Huashan kami, orang luar sulit untuk datang kemari, mungkinkah kerangka-kerangka ini adalah para sesepuh Perguruan Huashan yang melanggar peraturan perguruan dan dikurung sampai mati disini?"
 
Ia berjalan beberapa zhang lagi dan mengikuti terowongan itu berbelok ke kiri, di hadapannya muncul sebuah gua yang amat besar, cukup untuk menampung seribu orang. Di dalam gua itu ada tujuh kerangka, ada yang duduk dan ada yang berbaring, di sisi mereka masing-masing tergeletak sebuah senjata. Ada sepasang piring besi, sepasang kuas tulis, sebuah toya besi, sebuah gada tembaga, sebuah senjata yang seperti gada penolak guntur, ada lagi yang mirip dengan golok bermata dua berujung tiga yang penuh gigi serigala, dan masih ada lagi sebuah senjata yang bukan golok tapi juga bukan pedang, yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Linghu Chong berpikir, "Orang-orang yang memakai senjata-senjata dari perguruan lain dan orang yang bersejata kapak tajam itu pasti bukan murid perguruan sendiri". Tak jauh dari situ tergeletak lebih dari sepuluh buah pedang, ia mendatanginya dan mengangkat sebuah, ia melihat bahwa pedang itu lebih pendek dari pedang biasa, namun mata pedangnya lebih lebar dua kali dibandingkan pedang biasa, terasa berat di genggamannya, pikirnya, "Ini adalah pedang yang dipakai oleh Perguruan Taishan. Pedang-pedang lain yang ringan dan lentur, adalah senjata Perguruan Hengshan; ada juga yang mata pedangnya melengkung, ini adalah salah satu dari tiga macam pedang yang dipakai oleh Perguruan Heng Shan; ada juga yang mata pedangnya tumpul, namun ujungnya sangat tajam, ini adalah senjata yang disukai oleh beberapa sesepuh Perguruan Songshan; tiga pedang lainnya, panjang dan beratnya sama dengan pedang yang biasa dipakai perguruan sendiri". Makin lama ia makin heran, "Disini tergeletak banyak senjata milik Perguruan Pedang Lima Puncak, apa sebabnya?"
 
Ia mengangkat obor untuk meneliti seluruh penjuru gua itu, ia melihat bahwa di dinding gua sebelah kanan terdapat sebuah batu besar yang mengantung beberapa zhang diatas tanah, seperti sebuah panggung. Di dinding gua dibawah batu besar itu terukir enam belas huruf besar: "PERGURUAN PEDANG LIMA PUNCAK, HINA TAK TAHU MALU, TAK BISA MENANG BERTANDING, LALU MEMAKAI CARA KOTOR". Semuanya ada empat baris yang masing-masing terdiri dari empat huruf, setiap huruf tingginya sekitar satu chi, diukir dalam-dalam di dinding gua dengan senjata yang sangat tajam sedalam beberapa cun. Keenam belas huruf itu seperti ditulis dengan penuh kemarahan. Ia juga melihat bahwa di samping keenam belas huruf tersebut diukir juga huruf-huruf kecil lain yang tak terhitung jumlahnya, semuanya berbunyi seperti "Bajingan Hina", "Sangat Memalukan", "Bodoh", "Pengecut", dan makian lain, dinding gua itu penuh kalimat-kalimat makian. Linghu Chong sangat geram, ia berpikir, "Ternyata orang-orang ini ditangkap oleh Perguruan Pedang Lima Puncak kami dan dikurung disini, mereka marah namun tak bisa melampiaskannya, maka mereka mengukir kata-kata makian di dinding gua, perbuatan ini hina dan memalukan". Ia berpikir lagi, "Tapi aku masih tak tahu siapa orang-orang ini sebenarnya. Karena mereka memusuhi Perguruan Pedang Lima Puncak, mereka pasti bukan orang baik".
 
Ketika ia mengangkat obor untuk menerangi dinding gua lagi, ia melihat sebaris huruf ukiran yang berbunyi, "Fan Song dan Zhao He memecahkan ilmu pedang Perguruan Hengshan disini". Di samping barisan huruf itu terdapat gambar-gambar manusia yang tak terhitung banyaknya, setiap kelompok terdiri dari dua orang, yang satu memegang pedang dan yang satu memegang kapak, dihitung secara kasar, paling tidak ada lima atau enam ratus gambar manusia. Jelas bahwa gambar-gambar orang yang memegang kapak sedang memecahkan ilmu pedang gambar-gambar orang yang memegang pedang.  
 
Di samping gambar-gambar orang itu terdapat sebaris huruf lagi yang berbunyi, "Zhang Chengfeng dan Zhang Chengyun memecahkan semua ilmu pedang Huashan". Linghu Chong murka, ia berpikir, "Bajingan tak tahu malu, berani-beraninya menyombongkan diri. Ilmu pedang Huashan dalam dan rumit, di kolong langit ini yang bisa menangkalnya bisa dihitung dengan jari, siapa yang berani mengucapkan kata 'memecahkan' ini? Dan siapa lagi yang berani mengucapkan kata 'memecahkan semua'?" Ia berbalik dan mengangkat sebilah pedang Perguruan Songshan yang berat, lalu membacok sebaris huruf itu dengan menggunakan tenaga dalam, "Trang!" Bunga api berterbangan, sebagian kata "semua" itu berhasil dibacok sampai hilang, namun ketika ia sedang membacok, ia menyadari bahwa batu itu sangat keras, walaupun menggunakan senjata yang sangat tajam, mengambar atau menulis sesuatu di atas dinding gua itu sangat sukar.
 
Dengan seksama, ia memperhatikan gambar-gambar yang terdapat di samping barisan huruf itu, walaupun gambar orang yang memegang pedang diukir dengan sembarangan, garis-garisnya sederhana dan kasar, namun dari gerakan-gerakannya ia dapat melihat bahwa itu adalah ilmu dasar perguruannya sendiri yang bernama 'Burung Hong Datang Menyembah', yang gerakannya bagai menari di udara, lincah dan cepat. Gambar orang lawannya membawa sebuah senjata yang digambar sebagai garis lurus, entah sebuah toya atau tombak, namun ia melihat bahwa ujung senjata itu menunjuk pada ujung pedang, gerakannya kelihatannya aneh dan kikuk. Linghu Chong tertawa sinis sambil berpikir, "Dalam jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' perguruan kami tersembunyi lima perubahan, bagaimana bisa dipecahkan oleh jurus kikuk ini?" 
 
Namun setelah ia melihat kembali postur orang dalam gambar itu, dalam gerakannya yang kikuk itu ternyata mengandung banyak gerakan-gerakan yang berkesinambungan. Jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' mengandung lima macam perubahan, tapi gerakan tongkat itu samar-samar seperti mengandung enam atau tujuh macam perubahan, jauh lebih banyak dari yang diperlukan untuk mengalahkan jurus ''Burung Hong Datang Menyembah'.
 
Linghu Chong memandangi gambar-gambar itu tanpa berkedip, ia sangat terkejut, pikirnya, "Gerakan-gerakan jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' perguruan kami ini sangat biasa, namun perubahan-perubahannya sangat dahsyat, kalau musuh cerdik ia akan menangkis dan menghindarinya, kalau ia melawannya, ia akan menderita kekalahan telak. Tapi lawan yang memakai toya ini benar-benar bisa memecahkan jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' kami, ini......ini......ini......" Sedikit demi sedikit rasa tercengangnya berubah menjadi rasa kagum, mau tak mau, dalam hatinya timbul rasa jeri yang amat sangat.
 
