To Liong To 2: Golok Pusaka Pembunuh Naga

Ketiga orang itu semuanya kakek-kakek yang usianya lebih dari 60 tahun. Mereka

berbaju hijau tua, kepala dan rambutnya penuh debu. Jubah mereka penuh bintik-

bintik hitam, bekas hangus terkena percikan api. Di atas kepala mereka kelihatan

seperti menguap. Perlahan-lahan mereka meniup api dengan penuh semangat.

Api tungku yang sedang berkobar jadi meninggi setiap kali terkena tiupan hawa

ketiga kakek itu. Hingga golok yang seakan-akan dipanggang bersuara mencicit

dibungkus api.

Melihat semuanya itu, Tay-giam tahu Lwekang ketiga kakek itu hebat sekali. Hawa

yang mereka tiupkan bersama tak tertandingi oleh pompa angin yang paling besar

sekalipun. Jarak antara Tay-giam berdiri dengan

tungku cukup jauh, tapi rasa panasnya tidak tertahankan. Yang mengherankan golok

yang dibakar masih tetap bersinar gilap tidak berubah sedikitpun.

Pada saat itu tiba-tiba dari atap rumah ada seorang yang membentak dengan suara

serak, "Merusak golok pusaka, suatu kejahatan besar, hayo, lekas berhenti!"

Mendengar suara itu hati Tay-giam tergetar, Ia segera tahu bahwa tamu berjubah

satin yang dilihatnya di tengah jalan sudah datang. Namun tidak demikian dengan

ketiga kakek itu. Mereka tetap meniup dan menggembleng senjata bahkan semakin

cepat, seolah-olah tidak mendengar suara bentakan tadi.

Tamu berjubah satin tertawa dingin beberapa kali dari atas atap, kemudian ia

melesat turun.

Tatkala itu api tungku sedang berkobar dengan hebatnya sehingga Tay-giam dapat

melihat dengan jelas wajah tamu berjubah satin. Ia seorang pemuda berumur 20 an

tahun, wajahnya tampan tapi sedikit pucat. Jubah satin yang dipakainya bersulam

dan bermotif

macam-macam binatang dan tumbuhan yang tampaknya sangat indah.

Dengan tangan kosong tanpa senjata, pemuda itu berkata lagi, "Tiang-pek-sam-kim

(tiga burung dari Tiang-pek), masih bisa dimengerti kalian mengincar golok pusaka

ini. Tapi mengapa berani coba-coba merusak senjata sakti seperti ini?" Sambil

berkata-kata pemuda itu melangkah maju.

Ketiga kakek itu masih tidak menjawab, tiba-tiba kakek yang berdiri di sebelah

barat mengayunkan tangan kirinya. Dengan kelima jarinya yang panjang dan kurus ia

langsung mencakar muka si pemuda berjubah satin.

Cepat-cepat pemuda itu berkelit dan maju setapak lagi. Melihat pemuda itu

mendekat, dengan cepat kakek yang berdiri di sebelah timur segera menyambar palu

besar di sampingnya terus mengemplang ke atas kepala si pemuda.

Sungguh gesit pemuda berjubah satin. Gerakannya sangat tangkas sehingga palu

besar tidak mengenai tubuhnya melainkan menghantam lantai dan menimbulkan suara

keras disertai letikan api. Ternyata lantai itu bukan ubin biasa melainkan

lonjoran-lonjoran batu.




Sementara kakek yang di sebelah barat tadi segera maju. Jari-jarinya yang bagai

cakar ayam naik turun melontarkan serangan-selihai. rangan yang

Diam-diam Tay-giam merasa heran. Sungguh tak bisa dipahaminya ada apakah ge

rangan di antara mereka ini. Permusuhan macam apakah hingga perlu melontarkan

serangan-serangan yang mematikan lawan?

Sementara itu dilihatnya ilmu silat si da berjubah satin sangat aneh. Mukanya

tersenyum mengejek, sepertinya mau membalas serangan tapi sebenarnya tidak. Kedua

kakek itu sama sekali tidak berdaya. Sesudah beberapa jurus lagi, tiba-tiba kakek

yang bersenjatakan palu besar tadi membentak, "Siapa kamu? Bila menginginkan

golok pusaka ini, perlu juga kau tinggalkan namamu!" pemu.

Pemuda itu kembali tertawa dingin tanpa menyahut. Tiba-tiba tubuhnya melesat, dan

terdengarlah "krak-krak” dua kali. Kedua

tulang pergelangan tangan kakek sebelah barat tadi telah dipatahkan. Sedangkan

palu besi kakek sebelah timur juga terpental dari genggamannya dan melesat ke

atas menerobos atap.