Ia terpaku menatap kedua gambar orang itu sehingga tak tahu berapa lama waktu yang telah berlalu, mendadak tangan kanannya terasa amat sakit, ternyata obor telah terbakar habis sampai ke tangkainya dan membakar tangannya. Ia mengayunkan tangan dan melempar obor itu seraya berpikir, "Obor sudah terbakar habis, di dalam gua ini gelap gulita". Ia cepat-cepat berlari ke gua yang berada di depan dan mengambil lebih dari sepuluh batang kayu bakar cemara yang sedianya akan digunakan untuk menghangatkan gua atau memasak, lari kembali ke gua belakang, lalu menyalakannya dengan menggunakan obor yang hampir padam. Ia kembali memandangi gambar-gambar kedua orang itu sambil berpikir, "Orang yang membawa tongkat ini kemampuannya hampir sama dengan orang perguruan kami yang membawa pedang,  orang perguruan kami itu bisa terluka; kalau ilmu musuh sedikit lebih tinggi, ketika kedua jurus ini bertemu, si pembawa pedang akan menghantar nyawa. Jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' kami ini.......benar-benar sudah dipecahkan oleh orang ini, tidak ada gunanya lagi!"
 
Ketika ia menelengkan kepalanya selagi memandangi kelompok gambar kedua, ia melihat bahwa jurus yang dipakai orang yang berpedang ialah jurus 'Cemara Hijau Menyambut Tamu' dari perguruan sendiri, ia segera menjadi bersemangat. Dahulu ketika ia mempelajari jurus ini ia memerlukan waktu sebulan untuk melatihnya sampai mahir, jurus ini adalah jurus simpanan nomor satunya dalam menghadapi musuh. Ia merasa bersemangat bercampur sedikit rasa takut, ia khawatir kalau jurus ini juga bisa dipecahkan oleh orang itu. Ketika ia melihat gambar orang yang bertoya, ia melihat bahwa di tangannya ada lima buah toya yang masing-masing mengarah ke bagian bawah tubuh orang berpedang di lima titik yang berbeda. Ia langsung merasa kaget, "Bagaimana bisa ada lima toya?" Tapi ia kembali memperhatikan postur si pembawa toya sehingga ia mengerti, "Ini bukan lima buah toya, tapi gambar dia sedang memukul lima kali dengan cepat ke arah lima titik di bagian bawah tubuh musuh. Tentunya kalau ia bisa bergerak dengan cepat, aku juga bisa cepat. Ia belum tentu bisa memukul lima kali. Jadi jurus ''Cemara Hijau Menyambut Tamu' ini akhirnya tidak bisa dipecahkan". Ia merasa puas, tapi tiba-tiba ia tertegun, akhirnya ia sadar, "Dia bukan susul menyusul memukul lima kali, tapi ia sekaligus memukul ke arah kelima titik itu, bagaimana aku bisa menghindarinya?"
 
Ia mengambil sebilah pedang milik perguruan sendiri dan melancarkan jurus 'Cemara Hijau Menyambut Tamu' itu, ia mengamati gambar di dinding gua itu dengan seksama dan membayangkan bagaimana musuh akan memukul dengan toya, kalau ia tahu dari mana ia akan menyerang, ia akan tahu bagaimana cara menghadapinya. Namun kalau toya itu bisa memukul dari lima tempat yang berbeda, saat itu pedangnya sendiri sudah akan menikam ke arah tertentu dan tentunya tak bisa ditarik kembali, kecuali kalau tikaman itu bisa langsung membunuh musuh, kalau tidak bagian bawah tubuhnya akan terkena pukul, tapi karena musuh adalah seorang jago, bagaimana mungkin ia bisa terbunuh hanya dengan satu tikaman? Melihat postur musuh yang merendahkan bahunya sambil bergeser, ia pasti bisa menghindari tikaman pedangnya. Setelah musuh menghindari tikaman pedang itu, kalau ia menyerang balik, dirinya tak akan bisa menghindarinya. Kalau begitu, bukankah jurus 'Cemara Hijau Menyambut Tamu' Perguruan Huashan itu juga sudah terpecahkan?
 
Linghu Chong ingat bahwa ia telah tiga kali menggunakan jurus 'Cemara Hijau Menyambut Tamu' ini untuk meraih kemenangan, namun kalau musuh telah melihat gambar di dinding gua dan tahu cara melawan seperti ini, tak perduli apakah musuh menggunakan toya atau tombak, begitu ia menggunakannya, ia tentunya akan mati atau terluka, jangan-jangan di dunia ini sudah tak ada orang yang bernama Linghu Chong lagi. Semakin lama ia memikirkannya, ia makin takut, keringat dingin mengucur di dahinya, ia berbicara pada dirinya sendiri, "Tak mungkin, tak mungkin! Kalau benar-benar ada cara untuk memecahkan jurus 'Cemara Hijau Menyambut Tamu' seperti ini, bagaimana mungkin guru tidak tahu? Bagaimana mungkin ia tidak memberitahuku?" Namun ia benar-benar tahu seluk beluk jurus ini, sehingga ia tahu betapa berbahayanya kelima pukulan yang cepat dan ganas itu. Walaupun gambar itu hanya terdiri atas lima garis pendek-pendek, namun setiap garisnya seakan memukul betis dan tulang keringnya keras-keras. Tiba-tiba, pahanya terasa sakit dan ia terduduk di tanah.
 
Perlahan-lahan ia bangkit, dan melihat gambar-gambar itu lagi, semua jurus pedang yang diukir di dinding gua itu ialah jurus andalan perguruan sendiri, tapi musuh sangat pandai dan bisa memecahkan jurus-jurus itu dengan gerakan yang ganas dan kejam, makin lama memandanginya, Linghu Chong makin ketakutan. Ketika ia melihat jurus 'Pohon Jatuh Tanpa Batas' dan toya musuh tampak tak berdaya, hanya mampu bertahan saja, mau tak mau ia menghembuskan napas panjang dan berpikir, "Akhirnya ada jurus yang tak bisa kau pecahkan!"
 
Ia ingat pada bulan dua belas tahun lalu, ketika guru melihat salju yang turun dengan lebat berterbangan seakan menari dan menjadi bersemangat. Ia mengumpulkan semua murid untuk membicarakan ilmu pedang, setelah pelajaran berakhir, ia memperagakan jurus 'Pohon Jatuh Tanpa Batas' itu. Tikaman pedangnya sangat cepat, setiap kali menikam ia menusuk bunga es yang melayang-layang di udara, bahkan ibu guru pun sampai bertepuk tangan dan bersorak, lalu berkata, "Kakak, aku kagum terhadap jurusmu ini, kau memang pantas menjadi ketua Perguruan Huashan". Sang guru tersenyum dan berkata, "Untuk memimpin Perguruan Huashan diperlukan kebajikan bukan kekuatan, bukan karena sudah menguasai satu jurus lantas bisa menjadi ketua perguruan". Ibu guru berkata, "Apa kau tak malu? Apa kau lebih bajik dari aku?" Guru tersenyum dan tak berkata-kata lagi. Ibu guru sangat jarang memuji orang, ia suka bersaing dengan guru, kalau ibu guru sampai memuji, tentunya bisa dibayangkan betapa lihainya jurus 'Pohon Jatuh Tanpa Batas' itu. Setelah itu guru menerangkan, bahwa nama jurus ini berasal dari sebaris puisi Dinasti Tang yang kedengarannya seperti 'Pohon Jatuh Tanpa Batas' atau semacam itu. Waktu itu guru membacakannya, tapi ia tidak bisa mengingatnya, sepertinya puisi itu bercerita tentang berpuluh ribu dedaunan yang luruh dari pohon dan melayang-layang di udara, oleh karena itu ilmu pedang ini juga harus meliputi segala penjuru.
 
Ia kembali memandang gambar orang yang bertoya, orang itu meringkuk dalam posisi yang tak enak dipandang mata, seperti sedang menghindari kena pukul. Linghu Chong merasa geli, namun tiba-tiba senyum di wajahnya menjadi beku, punggungnya menjadi sedingin es, bulu romanya berdiri. Matanya menatap toya yang dipegang orang itu dengan tak berkedip, semakin lama melihat, ia semakin yakin bahwa posisi toya yang menghadap ke segala penjuru itu sangat lihai. Tusukan kesembilan, kesepuluh, kesebelas dan keduabelas.......setiap tusukan dari jurus 'Pohon Jatuh Tanpa Batas' itu akan mengenai toya itu. Posisi toya itu nampak kikuk ketika pertama kali dilihat, tapi ternyata sangat cerdik, kelihatannya aneh dan lemah, tapi sebenarnya sangat kuat, benar-benar telah mencapai taraf 'dengan diam melawan gerakan, dengan kebodohan melawan kepintaran'.
 
Dalam sekejap, kepercayaannya terhadap ilmu silat perguruan sendiri menghilang dengan tuntas, ia berpikir bahwa kalaupun ia mempelajari ilmu pedang sampai sesempurna sang guru, begitu bertemu dengan orang bertoya ini, ia akan seperti diikat tangan dan kakinya, sama sekali tak bisa melawan, untuk apa ia mempelajari ilmu pedang itu? Apakah ilmu pedang Perguruan Huashan benar-benar begitu rapuh? Kerangka yang ada di dalam gua ini entah sudah berapa lama membusuk, paling tidak sudah tiga atau empat puluh tahun, kenapa sampai sekarang Perguruan Pedang Lima Puncak masih menguasai dunia persilatan, dan tak pernah kedengaran bahwa ilmu pedang mereka bisa dipecahkan orang? Apakah gambar-gambar di dinding gua itu hanya teori belaka? Sepertinya tidak. Ia tidak tahu apakah ilmu pedang Perguruan Songshan dan yang lain-lain juga sudah dipecahkan, namun ia tahu seluk beluk ilmu pedang Huashan, dan ia sangat tahu bahwa kalau ia tiba-tiba bertemu jurus-jurus lawan yang begitu hebat seperti ini, ia akan kalah telak.
 
* * *
 
Ia seperti kena totok orang, berdiri tanpa bergerak dan mati rasa, di dalam otaknya, berbagai macam pikiran muncul silih berganti, ia tak tahu berapa banyak waktu yang telah berlalu, ketika tiba-tiba ia mendengar suara seseorang berseru, "Kakak pertama, kakak pertama, kau ada dimana?"
 
Linghu Chong terkejut, ia bergegas berbalik dan keluar dari gua, ia melewati mulut gua dan kembali ke guanya sendiri, ia mendengar Lu Dayou sedang memanggil-manggil di luar gua. Linghu Chong melompat keluar dari gua, berbalik menuju ke belakang sebuah batu besar di balik tebing, duduk bersila dengan rapi di atasnya lalu berteriak memanggil, "Aku ada disini, sedang bersemedi. Adik keenam, ada apa?"
 
Lu Dayou datang dengan mengikuti arah suaranya dan berkata dengan gembira, "Kakak pertama ada disini! Aku datang mengantarkan nasi". Sejak fajar Linghu Chong sibuk memandangi jurus-jurus yang terukir di dinding gua, pikirannya terpusat pada hal itu sehingga ia tak tahu berapa banyak waktu yang telah berlalu, tak nyana saat ini sudah lewat tengah hari. Gua yang ditempatinya adalah tempat bermeditasi yang tenang, maka Lu Dayou tak berani sembarangan memasukinya. Gua itu sangat dangkal, begitu ia tak melihat Linghu Chong di dalamnya, ia lantas pergi ke sisi tebing untuk mencarinya.
 
Linghu Chong melihat bahwa pipi kanannya ditempeli koyo, darah masih merembes  keluar dari koyo yang berwarna hijau tua itu, jelas bahwa ia telah menderita luka yang tidak ringan, maka ia segera bertanya, "Ai! Kenapa mukamu?" Lu Dayou berkata, "Pagi ini ketika berlatih pedang aku tidak hati-hati, waktu menarik pulang pedang aku kena gores, dasar bodoh!" Linghu Chong melihat bahwa air mukanya penuh kemarahan sekaligus rasa malu, ia berpikir bahwa pasti ada masalah lain, maka ia berkata, "Adik keenam, sebenarnya bagaimana kau bisa terluka, masa kau mau menyembunyikan masalah yang sebenarnya dariku juga?"
 
Lu Dayou berkata dengan gusar, "Kakak pertama, bukannya aku mau menyembunyikan masalah yang sebenarnya darimu, tapi aku khawatir kau akan marah, oleh karena itu aku tidak bicara". Linghu Chong bertanya, "Siapa yang melukaimu?" Dalam hati ia merasa heran, para saudara seperguruan selalu rukun, tak pernah berkelahi, jangan-jangan ada musuh dari luar yang naik gunung? Lu Dayou berkata, "Pagi ini aku dan Adik Lin berlatih pedang, dia baru saja belajar jurus 'Burung Hong Datang Menyembah',   aku kurang berhati-hati dan mukaku kena gores oleh dia". Linghu Chong berkata, "Kalau saudara seperguruan berlatih, kadang-kadang ada yang lepas kendali, ini sudah biasa, tak usah marah. Adik Lin baru mulai belajar jurus itu, gerakannya belum bisa lancar, jangan salahkan dia. Kaulah yang agak ceroboh. Kekuatan jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' ini tidak kecil, dalam menggunakannya harus hati-hati". Lu Dayou berkata, "Benar, tapi aku tak menyangka bahwa si.......si marga Lin itu walaupun baru masuk perguruan beberapa bulan saja sudah boleh belajar jurus ''Burung Hong Datang Menyembah'. Setelah aku berguru lima tahun lamanya, guru baru menyuruhmu mengajarkan jurus itu padaku".
 
Linghu Chong agak terkejut, Adik Lin baru masuk perguruan beberapa bulan, namun sudah belajar jurus 'Burung Hong Datang Menyembah', kemajuannya benar-benar sangat cepat. Kalau ia tidak mempunyai kecerdasan dan bakat yang luar biasa, dasar ilmu silatnya tidak akan kuat, demi kemajuan yang amat pesat, di kemudian hari ia malah akan mengalami hambatan, ia tidak tahu kenapa guru begitu cepat mengajarinya.
 
Lu Dayou berkata lagi, "Ketika aku pertama kali melihatnya, aku terkejut, sehingga aku kena gores olehnya. Adik kecil juga bertepuk tangan dan menyoraki dari samping, katanya, 'Monyet Keenam, kau mengalahkan muridku pun tak bisa, setelah ini kau tak akan berani berlagak seperti jagoan di depanku, bukan?' Si bocah marga Lin itu tahu ia salah, ia mendatangiku dan membalut lukaku, tapi aku menendang dia sampai terguling-guling. Adik kecil berkata dengan marah, 'Monyet Keenam, dia sudah berbaik hati membalut lukamu, bagaimana kau bisa memukul dia? Apa kau begitu malu sampai jadi marah?' Kakak pertama, ternyata adik kecillah yang sembunyi-sembunyi mengajari dia".
 