Kakek ini cukup cerdik, melihat gelagat jelek, sadarlah mereka bertiga tidak akan

sanggup melawan pemuda berjubah satin itu. Cepat-cepat ia menyambar tanggam api

di sebelahnya, lalu berusaha mencapit To-LiongTo yang berada di dalam tungku.

Sementara kakek yang seorang lagi sudah menyiapkan senjata rahasia dan menunggu

saat baik untuk menyerang. Namun karena gerakan pemuda tadi terlalu cepat maka

sampai sekian lama tidak ada kesempatan baginya.

Melihat kawannya hendak menggunakan tanggam untuk mencapit golok pusaka, ia pun

berpikir, "Bila sampai berhasil, kelak tentu susah diminta kembali, dan bila

orang memiliki golok pusaka mana bisa dirinya melawannya lagi?"

Pada saat yang menentukan itu tiba-tiba

keberaniannya berlipat ganda. Ia mendahului mengulurkan tangannya ke

dalam tungku lalu dipegangnya tangkai golok kemudian diangkatnya.

Api dalam tungku sangat besar, meskipun To-Liong-To tidak sampai lumer terbakar,

tapi panasnya sungguh luar biasa. Begitu tangan kakek memegang tangkai golok,

dalam sekejap mengepullah asap putih disusul bau sangit. Telapak tangan si

kakek sudah hangus namun demikian masih dipegangnya golok itu dan tak

dilepaskannya lagi. Bagai orang gila saja, ia tidak merasakan sakit, bahkan si

kakek tetap melompat mundur sambil menjinjing To Liong-To itu.

Melihat keadaan itu, yang lainnya terkeju semua. Karena semuanya sedang tertegun,

ter lihatlah kakek itu hendak berlari keluar sambi menggondol golok.

"Hmm, enak benar?" ejek pemuda berjubah satin tadi. Sekali tangannya terulur,

segera punggung kakek dicengkeramnya.

Secara refleks kakek itu melawan. To-Liong To diayunkannya untuk membabat si

pemuda

Meskipun belum terkena sabetan goloknya, tapi hawa panasnya sudah merangsang.

Dalam sekejap rambut dan alis pemuda itu meranggas semua seperti terbakar. Dalam

keadaan terkejut, ia tak berani menangkis, dengan sekuat tenaga dilemparkannya

kakek itu ke dalam tungku bersama goloknya yang masih tergenggam erat.

Cukup lama Tay-giam melihat tontonan itu. Ia merasa bahwa semua orang buas dan

kejam. Oleh karena tidak ada sangkut paut dengan dirinya, maka ia tak perlu ikut

campur. Tapi sekarang nyawa si kakek terancam, karena masuk ke dalam tungku

pastilah sebentar lagi akan menjadi arang. Maka tak peduli urusan siapa yang

benar, yang diperlukan sekarang adalah menyelamatkan nyawa orang.

Dengan cepat ia melompat maju, sekali mumbul ke atas lalu menjambak ke bawah.

Dari atas ia ulurkan tangannya meraih ikal rambut si kakek terus ditariknya ke

atas. Lalu dengan enteng sekali turun ke samping.

Ilmu sakti meringankan tubuh Bu-tong-pay ini bisa melompat tinggi, kemudian ganti

haluan di atas dengan suka hati namanya disebut "tui-hun-ciong" atau lompatan

tangga awan. Ilmu ini bisa dikatakan merajai seluruh ilmu Ginkang dari cabang Bu-

lim lain.




Sejak semula kehadiran Tay-giam yang berdiri di pinggir tidak pernah diperhatikan

si pemuda berjubah satin dan Tiang-pek-samkim. Namun ketika melihat pertunjukan

Ginkang yang hebat, barulah mereka terkejut.

"Ah, mungkin inikah 'Tui-hun-ciong' yang termasyur di seluruh dunia itu?" kata si

pemuda berjubah satin sambil mengernyitkan alisnya.

Mendengar orang mengenal nama ilmu Ginkang-nya itu Tay-giam agak terkejut, tapi

dalam hati ia merasa senang. Katanya dalam hati, siapa di dunia ini yang tidak

mengenal ilmu silat Bu-tong-pay kami?

Maka ia pun menjawab, "Ah, kepandaianku hanya sedikit dan tak berarti, tidak

layak untuk dipuji! Bolehkah aku bertanya nama Tuan yang terhormat?"

"Bagus, bagus! Ginkang Bu-tong-pay memang terkenal dan tidak ada tandingannya

dikolong langit, memang benar dan tidak omong kosong," kata pemuda berjubah itu.