Dalam sekejap, Linghu Chong merasakan kepahitan yang amat sangat dalam hatinya, jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' itu memang sulit dilatih, kelima perubahannya berat dan rumit, selain itu juga banyak rumus yang harus dihafalkan, kalau adik kecil bisa mengajarkan jurus itu pada Adik Lin, tentunya ia telah putar otak entah berapa lama, usahanya tidaklah sedikit. Beberapa hari belakangan ini ia tidak naik ke tebing, ternyata ia berduaan dengan Adik Lin sehari penuh. Watak Yue Lingshan tidak sabaran,  ia sangat tidak punya kesabaran untuk mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan teliti. Demi mengungguli orang lain, ia masih mau mempelajari ilmu pedang dengan sabar, tapi kalau mengajari orang, ia sangat sukar diharapkan untuk mengajar dengan sepenuh hati. Tetapi sekarang tak nyana ia mau mengajarkan jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' yang perubahannya berat dan rumit itu kepada Lin Pingzhi, maka dapat dibayangkan betapa besar perhatiannya pada adik seperguruan itu. Setelah beberapa lama, pikirannya baru agak tenang, setelah itu ia berkata dengan dingin, "Bagaimana kau bisa berlatih dengan Adik Lin?"
 
Lu Dayou berkata, "Kemarin ketika aku bicara padamu, adik kecil sangat tak senang mendengarnya, di sepanjang jalan ketika kami turun gunung ia terus mengomeliku. Pagi ini ia menyeret aku dan menyuruhku berlatih dengan Adik Lin. Aku sama sekali tak waspada, kukira itu cuma latihan biasa. Siapa yang tahu bahwa adik kecil telah mengajari bocah marga Lin itu beberapa jurus andalan. Aku masuk ke dalam perangkapnya".
 
Makin lama mendengarkan, Linghu Chong makin mengerti, tentunya beberapa hari belakangan ini Yue Lingshan dan Lin Pingzhi makin akrab, Lu Dayou yang dekat dengan dirinya tak tahan melihat hal itu, maka ia berulang kali menyindir mereka, tak aneh kalau ia sampai memaki dan membuat masalah dengan Lin Pingzhi. Ia berkata, "Kau beberapa kali memaki Adik Lin, benar tidak?"
 
Lu Dayou berkata dengan sangat geram, "Si bajingan yang rendah dan tak tahu malu itu, kalau aku tak memaki dia, lantas aku harus memaki siapa? Dia takut sekali melihat aku, aku maki-maki dia, dia tak pernah berani membalas, begitu melihat aku, ia langsung berpaling dan menghindar, aku tak mengira......aku tak mengira bahwa bocah  kecil itu ternyata begitu culas. Hah! Kalau hanya mengandalkan kemampuannya sendiri, kalau ia tidak didukung oleh adik kecil dari belakang, apa bocah kecil itu bisa melukaiku?"
 
Dalam hati Linghu Chong muncul suatu perasaan pahit yang sulit dilukiskan, ia langsung teringat pada jurus-jurus pemecah jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' yang terukir di dinding gua belakang itu, maka ia mengambil sebatang ranting dari atas tanah dan bersiap untuk mengajarkan jurus itu kepada Lu Dayou, tapi ia lalu berubah pikiran, "Adik keenam sangat benci pada bocah marga Lin itu, kalau ia memakai jurus ini, ia pasti akan membuatnya luka parah. Kalau guru atau ibu guru menyelidiki hal ini, kami berdua tentu akan kena hukuman berat, hal ini sama sekali tak boleh terjadi". Ia berkata, "Sekali ini kalah, lain kali belajarlah lebih tekun, sehingga kau tak kena tipu lagi. Kita para saudara seperguruan, kalah menang dalam bertanding tak usah dimasukkan di dalam hati".
 
Lu Dayou berkata, "Baiklah. Kakak pertama, aku bisa tak memasukkannya ke dalam hati, kau......kau apa juga bisa tak memasukkannya di dalam hati?"
 
Linghu Chong tahu bahwa ia sedang berbicara tentang masalah Yue Lingshan, hatinya terasa amat pedih, air mukanya langsung berubah.
 
Setelah mengucapkan perkataan itu, Lu Dayou tahu bahwa kalimat itu telah melukai hati sang kakak pertama secara mendalam, ia cepat-cepat berkata, "Aku......aku salah bicara". Linghu Chong mengenggam tangannya dan berkata perlahan-lahan, "Perkataanmu tidak salah. Bagaimana aku bisa tak memasukannya dalam hati? Tapi......tapi......" Setelah cukup lama, ia berkata, "Adik keenam, setelah ini kita jangan mengungkit-ungkit masalah ini lagi". Lu Dayou berkata, "Baiklah! Kakak pertama, jurus
'Burung Hong Datang Menyembah' ini kau yang mengajarkannya padaku. Saat itu aku tak hati-hati, sehingga aku kena jebak bocah itu. Aku pasti akan berlatih dengan giat, berlatih dengan sepenuh hati, aku mau buat bocah kecil itu tahu, mana yang lebih baik, ajaran kakak pertama atau ajaran adik kecil".
 
Linghu Chong tersenyum getir dan berkata, "Jurus 'Burung Hong Datang Menyembah' ini, hehe, sebenarnya tak ada artinya".
 
Lu Dayou melihat bahwa ekspresinya begitu sedih, ia hanya berpikir bahwa karena adik kecil tak memperdulikannya, maka sang kakak pertama menjadi putus asa. Ia lantas tak berani berkata apa-apa lagi, menemaninya makan dan minum, berberes-beres, lalu pergi.
 
* * *
 
Catatan Kaki
 
[1] Kota Longquan di Zhejiang terkenal sebagai tempat para empu pedang terkenal. 
 
 


Linghu Chong memejamkan mata untuk menentramkan pikirannya, lalu ia menyalakan beberapa obor dari kayu cemara dan kembali pergi ke gua belakang untuk memandangi jurus-jurus pedang yang terukir di dindingnya. Mula-mula ia selalu berpikir tentang bagaimana adik kecil mengajarkan ilmu pedang kepada Lin Pingzhi, bagaimanapun juga ia tak bisa memperhatikan gambar-gambar di dinding gua itu dengan seksama, setiap sketsa gambar manusia di dinding itu seakan berubah secara ajaib menjadi Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, yang satu sedang mengajar, sedangkan yang satunya lagi sedang belajar, sikap mereka sangat akrab. Di depan matanya terbayang-bayang wajah Lin Pingzhi yang tampan, mau tak mau ia menghela napas panjang dan berpikir, "Wajah Adik Lin sepuluh kali lipat lebih tampan dariku, usianya juga jauh lebih muda dariku, hanya lebih tua dua tahun dari adik kecil, tentu saja mereka berdua mudah menjadi akrab".
 
Tiba-tiba pandangannya terpaku pada seorang berpedang yang sedang menikam di antara gambar-gambar di dinding gua itu, posturnya dan caranya melancarkan jurus pedangnya mirip seperti 'Jurus Ning Tanpa Tanding' Nyonya Yue. Linghu Chong terkejut, pikirnya, "Jurus ini jelas-jelas diciptakan oleh ibu guru, bagaimana bisa diukir di dinding gua ini terlebih dahulu? Ini aneh sekali".
 
Setelah memperhatikan gambar itu dengan seksama, ia baru menyadari bahwa tikaman yang digambar di dinding gua itu kalau dibandingkan dengan jurus pedang yang diciptakan Nyonya Yue ternyata agak berbeda, jurus pedang yang ada di dinding sederhana dan kuat, lugas dan bersahaja, jelas bahwa jurus itu diciptakan oleh seorang lelaki. Setiap tikaman yang dilancarkan adalah benar-benar sebuah tikaman, tidak seperti tikaman Nyonya Yue yang menyembunyikan banyak perubahan, oleh karena tikaman itu lebih sederhana, maka ia juga lebih ganas dan cepat. Linghu Chong diam-diam menganggukkan kepalanya, "Tikaman pedang yang diciptakan ibu guru ternyata secara kebetulan sama dengan pikiran orang zaman dahulu tentang ilmu pedang. Sebenarnya hal ini sama sekali tak aneh, keduanya sama-sama digubah berdasarkan dasar-dasar ilmu pedang Perguruan Huashan, hanya perlu dua orang yang kepandaian dan pengertiannya tak berbeda jauh, maka mereka akan bisa menciptakan ilmu yang sebangun namun tak sama". Lagi-lagi ia berpikir, "Kalau begitu, macam-macam jurus yang terukir di dinding gua ini, banyak yang tidak diketahui bahkan oleh guru dan ibu guru. Jangan-jangan guru belum tuntas mempelajari seluruh ilmu pedang yang paling tinggi dari perguruan kami?" Namun ia melihat bahwa toya musuh mengacung lurus ke depan, ujung toya menjurus ke ujung pedang sehingga pedang dan toya membentuk sebuah garis lurus.
 
Ketika Linghu Chong melihat garis lurus itu, mau tak mau ia berseru, "Celaka!" Obor yang digenggamnya jatuh ke tanah, gua itu pun langsung menjadi gelap gulita. Dalam hatinya muncul perasaan takut yang amat sangat, ia hanya bisa berkata, "Sekarang bagaimana? Sekarang bagaimana?"
 
Ia melihat dengan jelas bahwa toya dan pedang sama-sama saling pukul memukul, toya keras dan pedang lentur, kalau kedua belah pihak sama-sama mengerahkan tenaga, maka mau tak mau pedang akan patah dari tengahnya. Dalam jurus ini, kedua belah pihak harus terus menerus menyalurkan tenaga, toya tak hanya bisa menarik keuntungan dari keadaan itu dan terus menekan, tapi tenaga yang disalurkan ke pedang juga bisa berbalik menyerang tubuh pemegangnya, si pemegang pedang benar-benar tak berdaya menghindarinya.
 
Setelah itu sebuah ide muncul di benaknya, "Apakah ia benar-benar tak bisa menghindar? Mungkin hanya kelihatannya saja. Pedang sudah patah, toya musuh terus menekan, saat ini ia bisa membuang pedang itu lalu berlutut atau menerjang ke depan, untuk menghindari pukulan toya. Tapi guru, ibu guru dan orang-orang semacam mereka adalah tokoh-tokoh yang terkenal ilmu pedangnya, apakah mereka sudi melakukan perbuatan seperti itu? Tentu saja mereka lebih suka mati daripada terhina seperti itu. Ai,  kalah telak! Kalah telak!"
 
Setelah memandanginya cukup lama, ia mengambil pemantik dan batunya untuk membuat api, lalu menyalakan sebuah obor dan kembali melihat ke dinding gua, ia melihat bahwa makin lama jurus-jurus pedang yang digambarkan makin aneh dan lihai, beberapa jurus yang terakhir perubahan-perubahannya sulit untuk dibayangkan, sepertinya mengandung sebuah misteri yang tak terpecahkan. Namun bagaimanapun lihainya jurus pedang, toya lawan selalu mempunyai cara yang lebih lihai lagi untuk mengalahkannya. Di akhir gambar-gambar mengenai Perguruan Huashan, diukir gambar orang yang membuang pedangnya sambil menunduk dan berlutut minta ampun di hadapan si pemegang toya. Rasa marah yang ada di benak Linghu Chong sudah lama menghilang, hanya tinggal rasa putus asa yang mendalam. Walaupun ia merasa bahwa figur pemegang toya itu terlalu kejam dan angkuh, namun ilmu pedang Perguruan Huashan sudah benar-benar terpecahkan, sejak saat itu tak berdaya untuk melawan, hal itu tak dapat disangkal lagi.
 
Malam itu, ia berjalan mondar-mandir di gua belakang, entah berapa ratus lingkaran yang dibuatnya, seumur hidupnya, ia belum pernah mengalami pukulan yang begitu besar. Ia berpikir, "Perguruan Huashan adalah salah satu dari Perguruan Pedang Lima Puncak, di dunia persilatan sudah lama termasyur sebagai perguruan besar yang terkemuka, siapa yang tahu bahwa ilmu silat perguruan kami ini ternyata begitu rapuh? Dari jurus-jurus pedang di dinding gua itu, paling tidak ada seratus jurus lebih yang tidak diketahui oleh guru dan ibu guru, walaupun aku bisa menguasai ilmu tertinggi dari perguruan kami, bahkan menjadi jauh lebih lihai dari guru, apa gunanya?
Asal musuh tahu cara memecahkan jurus ini, jago yang paling kuat dari perguruan kami juga akan membuang pedang dan bertekuk lutut. Kalau ia tak mau mengaku kalah, ia cuma bisa bunuh diri".
 
Ia berjalan mondar-mandir dengan cemas, saat itu obor sudah lama padam, entah sudah berapa lama waktu berlalu, ia kembali menghidupkan obor dan memandangi gambar orang yang bertekuk lutut itu, makin lama memikirkannya ia makin geram. Ia mengangkat pedang hendak menebas gambar-gambar di dinding gua itu hingga terhapus, namun ketika ujung pedangnya hampir menyentuh dinding gua, mendadak ia berpikir, "Seorang lelaki sejati harus bersikap terbuka dan jujur, kalau kalah tetap kalah, kalau menang tetap menang. Ilmu Perguruan Huashan kami kalah dari orang lain, apa lagi yang mau dikatakan?" Ia membuang pedangnya ke tanah dan menghela napas panjang.
 
Ia lalu meneliti gambar-gambar lain di dinding gua itu, ia melihat bahwa ilmu pedang Perguruan Songshan, Heng Shan, Taishan dan Hengshan semuanya juga telah dipecahkan, mereka tak berdaya melawan, dan akhirnya masing-masing juga bertekuk lutut. Linghu Chong sudah lama masuk perguruan, wawasannya luas, walaupun ia tidak mengetahui secara mendalam ilmu pedang Perguruan Songshan dan yang lain-lainnya,  namun secara garis besar ia tahu pokok-pokok ilmu pedang mereka dari pembicaraan orang. Jurus-jurus pedang yang diukir di dinding gua semuanya sebat dan ganas, namun tak ada satupun yang tak bisa dipecahkan oleh musuh.
 
Ia sangat ketakutan, namun benaknya juga dipenuhi oleh berbagai pertanyaan, "Fan Song, Zhao He, Zhang Chengfeng, Zhang Chengyun, siapa mereka sebenarnya? Dari mana mereka datang? Kenapa mereka berusaha begitu keras untuk mengukir cara memecahkan ilmu pedang Perguruan Pedang Lima Puncak kami di dinding gua? Kenapa nama mereka tak dikenal di dunia persilatan, dan malah Perguruan Pedang Lima Puncak kamilah yang sampai sekarang bernama besar?"
 
Dalam lubuk hatinya yang terdalam ia samar-samar merasa bahwa nama besar Perguruan Pedang Lima Puncak di dunia persilatan saat ini sebenarnya diperoleh dengan cara menipu, atau paling tidak karena keberuntungan semata. Beribu-ribu guru dan murid kelima perguruan pedang itu bisa bercokol di dunia persilatan hanya karena gambar-gambar di dinding gua ini belum bocor ke luar. Mendadak timbul suatu ide di benaknya, "Kenapa aku tidak mengangkat kapak dan membacok gambar-gambar di dinding itu sampai musnah, sehingga sama sekali tak ada bekas-bekasnya lagi di muka bumi ini? Dengan demikian reputasi Perguruan Pedang Lima Puncak akan terlindungi. Anggap saja aku tak pernah menemukan gua belakang ini".
 