Ia tidak menjawab pertanyaan Tay-giam tapi lagak lagunya sangat sombong. Meski

kedengarannya memuji tapi sebenarnya ia mengejek dan merendahkannya.

Tay-giam sangat dongkol, tapi ia bisa menahannya, lalu katanya, "Di tengah jalan,

hanya sekali gebrak saja Tuan sudah membinasakan jago Hay-soa-pay, kepandaian

Tuan yang tak kelihatan itu membuat orang susah mengukurnya."

Hah, jadi peristiwa itu dapat dilihatnya, sebaliknya aku tidak melihatnya,

sembunyi dimanakah ia waktu itu? Demikian pikir pemuda itu dengan sedikit

tercengang. Namun ia pun segera menjawab dengan dingin "Memang benar,

kepandaianku susah dipahami orang luar. Jangankan kamu, sekalipun Thiolothauji

(si kakek she Thio), Ciangbunjin dari Bu-tong-pay pun juga belum tentu paham.”

Biasanya Tay-giam cukup sabar, jarang ia cekcok dengan orang. Tapi kini nama baik

gurunya dihina, tentu saja ia marah. Tapi ia

segera ingat kelakuan orang yang aneh, bisa jadi orang sengaja cari gara-gara.

Kepandaian orang ini sangat hebat, lebih baik tidak banyak menambah permusuhan.




Maka dengan tersenyum ia berkata, "Ilmu silat di dunia ini memang tak terbilang

banyaknya, apa yang kami pelajari di Bu-tong-pay hanya sekelumit di antara lautan

ilmu itu. Sudah tentu kepandaian seperti yang Tuan miliki tidak pun tidak.” kami

punyai, bahkan Guru kami

Meskipun kata-katanya kedengarannya merendah, tapi sebenarnya berarti bahwa

Butong-pay tidak sudi meladeni ilmu silat yang tidak ada artinya dari golongan

yang sesat.

Ketika Tay-giam dan pemuda berjubah satin masih saling menyindir, di pihak lain

kakek yang masih memegang golok yang terbakar itu, kulit dagingnya sudah hangus

bahkan sampai ke tulang. Sedangkan kedua kakek yang lain tampak sedang bersiap-

siap hendak maju untuk merebutnya. Tiba-tiba kakek yang memegang golok pusaka itu

mengayunkan senjatanya dan menerobos keluar.

Sebenarnya serangan tidak ditujukan pada

siapapun, tapi karena Tay-giam berdiri di depannya, maka ia pun terkena sabetan

di pinggangnya. Tay-giam tidak menduga bahwa kakek yang tadi ditolongnya bisa

mendadak berbalik menyerangnya. Dalam keadaan bahaya, cepat-cepat ia melompat ke

atas untuk menghindarkan diri dari sabetan golok.

Sambil memegang golok dan mengobatabitkan seperti orang gila, kakek itu berhasil

menerobos keluar. Kim-bau-khek dan kedua kakek lainnya merasa ngeri oleh tajamnya

golok pusaka. Mereka tidak berani merintanginya, lalu hanya mengejar dari

belakang sambil membentak-bentak.

Tay-giam pun segera ikut mengejarnya. Ginkangnya jauh lebih hebat dari yang lain,

meskipun bergerak paling belakang tetapi ia tiba lebih dulu dari yang lainnya.

Dalam waktu sekejap saja ia sudah sampai di samping kakek bergolok itu. Ia

melihat kakek itu memegang golok dengan kedua tangannya, badannya terhuyung-

huyung, seolah-olah beban golok terlalu berat.

Mendadak kakek itu melompat sekuatnya

keluar pintu. Badannya terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terjungkal. Tiba-tiba

si kakek menjerit-jerit, seolah-olah terluka parah tanpa tahu sebabnya.

Waktu itu Kim-bau-khek dan kedua kakek yang lain berbarengan melompat maju dan

hendak merebut golok pusaka. Tapi lagi-lagi bersamaan mereka menjerit seperti

disengat binatang berbisa.

Kim-bau-khek atau pemuda berjubah yang paling kuat ilmu silatnya hanya terjatuh

terus melompat bangun dan cepat sekali berlari pergi. Sedangkan ketiga kakek yang

di sebut "Tiang-pek-sam-kim” masih terkapar di tanah dan tidak mampu berdiri.

Melihat kejadian yang mengerikan, selagi Tay-giam hendak menolong, tiba-tiba

hatinya terkesiap dan teringat olehnya kejadian kawanan Hay-soa-pay yang

menaburkan garam beracun di sekitar rumah. Pasti racun garam itu luar biasa

berbisa, begitu menempel tubuh lantas menimbulkan bencana.