Ia berbalik dan mengangkat kapak, lalu berpaling ke arah dinding gua, namun ketika ia melihat bermacam-macam jurus-jurus hebat yang terukir di dinding gua itu, ia tak bisa mengangkat kapak untuk membacok. Untuk beberapa saat, ia mengumam pada dirinya sendiri, akhirnya ia berkata dengan lantang, "Perbuatan yang hina dan tak tahu malu seperti ini, bagaimana bisa dilakukan oleh Linghu Chong?"
 
Mendadak ia teringat pada tamu berjubah hijau yang bertopeng itu, "Ilmu pedang orang ini begitu tinggi, kemungkinan besar ada hubungannya dengan gambar-gambar di gua ini. Siapa orang ini? Siapa orang ini?"
 
* * *
 
Ia kembali ke gua depan dan merenung untuk waktu yang lama, lalu kembali ke gua belakang untuk mengamati gambar-gambar itu dengan seksama, entah berapa kali ia keluar masuk kedua gua itu, tak lama kemudian malam tiba. Sekonyong-konyong terdengar suara langkah kaki, Yue Lingshan datang menjinjing keranjang nasi. Linghu Chong merasa sangat gembira, ia bergegas menyambut di sisi tebing dan berseru, "Adik kecil!" Suaranya gemetar.
 
Yue Lingshan tak menjawab, setelah sampai di atas tebing, ia menghempaskan keranjang nasi di atas batu besar keras-keras, tanpa melihat ke arahnya, ia lantas pergi. Linghu Chong amat cemas, ia berkata, "Adik kecil, adik kecil, kau kenapa?" Yue Lingshan mendengus, ia menghentakkan kaki kanannya dan langsung melompat turun dari tebing. Ia membiarkan Linghu Chong terus memanggil-manggilnya, namun ia sendiri tak pernah menjawab, dan juga tak pernah memandangnya. Perasaan Linghu Chong bergejolak, untuk sesaat ia tak tahu harus berbuat apa, ia membuka keranjang nasi, di dalamnya ada sekeranjang nasi putih dan dua mangkuk lauk tanpa daging, namun tak ada hulu arak kecil. Ia memandangi keranjang itu seperti orang linglung sambil termangu-mangu.
 
Ia beberapa kali mencoba untuk makan, namun setiap kali ia makan sesuap nasi, ia selalu merasa mulutnya pahit dan tak bisa menelan. Akhirnya ia meletakkan sumpitnya seraya berpikir, "Kalau adik kecil marah kepadaku, kenapa ia datang sendiri mengantar nasi untukku? Kalau ia tak marah padaku, kenapa ia sama sekali tak bicara sepatah kata pun, dan juga sama sekali tak mau memandangku? Jangan-jangan adik keenam sakit, sehingga ia harus datang mengantarkan nasi? Tapi kalau adik keenam tidak bisa mengantar nasi, adik kelima, adik ketujuh dan adik kedelapan semuanya bisa mengantarkan nasi, kenapa adik kecil ingin datang sendiri?" Berbagai pikiran muncul silih berganti di benaknya untuk menebak isi hati Yue Lingshan, sehingga ilmu silat yang ada di gua belakang sama sekali terlupakan.
 
Senja esok harinya, Yue Lingshan lagi-lagi mengantarkan nasi, ia masih tak mau memandangnya, sekecap pun tidak mau berbicara kepadanya, saat turun gunung, ia menyanyikan lagu daerah dari Fujian itu dengan nyaring. Linghu Chong makin merasa seakan hatinya disayat-sayat pisau, pikirnya, "Rupanya ia sengaja datang kesini untuk membuatku kesal".
 
Pada sore hari ketiga, Yue Lingshan lagi-lagi menghempaskan keranjang nasi di atas batu besar keras-keras, lalu berbalik dan pergi, Linghu Chong tak bisa menahan diri lagi, ia berseru, "Adik kecil, jangan pergi dulu, aku mau bicara dengan kau". Yue Lingshan berbalik menghampiri, ia berkata, "Kalau mau bicara, silahkan bicara". Linghu Chong melihat bahwa wajahnya seperti diselimuti oleh lapisan es, sama sekali tak ada senyuman disana, ia berkata dengan terbata-bata, "Kau......kau......kau......" Yue Lingshan berkata, "Aku kenapa?" Linghu Chong berkata, "Aku......aku......" Biasanya sifatnya bebas dan riang, serta pintar bicara, namun saat ini tak nyana ia tak sanggup mengucapkan satu kata pun. Yue Lingshan berkata, "Kalau kau tak mau bilang apa-apa, aku mau pergi dulu". Ia berbalik dan melangkah pergi.
 
Linghu Chong sangat cemas, ia berpikir bahwa kalau sekarang ia pergi, ia baru akan kembali esok malamnya, kalau hari ini ia belum bisa mendapatkan jawaban yang jelas darinya, malam ini batinnya akan tersiksa, bagaimana ia bisa menanggung siksaan itu? Lagipula, melihat ekspresinya yang seperti itu, mungkin esok malam ia tak akan datang, bahkan kalau ia sampai tak datang sebulan pun tidaklah aneh. Dalam keadaan putus asa, ia menarik lengan baju kirinya. Yue Lingshan berkata dengan gusar, "Lepaskan tanganmu!" Ia meronta, "Sret!", seketika itu juga lengan bajunya robek, memperlihatkan lebih dari separuh bahunya yang seputih salju.
 
Yue Lingshan merasa jengah dan sekaligus marah, ia tak tahu harus dikemanakan bahunya yang terbuka itu, sebagai seorang pesilat, ia tak terlalu menghiraukan hal-hal kecil seperti gadis-gadis biasa, namun karena bahunya mendadak terbuka seperti ini, mau tak mau ia merasa sangat rikuh. Ia berkata, "Kau......berani-beraninya!" Linghu Chong cepat-cepat berkata, "Adik kecil, ma......maafkan aku, aku......aku tak sengaja". Yue Lingshan mengangkat lengan baju kanannya untuk menutupi bahu kirinya, ia membentak, "Kau mau bicara tentang apa?"
 
Linghu Chong berkata, "Aku tak mengerti, kenapa kau bersikap seperti ini kepadaku? Kalau aku benar-benar telah membuatmu tersinggung, adik kecil, kau......kau......hunuslah pedangmu dan tikamlah aku tujuh atau delapan belas kali, aku......aku akan mati tanpa penyesalan".
 
Yue Lingshan berkata dengan sinis, "Kau adalah kakak pertama, kami mana berani membuatmu tersinggung? Sampai bicara bahwa kau ingin ditikam tujuh atau delapan belas kali segala, kami adalah adik-adik seperguruanmu, kalau kau tak memukul atau memaki kami saja, kami semua sudah bersyukur pada langit dan bumi". Linghu Chong berkata, "Aku telah berpikir keras tentang hal ini, tapi aku masih benar-benar tak mengerti, bagaimana aku membuatmu tersinggung." Yue Lingshan naik pitam, "Kau tak mengerti! Kau menyuruh Monyet Keenam mengadu pada ayah dan Mama, kau jelas-jelas sudah mengerti". Linghu Chong tercengang, "Aku menyuruh adik keenam mengadu pada guru dan ibu guru? Mengadu......mengadukan kau?" Yue Lingshan berkata, "Kau jelas tahu bahwa ayah dan ibu sayang padaku, tak ada gunanya mengadukan aku, kau pikir kau pintar sekali mengadukan aku tentang.......tentang, hah, kau masih berpura-pura, masa kau benar-benar tak tahu?"
 
Dalam sekejap Linghu Chong memahami apa yang terjadi, namun hal itu malah menambah rasa pedih di hatinya, ia berkata, "Guru dan ibu guru sudah tahu bahwa adik keenam terluka ketika ia berlatih pedang dengan Adik Lin, oleh karena itu mereka menghukum Adik Lin, benar tidak?" Dalam hati ia berpikir, "Hanya karena guru dan ibu guru menghukum Adik Lin, kau jadi begitu marah padaku seperti ini".
 
Yue Lingshan berkata, "Sesama saudara seperguruan berlatih pedang, lalu ada yang  lengah, tapi tidak sengaja melukai orang. Tapi ayah malah membela Monyet Keenam dan memarahi Lin Kecil habis-habisan, ia juga berkata bahwa ilmu Lin Kecil belum cukup, belum boleh belajar jurus-jurus semacam 'Burung Hong Datang Menyembah', dan ia melarang aku untuk mengajarinya ilmu pedang lagi. Baiklah, kau menang! Tapi......tapi......aku......aku tak akan memperdulikanmu lagi, selama-lamanya selama-lamanya tak akan memperdulikanmu!" Tujuh kata itu, yaitu "selama-lamanya selama-lamanya tak akan memperdulikanmu" adalah kata-kata yang biasanya sering mereka ucapkan ketika bergurau, namun ketika ia mengucapkannya dahulu, selalu disertai dengan kerling mata dan senyum dikulum, mana mungkin ia bermaksud untuk sungguh-sungguh "tak memperdulikanmu"? Namun kali ini raut wajahnya muram dan nada suaranya tajam menusuk.
 
Linghu Chong maju selangkah ke depan, ia berkata, "Adik kecil, aku......" Tadinya ia bermaksud untuk berkata, "Aku benar-benar tidak menyuruh adik keenam untuk mengadu pada guru dan ibu guru", tapi ia berubah pikiran, "Aku tidak bersalah, aku sama sekali tak melakukan hal itu, kenapa aku harus minta belas kasihanmu?" Setelah mengucapkan kata "aku" itu, ia tak berbicara lagi.
 
Yue Lingshan berkata, "Kau kenapa?"
 
Linghu Chong menggeleng, "Aku tidak apa apa! Aku cuma berpikir, bahkan kalau guru dan ibu guru melarangmu mengajari Adik Lin, ini bukan masalah besar. Kenapa kau begitu marah padaku seperti ini?"
 
Wajah Yue Lingshan memerah, "Aku marah padamu, aku marah padamu! Dalam hatimu kau menyimpan niat buruk, kau pikir kalau aku tidak berlatih pedang dengan Lin Kecil, setiap hari aku akan datang menemanimu. Hah,  selama-lamanya selama-lamanya aku tak akan memperdulikanmu!" Ia menghentakkan kaki kanannya keras-keras ke tanah, lalu turun dari tebing.
 
Kali ini Linghu Chong tak berani menariknya, hatinya dipenuhi kegetiran, telinganya mendengar suaranya yang merdu menyanyikan lagu daerah Fujian selagi ia menuruni tebing. Ia pergi ke sisi tebing dan memandang ke bawah, memandang sosoknya yang langsing berbelok ke dalam lembah. Samar-samar ia melihat bahwa bahu kirinya masih ditutupi dengan lengan baju kanannya, mau tak mau ia menjadi khawatir, "Aku menarik lengan bajunya sampai robek, kalau ia memberi tahu guru dan ibu guru, beliau berdua akan mengira aku bersikap kurang ajar padanya, lalu......lalu......lalu bagaimana? Kalau hal ini sampai terdengar di luaran, semua adik seperguruan akan memandang rendah aku. Apa aku Linghu Chong tak pantas jadi manusia?" Namun ia segera berpikir lagi, "Aku tidak benar-benar bersikap kurang ajar padanya. Masa bodoh terhadap apa yang dipikirkan orang lain".
 
Tapi ketika ia memikirkan bagaimana Yue Lingshan hanya demi mengajari Lin Pingzhi begitu marah padanya, mau tak mau hatinya merasa sedih. Mula-mula ia berusaha menghibur dirinya sendiri, "Adik kecil masih muda dan suka bermain, karena aku berada diatas tebing untuk merenungkan kesalahanku, tak ada orang yang menemaninya mengobrol mengusir kebosanan, maka ia mencari seseorang yang umurnya sebaya untuk dijadikan teman, yaitu Adik Lin, tidak ada maksud lainnya". Namun ia berpikir lagi, "Aku dan dia dibesarkan bersama-sama, bukankah hubungan diantara kami jauh lebih mendalam? Adik Lin baru berada di Huashan selama beberapa bulan saja, namun hubungan mereka sudah begitu kental, bagaimana bisa begitu berbeda". Ketika ia memikirkan hal itu, hatinya makin terasa pedih.
 
Malam ini, ia keluar dari gua ke sisi tebing, lalu dari sisi tebing ia kembali masuk ke gua,  mondar-mandir entah berapa ribu kali, esoknya juga begitu, dalam pikirannya hanya ada Yue Lingshan, ia sama sekali tak teringat pada gambar-gambar di gua belakang atau orang berjubah hijau yang tiba-tiba muncul itu.
 
Sorenya, Lu Dayou mengantar nasi ke atas tebing. Ia menaruh nasi dan sayur di atas batu besar, lalu mengambilkan nasi semangkuk penuh dan berkata, "Kakak pertama, ayo makan nasi". Linghu Chong mendengus dan mengambil mangkuk dan sumpit, lalu makan dua suap nasi, tapi ia tak bisa menelan, ia melirik ke kaki tebing dan perlahan-lahan meletakkan mangkuk dan sumpitnya. Lu Dayou berkata, "Kakak pertama, wajahmu pucat, apa badanmu tak enak?" Linghu Chong menggeleng, "Tak apa apa". Lu Dayou berkata, "Jamur ini kupetik untukmu kemarin, cobalah". Linghu Chong tak tega menolaknya, maka ia terpaksa makan dua buah jamur, lalu berkata, "Enak sekali". Walaupun jamur itu rasanya memang segar, bagaimana ia bisa menikmatinya?
 
Lu Dayou menyengir dan berkata, "Kakak pertama, aku akan memberitahumu sebuah kabar baik, guru dan ibu guru sejak dua hari belakangan ini melarang Lin Kecil dan adik kecil belajar ilmu pedang". Linghu Chong berkata dengan sinis, "Kau tak bisa mengalahkan Adik Lin, lalu kau mengadu pada guru dan ibu guru, benar tidak?" Lu Dayou berdiri dengan terperanjat, katanya, "Siapa bilang aku tak bisa mengalahkan dia? Aku.......aku demi......" Ketika berbicara sampai disini ia segera tutup mulut.
 
Linghu Chong sudah tahu dari dulu bahwa walaupun Lin Pingzhi tidak sengaja melukai Lu Dayou dengan jurus ''Burung Hong Datang Menyembah', namun Lu Dayou jauh lebih dahulu masuk perguruan, bagaimanapun juga Lin Pingzhi bukan tandingannya. Jadi ia melapor pada guru dan ibu guru demi dirinya. Mendadak Linghu Chong berpikir, "Ternyata para adik seperguruan merasa kasihan padaku, mereka semua tahu bahwa sejak saat ini aku dan adik kecil tak akur lagi. Karena adik keenam dekat dengan aku, ia  lalu berusaha untuk membantuku. Hah, lelaki sejati mana bisa menerima belas kasihan orang?"
 
Tiba-tiba amarahnya memuncak seperti orang gila, ia mengambil mangkuk nasi dan sayur, lalu melemparkannya satu persatu ke dalam jurang sambil berteriak, "Siapa suruh kau ikut campur? Siapa suruh kau ikut campur?"
 