Waktu itu di sekitar rumah sudah penuh terserak dengan garam berbisa. Tay-giam

menduga sulit untuk bisa keluar begitu saja. Ketika ia berpaling, dilihatnya ada

dua buah bangku panjang di belakang sana. Pikirannya tergerak. Cepat ia mengambil

bangku lalu ditegakkannya. Kemudian ia melompat ke atasnya, dengan menggunakan

kaki ia menarik bangku itu. Tay-giam terlihat seperti pemain "egrang”, dan

berjalan ke luar.

Ia melihat ketiga kakek itu sedang menjeritjerit ngeri sambil berguling-guling di

tanah, keadaannya sangat menyeramkan. Tay-giam sadar bahwa bahaya sedang

mengancam. Tanpa pikir panjang ia sobek bajunya. Sambil membungkukkan badan ia

meraih punggung kakek yang masih merangkuli To-Liong-To itu. Kemudian dengan kaki

"pinjaman" ia berlari ke timur dengan cepat.

Apa yang dilakukan Tay-giam benar-benar di luar dugaan kawanan Hay-soa-pay yang

memang telah lama mengincar golok pusaka itu. Sudah tentu mereka tidak rela.




Mereka segera berhamburan ke luar sambil membentak-bentak. Mereka melemparkan am-

gi atau senjata gelap ke punggung Tay-giam.




Tiba-tiba Tay-giam menghentakkan kaki dan meringankan tubuhnya melompat ke depan

kira-kira beberapa mil sehingga semua senjata rahasia tidak mengenainya. Dengan

"kaki" sambungan itu Tay-giam menjadi lebih tinggi satu meter dari tinggi

badannya. Maka ketika berjalan, langkahnya lebar dan cepat. Hanya dalam sekejap

saja kawanan Hay-soapay sudah jauh ditinggalkannya di belakang.

Sayup-sayup didengarnya orang-orang itu mendekat lagi sambil berteriak-teriak.

Taygiam melompat ke atas sambil menyambar tubuh si kakek. Bersamaan dengan itu

kedua kakinya menendang ke belakang. Karena tertendang tentu saja kedua bangku

terbang membalik dan terdengarlah suara gedubrakan, menyusul jerit kesakitan

mereka yang tertindih bangku-bangku itu.

Di malam yang gelap, dalam sekejap Taygiam sudah berlari puluhan mil. Meskipun ia

menggendong seorang kakek, tapi lambat laun pun bisa jauh melesat sehingga

kawanan Haysoa-pay tidak bisa mengikuti jejaknya.

Tay-giam masih terus berlari sambil memastikan bahwa kawanan Hay-soa-pay

tidak mengejarnya lagi. Sampailah mereka di tepi

laut. Setelah benar-benar tak ada yang menge jarnya, barulah ia menanyai si

kakek, "Bagai mana keadaanmu?" Kakek itu hanya mende sekali tanpa menjawab tapi

Tay-giam ngus mendengar rintihannya yang mirip binatang buas terluka dan

menderita kesakitan.

Tubuhnya penuh berlepotan racun garam, biarlah kucuci dulu, pikir Tay-giam. Ia

segera menuju ke laut. Dimasukkannya tubuh si kakek ke laut yang dangkal. Tangan

Tay-giam tidak berani menyentuh air laut karena takut tertular racun garam.

Dalam keadaan setengah sadar, kakek itu terendam di laut. Ia tak sanggup

merangkak bangun. Ketika Tay-giam hendak menyeret si kakek, tiba-tiba ombak

menggulung si kakek dan mendamparkannya ke pesisir.

"Sekarang Kakek sudah terhindar dari bahaya, aku masih ada urusan sendiri dan

terpaksa tidak bisa menemani Kakek, maka biarlah kita berpisah di sini," kata

Tay-giam

. "Me... mengapa kamu... tidak merebut

golok pusaka ini?" kata Kakek sembari menahan tubuhnya.

"Sungguhpun golok pusaka ini menarik tapi bukan milikku, mana boleh aku

merebutnya!" sahut Tay-giam sambil tertawa.

Kakek itu heran, ia tidak percaya. Lalu katanya lagi, "Tipu... tipu muslihat

macam apa lagi yang akan kau pakai untuk menyiksaku?"




"Selama ini kita tidak bermusuhan, buat apa aku bikin susah Kakek?" sahut Tay-

giam. "Aku hanya kebetulan lewat di sini dan melihat Kakek terluka kena racun dan

aku hanya berniat menolong."

Tapi rupanya kakek itu masih tidak percaya. Ia menggeleng-gelengkan sembari

membentak, ”Nyawaku terletak di tanganmu, jika mau membunuhku lakukanlah. Tapi

jika kamu bermaksud menyiksaku dengan cara keji, meski aku mati, jadi setan pun

aku tak akan melupakanmu!"

Tay-giam memahami si kakek yang masih belum sadar betul. Ia pun tidak ambil

pusing. Dengan tersenyum ia bermaksud pergi meninggalkan si kakek.

Mendadak sebuah ombak besar bergulung dan mengenai Tay-giam

hingga bajunya basah. Begitu pula si kakek, terendam air laut lagi. Ia mengerang

kesakitan, tubuhnya lemas menggigil.

Tay-giam berpikir, menolong orang harus tuntas, ada awal dan akhirnya. Kakek ini

terkena racun jahat, jika kutinggal pergi dalam keadaan begini pasti ia terkubur

di dasar laut.

Maka kembali ia jamberet punggung si kakek dan dibawanya ke sebuah tanah tinggi.

Tay-giam memandang sekeliling, dilihatnya di arah timur sana ada sebuah rumah

mirip kelenteng terletak di atas batu karang. Sambil berlari dibawanya si kakek

menuju rumah

Ketika didekatinya rumah itu ada papan bertuliskan tiga huruf "Hay-sin-bio" atau

kelenteng malaikat laut. Pintu rumah didorongnya lalu mereka pun masuk. Ternyata

kelenteng itu sangat sederhana. Hanya terdiri satu ruangan kecil saja. Lantainya

penuh debu dan tak ada penghuninya.

Tay-giam meletakkan kakek di depan meja sembahyang. Korek api yang dibawanya

sudah basah terkena air laut. Ia meraba-raba meja sembahyang dan didapatkannya batu

ketikan api. Dinyalakannya lilin yang terdapat di atas meja.

Ketika Tay-giam memeriksa si kakek, ternyata wajahnya sudah biru lebam. Terang

terkena racun yang hebat. Cepat-cepat ia keluarkan sebutir "Thian-sim-kay-tok-

tan” atau pil penawar racun.

"Minumlah pil penawar racun ini," katanya.

Mendengar kata-kata Tay-giam, kakek yang tadi pura-pura memejamkan matanya itu

kemudian membelalak dan menyahut,

"Biar sampai mati pun aku tak mau makan obat racunmu yang bikin celaka orang!"




Sesabar-sabarnya Tay-giam, kini ia tidak tahan lagi, dengan gusar ia berkata,

"Kau anggap aku ini siapa? Sejelek-jeleknya Butong-chit-hiap, kami tidak mau

melakukan perbuatan hina! Pil ini adalah obat penawar racun. Memang racun dalam

tubuhmu belum tentu dapat dimusnahkan, tetapi paling tidak dapat menunda usia

Kakek selama tiga hari.




Apakah tidak lebih baik Kakek kembalikan saja To-Liong-To ini kepada Hay-soa-pay

untuk menukar obat penawar racun mereka demi keselamatan nyawa Kakek?"

"Hah?" teriak Kakek itu bengis sambil melompat bangun. "Siapa berani mengincar

To-Liong-To ini? Tidak, tidak mungkin!"

"Kalau nyawamu melayang, apa gunanya golok pusaka?" ujar Tay-giam.

"Lebih baik nyawaku melayang, tapi golok ini tetap milikku!” teriak Kakek agak

gemetar. Sambil berkata demikian, golok pusaka dipeluknya erat-erat. Pipinya

menempel di bagian pucuk golok, sungguh sebuah cinta yang susah dilukiskan.

Tay-giam menjadi tertarik, ia ingin sekali mengetahui apa manfaat golok itu. Tapi

bila melihat mata si kakek yang memancarkan sinar buas seperti serigala hendak

menerkam mangsanya, perasaan Tay-giam muak. Ia membalikkan tubuhnya dan beranjak

menjadi pergi meninggalkan si kakek.

"Berhenti! Hendak kemana kamu?" bentak Kakek tiba-tiba.

"Kemana pun aku pergi, apa pedulimu?" sahut Tay-giam sambil tertawa. Setelah

berkata demikian, ia pun melanjutkan langkahnya.

Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba ia mendengar kakek menangis meraung-raung

seperti anak kecil. Tangisannya begitu menyayat hati, bagai raungan binatang buas

yang terluka dan penuh rasa putus asa.

Mendengar tangisan itu, hati Tay-giam tersentuh, ia menoleh dan bertanya,

"Mengapa Kakek menangis sedih?"