Lu Dayou sangat terkejut, biasanya ia sangat menghormati dan mengagumi sang kakak pertama, ia tidak mengira bahwa ia akan begitu marah padanya, dalam hati ia merasa sangat bingung, ia terus menerus mundur sambil berkata, "Kakak pertama, kakak......pertama". Setelah Linghu Chong melemparkan semua mangkuk nasi dan sayur ke dalam jurang, ia masih murka, dengan enteng ia memungut beberapa buah batu, lalu melemparkannya ke dalam jurang. Lu Dayou berkata, "Kakak pertama, akulah yang salah, kau......pukullah aku".
 
Linghu Chong sedang mengangkat sebongkah batu, ketika ia mendengarnya berkata demikian, ia berbalik dan membentak, "Bagaimana kau bersalah?" Lu Dayou merasa takut dan mundur selangkah, ia berkata dengan terbata-bata, "Aku......aku......aku tak tahu!" Linghu Chong menghela napas panjang, membuang batu di tangannya jauh-jauh, lalu menarik kedua tangan Lu Dayou sambil berkata dengan hangat, "Adik keenam, maafkan aku, aku sendirilah yang sedang sedih, sama sekali tak ada hubungannya denganmu".
 
Lu Dayou menghembuskan napas dengan lega, ia berkata, "Aku akan turun untuk mengambilkan nasi lagi" Linghu Chong menggeleng, "Tidak, tak usah, aku tidak ingin makan". Lu Dayou melihat bahwa nasi dan lauk yang ada dalam keranjang nasi di atas batu besar yang diantar kemarin masih utuh tak tersentuh, mau tak mau rasa khawatir muncul di wajahnya, ia berkata, "Kakak pertama, kemarin kau juga tak makan nasi?" Linghu Chong memaksakan diri untuk tersenyum, "Kau tak usah khawatir, beberapa hari ini aku sedang tak punya nafsu makan".
 
Lu Dayou tak berani banyak bicara, esok paginya sebelum siang tiba, ia sudah datang membawakan nasi ke atas tebing, pikirnya, "Hari ini aku membawa satu poci besar arak enak, dan juga masak dua lauk yang lezat, bagaimanapun juga aku harus membuat kakak pertama makan beberapa mangkuk nasi". Namun ketika ia sampai di atas tebing, ia melihat Linghu Chong tidur di atas batu besar di tengah gua, wajahnya kurus dan pucat. Ia agak terkejut dan berkata, "Kakak pertama, coba kau lihat ini apa?" Ia mengangkat hulu arak dan mengoyang-goyangkannya, lalu ia membuka tutup hulu itu, dalam sekejap seluruh gua penuh bau harum arak.
 
Linghu Chong segera mengambilnya, dengan sekali teguk ia menghabiskan setengah hulu, lalu memuji, "Arak ini lumayan enak". Lu Dayou sangat senang, ia berkata, "Aku ambilkan nasi, ya". Linghu Chong berkata, "Tidak, beberapa hari belakangan ini aku tak ingin makan nasi". Lu Dayou berkata, "Makanlah semangkuk saja". Sambil berbicara ia mengisi mangkuk penuh dengan nasi. Linghu Chong melihat bahwa ia berniat baik, maka ia berkata, "Baiklah. setelah aku selesai minum arak, aku akan makan nasi".
 
Namun semangkuk nasi itu akhirnya tak dimakan oleh Linghu Chong. Ketika Lu Dayou mengantar nasi keesokan harinya, ia melihat bahwa mangkuk nasi itu tergeletak di atas batu besar dalam keadaan masih penuh, Linghu Chong malah berbaring di atas tanah dalam keadaan tertidur. Lu Dayou melihat bahwa kedua pipinya merah padam, ia meraba dahinya, tangannya merasakan panas membara, ternyata ia sedang demam tinggi, mau tak mau ia menjadi khawatir, dengan suara pelan ia berkata, "Kakak pertama, kau sakit, ya?" Linghu Chong berkata, "Arak, arak, beri aku arak!" Walaupun Lu Dayou membawa arak, ia tak berani memberikannya kepadanya, ia malah mengambilkan semangkuk air dan menyodorkannya pada Linghu Chong. Linghu Chong duduk dan menengak semangkuk air itu sampai habis, lalu berkata, "Arak enak, arak enak!" Ia lantas berbaring terlentang sambil terus mengumam, "Arak enak, arak enak!"
 
Lu Dayou tahu bahwa sakit yang dideritanya tidak ringan, ia sangat khawatir, kebetulan hari itu guru dan ibu guru telah lebih dahulu turun gunung untuk mengurus sesuatu, maka ia cepat-cepat lari menuruni tebing dan memberitahu Lao Denuo dan saudara-saudara seperguruan lain. Yue Buqun telah secara tegas memberi perintah, bahwa selain untuk mengantar nasi setiap hari, para saudara seperguruan dilarang naik ke tebing untuk menemui Linghu Chong, namun karena sekarang ia sakit keras, menjenguknya sepertinya tidak menyalahi aturan. Tapi para murid tak berani naik ke tebing bersama-sama, setelah membicarakannya, mereka masing-masing naik ke tebing untuk menjenguk pada hari yang berbeda-beda. Lao Denuo dan Liang Fa berdua adalah yang pertama naik ke tebing.
 
Lu Dayou juga memberitahu Yue Lingshan, gadis itu masih mendongkol, dengan dingin ia berkata, "Tenaga dalam kakak pertama sangat hebat, bagaimana ia bisa sakit? Kau tak bisa membohongiku".
 
Sakit yang diderita Linghu Chong sangat parah, selama empat hari dan empat malam ia tak sadarkan diri. Lu Dayou memohon-mohon pada Yue Lingshan supaya ia naik ke tebing untuk menjenguknya, sampai sampai ia hampir berlutut di hadapannya. Yue Lingshan baru sadar bahwa ia tak berpura-pura, ia menjadi khawatir dan naik ke tebing bersama-sama dengan Lu Dayou. Ia melihat bahwa kedua pipi Linghu Chong cekung dan wajahnya dipenuhi kumis dan jenggot yang tumbuh liar, sama sekali tak mirip dengan penampilannya sehari-hari yang bebas dan riang. Dalam hati, Yue Lingshan merasa menyesal, ia melangkah ke sisinya dan berkata dengan lembut, "Kakak pertama, aku datang menjengukmu, kau jangan marah, ya".
 
Wajah Linghu Chong nampak acuh tak acuh, ia membuka matanya lebar-lebar dan memandanginya, sinar matanya terlihat seperti orang linglung, seakan ia sama sekali tak mengenalinya. Yue Lingshan berkata, "Kakak pertama, ini aku. Kenapa kau mengacuhkanku?" Linghu Chong masih menatapnya dengan nanar, setelah beberapa lama, ia memejamkan mata dan tertidur. Sampai Lu Dayou dan Yue Lingshan pergi, ia sama sekali tak bangun.
 
Sakitnya berlangsung selama lebih dari sebulan, setelah itu ia baru sedikit demi sedikit sembuh. Dalam sebulan lebih itu, Yue Lingshan tiga kali datang menjenguk. Ketika ia datang untuk yang kedua kalinya, Linghu Chong sudah sadar dan sangat gembira melihatnya. Saat ia menjenguk untuk yang ketiga kalinya, Linghu Chong sudah bisa duduk dan makan beberapa makanan kecil yang dibawanya.
 
Tapi setelah ia menjenguk kali ini, ia tak datang lagi. Setelah Linghu Chong bisa berdiri dan berjalan, setiap hari ia berada di sisi tebing hampir seharian penuh, menanti-nanti sosok rupawan sang adik kecil, namun setiap kali ia memandang, kalau bukan melihat pegunungan yang kosong dan sepi, ia hanya melihat sosok Lu Dayou yang membungkuk untuk buru-buru naik ke atas tebing.

No Comment
Add Comment
comment url