"Tentu saja, dengan susah payah aku mendapatkan To-Liong-po-to ini, sebentar lagi

aku mati, lalu apa gunanya senjata ini?" sahut si Kakek.

"Ehm, sepertinya tidak ada jalan lain kecuali menukarkan golok ini dengan obat

penawar racun Hay-soa-pay itu," ujar Tay-giam.

"Ta... tapi aku tak rela, aku tak rela!” teriak Kakek sambil menangis.

Si kakek ini memang agak lucu hampir Taygiam tertawa geli. Beberapa saat kemudian

ia berkata lagi, "Orang persilatan harus mengandalkan kemampuannya sendiri untuk

mengalahkan lawan dan menjalankan kebajikan, dengan begitu namanya akan harum di

kemudian hari. Golok atau pusaka hanya soal kebendaan saja, mendapatkannya tak

perlu terlalu senang, dan jika kehilangan pun tak usah sedih, lalu mengapa

Lotiang (bapak) harus kesal dibuatnya?"

Tak disangka kakek itu menjadi gusar, sahutnya: "Pameo yang mengatakan ‘Yang

tertinggi di dunia persilatan adalah golok pusaka pembunuh naga, perintahnya di

jagat ini tidak ada yang dapat mengalahkannya'! Kamu pernah dengar tidak?"




Tay-giam tertawa oleh ucapan itu. Sahutnya, "Sudah tentu aku pernah mendengar

pameo itu, malahan ada sambungannya 'Ih-thian tidak keluar, siapa bisa

menandinginya'. Maksudnya, kejadian yang menggemparkan di kalangan Bu-lim

beberapa puluh tahun lalu tidak ada sangkut pautnya dengan To-Liong-po-to!"

"Kejadian yang menggemparkan apa maksudmu, coba ceritakan!" ujar kakek itu.

"Semua orang di dunia persilatan sudah mengetahuinya, diceritakan bahwa dulu

dalam peperangan Sin-tiau-tayhiap Nyo Ko membunuh Kaisar Mongol. Sejak saat itu

Nyotayhiap menjadi penguasa, ksatria di seluruh dunia tunduk padanya. Naga yang

dimaksudkan itu adalah Kaisar Mongol, 'membunuh naga' ialah membunuh Kaisar

Mongol, apa benar di dunia ini ada naga?".

"Baik, lalu aku ingin tanya, senjata apa yang dipakai Nyo-tayhiap waktu itu?"

tanya Kakek sambil tertawa dingin.

Tay-giam terkejut oleh pertanyaan itu, tapi ia pun menjawab: "Guruku pernah

bercerita bahwa Nyo-tayhiap lengannya buntung sebelah, biasanya tidak memakai

senjata. Tapi ketika bertempur melawan Kim-lun Hoat-ong di luar Benteng Siang-

yang, ia bersenjatakan pedang."

"Benar, lalu bagaimana cara Nyo-tayhiap membunuh Kaisar Mongol?" si kakek kembali

bertanya.

"Dengan timpukan batu. Hal ini diketahui orang seluruh dunia," sahut Tay-giam.

Tampaknya kakek itu sangat senang, katanya pula: "Memang Njo-tayhiap biasanya

waktu bertangan kosong, kadang memakai pedang, membunuh Kaisar Mongol tapi

memakai batu. Lalu kata-kata 'golok pusaka membunuh naga' itu apa maksudnya?"

Pertanyaan itu membuat Tay-giam harus berpikir sebentar, lalu sahutnya: "Itu

hanya supaya enak didengar saja, toh tidak mungkin orang akan mengatakan batu

membunuh naga'!"

"Hmm..., seenaknya saja kamu menjawab," bentak Kakek. "Aku ingin bertanya lagi,

katakata 'Ih-thian tidak keluar, siapa bisa menandinginya', apa pula maksudnya?"

"Boleh jadi 'Ih-thian adalah nama orang. Kabarnya Nyo-tayhiap belajar silat dari

istrinya, maka "ih-thian' mungkin adalah nama istrinya, atau mungkin juga Kwe

Cing, Kwe-tayhiap yang bertahan mati-matian di benteng Siang-yang itu.”

"Ha! Tadi aku menduga kamu tak bisa menjawabnya, nyatanya kamu memang ngawur,"

ejek Kakek. "Biarlah aku jelaskan padamu. “Toliong' adalah sebilah golok, yaitu

To-Liong-To ini, sedangkan 'Ih-thian' adalah sebatang

pedang, lengkapnya lh-thian-kiam. Secara keseluruhan maksud pameo yang terkenal

itu ialah, benda yang paling tinggi dan agung di dunia persilatan adalah To-

Liong-To, siapa yang bisa mendapatkannya akan mempunyai kekuatan luar biasa dan

apa yang diperintahkannya akan dituruti oleh semua ksatria dan orang gagah di

seluruh dunia. Asalkan Ih-thian-kiam tidak muncul, maka To-Liong-To inilah senjata

sakti yang paling lihai.”




Tay-giam menjadi ragu-ragu oleh cerita itu. "Coba kupinjam golok itu sebentar,

aku ingin melihat adakah sesuatu yang luar biasa?" katanya kemudian.

Tapi si kakek semakin erat memeluk goloknya itu, sahutnya sambil mengejek.

"Hm..., kau kira aku anak kecil umur tiga tahun yang bisa kau tipu?"

Sejak terkena racun garam, sebenarnya kakek itu sudah lemah lunglai. Semangatnya

bangkit kembali berkat pil penawar racun yang diberikan Tay-giam. Kini karena

terlalu bersemangat hingga mengeluarkan tenaga, ia menjadi kesakitan dan merintih

lagi.




"Hahaha, tidak boleh pinjam juga tak apa apa,” kata Tay-giam tertawa. "Meskipun

kamu mendapatkan To-Liong-po-to, tapi siapa yang mau kau perintah? Apakah karena

kamu memiliki golok pusaka itu lantas aku harus menurut pada perintahmu? Hahaha

benar benar lucu. Lebih baik tidak usah percaya pada dongeng-dongeng yang tidak

masuk akal hingga kaukorbankan nyawa dengan siasia. Kini sesudah kau tahu aku tak

bisa kau perintah, tentunya kamu sadar bahwa tidak ada yang istimewa pada golok

itu.”

Kakek itu termangu dan tak bisa bersuara. Setelah agak lama barulah ia berkata,

"Laute, biarlah kini kita membuat perjanjian, kamu menolong nyawaku dan aku

membagi sebagian manfaat golok pusaka ini kepadamu.”

Tay-giam tertawa terbahak-bahak. "Lotiang," katanya kemudian, "Kakek benar-benar

terlalu memandang rendah anak murid Bu-tong-pay. Menolong sesama sudah menjadi

kewajiban kami, apakah harus mengharapkan balasan? Kakek terkena racun garam,

tapi aku tak tahu racun apa itu, yang paling baik adalah

Kakek pergi saja dan minta pertolongan Haysoa-pay."

"Golok ini kucuri dari orang Hoa-soa-pay, aku dibencinya tujuh turunan, mana mau

mereka menolong aku?" ujar Kakek.

"Jika golok ini Kakek kembalikan, tidak ada lagi permusuhan, mengapa mereka harus

mencelakai Kakek?” kata Tay-giam.

"Kulihat ilmu silatmu sangat tinggi, kamu pasti mampu pergi ke sarang Hay-soa-pay

untuk mencuri obat penawar racunnya untuk menolong nyawaku," pinta si kakek.

"Aku sendiri ada urusan penting dan tak boleh berlama-lama di sini. Lagipula

Kakek salah karena mencuri golok pusaka milik orang lain, aku tidak boleh

memutarbalikkan kenyataan!" sahut Tay-giam. "Lotiang, cepatlah pergi mencari Hay-

soa-pay saja! Jika tertunda dan racunnya menyerang maka akan terlambat.”




Melihat Tay-giam hendak melangkah pergi lagi, cepat-cepat Kakek berkata,

"Baiklah, tapi aku masih ingin bertanya, tadi sewaktu kamu mengangkat tubuhku,

apakah merasakan sesuatu yang aneh?"




"Ya, aku memang rada heran, tubuh Kakek kurus kecil, tapi beratnya kira-kira 125

kg. Aku tidak tahu apa sebabnya, padahal Kakek tidak terlihat membawa benda yang

berat?" sahut Tay-giam.

"Coba sekarang kau angkat lagi tubuhku," pinta Kakek sambil meletakkan To-Liong

To ke lantai,

Tay-giam menurut, diraihnya pundak Kakek lalu diangkat, tapi ternyata ringan

saja, paling beratnya 50 an kg. Tiba-tiba ia menjadi sadar. "Ah, ternyata golok

sekecil ini mempunyai bobot lebih dari 70 kg, sungguh aneh, benar-benar lain dari

yang lain."

"Ya, golok ini memang sangat berat," katanya kemudian sambil menurunkan kembali

si Kakek.

"Tidak hanya berat saja," ujar Kakek. Kemudian Kakek bertanya, "Laute, kamu she

Ji atau she Thio?"

"She Ji, namaku Tay-giam, dari mana Lotiang mengetahuinya?"

"Aha, rupanya Ji-samhiap, pantas ilmu silatmu tinggi," ujar kakek itu sambil tertawa.

"Di antara Bu-tong-chit-hiap, Song-

tayhiap berusia paling tua. In dan Bok hanya 20 an tahun, lainnya yang nomor dua

dan tiga she Ji, nomor empat dan lima she Thio, di kalangan Bu-lim siapa yang

tidak tahu tentang hal ini. Nama Bu-tong-chit-hiap sudah termasyhur di dunia,

sungguh beruntung hari ini bisa bertemu."

Meskipun umur Tay-giam masih muda, tapi ia sudah jagoan Kangouw. Mendengar pujian

orang, ia merasa tentu orang itu punya maksud tertentu padanya, maka ia hanya

tersenyum saja bahkan sedikit jemu. "Lalu siapakah nama Lotiang yang terhormat?"

tanyaTay-giam.

"Aku she Tek, namaku Seng, kawan-kawan di daerah Liautang memberikan julukan

‘Haytong-che' padaku!"

Hay-tong-che adalah nama sejenis elang yang sangat buas di daerah Liautang.

Hidupnya memburu binatang-binatang kecil. Hay-tong-che adalah semacam elang yang

sangat terkenal di daerah timur laut ini.

Maka Tay-giam pun bersujud dan menyatakan rasa kaguminya pada nama orang

yang sudah lama terkenal itu. Kemudian ia menengadah memandang langit.

Tek Seng tahu jika Tay-giam hendak segera pergi meninggalkannya, ia berpikir

lalu nanti siapa yang akan menolong nyawanya, maka ia pun berkata lagi. "Rupanya

kamu tidak paham arti kata 'perintahnya di dunia ini tidak ada yang menentang’,

kamu kira siapa saja asal memegang To-Liong-To ini lantas bisa memberi perintah

dan harus dituruti perintahnya itu? Wow... itu salah besar, salah besar!" sampai

di sini ia menahan suaranya. Kemu-dian lanjutnya, "Ji-laute, supaya kau ketahui,

di dalam To-Liong-po-to ini tersimpan kitab

rahasia ilmu silat. Ada yang bilang kitab Kiuyang-cin-keng, ada juga yang mengira

Kiu-imcin-keng. Jika bisa mendapatkannya dan dilatih menurut petunjuk kitab,

pasti ilmu silatnya merajai dunia dan apa yang dikatakannya tidak akan ada

yang membantahnya!" Tay-giam memang pernah mendengar tentang kitab Kiu-im dan

Kiu-yang dari gurunya. Sejauh yang diketahuinya sejak Kak-wan

Taysu wafat, Kiu-yang-cin-keng yang lengkap sudah hilang, hanya beberapa bagian

di antarnya didapatkan oleh orang-orang Siaulim, Bu-tong dan Go-bi-pay. Sedangkan

tentang Kiu-im-cin-keng selama hampir puluhan tahun ini jarang dibicarakan orang

lagi sehingga dianggap sebagai dongeng belaka dan susah dipercaya.

rasa tak Melihat wajah Ji Tay-giam menunjukkan percaya, maka Tek Seng berkata

lagi, "Kami Tiang-pek-sam-kim berhasil mencuri golok pusaka dan hendak mencairkan

dengan api untuk mengambil kitab yang tersimpan di dalam golok. Tetapi pekerjaan

kami kurang rapi sehingga sebelum berhasil, orang-orang yang mengincar golok itu

terlanjur datang. Jilaute, pergilah kamu mencuri obat penawar racun untuk

menyembuhkan aku. Kemudian kita berdua pergi mencari tempat terpencil untuk

mencairkan golok dan mengambil kitabnya. Beberapa tahun lagi, di dunia persilatan

hanya dikenal Tek Seng dan Ji Tay-giam saja, tidak akan ada jagoan ketiga lagi,

bukankah ini sangat baik?"

"Aku tidak percaya hal ini," sahut Tay giam sambil menggelengkan kepala. "Mana

mungkin di dalam golok terdapat kitab, sekalipun ada, belum lagi goloknya cair,

kitabnya sudah terbakar jadi abu di dalamnya."

"Tapi golok ini luar biasa kerasnya, meskipun kamu mengebornya dengan alat yang

paling tajam pun, golok ini tak akan bergeming, bahkan goresan saja tak ada. Maka

selain dilebur dalam api, jangan harap bisa melumerkannya," ujar Tek Seng.

-

balik ke halaman index novel to liong to


No Comment
Add Comment
comment url